Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Qaira Anum
"Kusta sampai sekarang masih merupakan masalah kesehatan dunia, khususnya di negara sedang berkembang termasuk di Indonesia. Walaupun. Indonesia pada tahun 2000 sudah dapat mencapai eliminasi kusta, namun sampai tahun 2005 masih ada 12 provinsi dan 155 kabupaten yang belum mencapai eliminasi. Sehingga untuk mencapai eliminasi ini di semua negara pada tahun 2005, maka WHO (World Health Organization) tahun 1999 membentuk Global Alliance for the Elimination of Leprosy (GAEL).
Selama tahun 2004 di Indonesia ditemukan 18.549 kasus kusta baru dan 12.936 penderita di antaranya adalah kusta multibasiler (78,2%). Tahun 2002 angka prevalensi penderita kusta di Indonesia 0,92 dan tahun 2003 menurun menjadi 0,86 tapi kemudian naik lagi pada tahun 2004 menjadi 0,93. Data ini memperlihatkan bahwa angka prevalensi kusta yang naik turun merupakan suatu masalah yang harus diatasi.
Masalah penyakit kusta diperberat dengan kompleksnya epidemiologi dan banyaknya penderita kusta yang mendapat pengobatan ketika sudah dalam keadaan carat. Keadaan tersebut terjadi sebagai aktbat stigma dan kurangnya pemahaman tentang penyakit kusta dan akibatnya untuk sebagian besar masyarakat lndonesia. Dampak keterlambatan pengobatan kusta adalah penularan terus berjalan, sehingga kasus baru banyak berrnunculan. Keadaan ini tentu akan menghambat pencapaian tujuan program pemberantasan penyakit kusta. Mengingat kondisi tersebut perlu satu sistem pemberantasan secara terpadu dan menyeluruh, di antaranya adalah pengobatan yang tepat sesuai dengan klasifikasi kusta."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dedy Maizal
"Penyakit kusta disebut juga lepra adaiah penyakit infeksi kronik yang bersifat progresif lambat disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae). Kuman ini pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat mengenai kulit dan mukosa serta organ lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta menyebabkan deformitas dan kelainan yang menetap serta meninggalkan stigma bagi penyandangnya karena penyakit ini sering identik dengan kecacatan.
Penyakit kusta tersebar di lebih dari 50 negara di dunia. Kira-kira 83% kasus terdapat di enam negara yaitu Nepal, Madagaskar, Myanmar, India, Brazil, dan Indonesia. Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak penyandang kusta setelah India & Brazil. Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat meskipun World Health Organization (WHO) telah mencanangkan Eliminasi kusta Tahun 2000 (EKT 2000), yaitu prevalensi kusta kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Secara nasional, Indonesia telah mencapai target tersebut meskipun belum merata, masih ada 12 provinsi dan 155 kabupaten yang belum mencapai eliminasi pada tahun 2005.
Angka prevalensi yang dilaporkan Subdirektorat Kusta dan Frambusia-Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP dan PL Depkes RI) untuk tahun 2005 adalah 0,98. Untuk tingkat dunia program tersebut belum tercapai sehingga WHO dan negara-negara endemik kusta membentuk Global Alliance for the Elimination of Leprosy (GAEL), yang menargetkan eliminasi kusta di seluruh negara pada akhir tahun 2005.
Hingga saat penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan yang mengenai jutaan orang di seluruh dunia. Kondisi ini tentu saja membebani masyarakat dan negara penyandang kusta serta berakibat tingginya anggaran kesehatan guna pemberantasan penyakit tersebut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Satriyo
"Sering (10-20%) ditemukan pada pasien MH. Berbagai terapi topikal ulkus neuropatik sederhana MH, antara lain salap seng oksida (ZnO) 10% masih belum optimal dan menunjukkan keterbatasan. Beberapa penelitian memperlihatkan manfaat penambahan faktor pertumbuhan pada penyembuhan berbagai jenis ulkus. Terdapat beberapa metode untuk mengekstraksi faktor pertumbuhan autolog, salah satunya dengan konsentrat fibrin kaya trombosit (FKT).
Tujuan : Menilai tingkat kesembuhan ulkus neuropatik sederhana MH yang diobati secara topikal dengan konsentrat FKT dibandingkan dengan menggunakan salap ZnO 10%.
Metode : Penelitian ini merupakan suatu uji klinis acak terkontrol, terbuka, dengan desain paralel. Dilakukan randomisasi untuk membagi 50 subyek menjadi dua kelompok, yaitu kelompok uji (konsentrat FKT) dan kelompok pembanding (salap ZnO 10%). Pengobatan dan evaluasi dilakukan tiap minggu selama enam minggu.
Hasil : Pada akhir pengobatan, proporsi tingkat kesembuhan baik (pengecilan ulkus > 75%) kelompok uji adalah 40% dan proporsi tingkat kesembuhan baik pada kelompok pembanding adalah 32%. Perbedaan 8% proporsi tingkat kesembuhan baik di antara kedua kelompok tersebut tidak bermakna secara statistik (p = 0,56) (RR 1,3; IK95%: 0,6-2,6).
Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat kesembuhan ulkus neuropatik sederhana MH yang diobati secara topikal menggunakan konsentrat FKT dibandingkan dengan salap ZnO 10%.

Disability found in leprosy patients. Various topical treatment for simple neuropathic ulcer in leprosy patients, such as 10% zinc oxide (ZnO) ointment is still not optimal and show limitations. Recent studies have shown the benefits of the addition of growth factors in the healing of various types of ulcers. There are several methods for extracting autologous growth factors, one of which is plateletrich fibrin (PRF) concentrate.
Objective : To assess the healing response of simple neuropathic ulcers in leprosy patients treated topically with PRF concentrate compared to 10% ZnO ointment.
Methods : Randomized, open, controlled clinical trials, with parallel design. Fifthy subjects randomly allocated into two trial groups, the intervention group (PRF concentrate) and the control group (10% ZnO ointment). Treatment and evaluation was performed every week for six weeks.
Results : At the end of treatment, the proportion of good healing response (> 75% closure) in the intervention group and the control group was 40% and 32% respectively. The 8% difference in the proportion of good healing response was not statistically significant (p = 0,56) (RR 1,3; 95%CI: 0,6-2,6).
Conclusion : There was no significant difference in the healing response of simple neuropathic ulcers in leprosy patients treated topically with PRF concentrate compared to 10% ZnO ointment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Susie Rendra
"Kusta merupakan suatu penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh hasil tahan asam Mycobacterium leprae. Sampai kini, penyakit kusta tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia, walaupun sebenarnya eliminasi kusta di Indonesia sudah tercapai pada pertengahan tahan 2000.
Kusta adalah penyakit dengan stigma sosial yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kecacatan yang ditimbulkan, yaitu deformitas dan mutilasi, sehingga terjadi ketakutan, tidak hanya pada masyarakat umum, tetapi juga pada kalangan medis. Ketakutan ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman dan kurang tersedianya informasi tepat dan akurat mengenai penyakit kusta. Kuman M. leprae menyerang sel Schwann pada serabut saraf, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan saraf, yang bila tidak tertangani dengan baik akan berakhir dengan kecacatan. Cacat mengurangi kemampuan seseorang untuk bekerja dengan baik, sehingga pasien kusta menjadi bergantung pada orang lain dan tidak mampu hidup mandiri. Kecacatan seringkali terjadi akibat keterlambatan pengobatan dan tindakan pencegahan kecacatan yang kurang memadai. Untuk mencegah cacat diperlukan diagnosis tepat, penanganan secepatnya dan deteksi dini penyakit kusta.
Cacat akibat kusta dapat mengenai ekstremitas (tangan dan kaki) dan mata, yang merupakan organ penting agar seseorang dapat berfungsi baik dalam kehidupan sehari-hari. Pencegahan cacat merupakan hal yang penting dilakukan karena keterlambatan akan menyebabkan kecacatan menjadi permanen.
Komplikasi okular sering ditemukan pada kusta, yang dapat menyebabkan penurunan visus dan kebutaan. Prevalensi kebutaan pads pasien kusta 5 kali Iipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal. Kerusakan mata pada penyakit kusta biasanya terjadi perlahan, seringkali tidak disadari oleh pasien dan jarang dikeluhkan. Keluhan baru disampaikan bila terjadi penurunan tajam penglihatan (visus). Pada saat ini umumnya kelainan sudah lanjut, sehingga penanganan menjadi lebih sulit. Kemungkinan fungsi mata puiih kembali menjadi normal juga berkurang. Dengan deteksi dini diharapkan kelainan mata dapat diketahui lebih cepat dan fungsi mata dapat dipulihkan secara maksimal.
Salah satu kelainan mata yang dapat menyebabkan penurunan fungsi penglihatan adalah gangguan sensibilitas kornea. Sensasi yang berkurang (terutama terhadap nyeri) mengakibatkan pasien kurang menyadari bila terjadi sesuatu pada mata. Keadaan ini membuat pasien sangat berisiko mengalami kerusakan mata lebih lanjut. Hal ini menyebabkan pasien terlambat mencari pengobatan. Pada mata yang hipoestesia mudah terjadi infeksi, lukalulkus, perforasi, jaringan parut 9 dan dapat berakhir dengan kebutaan. Penelitian yang dilakukan oleh Daniel dkk. (1999) mendapatkan kecenderungan hipoestesia kornea 3-4 kali Iipat lebih besar pada pasien dengan Iasi hipopigmentasi pada wajah dibandingkan dengan pasien tanpa Iesi wajah. Kekurangan penelitian ini, seperti yang diakui oleh penelitinya, adalah menggunakan lidi kapas untuk pemeriksaan kornea. Cara ini kurang sensitif dan sangat tergantung pada keterampilan pemeriksa. Pemeriksaan sensibilitas kornea dengan lidi kapas sebenamya tidak dianjurkan oleh World Health Organization (WHO), karena berpotensi rmerusak epitel kornea bila dilakukan secara tidak benar. Peneliti mengemukakan mengenai perlunya dilakukan penelitian menggunakan alat estesiometer Cochet-Bonnet."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library