Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imaniar
"Feminisme telah menjadi ruang eksklusi bagi sesama perempuan. Hal ini bertentangan dengan tujuan feminisme yang ingin membebaskan perempuan dari ketertindasan. Penyingkiran ini terjadi tentunya karena feminisme tidak melihat situasi dan posisi perempuan yang berbeda di dalam pemahamannya terhadap ketertindasan. Di dalam skripsi ini ingin diungkapkan pretensi feminisme modern dalam mengkonseptualisasikan perempuan. Konseptualisasi yang selama ini hegemonik ingin dibongkar dan diinterpretasi kembali ke dalam pemahaman yang baru. Pola-pola esksklusi ingin dijejaki melalui berbagai kritik yang diutarakan oleh berbagai kelompok perempuan yang terabaikan. Skripsi ini melihat secara komprehensif permasalahan perempuan di dalam feminisme dan berusaha menciptakan pandangan yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan perempuan. Di sisi lain skripsi ini ingin mencari jalan keluar dan mencoba merekonstruksi pemahaman feminisme yang lebih mengetengahkan nilai perbedaan dengan perspektif posmodernisme. Di dalam skripsi ini ditawarkan bentuk posmodernisme seperti apa yang ingin digunakan di dalam feminisme. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi feminisme untuk membuka pertanyaan baru atau menciptakan arah baru tanpa harus melandaskan diri pada posmodernisme.

Feminism becomes an exclusion site for women. This statement is no longer apropriate to the point of view of feminism to liberate women from oppression of patriarchy. These emergence of exclusion due to incapability of feminism for accomodating differences position and situatedness of women with difference conceptual framework. Therefore, this thesis tries to elaborate a pretension of modern feminism in conceptualizing women?s subjectivity and representation. Feminism which is assumed to be hegemonic will be decontextualized, reinterpreted, and deconstructed within a new understanding. The circuit of exclusion on going to be traced from the critical standpoint by The Other women. This thesis wants to see the problems of women comprehensively in a one hand try to construct another foundations. This thesis is seeing a way out and construct new understanding which concern with difference and postmodernism. Which postmodernism can be articulated by feminist perspective? Which consideration of postmodernism can be adopted without eliminating any possibility for open conceptual framework? This is about setting the future of feminism without considering itself with foundational framework."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S16149
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Ristinawati
"Skripsi ini membahas mengenai manusia kontemporer yang sangat gemar bergaya hidup konsumtif. Dewasa ini jika kita memandang disekeliling kita penuh dengan beragam barang yang disuguhkan oleh para produsen yang membuat manusia menjadi tergiur untuk membeli produk tersebut. Ternyata kebiasaan mengkonsumsi pada masyarakat bukan lagi sekedar kebutuhan semata, tapi konsumsi saat ini menjadi suatu bentuk ?tanda?. Baudrillard mengatakan bahwa manusia kontemporer adalah manusia yang haus mengkonsumsi bermacam tanda dan simbol. Pergeseran pola konsumsi ini ternyata berhubungan dengan Kapitalis. Kapitalis ada pada masa manusia mengkonsumsi berdasarkan kebutuhan dan juga saat manusia menjadi pengkonsumsi tanda. Kapitalis bisa dikatakan sebagai produsen penghasil barang-barang konsumsi. Ada dua masa yang dikenal dalam pembentukan pola konsumsi tadi, yaitu kapitalisme klasik dan kapitalisme lanjut atau yang lenih dikenal dengan nama globalisasi. Berbicara mengenai globalisasi tentu tidak bisa dilepaskan dari media massa. Media massa menjadi bagian penting dalam promosi dan penjualan barang produksi. Manusia kontemporer adalah manusia yang konsumtif dan haus akan kekinian. Identitas manusia kontemporer adalah identitas yang diskursif, terfragmen, terpecah, dan tidak ada identitas yang otonom, identitas manusia kontemporer adalah identitas yang terkonstruksi oleh lingkungan sosialnya. Semuanya menjadi bias dan tidak teratur, inilah gambaran identitas kontemporer oleh padangan Postmodern.

This final paper discuss about the contemporary human who is very fond of consumptive lifestyle. Lately, if we look around us, it is full of various items provided by the producer that seduces human to buy their products. As a matter of fact, the consumptive habit on human is not just based on needs anymore, yet it has become a ?sign?. Baudrillard said that contemporary human is the human who thirst for various signs and symbols. Shifting of this consumption pattern is, in fact, connected with the capitalist. Capitalist exist in time when human consume based on needs and also at time when they also consume signs. The capitalist can be said as the producer of consumption goods. There are two eras that was known in shaping this consumption pattern, classic capitalism and advanced capitalism, which also known as globalization. Speaking about globalization, of course we cannot forget about the mass media. Mass media has become an important part in promotion and selling of production goods. Contemporary human is a consumptive and thirst of modernity type of human. Identity of a contemporary human is their discursive, fragmented, separated identity, and no identity is autonomous. The identity of a contemporary human is an identity constructed by its social environment. All becomes bias and irregular. This is the image from postmodern view of a contemporary identity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S16116
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fidelis Eka Satriastanti
"Perbincangan mengenai seni dan realitas seakan tidak pernah ada habisnya. Hubungan ini kian erat saat realisme mendominasi warna seni sekitar tahun I900an. Pengaruh aliran ini nyata terlihat di dalam teater sebagai salah satu seni pertunjukan yang menggunakan realitas sebagai modelnya. Namun, obsesi kaum realis ini terhalang oleh keberadaan panggung yang terpisah dengan kursi penonton. Dengan kata lain, teater tidak bisa merepresentasikan secara sempurna realitas sesungguhnya. Hal ini mendapat perhatian khusus dari seorang dramawan Jarman yang bernama Bertolt Brecht (1898-1956) yang mengajukan tantangan terhadap teater realis. Brecht berpendapat bahwa realitas yang dimengerti oleh teater realis hanyalah semu dan ilusif. Realism Brecht adalah realitas yang melibatkan semua bidang kehidupan masyarakat yaitu sosial, politik, hingga budaya. Realitas sosial politik yang dinamis merupakan realitas yang ditampilkan di atas panggung bukan semata-mata berkutat pada penampilan yang harus identik dengan kenyataan. Realitas yang didefinisikan oleh Brecht mendapatkan pengaruh dari Marxisme yang berbicara pertentangan antarkelas antara sosialisme dan kapitalisme. Namun, titik berat Brecht tidak pada pertentangan tersebut melainkan pada masyarakat pada masa tersebut. Sedari awal, Brecht menegaskan tujuan teater untuk menghibur masyarakat. Namun, hanya bentuk hiburan yang tepatlah yang dianggap bisa merefleksikan kondisi sosial saat itu. Bagi Brecht, masyarakat yang sedang berkembang adalah masyarakat yang ilmiah. Dengan kata lain, Brecht berupaya memadukan metode ilmiah ke dalam teater, misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis hingga psikologis. Brecht kemudian memperkenalkan sebuah istilah baru yaitu Alienation Effect (Velfremdungseffekte) yang berdampak besar bagi perkembangan teater itu sendiri. Efek alienasi sebenarnya terinspirasi dari akting seorang aktor besar Cina yaitu Mci Lan-fang. Pemakaian kostum dan topeng-topeng serta gesture-gesture yang ditampilkan merupakan upaya Brecht untuk menghindarkan para pemain dan penonton terlibat secara emosional. Brecht menginginkan para penonton dapat menanggapi dengan penuh kesadaran dan rasionalitas bukan sekadar empati belaka. Efek alienasi juga dimaksudkan untuk meruntuhkan the fourth wall sebagai upaya untuk menjalin interaksi yang alami antara penonton dan pemain. Bertolt Brecht menjawab dengan pasti bahwa realitas sosial politik tidak bisa ditampilkan secara sempurna di alas panggung. Sejak awal, hubungan realitas dan teater telah mempunyai jarak. Brecht memperkenalkan efek alienasi sebagai penegas jarak antara keduanya. Namun, efek ini berhenti bekerja saat Brecht lebih berkonsentrasi mempromosikan misi penyadaran bagi masyarakat, terutama untuk mengubah kondisi social masyarakat. Jarak antara realitas dan teater yang telah dibangun Brecht melalui efek alienasi menjadi kabur kembali akibat tindakan praktis atas kondisi sosial politik saat itu. Brecht tidak bisa mempertahankan argumen karena obsesi pribadi yang mengharapkan lahirnya perubahan radikal dilakukan oleh para penonton teaternya. Brecht tidak bisa melepaskan diri dari kepungan realitas sosial politik yang terjadi saat itu, terutama pada masa pemerintahan Hitler. Melalui Teater Epik, Brecht menuai banyak kontroversi mengenai status atau keberpihakannya terhadap partai sosialis. Tidak dapat dipungkiri bahwa Brecht menggunakan teori sosial Marx bagi perkembangan teatemya, namun keterlibatannya secara langsung dengan partai politik tidak terbukti. Teater Brecht adalah teater politis karena mempunyai misi untuk mengungkapkan realitas sosial politik yang sedang terjadi, namun proses ini dikemas dalam bentuk hiburan bagi masyarakat. Keinginan Brecht untuk menyandingkan niatan politis dengan unsur estetis inilah yang justru membuatnya tidak bisa dimasukkan dalam kelompok manapun. Terjerumusnya Brecht dalam perputaran politik praktis merupakan konsekuensi dari teorinya sendiri. Namun, argumen awal Brecht tetap menyatakan teater untuk hiburan. Melalui penulisan ini, analisa kritis terhadap teater untuk hiburan milik Brecht tidak hanya berkutat pada kondisi politik semata melainkan kembali menyelidiki dimensi estetis yang coba diajukan oleh Brecht sendiri. Teater untuk Hiburan menjadi tesis Brecht untuk kembali mempertahankan jarak antara teater dan realitas. Tesis ini mendapatkan perhatian bagi para pemikir, praktisi, hingga para pemain teater untuk menampilkan pertunjukan yang menghibur namun tetap memiliki kepekaan terhadap realitas sosial yang sedang dihadapi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S16187
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrianto Adianggoro
"Karya seni merupakan sebuah fenomena sosial yang keberadaannya dapat dijumpai daiam kehidupan sehari-hari. Sebagai subjek yang berkesadaran, manusia harus kritis terhadap fenomena-fenomena yang melingkupinya. Mengapa sebuah predikat karya seni dapat ditempelkan kepada objek tertentu yang membuatnya menjadi lama sekali berbeda dengan objek-objek biasa? Hal ini merupakan pertanyaan yang sangat mendasar yang berusaha untuk dijawab oleh para filsuf. Penulisan ini mencoba untuk mengangkat sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebuah usaha untuk mendefinisikan seni. Berawal dari sebuah kritik, dan pada akhirnya sampai pada sebuah formulasi dari definisi seni. Arthur Danto merupakan filsuf yang menjadi fokus dalam penulisan skripsi ini. Usahanya dalam membuat sebuah definisi berawal dari kritiknya terhadap Wittgenstein. Wittgenstein memang lebih akrab dibicarakan dalam ruang lingkup filsafat bahasa, namun pemikirannya berimplikasi juga terhadap pembicaraan etika dan estetika. Dalam analisis bahasanya, Wittgenstein mencoba untuk ikut dalam praktik bahasa itu sendiri. Ternyata, sesuatu yang menjadi menarik baginya adalah adanya kebudayaan yang selalu melekat dalam diri tiap-tiap individu dalam berbahasa. Dengan adanya latar belakang kebudayaan ini, bagi Wittgenstein, bahasa menjadi plural sifatnya dan tidak bisa berada dibawah sebuah teori yang tunggal. Begitu juga dengan seni, seni menjadi tidak bisa didefinisikan. Tetapi, bila masing-masing kebudayaan memiliki pengertiannya masing_masing tentang apa itu seni, bukankah artinya mereka telah membuat sebuah pembedaan antara karya seni (artwork) dan benda belaka (mere thing)? Dari sini, Arthur Danto melihat sebuah benang merah tentang perbedaan yang akan dirnunculkan antara karya seni (artwork) dan benda belaka (mere thing). Sebuah pintu masuk yang dipilih oleh Danto untuk memulai pendefinisian seni dan sebagai kritik terhadap pemikiran Wittgenstein."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S15995
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Rahmat Fadhilah
"Seni merupakan salah satu hasil dari kreasi manusia yang mempunyai nilai keindahan. Seni merupakan media ekspresi konkret yang dapat menyalurkan respons kesadaran kita alas realitas dunia atau alam, sosial, ataupun diri sendiri. Dengan begitu, seni juga dapat menjadi sarana dalam menyalurkan ketrampilan manusia demi pencapaian sisi estetis. Adanya kebutuhan estetis pada manusia. membuat seni berkembang dan selalu diminati. Pada proses penciptaan seni tidaklah hanya memproyeksikannya pada tataran apresiasi saja, namun dari segi kreasi khususnya ide gagasan juga harus diperhatikan. Ketika kita membahas seni sebagai apresiasi maka kita akan bersentuhan dengan aspek-_aspek seperti penerimaan sosial, selera akan keindahan, dan penampilan teknik. Seni sebagai penciptaan, membutuhkan peran ide gagasan, visi dan imajinasi. Seni juga mempunyai aspek kreativitas. Definisi kreativitas pada dunia seni mempunyai variasi pengertian. namun ketika kreativitas ingin ditujukan kepada kebaruan perubahan yang kondusif, ataupun revolusi seni uniuk menuju lebih baik, maka kreativitas seni harus disandarkan kepada originalitas. Originalilas pada penciptaan seni mengalami perkembangan pemahaman. Perkembangan ini berdasarkan pada ada atau tidak adanya originalitas dan penting atau tidak pentingnya sisi originalitas dalam penciptaan seni. Pada masa Yunani Kuno, Plato dengan konsep seni mimesisnya memperlihatkan bahwa seni hanyalah sebagai bagian yang rendah dari kegiatan manusia. Seni merupakan penjiplakan alas dunia real dan dunia real merupakan dari dunia idea, dengan begitu seni adalah tiruan atas tiruan dan peran manusia pun tidak diperhatikan, karena idea dari konsep Plato tidak berada di dalam manusia. Originalilas dalam seni pun tidak ada dalam konsep seni Plato. Aristoteles melakukan perubahan pemahaman akan seni yaitu seni bukanlah sekadar meniru namun terdapat unsur manusia yang nantinya akan menuntun kepada penciptaan yang baru. lni merupakan titik awal menuju seni yang menghargai peran manusia terutama ide gagasannya. Immanuel Kant adalah filsuf masa Romantisisme yang mempunyai perhatian kepada permasalahan keindahan, salah satunya adalah keindahan di dalam seni. Pencarian akan originalitas dilakukan oleh Kant, yaitu manusia sebagai kekuatan yang produktif. Kant memakai konsep genius untuk menjelaskan originalitas. Genius merupakan bakat alamiah dan unik yang dimiliki oleh manusia. Dengan genius maka originalitas dapat tercapai, karena genius selalu menghadirkan karya yang bersifat inspired, mempunyai aturan yang akan menuntun genius yang baru untuk menuntlun kepada originalitasnya sendiri. Fine art menurut Kant adalah karya yang bersandar pada genius dan diterima secara universal. Apabila kita memakai konsep genius dari Kant untuk melakukan pencarian akan originalitas yang bertujuan kepada kreativitas dan kebaruan, maka kita harus melihat konsep genius bukan sebagai konsep yang kaku atau determinan. Konsep genius dilihat sebagai intelejensia dari manusia yang selalu mencari yang baru dan lebih baik, yang nantinya akan memberikan produktivitas kreativitas yang subur terutama pada seni. Fine art dan seni yang inspired pada konsep Kant lebih ditujukan kepada permasalahan selera dan pencrimaan universal, dengan begitu diperlukan kritik akan fine art dari pemikiran Kant apabila kita ingin membebaskan genius agar lebih fokus kepada sisi penciptaan raja. Palsu dan pemalsuan (fake and forgeries) merupakan suatu fenomena di dalam dunia seni yang melibatkan permasalahan originalitas pada suatu karya. Dalam palsu dan pemalsuan kita dapat melihat dari sisi manakah originalitas dapat diusahakan untuk hadir. Palsu dan pemalsuan tidak melibatkan sisi estetis namun lebih kepada permasalahan non estetis. Ketika merefleksikan permasalahan darib palsu dan pemalsuan, maka kehadiran originalitas harus diutamakan demi menjaga sisi kreativitas pada penciptaan suatu karya seni, dikarenakan dalam karya palsu dan pemalsuan sisi originalitasnya tidak ada."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S15857
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Iswari
"Berbagai media cetak atau pun elektronik yang memotret gaya hidup manusia modem mencerminkan relasi manusia modern yang cenderung eksploitatif, pragmatic, fungsional, dan berorientasi pada keuntungan pribadi. Implikasi yang muncul adalah kencederungan yang menjadi konformis dan logika pasar bermain dalam pola pikir dan tingkah laku manusia. Kecenderungan yang konformis inilah yang mewujud dalam diri manusia modern sebagaimana tergambar dalam berbagai media gaya hidup manusia modern. Setiap manusia mempunyai 'standar_standar' Baku penilaian dan relasinya dengan sesama manusia. Dirinya sendiri pun dituntut untuk memenuhi 'standar_standar' yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Menurut Fromm, hal ini tidak lepas dari pengaruh kapitalisme yang berawal dari keinginan manusia untuk lepas dari pengaruh dogma agama pada Abad Pertengahan. Keinginan ini muncul karena pada dasarnya manusia mempunyai kebebasan yang tak dapat dibendung lagi untuk melebarkan batas _ batas kemanusi annya. Ironisnya, pada saat manusia bebas maka ia justru menjadi ke k esepian. Hal ini dikarenakan manusia mengalami proses individuasi yang melepaskan manusia dari keadaan alamiahnya, yaitu rahim ibunya dan lingkungan pertama ia hidup. Kesepian dan keterpisahan yang manusia alami untuk menjadi individu yang utuh dan berintegrasi dapat diatasi dengan cara produktif yaitu dengan cinta dan karya produktif, atau dengan cara tidak produktif yaitu menyerahkan hidup dan kebebasannya pada 'sistem' yang merenggut keindividualitasan manusia. Fromm sendiri menyarankan cinta sebagai solusi permasalahan eksistensi manusia. Karena dalam cinta mewujud kebebasan untuk menjadi diri sendiri, untuk mencintai sesama, dan alam. Sehingga, manusia tidak terjebak dalam kecenderungan eksploitatif; pragmatis, dan konformis, yang mengarah pada mengkomoditikan pribadi atau alam. Cinta bagi Fromm adalah 'melebur' dan membuat sesuatu yang hidup tumbuh dalam pribadi manusia. Hal ini terwujud dalam aktivitas memberi (giving). Sebab memberi adalah ekspresi tertinggi manusia untuk mengeluarkan segala potensi kemanusiaannya demi penemuan 'rahasia' manusia melalui sikap care, respect, responsibility, dan knowledge. Keempat elemen tersebut akan mewujud dalam ekspresi tertinggi manusia yaitu memberi, termasuk memberi kebebasan. Kebebasan paling eksistensial yang dimaksud Fromm yaitu 'kebebasan untuk...' yang berlandaskan cinta. Tokoh Maria dalam novel Eleven Minutes karya Paulo Coelho adalah sarana penulis untuk meretleksikan pemikiran cinta Erich Fromm. Perjalanan hidup Maria dalam menghayati cintanya yang berliku_liku dan berujung pada pengakuan diri Maria bahwa yang terutama dalam hidup ini adalah bagaimana mencintai dengan sepenuh hati yang berarti memberikan kebebasan pada diri dan sesama, tanpa tendensi menjadi posesif. Hal inilah yang ingin penulis jadikan cermin dalam kehidupan relasi manusia modern yang ironis..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S16113
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Akomadin
"Skripsi ini membahas tentang estetika sebagai logika, menurut pemikiran filsuf minor Jerman yaitu, Alexander Gottlieb Baumgarten. Ia memperkenalkan sebuah konsep yang bernama _Estetika_. Di dalam pemikirannnya, Baumgarten menggunakan puisi sebagai alat untuk menganalisa keindahan. Dalam hal ini pula, filsuf ini mencoba mempersoalkan dunia inderawi (sense) dan dampaknya pada pikiran. Baumgarten melihat akan adanya persepsi inderawi yang berkembang dari pengalaman merasakan keindahan yang merupakan aktivitas mental pada manusia dan istilah estetika lah yang ia gunakan untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan inderawi"
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S16074
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Haryoseno Bimantoro
"Manifesto mural dibuat oleh kaum Fasis sebagai pernyataan atas kesenian yang mereka bangun, yaitu seni fasis. Mural dipilih karena memiliki akar kuat dalam tradisi Romawi. Selain itu, mural dibuat di dalam ruang publik yang memungkinkan masyarakat untuk menerima pesan Fasisme lebih mudah. Dalam cara pandang estetika Marxis yang menggunakan seni sebagai alat perjuangan kelas, mural dalam Fasisme ini digunakan sebagai alat perjuangan kelompok Fasis. Mural dibuat sebagai alat perjuangan dan propaganda ideologi. Moralitas terhadap seni dijadikan sebagai bagian yang penting dalam membuat mural.

Abstract
Manifesto of mural created by Fascist as a statement of the art of Fascist. Mural was choosen because it had a strong root in a Roman tradition. Beside, mural uses public sphere as its gallery, so that it makes possible for people to receive the message of Fascism easily. On the view of Marxist aesthetic which makes art as a mean of class struggle, mural is used by Fascism as a mean of Fascist struggle. Mural is created as a mean of struggle and propaganda of ideology. Morality on art is an important thing to create a mural."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S535
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Kumalasari
"Komedi merupakan suatu diskursus yang menyenangkan. Sebagai suatu diskursus, komedi mempersilahkan yang berbeda turut hadir dan merayakan keberbedaan subjek dalam empersepsi segala hal. Keunikannnya yang mampu membangkitkan tawa membuka ruang logika di dalam pikiran untuk menguji coba pelanggaran yang dilontarkan lewat permainan kata menjadi suatu bentuk kemungkinan baru yang bisa jadi irasional sekaligus rasional. Humor dan lelucon hadir sebagai elemen dalam diskursus komedi yang mampu merombak dan menjungkirbalikkan penggunaan bahasa pun makna umum yang mengejan dalam kehidupan sosial manusia. Komedi hadir sebagai suatu diskursus yang tak bertujuan kepada kebenaran universal, melainkan merayakan kebodohan manusia.

Abstract
Comedy is very exhilaration discourse. As a discourse, comedy present the different come and join to celebrate the differences of subject perception about all of thing. The uniqueness of comedy can raised laughter, opened logic in our mind to transgress and recognize language game as a new possibility that could be something irrational and also rational at the same way. Humor and jokes present as element in comedy discourse that could be destruct and reverse the way of language and common meaning of social life. Comedy present as a discourse which not toward universality, but joyous stupidity. "
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S480
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Rahman
"Film sebagai seni terdiri dari unsur-unsur formal yang artistik. Industri film memiliki peran besar untuk menghadirkan film ke tengah-tengah masyarakat. Namun, film yang dihadirkan industri film cenderung tidak memiliki kualitas seni yang baik. Film hanya sebagai komoditas. Hal ini dikarenakan film yang dihadirkan hanya sekedar film cerita lewat bahasa verbal. Akibatnya penonton menerima pemahaman film seni yang keliru. Ontologi dasar film adalah gambar bergerak yang mampu menciptakan bahasa visual yang artistik. Pada film hiburan, dialog justru mendominasi sehingga mempersingkat proses interpretasi penonton. Berbeda dengan film bisu yang memaksimalkan gambar bergerak sebagai medium berekspresi. Skripsi ini membahas bagaimana melihat film sebagai seni visual berkaca dari film hiburan.

Film as art consists of artistic formal elements. Film industry has a major role in bringing film to the society. However, the film presented by film industry tend not to art. The film simply as a commodity which considers telling stories more important then expression. Consequently, the audience received wrong understanding of film as art. Basic ontology of film is motion picture which has capabilities to create visual language. Dialog in film dominates picture thus shortening the audience interpretation. Unlike the silent film which maximize motion picture as medium of expression. This thesis is about how to perceive film as visual art.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>