Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Klarinthia Ratri
"Temuan sebelumnya menemukan hasil yang konsisten mengenai hubungan positif antara religiusitas dan kepuasan pernikahan (Ahmadi & Hossein-abadi, 2009). Namun, perkawinan beda agama diharapkan bisa mengubah jalannya hubungan ini. Masing-masing tingkat religiusitas menghasilkan konflik, bertindak sebagai penekan untuk pernikahan. Karena itu, ini Penelitian dilakukan untuk menguji ulang hubungan antara religiusitas dan perkawinan kepuasan, dan untuk menguji peran Copic Dukungan Dyadic sebagai strategi pasangan dalam menghadapi tantangan dalam pernikahan antaragama (moderator). Kuisioner diberikan kepada 65 peserta dalam pernikahan beda agama dengan usia berkisar 26-64 tahun. Data dikumpulkan dengan menggunakan Indeks Kepuasan Pasangan, Inventarisasi Coping Dyadic, dan Kuisioner Skala Sentralitas Religiusitas. Analisis data dilakukan dengan pearson korelasi, analisis regresi, dan Annova satu arah dalam SPSSS versi 23.
Hasil tidak menunjukkan hubungan antara religiusitas dan kepuasan pernikahan (r = -0,154, p> 0,05), a hubungan positif yang signifikan antara coping diad yang mendukung dan perkawinan kepuasan (r = 0,601, p <0,05), dan tidak ada efek moderasi dari coping diad suportif religiusitas dan kepuasan pernikahan (β = 0,056; p> 0,05). Kesimpulannya, mendukung mengatasi diad terbukti mampu melemahkan, tetapi tidak memoderasi hubungan antara religiusitas dan kepuasan pernikahan pada individu dalam pernikahan beda agama.

Previous findings found consistent results regarding a positive relationship between religiosity and marital satisfaction (Ahmadi & Hossein-abadi, 2009). However, interfaith marriages are expected to change the course of this relationship. Each level of religiosity produces conflict, acts as a suppressor for marriage. Therefore, this study was conducted to reexamine the relationship between religiosity and marital satisfaction, and to examine the role of Copic Dyadic Support as a couple's strategy in facing challenges in interfaith marriages (moderators). The questionnaire was given to 65 participants in interfaith marriages with ages ranging from 26-64 years. Data were collected using the Pair Satisfaction Index, Dyadic Coping Inventory, and the Religiosity Central Scale Questionnaire. Data analysis was performed with Pearson correlation, regression analysis, and one-way Annova in SPSSS version 23.
The results did not show a relationship between religiosity and marital satisfaction (r = -0.154, p> 0.05), a significant positive relationship between coping dyads support and marriage satisfaction (r = 0.601, p <0.05), and there was no moderating effect of coping with supportive religiosity and marital satisfaction (β = 0.056; p> 0.05). In conclusion, supporting overcoming dyads can weaken, but not moderate the relationship between religiosity and marriage satisfaction for individuals in interfaith marriages.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Putri
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran parentification terhadap hardiness pada mahasiswa bidikmisi di Indonesia. Parentification dikur dengan Parentification Inventory (Hooper, 2009) dan hardiness diukur dengan Dispositional Resilience Scale-15 (Bartone, 2007). Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 482 mahasiswa yang berasal dari Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia, terdiri dari 351 perempuan dan 131 laki-laki dengan rentang usia 18-24 tahun (M = 20,02, SD = 1,376). Data yang diperoleh dari seluruh partisipan dianalisis menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, parentification berperan secara signifikan dan positif terhadap hardiness (𝛽 = 0,211, p < 0,01). Untuk tipe parentification, emotional parentification berperan lebih besar terhadap hardiness (𝛽 = 0,393, p < 0,01), dibandingkan dengan instrumental parentification (𝛽 = -0,161, p < 0,05).

ABSTRACT
This study aims to examine the role of parentification toward hardiness among college students of bidikmisi scholarship in Indonesia. Parentification was measured using Parentification Inventory (Hooper, 2009) and hardiness was measured using Dispositional Resilience Scale-15 (Bartone, 2007). Participants involved in this study were 482 students from State Universities in Indonesia, consisted of 351 women and 131 men with an age range of 18-24 years (M = 20,02, SD = 1,376). Data obtained from all participants were analyzed using regression analysis. The results indicated that in general, parentification has a significant and positive role towards hardiness (𝛽 = 0,211, p < 0,01). For the type of parentification, emotional parentification has a greater role towards hardiness (𝛽 = 0.393, p <0.01), compared to instrumental parentification (𝛽 = -0,161, p < 0,05)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aushi Ariana Putri
"Di akhir masa remaja, individu sering mengalami krisis identitas. Peran keluarga sangat penting dalam menjaga kestabilan pembentukan identitas remaja tersebut. Peneliti dalam penelitian korelasional ini ingin melihat keberfungsian keluarga sebagai prediktor identitas remaja akhir. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah McMaster Model of Family Functioning MMFF dan identitas Erikson. MMFF memiliki 6 dimensi di bawahnya yaitu dimensi penyelesaian masalah, komunikasi, peran dalam keluarga, respon afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku.
Peneliti juga ingin melihat dimensi-dimensi MMFF yang memberikan kontribusi dalam memprediksi identitas remaja akhir. Pengukuran variabel MMFF menggunakan alat ukur Family Assesment Device FAD skala general functioning. Pengukuran variabel identitas remaja akhir menggunakan Erikson Psychosocial Stage Inventory EPSI skala identity. Partisipan penelitian berjumlah 496 remaja akhir dengan rentang usia 18 hingga 22 tahun. Pengujian hipotesis dilakukan dengan simple dan multiple regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 18.3 identitas remaja akhir dapat diprediksi oleh keberfungsian keluargnya R=.429.

At the end of adolescents 39 period, a person eventually experiencing an identity crisis. Family 39 s role is very important to keep the stability of adolescents 39 identity formation. Researchers as in this correlation study want to see family functioning as a predictor of late adolescents 39 identity. Theories used in this research are McMaster Model of Family Functioning MMFF theory and Erikson 39 s identity theory. Six dimensions under MMFF are problem solving, communication, family role, effective response, affective involvement, and behavior control.
The researcher also wants to see the MMFF 39 s dimensions that contribute to predicting late adolescents 39 identity. Measurement of MMFF was using a general functioning scale of Family Assessment Device FAD . Measurement of late adolescents 39 identity was using identity scale of Erikson Psychosocial Stage Inventory EPSI. The participants in this study were 496 late adolescents with the range of the age between 18 and 22 years. The hypothesis testing used simple and multiple regression. The results showed that the family functioning can predict 18.3 late adolescents 39 identity R .429.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifah Amatulloh
"Konflik yang terjadi antar orang tua terus menerus membuat anak merasa tidak nyaman. Pengalaman melihat konflik antar orang tua menimbulkan pemikiran pada anak usia dewasa yang muncul bahwa pernikahan identik dengan perasaan negatif. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara konflik orang tua dan sikap terhadap pernikahan pada masa dewasa yang muncul di Jakarta. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 172 orang, berusia 18-25 tahun, berdomisili di Jakarta, dan saat ini tinggal bersama orang tua. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Child Perseption of Interparental Conflict (CPIC) yang dikembangkan oleh Grych dan Fincham (1992) untuk mengukur pengetahuan anak tentang konflik yang terjadi antara orang tua, dan Marital Attitude Scale (MAS) yang dikembangkan oleh Braaten dan Rosén (1998) untuk mengukur sikap seseorang terhadap pernikahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik antara orang tua memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan sikap terhadap pernikahan pada masa dewasa baru di Jakarta. Artinya semakin tinggi konflik antara kedua orang tua maka semakin rendah sikap (negatif) terhadap perkawinan pada masa dewasa baru di Jakarta.

Conflicts that occur between parents continuously make children feel uncomfortable. The experience of seeing conflicts between parents gives rise to thoughts in adult children who appear that marriage is identical with negative feelings. This study aims to examine the relationship between parental conflicts and attitudes towards marriage in adulthood that arise in Jakarta. The number of participants in this study were 172 people, aged 18-25 years, domiciled in Jakarta, and currently living with their parents. The measuring instrument used in this study is the Child Perseption of Interparental Conflict (CPIC) developed by Grych and Fincham (1992) to measure children's knowledge about conflicts that occur between parents, and the Marital Attitude Scale (MAS) developed by Braaten and Rosén. (1998) to measure a person's attitude towards marriage. The results showed that conflict between parents has a significant negative relationship with attitudes towards marriage during new adulthood in Jakarta. This means that the higher the conflict between the two parents, the lower the (negative) attitude towards marriage at new adulthood in Jakarta."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naila Arrania
"Pada tahun pertama perkuliahan, mahasiswa baru dituntut untuk beradaptasi dengan berbagai tantangan akademis, sosial, dan emosional baru. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran resiliensi dan masing-masing dimensinya, yakni kompetensi personal serta penerimaan diri dan hidup, dalam memprediksi penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa baru. Studi kuantitatif dilakukan terhadap mahasiswa baru dalam rentang usia 18-20 tahun dari berbagai universitas di Indonesia (N = 130). Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa dimensi kompetensi personal serta dimensi penerimaan diri dan hidup dapat memprediksi penyesuaian diri di perguruan tinggi, dengan dimensi penerimaan diri dan hidup sebagai prediktor yang paling signifikan atas penyesuaian diri di perguruan tinggi. Institusi pendidikan perguruan tinggi dapat mempertimbangkan aktivitas yang dapat membangun resiliensi pada individu untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa baru.

During the first year of college, college freshmen must adapt to many novel academic, social, and emotional challenges. The goal of this study is to examine the role of resilience and its dimensions, which are personal competence and acceptance of self and life, as a predictor for college adjustment among college freshmen. A quantitative study was conducted on college freshmen aged between 18-20 years old across universities in Indonesia (N = 130). Based on our findings, personal competence and acceptance of self and life simultaneously and significantly predicted college adjustment, with acceptance of self and life as the most significant predictor of college adjustment. Higher education institutions need to consider developing certain activities that can build resilience in individuals to improve college adjustment among college freshmen.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Anisa Maharani
"Hubungan dengan teman sebaya merupakan aspek penting dalam perkembangan remaja. Sejak adanya pandemi COVID-19, keterbatasan interaksi sosial secara langsung menyebabkan menjalin pertemanan bagi remaja terasa melelahkan. Salah satu faktor kunci dalam hubungan teman sebaya adalah relasi anak dengan orang tuanya. Relasi orang tua-anak yang positif dinilai dapat membantu remaja dalam menghadapi situasi pandemi dan meningkatkan kualitas hubungan teman sebaya. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan relasi orang tua-anak dalam memprediksi kualitas hubungan teman sebaya pada remaja madya di masa pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan tipe studi cross-sectional. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 651 partisipan dan merupakan remaja madya berusia 15-18 tahun (M = 16,33, SD = 0,74), berjenis kelamin perempuan (n = 390) dan laki-laki yang berdomisili di Indonesia. Pengambilan data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui penyebaran kuesioner Parent-Adolescent Relationship Scale dan Peer Friendship Scale. Hasil analisis statistik regresi linear sederhana menunjukkan bahwa relasi orang tua-anak secara positif signifikan mampu memprediksi kualitas hubungan teman sebaya (p < 0,01) dengan nilai  = 0,41. Disarankan perlunya membangun iklim keluarga yang positif melalui penguatan relasi orang tua-anak untuk meningkatkan kualitas hubungan teman sebaya pada remaja, khususnya pada masa pandemi COVID-19.

Peer relationship is an important aspect of adolescents’ development. Since the COVID-19 pandemic outbreak, the limited social interactions have made friendships for adolescents feel tiring. One of the key factors in peer relationships quality is child’s relationship with their parents. Positive parent-child relationship is considered to be able to help adolescents in dealing with pandemic situations and improve the quality of peer relationship. Therefore, this study aims to investigate the role of parent-child relationship in predicting peer relationship quality among middle adolescents during the COVID-19 pandemic. This research is a correlational study with cross-sectional design and was conducted on 651 participants who are middle adolescents aged 15-18 years (M = 16,33, SD = 0,74), females (n = 390) and males who live in Indonesia. Data was collected using a quantitative approach by distributing questionnaires Parent-Adolescent Relationship Scale and Peer Friendship Scale. The result of the simple linear regression shows that parent-child relationship positively significant predicted peer relationship quality (p < 0,01) with  = 0,41. It is suggested the need to build a positive family climate through strengthening parent-child relationships to improve the quality of peer relationships in adolescent, especially during the COVID-19 pandemic."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurshabrina Adani
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pengalaman parentificationterhadapkemampuan regulasi emosi pada mahasiswaperguruan tinggipenerima Bidikmisi. Pengukuran parentificationmenggunakan Parentification Inventory(Hooper, 2009), sedangkan kemampuan regulasi emosi diukur menggunakan The Brief Version of Difficulties in Emotion Regulation Scaleatau DERS-16 (Bjureberg dkk, 2016). Penelitian ini dilakukan pada 482 partisipan dengan rentang usia 18-25 tahun (M= 20,02, SD= 1,376)dengan jumlah 351 partisipan perempuan dan 131 partisipan laki-laki. Hasil analisis menunjukkan bahwa parentfication(β= 0,162, p<0,05) memiliki pengaruh yangpositif dan signifikan terhadapdisregulasi emosi, sehinggasemakin tinggi parentification yang dialamisemasa kecil dan remajamakasemakin buruk kemampuan regulasi emosi. Selain itu, hasil analisis menunjukkan bahwa dimensi emotional parentification(β= -0,196, p<0,01) dan instrumental parentification(β= 0,166, p<0,05) memiliki kontribusi terhadap kemampuan regulasi emosi

ABSTRACT
This study aim to examine the influence of parentification on theability ofemotional regulation among students of Bidikmisischolarship.The measurement of parentification is using the Parentification Inventory (Hooper, 2009), and the measurement of the ability in emotional regulation is using The Brief Version of Difficulties in Emotional Regulation Scaleor DERS-16 (Bjureberg, 2016). Resultindicate that parentification (β= 0,162, p<0,05) positively influence the dysregulation in emotion, which means the higher parentification, the worse the ability in emotional regulation. Furthermore, result indicate that both emotional parentification (β = -0,196, p<0,01) and instrumental parentification(β= 0,166, p<0,05) have variance in emotional regulation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Puspitasari
"ABSTRAK
Ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan salah satu hambatan dalam
penanganan terhadap individu dengan skizofrenia. Ketidakpatuhan ini dapat meningkatkan
resiko akan kekambuhan sebesar 3,7 kali lebih besar. Tilikan terhadap kondisinya dan sikap
terhadap pengobatan merupakan dua variabel yang konsisten ditemukan berpengaruh
terhadap kepatuhan pada individu dengan skizofrenia. Studi literatur menunjukkan terapi
kepatuhan merupakan salah satu intervensi berlandaskan motivational interviewing dan
pendekatan kognitif yang efektif dalam meningkatkan sikap dan tilikan pada individu dengan
simptom psikotik. Oleh sebab itu, peneliti bermaksud untuk meneliti mengenai efektivitas
terapi kepatuhan dalam meningkatkan tilikan dan sikap terhadap pengobatan pada individu
dengan skizofrenia tahap stabil.
Penelitian ini menggunakan pendekatan field experiment dengan pretest-posttest
experimental design. Dua belas partisipan pria dipilih sesuai dengan karakteristik subjek dan
dibagi ke dalam dua kelompok secara acak. Kelompok eksperimen diberikan terapi
kepatuhan dan kelompok kontrol diberikan konseling non spesifik. Setiap individu mendapat
kesempatan terapi sebanyak 5 sesi yang berlangsung selama 30-60 menit setiap sesi.
Birchwood Insight Scale dan Hogan Drug Attitude Inventory (DAI-30) digunakan untuk
mengukur tilikan dan sikap partisipan, sebelum dan sesudah intervensi.
Enam partisipan yang menerima terapi kepatuhan menunjukkan peningkatan sikap
yang lebih positif terhadap pengobatan. Tilikan terhadap kondisi mereka pada partisipan di
kelompok eksperimen juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Uji beda mann
whitney-u yang dilakukan menunjukkan perbedaan yang signifikan pada sikap terhadap
pengobatan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (u= 3.5, p=0.019, ).
Perbedaan yang signfikan ini juga ditemukan pada variabel tilikan (u=4.0, p=0.22, ).
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terapi kepatuhan dapat meningkatkan tilikan
dan sikap terhadap pengobatan pada individu dengan skizofrenia.

ABSTRACT
Nonadherence with the antipsychotic medication regimen is a common
barrier to the effective treatment for schizophrenia. Nonadherence patients have an average
risk of 3.7 times greater than adherent patients. Insight and Attitude toward medication has
been consistently associated with compliance. Literature has shown that compliance therapy,
a brief intervention based on motivational interviewing and cognitive approach, can lead to
improved attitude toward medication and insight. Objective: this study aimed to examine
effectiveness of compliance therapy to improve insight and attitude toward medication on
schizophrenic inpatients in Indonesia. Methods: A field experiment approach with pretestposttest
experimental design was used. Twelve male schizophrenic inpatient in the same ward
who were in stable phase, were divided into two groups: experimental and control. The
patients in the experimental group received compliance therapy, whereas those in control
group received non-specific counseling. Each treatment consists of 5 sessions lasting 30-60
minutes. Drug Attitude Inventory (DAI-30) was used to measure the patient?s attitude toward
medication. Birchwood Insight Scale was used to assess the patient?s insight. The
measurement is conducted twice, before and after intervention. Mann-whitney u test is used
to compare the differences between two groups. Main Findings: The result revealed that the
patients in the experimental group reported a significantly more positive attitude toward
medication (u=3.5, p=0.019, ) and better insight (u=4.0, p=0.022, ) than
those in the control group. Conclusion: Compliance therapy can improve attitude toward
medication and insight on schizophrenic inpatient.
"
2012
T31490
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rehnianty Octora
"Memiliki keterampilan resolusi konflik yang baik adalah faktor prediktor terhadap kepuasan pernikahan (Karney dan Bradbury, dalam Schneewind & Gerhard, 2002). Keterampilan ini sebaiknya dibentuk sebelum pasangan menikah (Counts, 2003). Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas pelatihan keterampilan resolusi konflik pada pasangan yang sudah berencana menikah (pasangan pranikah). Terdapat dua pasangan yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Setiap pasangan menjalani lima kali sesi sebanyak dua kali seminggu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara kuantitatif, tidak ditemukan perubahan besar pada kedua pasangan. Meskipun demikian, secara kualitatif kedua pasangan menunjukkan perubahan yang cukup baik. Kedua pasangan dapat memahami perbedaan gaya resolusi konflik dalam berpasangan, menerapkan cara berkomunikasi yang baik, mengekspesikan dan mengendalikan perasaan negatif saat berkonflik, dan mendiskusikan penyelesaian konflik menggunakan langkah-langkah resolusi konflik.

Having good conflict resolution skill is a predictor factor of marital satisfaction (Karney dan Bradbury, in Schneewind & Gerhard, 2002). This skill is better be formed before the couple married (Counts, 2003). This study aims to test effectiveness of conflict resolution skill training for premarital couples. There are two premarital couples participated in this study. Each couple follow five sessions conducted twice a week.
Quantitaviely, result of this study showed that there is no great change for both couples. However, qualitatively both couples showed good result. Both couples have understanding about difference of conflict resolution style, practice good communication, express and control negative feeling in conflict, and find a conflict solution through conflict resolution steps.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
T31223
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Felisitas Gemma Setyowati
"Dewasa muda yang tinggal bersama orangtua tunggal lebih rentan terhadap berbagai masalah psikologis, sehingga dibutuhkan kemampuan untuk bertahan dalam situasi ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi keberfungsian keluarga sebagai prediktor resiliensi anak usia dewasa muda yang tinggal bersama orangtua tunggal. Resiliensi sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan bangkit dari kemalangan yang diukur dengan Resilience Scale-14 (RS-14). Keberfungsian keluarga ialah bagaimana setiap anggota keluarga menjalankan fungsinya dengan efektif yang tercermin dalam enam dimensi utama (penyelesaian masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku) dan dimensi tambahan yaitu keberfungsian keluarga umum, dengan pengukuran melalui Family Assessment Device (FAD). Analisis terhadap seluruh dimensi dilakukan agar diperoleh pemahaman yang komprehensif terkait persepsi keberfungsian keluarga orangtua tunggal. Partisipan penelitian yaitu 118 dewasa muda usia 18-29 tahun (28 laki-laki dan 90 perempuan) yang tinggal bersama orangtua tunggal. Metode analisis statistik menggunakan teknik simple regression dan multiple regression membuktikan bahwa keberfungsian keluarga merupakan prediktor resiliensi yang signifikan (21.4%). Dimensi penyelesaian masalah menjadi dimensi yang paling signifikan berkontribusi terhadap resiliensi dewasa muda yang tinggal bersama orangtua tunggal. Maka dalam konteks ini keterampilan penyelesaian masalah penting untuk dikembangkan oleh para dewasa muda, khususnya ketika tinggal bersama orangtua tunggal.

Young adults who live with single-parent are more vulnerable to various psychological problems. Ability to survive in these situations is needed. This study aims to identify family functioning as predictor of psychological resilience in young adult children who live with single parents. Psychological resilience is the ability to adapt and rise from adversity as measured by Resilience Scale-14 (RS-14). Family functioning is how each family member do their function effectively in six main dimensions (problem solving, communication, role, affective responsiveness, affective involvement, and behavior control) and additional dimension named general functioning, measured through Family Assessment Device (FAD). This study analyzed all of dimensions to obtain a comprehensive understanding related to single parent family functioning. The study participants were 118 young adults (18-29 years old, with 28 male and 90 female) who live with single-parent. Statistical analysis method with simple regression and multiple regression techniques were used to prove that family functioning is a significant resilience predictor (21.4%). The results show that problem-solving dimension becomes the most significant dimension that contribute to the resilience of young adults who live with single-parents. In this context, problem-solving skill are important to be developed by young adults, especially when living with single parent."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library