Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Imran Khan Ismail
Abstrak :
Latar Belakang: Rokok elektrik muncul di pasaran dengan klaim sebagai alternatif merokok yang lebih sehat. Belum banyak studi yang menunjukkan dampak penggunaan rokok elektrik terhadap kesehatan. Hubungan antara aktivitas fisik sebagai pola gaya hidup sehat dengan tingkat adiksi rokok elektrik yang popularitasnya meningkat modern ini di Indonesia belum diketahui. Tujuan: Penelitian bertujuan untuk melihat hubungan aktivitas fisik dengan tingkat adiksi terhadap rokok elektrik serta dampaknya terhadap kesehatan Metode: Penelitian ini dilakukan dengan studi cross-sectional terhadap sampel sebanyak 937 subjek yang dipilih berdasarkan random sampling dan menggunakan metode wawancara terpimpin. Hasil penelitian diolah menggunakan uji Chi-Square. Hasil: Dari hasil uji Chi Square menunjukkan terdapat asosiasi antara tingkat aktivitas fisik dan ketergantungan nikotin, χ2(1) = 10.267, p = 0.002. Diskusi: Tingkat aktivitas fisik mempengaruhi tingkat ketergantungan nikotin pada pengguna rokok elektrik. Tingkat aktivitas fisik aktif diasosiasikan dengan tingkat ketergantungan rendah. Sebaliknya, tingkat aktivitas fisik sedenter diasosiasikan dengan tingkat ketergantungan tinggi. Penggunaan rokok elektrik tidak terbebas dari resiko terhadap kesehatan meskipun dengan tingkat yang lebih ringan bila dibandingkan rokok tembakau.
Background: Electronic cigarette emerges in the market as a healthier alternative to smoking. There is little evidence regarding the effect of electronic cigarette consumption and its threat to the health of users. The relationship between physical activity as a healthy lifestyle and electronic cigarette addiction which increased in popularity nowadays in Indonesia is unknown. Objective: The study aimed to determine the relationship between physical activity level and electronic cigarette addiction and its threat to the health. Methods: This study is conducted by using the analytical observational cross-sectional study with 937 respondents selected by random sampling method and collected through structured interview. The relationship between variables was analyzed by Chi-Square test. Results: Based on Chi-Square test, association between physical activity and electronic cigarette addiction was observed, χ2(1) = 10.267, p = 0.002. Discussion: Physical activity level affects the level of nicotine dependece. Active individuals are associated with low dependence while sedentary individuals are associated with high dependence of nicotine. Use of electronic cigarette is not free of health risk, but studies shown it is relatively slighter compared to conventional cigarette.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Rinaldy Panusunan
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Petugas kesehatan adalah populasi yang rentan terhadap infeksi Tuberkulosis (TB). Salah satu penilaian dalam kontrol infeksi TB adalah melakukan evaluasi pada petugas kesehatan, terutama yang kontak dengan pasien TB. Interferon gamma release assays (IGRA) adalah suatu alat untuk pemeriksaan infeksi TB laten. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan angka proporsi infeksi TB laten pada petugas kesehatan di Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan. Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang dilakukan pada 95 subjek dengan cara concecutive sampling. Subjek akan dilakukan anamnesis, foto toraks dan Xpert MTB/RIF untuk menyingkirkan diagnosis TB aktif dan TB MDR. Hasil: Hasil IGRA positif didapatkan pada 37 subjek (38,9%) dan negatif pada 58 subjek (61,1%). Tidak ditemukan kasus TB aktif atau TB MDR. Didapatkan hubungan yang signifikan antara hasil pemeriksaan IGRA dengan lokasi kerja (P = 0,004). Kesimpulan: Proporsi infeksi TB laten pada petugas kesehatan di Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan dengan pemeriksaan IGRA adalah 38,9%.
Background: Healthcare workers (HCW) are group of population that are prone to tuberculosis (TB) infection. One of the tuberculosis infection control measure is the evaluation of HCW, especially those who have contact with TB patient. Interferon gamma release assays (IGRA) is a method for diagnosing latent TB infection (LTBI). The aim of this trial is to determine the proportion of LTBI in HCW in Persahabatan Hospital, a high burden TB hospital in Indonesia. Methods: This cross sectional study was conducted among 95 HCW in Persahabatan Hospital who have contact with TB patient. Sample was recruited by consecutive sampling. The participants were subject to history taking, chest X ray and Xpert MTB/RIF to exclude the diagnosis of active TB infection or multi drug resistant (MDR) TB. Results: Positive IGRA was found in 37 HCW (38,9%) and negative IGRA was found in 58 HCW (61,1%). There were no active TB and MDR TB in HCW. There was a significant association between IGRA result and the work place (P = 0,004). Conclusion: Proportion of LTBI in HCW in Persahabatan Hospital by using IGRA was 38,9%.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Jonathan
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker paru dapat memiliki gejala dan tanda yang salah satunya disebabkan sindrom paraneoplastik. Salah satu sindrom paraneoplastik melibatkan sistem hematologi yang terdiri dari anemia, leukositosis, netrofilia, hipereosinofilia, trombositosis dan hiperkoagulabilitas. Belum ada data/penelitian di Indonesia mengenai sindrom paraneoplastik hematologi pada kanker paru. Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang analitik yang dilakukan di poliklinik onkologi toraks RSRRN Persahabatan dalam periode September 2018 hingga Februari 2019 terhadap semua pasien kanker paru kasus baru yang sudah tegak diagnosis serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang diambil secara total sampling. Hasil: Subjek memiliki rerata usia 56,7+11,4 tahun. Sebagian besar laki-laki, berstatus gizi normal (42,6%), memiliki riwayat merokok (75%) dan IB sedang (52%). Jenis histologi tersering KSS (39,7%) dengan stage lanjut (83,8%) dan PS <2 (94,1%). Proporsi anemia paraneoplastik adalah 40,4% yang berhubungan dengan status gizi kurang dan tersering berjenis normositik normokromik. Proporsi leukositosis paraneoplastik adalah 39% yang berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki dan riwayat merokok. Proporsi netrofilia paraneoplastik 51,5% yang berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki, riwayat merokok dan jenis histologi KSS. Proporsi hipereosinofilia dan trombositosis paraneoplastik masing-masing adalah 2,9% dan 18,4%. Proporsi hiperkoagulabilitas paraneoplastik adalah 91,2% yang didominasi peningkatan kadar D-dimer. Kesimpulan: Sindrom paraneoplastik hematologi yang paling sering ditemukan pada pasien kanker paru adalah hiperkoagulabilitas, netrofilia dan anemia. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menilai hubungan sindrom paraneoplastik hematologi dengan prognosis pasien. ......Background: Lung cancer could have signs and symptoms which was caused by paraneoplastic syndromes. One of those paraneoplastic syndromes involves hematologic system consisting of anemia, leukocytosis, neutrophilia, hypereosinophilia, thrombocytosis and hypercoagulability. There has been no data/research in Indonesia regarding hematologic paraneoplastic syndrome in lung cancer. Methods: This study was a cross-sectional analytic study conducted at the thoracic oncology clinic in Persahabatan Hospital during September 2018 to February 2019 for all patients with new case of lung cancer whose diagnosis established and fulfilled the inclusion and exclusion criteria taken in total sampling. Results: Subjects had a mean age of 56.7+11.4 years. Most of them were male, had normal nutritional status (42.6%), had a smoking history (75%) and moderate IB (52%). The most common type of histology was SCC/squamous cell carcinoma (39.7%) with advanced stage (83.8%) and PS <2 (94.1%). The proportion of paraneoplastic anemia was 40.4% which was associated with poor nutritional status and commonly normocytic normochromic. The proportion of paraneoplastic leukocytosis was 39%, associated with male sex and smoking history. The proportion of paraneoplastic neutrophilia was 51.5%, related to male sex, smoking history and SCC histology type. The proportions of paraneoplastic hypereosinophilia and thrombocytosis were 2.9% and 18.4%, respectively. The proportion of paraneoplastic hypercoagulability was 91.2% and dominated by the increase of D-dimer level. Conclusion: The most common hematologic paraneoplastic syndrome found in lung cancer patients were hypercoagulability, netrophilia and anemia. Further research is needed to assess the correlation of hematologic paraneoplastic syndrome and the prognosis of the patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shaogi Syam
Abstrak :
Latar belakang: Panduan Global Initiative of Chronic Lung Disease (GOLD) 2017 memisahkan derajat spirometrik (GOLD 1234) dari grup ABCD untuk mempertajam diagnosis, prognosis dan pengobatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Hipereaktivitas bronkus (HBR) merupakan tanda khas penyakit asma yang juga ditemukan pada PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi HBR pada pasien PPOK stabil menurut pengelompokkan GOLD 2017. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada 80 subjek PPOK stabil yang berkunjung ke poliklinik asma PPOK RS Persahabatan sejak bulan Mei 2018 hingga Maret 2019. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan pemeriksaan spirometri (VEP1/KVP <0.7) pasca uji bronkodilator. Hipereaktivitas bronkus dikonfirmasi menggunakan PC20 (Provocative Concentration 20) pada uji provokasi bronkus menggunakan zat metakolin <4 mg/ml (VEP1 ≥ 20%) yang dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil: Prevalens HBR pada PPOK dalam penelitian ini sebesar 73,7% (59/80) dengan proporsi 69,7% (46/66) subjek laki-laki dan 92,9% (13/14) subjek perempuan. Hipereaktivitas bronkus ditemukan paling banyak pada grup PPOK B dan D (27,1% dan 33,9%). Hipereaktivitas bronkus derajat ringan ditemukan paling banyak di grup A dan D (11,25% dan 17,5%) sementara HBR derajat sedang hingga berat ditemukan pada grup B (11,25%). Derajat keterbatasan aliran udara ditemukan paling banyak pada GOLD 2 dan 3 (40,7% dan 44,1%). Hipereaktivitas bronkus derajat ringan ditemukan pada GOLD 2 (20%) sementara HBR derajat sedang hingga berat ditemukan sama pada GOLD 2 dan 3 (16,25%). ......Background: The Global Initiative of Chronic Lung Disease (GOLD) 2017 has separated spirometric grades (GOLD 1234) from the symptom groups (ABCD) to improve diagnosis, outcome and therapy for chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patients. Bronchial hyperreactivity (BHR) is thought to be a hallmark of asthma, yet it has been observed to occur in COPD.This study was to identify BHR in stable COPD patients according to GOLD 2017 grouping. Methods: This cross-sectional study observed 80 stable COPD patients treated at asthma-COPD clinics in Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between May 2018 and March 2019. Diagnosis of COPD was done by spirometry (post-bronchodilator test FEV1/FVC<0.7). Bronchial hyperreactivity was confirmed by PC20 (Provocative Concentration 20), a bronchial challenge test using methacoline <4 mg/mL (FEV1 drop ≥20%). These were performed in all subjects within the inclusion criteria. Results: Prevalence of BHR in COPD was 73.7% (59/80), wherein 69.7% (46/66) males and 92.9% (13/14) females were BHR in COPD. Bronchial hyperreactivity was found mostly in Group B and D (27.1% and 33.9, respectively). Mild BHR was found mostly in Group A and D (11.25% and 17.5%, respectively) while moderate to severe BHR were found in Group B (11.25%). Airflow limitation was found mostly in GOLD 2 and 3 (40.7% and 44.1%, respectively). Mild BHR was mostly found in GOLD 2 (20.0%) while moderate to severe BHR were equally found in GOLD 2 and 3 (16.25%, both). Conclusion: Prevalence of BHR in stable COPD patients was 73.7% and mild BHR was common in stable COPD.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfadillatul Zannah
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Hubungan rokok dengan kerusakan paru merupakan bagian dari proses inflamasi, peningkatan stres oksidatif dan peningkatan protease. Banyak proses ini dimodulasi oleh vitamin D. Data terkini menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D memiliki kaitan dengan gangguan pernapasan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai vitamin D laki-laki perokok dan laki-laki bukan perokok di Indonesia serta nilai CO ekshalasinya. Metode: Penelitian potong lintang yang dilaksanakan pada Agustus 2017 dilakukan pada subjek laki-laki di kantor pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Jumlah sampel sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 orang perokok dan 30 orang bukan perokok dipilih secara consecutive sampling. Wawancara dilakukan untuk mengisi kuesioner data dasar, kuesioner Fagerstrom, skor pajanan sinar matahari dan asupan gizi. Dilakukan pengukuran CO ekshalasi dengan menggunakan alat pengukur CO portable dan pengambilan darah untuk pemeriksaan vitamin D. Hasil: Penelitian ini mendapatkan hasil sebagian besar peserta (90%) mengalami defisiensi vitamin D. Rerata nilai vitamin D pada kelompok perokok lebih rendah dibandingkan kelompok bukan perokok (15,21±3,15 ng/ml vs 16,9±2,9 ng/ml, p=0,029). Rerata kadar CO ekshalasi lebih tinggi pada kelompok perokok dibandingkan kelompok bukan perokok (17,3±12,54 ppm vs 5,4±2,51 ppm, p=0,000). Perokok lebih banyak mengalami keluhan respirasi dahak/reak dibandingkan bukan perokok (43,3% vs 13,3%, p=0,022). Peserta perokok lebih banyak mengalami dada terasa berat dibandingkan bukan perokok (10% vs 2%, p=0,024). Kesimpulan: Sebagian besar peserta mengalami defisiensi vitamin D. Nilai vitamin D pada perokok lebih rendah dibandingkan bukan perokok. Nilai CO ekshalasi perokok lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan perokok. Peserta perokok lebih banyak mengalami keluhan respirasi dahak/reak dan kehabisan napas dibandingkan bukan perokok.
ABSTRACT<>br> Introduction: Lung destructionis mediated in part through inflammation, oxidativestress and increased proteases. Many of these processes are modulated by vitamin D. Recent data suggest vitamin D deficiency associated with respiratory diseases. This study aims to compare vitamin D serum concentration and exhaled air CO level among male smokers and non smokers. Methods: This study used cross sectional method conducted on Agustus 2017. A total subject consist of 30 smokers and 30 non smokers selected based on consecutive sampling. Interview was done to fill out question about sociodemografic and smoking habit, Fagerstrom test for nicotine dependence, vitamin D intake, sun exposure score, measurement of serum vitamin D concentration using CLIA method and breath CO measurement using portable CO analyzer ((piCO+cSmokerlyzer Bedfont). Results: Serum vitamin D concentration were found to be deficient in 54 subject (90%) and none were in the standard normal range. Average vitamin D concentration in smokers were lower compared to non smokers (15,21 ± 3,15 ng/ml vs 16,9 ± 2,9 ng/ml, p=0,029). Average exhaled air CO levels were 17,3 ± 12,54 ppm in smokers, significantly higher compared to non smokers with level of exhaled air CO were 5,4±2,51 ppm (p=0,000). Respiratory simptoms (sputum) in smokers were frequent compared to non smokers (43,3% vs 13,3%, p=0,022). Chest tightness were frequent in smokers compared to non smokers (10% vs 2%, 0,024). Conclusion: Serum vitamin D concentration in smokers were lower compared to non smokers. Exhaled air CO levels in smokers is higher than non smokers.Respiratory simptoms (sputum and chest tightness) in smokers were frequent compared to non smokers.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Enita Mayasari
Abstrak :
Latar belakang: Meningkatnya insidens kesakitan dan kematian akibat keganasan alternatif terapi dengan kemoterapi. Rejimen kemoterapi menggunakan obat sitotoksik yang mempunyai batas terapi sangat sempit sehingga memberi efek samping lebih besar dibandingkan manfaat dan angka harapan hidup. Kedua hal ini terjadi pada pasien KPKBSK jenis KSS dan adenokarsinoma EGFR wild type. Metode: Desain penelitian ini dilakukan dengan metode Survey retrospektif dan studi analitik terhadap faktor yang mempengaruhi prognosis. Data diambil dari Rekam Medis RSUP Persahabatan dengan total sampling pada periode 2011 sampai 2016. Hasil: Sampel penelitian teridiri dari 30 subjek kelompok KSS dan 30 subjek kelompok adenokarsinoma dengan karakteristik subjek laki-laki 86,7% dan subjek perempuan 13,3% dengan usia (median 57, range 36-66). Mendapatkan median TTP pada kelompok KSS yaitu 150 Hari (IK 95% 123,401-176,599) dan adenokarsinoma memiliki TTP 150 Hari (IK 95% 134,818-165,182).Mendapatkan KSS memiliki median PFS 150 Hari (IK 95% 99,790-200,210) dan adenokarsinoma memiliki PFS 150 Hari (IK 95% 121,597-178,403). Mendapatkan median KSS memiliki median OS 330 Hari (IK 95% 265,558-349,412) dan adenokarsinoma memiliki OS 341 Hari (IK 95% 227,930-404,070). Subjek dengan one year survival rate pada kedua kelompok sama banyak yaitu 47%. Kejadian anemia terbanyak yaitu grade 2 pada kelompok KSS sebanyak 8 subjek dan kelompok adenokarsinoma EGFR wild type sebanyak 5 subjek. Kesimpulan:Perbandingan Efikasi dan toksisitas hematologi kemoterapi lini I kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) jenis karsinoma sel skumosa (KSS) dengan adenokarsinoma EGFR wild typetidak mengalami perbedaan yang signifikan. ......Background:The increasing incidence of morbidity and mortality is due to malignancy alternative therapy using chemotherapy. Chemotherapy using cytotoxic agents with narrow margin of safety results in greater side effects and decreasing chance of survival that occur in squamous cell carcinoma and wild-type EGFR adenocarcinoma. Methods: This is a retrospective survey and analytic study of factors that affect prognosis. Data was obtained from patients’ medical records in RSUP Persahabatan from 2011 to 2016. Results: The subjects of this study consist of 30 patients with squamous cell carcinoma (SCC) and 30 patients with wild-type EGFR adenocarcinoma, 86,7% of the subjects are male and 13,3% are female with median age 57 (range 36-66). Median TTP in SCC is 150 days (CI 95% 123,401-176,599) and in adenocarcinoma is 150 days (CI 95% 134,818-165,182). Progression free survival in SCC is 150 days (CI 95% 99,790-200,210) and in adenocarcinoma is 150 days (CI 95% 121,597-178,403). Median OS of SCC is 330 days (CI 95% 265,558-349,412) and adenocarcinoma is 341 days (CI 95% 227,930-404,070). One year survival rate subjects in those two groups are similar, which is 47%. Highest incidence of anemia is grade 2 anemia in 8 subjects with SCC and 5 subjects with adenocarcinoma. Conclusion: First-line chemotherapy has similar efficacy and toxicity both in patient with NSCLC-SCC and NSCLC-wild type EGFR adenocarcinoma.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Filemon Suryawan Handjaja
Abstrak :
Latar Belakang: Sistem pernapasan memiliki sistem yang panjang dan rumit sehingga banyak faktor yang dapat memengaruhi kemampuan bernapas. Beberapa elektrolit yang sering dianggap penting adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2+) dan klorida (Cl-). Selain itu, magnesium (Mg2+) dan fosfat (PO43-) juga penting dalam banyak proses, terutama pada tautan neuromuskular dan sel otot seperti adenosine triphosphate (ATP). Beberapa peneliti menemukan bahwa PO43- memengaruhi kondisi klinis pasien dan keberhasilan penyapihan ventilasi mekanis invasif, meskipun Mg2+ memberikan hasil yang tidak konsisten. Belum ada penelitian atau data mengenai Mg2+ dan PO43- dalam penyapihan ventilasi mekanis invasif di Indonesia hingga saat ini. Metode: Cross sectional dengan total sampling. Sampel darah vena diambil setelah masuk ICU / RICU di Rumah Sakit Umum Persahabatan. Sampel darah diambil hingga mencapai minimal 30 subjek (pilot study). Semua pasien yang ditemukan menggunakan ventilasi mekanis invasif dimasukkan ke dalam penelitian kecuali pasien dengan prosedur yang rumit (contoh: Avian influenza, tuberkulosis resisten obat). Sampel darah diperiksakan Mg2+, fosfat anorganik (Pi) dan tes tambahan lainnya. Kegagalan dalam penyapihan didefinisikan sebagai intubasi ulang dalam 48 jam setelah ekstubasi atau gagal uji pernapasan spontan (SBT). Hasil: Dari 31 subjek yang dievaluasi, ada 3 pasien dengan kegagalan penyapihan. Nilai median Mg2+ 0,5 (0,5-2,6) pada pasien yang berhasil disapih dan 0,6 (0,6-2,7) pada pasien dengan gagal sapih. Nilai rerata Pi adalah 4,21±1,17 pada pasien yang berhasil disapih dan 5,43±0,47 pada pasien yang gagal sapih. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara keberhasilan penyapihan dan karakteristik pasien selain frekuensi nadi dan Ca2+, meskipun faktor perancu masih belum jelas. Nilai Mg2+ yang rendah ditemukan pada 23 subjek, tidak ada nilai Pi yang rendah pada semua subjek, nilai Mg2+ tinggi pada 1 subjek, nilai Pi tinggi pada 11 subjek dan lainnya dalam batas normal. Kesimpulan: Nilai median Mg2+ pada kedua kelompok penyapihan (berhasil dan gagal) berada di bawah batas normal, yaitu 0,5 (0,5-2,6) dan 0,6 (0,6-2,7). Nilai rerata Pi pada kelompok penyapihan yang berhasil adalah 4,21±1,17 (dalam batas normal) dan kelompok penyapihan yang gagal adalah 5,43±0,47 (di atas nilai normal).
Background: History shows that respiratory system has a long and complicated arrangement so that many factors can affect human’s ability to breathe. Some electrolytes often considered as most important are sodium (Na+), potassium (K+), calcium (Ca2+) and chloride (Cl-). Other than that, magnesium (Mg2+) and phosphate (PO43-) are also important in all processes, especially on neuromuscular junction and muscle cells as adenosine triphosphate (ATP). Some researchers have found that PO43- affects patient’s clinical condition and ventilator weaning success, although Mg2+ gave inconsistent results. Until now, there has not been any studies or data about the significance of Mg2+ and PO43- in ventilator weaning in Indonesia. Methods: This study is a cross sectional with total sampling. Vein blood sample is taken after ICU/RICU admittance at Persahabatan Hospital. Blood sample is taken consecutively until it reaches a minimum of 30 subjects (pilot study). All patients found with mechanical ventilation is included except for patients with complicated procedure (e.g. Avian influenza, Multidrug-resistant Tuberculosis). Blood sample is analyzed for Mg2+, inorganic phosphate (Pi) and other additional tests. Failure in weaning is defined as reintubation in 48 hours after extubation or failure in spontaneous breathing trial (SBT). Results: Of 31 subjects evaluated, there are 3 patients with weaning failure. Median Mg2+ value is 0,5 (0,5-2,6) in successfully weaned patients and 0,6 (0,6-2,7) in patients with weaning failure, lower than its normal value. Mean Pi value is 4,21±1,17 (normal value) in successfully weaned patients and 5,43±0,47 (high value) in patients with weaning failure. Further analysis found that no significant relation is found between weaning and patient’s characteristics other than heart rate and Ca2+, although it is not clear if there are soma biases which can affect these results. Low Mg2+ value is found in 23 subjects, no low Pi value found in all subjects, high Mg2+ value in 1 subject, high Pi value in 11 subjects and the rest is in normal range. Conclusion: Median Mg2+ value in both weaning groups (successful and failed) are below the normal limit, 0,5 (0,5-2,6) and 0,6 (0,6-2,7). Mean Pi value in the successful weaning group is 4,21 ± 1,17 (within normal range) and the value in failed weaning group is 5,43 ± 0,47 (above normal range).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Hermansyah
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit infeksi paru menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk mikosis paru yang disebabkan oleh infeksi, kolonisasi jamur maupun reaksi hipersensitif terhadap jamur. Bronkoskopi sebagai alat diagnostik untuk melihat gambaran lesi endobronkial dan mengambil bahan klinis seperti bronchoalveolar lavage BAL dan bilasan bronkus. Pemeriksaan biakan jamur dari bahan klinis bronkoskopi dapat membantu penegakan diagnosis mikosis paru.Metode: Studi deskriptif potong lintang pada pasien bronkoskopi yang dilakukan pemeriksaan biakan jamur dari BAL dan bilasan bronkus. Jumlah sampel adalah total sampling sejak Januari 2016 sampai dengan Desember 2017. Penelitian dilakukan di SMF Paru RSUP Persahabatan.Hasil: Bahan klinis dari bronkoskopi pada penelitian ini berupa bilasan bronkus sebanyak 67 buah dan BAL sebanyak 21 buah. Dari bahan klinis didapatkan hasil biakan tumbuh jamur sebanyak 35 buah dan tidak tumbuh jamur sebanyak 53 buah.Jenis jamur yang tumbuh adalahCandida sp. dengan spesies terbanyak Candida albicans sebanyak 30 isolat, Candida parapsilosis sebanyak 3 isolat, serta spesies Candida glabratadanCandida tropicalis masing-masing sebanyak 1 isolat.Kesimpulan: Bahan bronkoskopi BAL dan bilasan bronkus dapat digunakan untuk pemeriksaan biakan jamur.Kata Kunci: biakan jamur, bronkoskopi, bronchoalveolar lavage, bilasan bronkus.
Background: ABSTRACT
Lung infection diseases become health main problem in Indonesia, including lung mycosis caused by infection, fungal colonization or hypersensitivity reaction against the fungal. Bronchoscopy is used as diagnostic tool to see endobronchial lesion and to gain clinical specimens such as bronchoalveolar lavage BAL and bronchial washing. Fungal culture from clinical specimen of bronchoscopy can help diagnosing lung mycosis.Method: Cross sectional descriptive study of bronchoscopy patients with fungal culture assay from BAL and bronchial washing. Total sample is total sampling from January 2016 to December 2017. The study is in Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Persahabatan Hospital, JakartaResult: Clinical specimens from bronchoscopy in this study are 67 samples of bronchial washing and 21 samples of BAL. There are positive fungal growth in 35 samples and no fungal growth in 53 samples.All growing fungal come from Candida sp. with most species come from Candida albicans 30 isolates, followed by Candida parapsilosis 3 isolates, Candida glabrata and Candida tropicalis each one 1 isolate.Conclusion: Bronchoscopy samples of BAL and bronchial washing can be used forfungal culture assay examination.
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Prawira Putra
Abstrak :
Latar Belakang: Bronkoskopi adalah prosedur yang umum digunakan sebagai tindakan membantu penegakkan diagnosis kasus tumor paru. Hipoksemia disebut sebagai salah satu komplikasi yang sering terjadi pada bronkoskopi diagnostik oleh karena itu diperlukan data untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dan dampak klinis yang ditimbulkan. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien tumor paru yang menjalani bronkoskopi diagnostik dan dilakukan selamaJanuari-April 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Respirasi Nasional (RSUPRRN) Persahabatan Jakarta. Total 195 pasien diikutsertakan dan dilakukan pengamatan terhadap nilai saturasi oksigen pada tahap premedikasi, durante, pascatindakan. Hipoksemia adalah subjek dengan saturasi oksigen<90% dan diamati berbagai faktor yang dianggap berpengaruh dan dampak klinis yang terjadi. Hasil:Jumlah kejadian hipoksemia pada bronkoskopi diagnostik sebanyak 40 kasus (20,5%). Waktu kejadian hipoksemia paling banyak pada tahap durante tindakan (20%) dengan median lama hipoksemia berlangsung 15 detik. Proporsi waktu muncul hipoksemia terjadi paling banyak pada 10 menit pertama tindakan (11,3%). Faktor demografi yang bermakna terhadap kejadian hipoksemia adalah jenis kelamin (p=0,04) dan riwayat merokok (p=0,005). Faktor yang dianggap berpengaruh dan memiliki hubungan bermakna dengan kejadian hipoksemia antara lain lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi (p<0,05). Total 5 pasien dirawat pascatindakan di ruang intensif dan tidak ada kasus kematian yang dilaporkan. Kesimpulan: Penelitian ini mendapatkan jenis kelamin, riwayat merokok, lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian hipoksemia pada tindakan bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru. Hipoksemia yang muncul pada bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru tidak menimbulkan dampak klinis yang fatal seperti kematian pada penelitian ini. ......Background: Bronchoscopy is a commonly medical procedure perfomed for diagnose lung tumor cases. Hypoxemia often appear as complication related diagnostic bronchoscopy. Therefore, there is a need of research data to knowing related factors and clinical consequences may occur ahead. Methods:Design of this study is cross sectional with suspicion lung malignancy population who undergoing diagnostic bronchoscopy from January until april 2019 at National Respiratory Center Persahabatan General Hospital Jakarta. Total 195 consecutive patients participated dan observed for oxygen saturation in premedication, during and post-bronchoscopy. Hypoxemia was defined as an desaturation <90% and reviewed several related factor and clinical consequences may appear Results:Total hypoxemia events on diagnostic bronchoscopy was 40 cases (20,5%). The most frequent occurrence hypoxemia time is during bronchoscopy (20%) with median duration of hypoxemia is 15 seconds. The proportion of time appears hypoxemia is commonly in first 10 minutes bronchoscopy (11,3%). Demographic factors like gender and smoking history are statistically significant with hypoxemia events (p=0,04 & p=0,005). Other factors may have relation dan statiscally significant are duration of procedure and procedure with complication (p<0,05). Total 5 cases observed in intensive care unit after procedure and no death event have reported in this study Conclusion:This study suggested gender, smoking history, duration of procedure and procedure with complication were related factors with hypoxemic events in lung tumor cases undergoing diagnostic bronchoscopy. Hypoxemia related diagnostic bronchoscopy in this study was not rise into fatal event.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riyadi Sutarto
Abstrak :
Latar belakang : Efek potensial EGFR-TKI terhadap fungsi paru belum diinvestigasi secara mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek pemberian EGFR TKI terhadap fungsi paru terutama nilai DLCO. Metode : Penelitian berlangsung secara prospektif dari September 2018 hingga Juni 2019 di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Terdapat 20 subjek adenokarsinoma paru dengan mutasi tunggal di exon 19/21 yang dapat menyelesaikan pemeriksaan DLCO baik sebelum mendapat EGFR TKI dan setelah tiga bulan terapi. Hasil : Penelitian ini mendapatkan peningkatan bermakna nilai rerata KVP prediksi dari 60,6% menjadi 68,25% (p=0,03), nilai rerata VEP1 Prediksi dari 59,7% menjadi 67,05% (p=0,036), nilai rerata DLCO dari 11,55 ml/menit/mmHg menjadi 13,72 ml/menit/mmHg (p=0,004) dan DLCO prediksi dari 53,4% menjadi 63,85% (p=0,03). Peningkatan nilai rerata DLCO prediksi paling besar pada kelompok dengan hasil RECIST partial response yaitu sebesar 16,43% (p=0,056). Kesimpulan : Terapi EGFR TKI selama tiga bulan pada subyek adenokarsinoma paru dengan mutasi tunggal exon19/21 dapat meningkatkan fungsi paru secara bermakna baik nilai KVP prediksi, VEP1 prediksi, DLCO, dan DLCO prediksi.
Background : The epidermal growth factor receptor (EGFR) tyrosine kinase inhibitors (TKIs) are drugs of choice in non-small cell lung cancer possessing EGFR mutation. Its effect on the lung function is not well understood. This study aims to assess lung function using the lung diffusion capacity (DLCO) test in lung cancer patients treated with EGFR-TKIs. ming Method : This prospective study included lung cancer patients treated with EGFR-TKIs at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia, between September 2018 andGrowt June 2019. The study recruited 20 lung adenocarcinoma patients presented with a single mutation at exon 19 or 21 as subjects in the process. Their DLCO was examined before and three months after receiving EGFR-TKI. Subjects were grouped according to the Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST) assessment. Results: There was an increase in predicted FVC from 60.60% to 68.25% (p=0.03), predicted FEV1 from 59.7% to 67.05% (p=0.036%), DLCO from 11.5 mL/minute/mmHg to 13.72 mL/minute/mmHg (p=0.004), and predicted DLCO from 53.4% to 63.85% (p=0.03) during the therapy. The largest increase of predicted DLCO was shown in RECIST group of partial response (16.43%, p=0.056) Conclusion: This study found an improvement in lung function (predicted FVC, predicted FEV1, DLCO, and predicted DLCO) among lung adenocarcinoma subjects exhibiting single mutation at exon 19 or 21 after three months of EGFR-TKIs treatment.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>