Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anindira Hanifa
"Salah satu hal penting dalam proses Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) adalah mengasistensi dan mendokumentasi data-data identitas komunitas masyarakat adat. Data-data tersebut dibutuhkan pemerintah untuk membuat produk hukum dan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan komunitas masyarakat adat. Komunitas Masyarakat adat juga memiliki hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hak-hak mereka. Strategi yang digunakan untuk mendapatkan hak-haknya adalah melalui penerapan esensialisme strategis, yaitu dengan melakukan penyederhanaan narasi agar lebih mudah dipahami oleh kalangan umum dan menonjolkan keunikan dari identitas komunitasnya. Strategi ini digunakan karena masih banyak pihak yang terjebak memahami masyarakat adat secara kriterial, bukan relasional, di mana terdapat seperangkat ciri yang konstan pada masyarakat adat dari berbagai wilayah. Pengumpulan data identitas budaya adalah proses yang kompleks, sehingga Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) hadir untuk membantu dan mendampingi komunitas masyarakat adat. Pemerintah mensyaratkan agar formulir identitas komunitas masyarakat adat harus terisi lengkap untuk menciptakan produk hukum dan kebijakan yang efektif. BRWA melakukan fetisisasi tradisi agar formulir tersebut dapat terisi penuh, sehingga proses pengusulan masyarakat adat dan pendaftaran wilayah adat dapat berhasil. Penulisan makalah ilmiah ini adalah hasil refleksi dari kegiatan magang di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat luas tentang proses di lapangan saat menjalankan kegiatan PPMHA.

One of the crucial aspects in the process of Recognition and Protection of Indigenous Legal Communities (PPMHA) is assisting and documenting the identity data of indigenous communities. These data are essential for the government to formulate legal products and policies that align with the interests and needs of indigenous communities. Indigenous communities also have the right to participate in decision-making processes that affect their rights. A strategic approach employed to secure their rights is through the application of strategic essentialism, simplifying narratives for broader comprehension, and highlighting the uniqueness of their community identity. This strategy is adopted because there are still many parties who perceive indigenous communities through criteria rather than relational lenses, neglecting the varied and constant characteristics present across various regions. Collecting cultural identity data is a complex process; thus, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) exists to aid and accompany indigenous communities. The government requires that the identity forms of indigenous communities be fully completed to create effective legal products and policies. BRWA engages in the fetishization of traditions to ensure these forms are accurately filled, thereby facilitating successful indigenous community proposals and territory registrations. This scientific paper is a reflection of an internship in Gunung Mas Regency, Central Kalimantan, aimed at providing a deeper understanding to the general public about the on-ground processes involved in implementing PPMHA activities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sofiatul Hardiah
"Tulisan ini membahas ketimpangan multispesies yang terjadi pada tiga lanskap antroposen di Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Sejak perubahannya dari perairan menjadi daratan sedimentasi, ekosistem alam Kampung Laut menghadirkan lanskap mangrove, sawah sedimentasi, dan kebun Nusakambangan. Lanskap-lanskap itu menawarkan daya tarik bagi petani untuk bercocoktanam maupun pelaku industri untuk berinvestasi. Namun, ini berpotensi menjadi magnet ketimpangan sosial-ekologis antarpetani maupun antarspesies non-manusia. Pendekatan antroposen tambal sulam (patchy anthropocene) menawarkan analisis terhadap struktur yang tersemat pada lanskap antroposen dengan fokus pada ketimpangan sosial yang nampak pada aktivitas manusianya. Berbeda dari studi kepingan antroposen yang pernah ada, tulisan ini mengeksplorasi struktur yang tersemat di antara lanskap-lanskap antroposen yang menimbulkan ketimpangan multispesies. Tulisan ini mengumpulkan data melalui teknik pengamatan terlibat, wawancara mendalam, dan dokumentasi visual. Tulisan ini berargumentasi bahwa akumulasi kekerabatan dan mode kapital lingkungan pada pengelolaan lanskap-lanskap antroposen menghasilkan ketimpangan yang multispesies. Kekerabatan dan kapitalisasi spesies adalah struktur lanskap utama yang memberikan akses berupa modal sosial-ekonomi kepada petani tertentu sekaligus memungkinkannya mengontrol petani lainnya, sementara akses itu juga dikontrol oleh konstruksi global tentang krisis iklim. Rezim karbon menempatkan mangrove sebagai lanskap sekaligus spesies non-manusia yang mendominasi mode produksi sekaligus memicu ketimpangan multispesies terhadap lanskap sawah sedimentasi dan kebun Nusakambangan yang berlangsung secara tumpang tindih dalam proses antroposen di Kampung Laut.

This paper discusses the multispecies inequality that occur in three anthropocene landscapes in Kampung Laut, Cilacap Regency, Central Java. Since its transformation from water to sedimentation land, Kampung Laut's natural ecosystems have featured mangrove landscapes, sedimentation rice fields, and Nusakambangan gardens. These landscapes offer an attraction for farmers to cultivate and industry players to invest. However, this has the potential to become a magnet for social-ecological inequality between farmers and non-human species. The patchy Anthropocene approach offers an analysis of the structures embedded in anthropocene landscapes with a focus on the social inequalities evident in human activities. Unlike previous patchy anthropocene studies, this paper explores the embedded structures among anthropocene landscapes which results in multispecies inequalities. It collects data through the techniques of participant observation, in-depth interviews, and visual documentation. This paper argues that the accumulation of kinship and environmental capital modes in the management of anthropocene landscapes results in multispecies inequality. Kinship and species capitalization are the landscape structures that provide access to socio-economic capital to certain farmers while allowing them to control others, while that access is also controlled by global constructions of the climate crisis. The carbon regime positions mangroves as both a landscape and a non-human species that dominates modes of production and triggers multispecies inequalities in the overlaying landscapes of sedimented rice fields and Nusakambangan gardens in the anthropocene of Kampung Laut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danu Kurnianto
"Pendidikan masyarakat adat merupakan salah satu media artikulasi hak-hak masyarakat adat. Beragam persoalan akibat pembangunan di berbagai wilayah adat dianggap meminggirkan posisi masyarakat adat dan mengancam keberlangsungan hidup mereka. Sejumlah organisasi masyarakat sipil selama ini menyuarakan perlunya entitas pendidikan masyarakat adat yang mampu berpihak bagi kepentingan masyarakat adat. Tesis ini, memberikan perhatian pada konsep artikulasi (ekspresi pengucapan untuk menunjukan posisi dan identitas kelompok) yang dapat memiliki efek berbeda ketika digulirkan sebagai suatu program. Penelitian ini menunjukan bahwa artikulasi melalui pendidikan masyarakat adat oleh sejumlah LSM di tingkat nasional, tidak selamanya berkesesuaian dengan program pendidikan masyarakat adat yang mereka garap di tingkat lokal. Penelitian ini juga menunjukan adanya keragaman perbedaan artikulasi yang dilakukan oleh beragam aktor yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat di tingkat nasional, regional dan lokal. Berbagai persoalan penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat di lapangan terkadang bekerja tidak sejalan dengan kepentingan yang diartikulasikan secara nasional oleh banyak LSM. Penelitian etnografis ini dilakukan dengan membandingkan dua bentuk penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat yang dikoordinasikan oleh dua LSM yang berbeda wilayah Banten Kidul, Kabupaten Lebak. Komparasi dilakukan terhadap aktivitas penyelenggaraan Sekolah Adat Birawa dan pendidikan masyarakat adat Kisancang untuk melihat bagaimana artikulasi-artikulasi yang ada mengalami gejolak di lapangan. Berdasarkan persoalan pembangunan yang terjadi di sekitar wilayah adat, didapatkan fakta bahwa pendidikan masyarakat adat menggunakan strategi yang berbeda untuk penyelenggaraan aktivitas mereka. Penulis berpendapat bahwa terdapat dinamika artikulasi dalam penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat dapat dipengaruhi oleh perbedaan strategi dan pendekatan metode yang ada dalam materi-materi pembelajaran di kedua komunitas tersebut.  Perbedaan artikulasi yang ada di tingkat lokal tersebut juga menunjukan adanya perbedaan posisi, dan cara mereka mengidentifikasi diri ketika menghadapi persoalan masing-masing yang bergantung pada konteks sejarah dan lansekap yang berbeda.

Education of indigenous peoples is one of the media for articulating the rights of indigenous peoples. Various problems resulting from development in various traditional areas are considered to marginalize the position of indigenous peoples and threaten their survival. A number of civil society organizations have been voicing the need for indigenous community education entities that are able to side with the interests of indigenous communities. This thesis pays attention to the concept of articulation (pronunciation expressions to show group position and identity) which can have different effects when rolled out as a program. This research shows that the articulation of indigenous peoples' education by a number of NGOs at the national level is not always in accordance with the indigenous peoples' education programs that they work on at the local level. This research also shows the diversity of different articulations carried out by various actors related to the implementation of education for indigenous peoples at the national, regional and local levels. Various problems in implementing education for indigenous peoples in the field sometimes work not in line with the interests articulated nationally by many NGOs. This ethnographic research was carried out by comparing two forms of implementation of indigenous community education coordinated by two different NGOs in the Banten Kidul area, Lebak Regency. A comparison was made of the activities of implementing the Birawa Traditional School and the education of the Kisancang traditional community to see how the existing articulations experienced turmoil in the field. Based on development issues that occur around customary areas, the fact is that indigenous community education uses different strategies to organize their activities. The author believes that there are dynamics of articulation in the implementation of indigenous community education which can be influenced by differences in strategies and method approaches in learning materials in the two communities. The differences in articulation at the local level also show differences in positions and the way they identify themselves when facing their respective problems which depend on different historical contexts and landscapes."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Natalia Ipaenen
"

Dinamika yang dialami keturunan Tionghoa pada setiap wilayahnya memberikan warna tersendiri akan keberagaman dalam memandang identitas etnis. Pergulatan keturunan Tionghoa dalam beradaptasi dari generasi ke generasi di Indonesia juga disertai masalah ekonomi, kewarganegaraan, dan juga konflik sosial budaya. Hal ini juga tidak terlepas dari sejarah dan persoalan sosial politik yang berpengaruh dalam pembentukkan identitas keturunan Tionghoa. Tujuan dari tulisan ini untuk menelusuri lebih jauh terkait bagaimana dinamika yang harus dilalui oleh keturunan Tionghoa di wilayah Maluku Tengah, khususnya yang dialami keluarga saya dalam kasus keturunan Tionghoa-Ambon serta pengaruhnya terhadap identitas yang saat ini mereka tunjukkan. Dinamika yang dialami oleh subjek akan dikaji melalui perspektif life history–atau oral history–dengan meminta informan untuk menjabarkan pengalaman keluarganya dan menceritakan bagaimana interaksi sosial yang terjalin dengan status dan identitas yang saat ini dimilikinya. Hasil temuan dari penelitian ini mencakup proses-proses keturunan Tionghoa-Ambon dalam mengidentifikasikan, menegosiasikan, dan memilih identitas diri seperti apa yang harus mereka tampilkan dalam kehidupan sosial-budaya.


The dynamics experienced by Chinese descendants in each region provide their own unique perspective on ethnic identity. The struggles of Chinese descendants in adapting from generation to generation in Indonesia are accompanied by economic issues, citizenship, and socio-cultural conflicts. This is also influenced by historical and socio-political issues in shaping the identity of Chinese descendants. The purpose of this paper is to delve deeper into how the dynamics experienced by Chinese descendants in the Central Maluku, particularly those experienced by my family in the case of Chinese-Ambonese descent, influence the identity they currently exhibit. The dynamics experienced by the subjects will be examined through a life history perspective—or oral history—by asking informants to describe their family experiences and narrate how social interactions are intertwined with their current status and identity. The findings from this research include the processes of Chinese-Ambonese descendants go through in identifying themselves, negotiating, and choosing the self-identity they should present in socio-cultural life.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincentius Gitiyarko Priyatno
"Tulisan ini membahas titik-titik liminalitas yang dialami pengungsi dalam masa tinggal sementaranya di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Para pengungsi di Cisarua yang sebagian besar berasal dari negara-negara di Timur Tengah terpaksa meninggalkan negara asalnya karena persekusi yang dialami terkait suku, agama, ras dan pandangan politik mereka. Persekusi ini mengancam nyawa mereka sehingga secara mendadak dan terpaksa para pengungsi harus mencari tempat yang lebih aman. Selama masa tinggal di Indonesia ini, pengungsi bersinggungan dengan orang-orang yang berperan sebagai tuan rumah. Pengungsi internasional memiliki keunikan sebab mereka sebenarnya berdaya. Namun, aturan-aturan legal membuat mereka tidak bisa bekerja dan berpenghasilan. Pertalian sosial yang terbentuk menjadi salah satu daya hidup yang membuat mereka bertahan di Indonesia sebagai wilayah transit. Pendekatan konsep tuan rumah dan tamu menawarkan analisis terhadap relasi mikro yang terbentuk meskipun persoalan pengungsi kerap kali dipandang dalam sudut pandang permasalahan migrasi internasional. Karenanya, tulisan ini memberikan perspektif mikro yang kerapkali luput didiskusikan dalam masalah kepengungsian. Tulisan ini berargumentasi bahwa ketakutan-ketakutan yang muncul dalam penolakan anti-imigran, terbukti tidak bisa menjadi sebuah generalisasi. Di Cisarua, terjalin hubungan-hubungan unik bahkan berlanjut antara tuan rumah dan pengungsi sebagai tamu. Dari sisi pengungsi, pertalian sosial yang terbentuk dengan tuan rumah malah menjadi salah satu daya hidup di tengah ketidakpastian masa depan mereka untuk mendapatkan negara tujuan yang bisa memberikan suaka.

This paper discusses the points of liminality experienced by refugees during their temporary stay in Cisarua, Bogor Regency, West Java. The refugees in Cisarua, mostly from countries in the Middle East, are forced to leave their home countries due to persecution based on their ethnicity, religion, race, and political beliefs. This persecution threatens their lives, leading refugees to suddenly and involuntarily seek safer places. During their stay in Indonesia, refugees interact with people who act as hosts. International refugees have a unique status because they are actually capable individuals. However, legal regulations prevent them from working and earning income. The social ties formed become a lifeline that helps them survive in Indonesia as a transit area. The approach using concept of host and guest offers an analysis of the micro-level relationships formed, although refugee issues are often viewed from the perspective of international migration problems. Therefore, this paper provides a micro perspective that is often overlooked in refugee discussions. It argues that fears arising from anti-immigrant rejection cannot be generalized. In Cisarua, unique relationships develop even continue among hosts and refugees as guests. From the refugees' perspective, the social ties formed with hosts become a lifeline amid the uncertainty of their future to reach a destination country that are able to offer asylum."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yus Ferdi Andi Kamser
"Berangkat dari keinginan memahami “banjir” di Jakarta, saya menyusun pertanyaan untuk memahami adaptasi masyarakat terhadap bencana banjir yang melekat dengan identitas nama Kota Jakarta. Sebagai orang yang juga sering menikmati banjir di Jakarta, saya ingin mengkaji bagaimana masyarakat ‘berdamai’ dengan banjir. Saya kemudian merumuskan kerangka berpikir untuk mengeksplorasi pengalaman sensorik masyarakat dalam menghadapi banjir dan bagaimana pengalaman tersebut mempengaruhi persepsi risiko serta strategi adaptasi mereka. Kerangka analisis yang digunakan saya adalah konsep desensitised disaster perception, sebuah konsep yang menggabungkan unsur-unsur affect dan emotion dalam interaksinya di realitas sosial. Konsep ini mengacu pada bagaimana pengalaman berulang terhadap suatu bencana membuat individu atau komunitas menjadi kurang sensitif terhadap risiko tersebut. Metode penelitian saya meliputi observasi, wawancara mendalam, serta pencarian data publikasi di situs pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di Sunter Muara bersikap tenang selayaknya berdamai dengan banjir. Mereka memiliki cara unik dengan menanam keyakinan bahwa ada daerah lain yang lebih rentan terdampak banjir dibandingkan mereka. Mereka menganggap bahwa kondisi mereka tidak terlalu mengancam bermodalkan pemikiran “tinggi air cuma sebetis.” Adaptasi lainnya pun nampak dari pemanfaatan ruang atap rumah sebagai area mengungsi saat terjadinya banjir. Temuan ini menunjukkan bahwa kebiasaan dan pengalaman menghadapi banjir telah membentuk persepsi masyarakat hingga perasaan panik tak lagi membebani persepsi mereka. Penelitian ini memberi gambaran tentang adaptasi masyarakat Jakarta, terutama di daerah dataran rendah, dalam menghidupi situasi banjir. ‘Berdamai’ dengan banjir menunjukkan adaptasi mereka yang tak hanya diwujudkan secara fisik, tapi juga ketubuhan dan pemikiran.

Starting from a desire to understand the “floods” in Jakarta, the author formulated questions to understand the adaptation of the community to the flood disasters that are closely associated with the identity of Jakarta. As someone who also often experiences floods in Jakarta, the author wanted to study how the community ‘makes peace’ with the floods. The author then developed a framework to explore the sensory experiences of the community in facing floods and how these experiences influence their risk perception and adaptation strategies. The analytical framework used by the author is the concept of desensitised disaster perception, a concept that combines elements of affect and emotion in their interaction within social reality. This concept refers to how repeated experiences of a disaster make individuals or communities less sensitive to the associated risks. The author's research methods included observation, in-depth interviews, and data collection from government websites. The research findings showed that the community in Sunter Muara remained calm as if they had made peace with the floods. They had a unique way of believing that other areas were more vulnerable to floods than their own. They considered their situation not too threatening with the thought, “tinggi air cuma sebetis.” Other adaptations were also evident, such as the use of rooftops as evacuation areas during floods. These findings indicate that the habits and experiences of dealing with floods have shaped the community’s perceptions to the point where panic no longer burdens their perception. This research provides an overview of the adaptation of Jakarta's community, especially in low-lying areas, in living with flood conditions. 'Making peace' with floods shows their adaptation, which is not only manifested physically but also bodily and mentally."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josephine Ira Aldorina
"Proses Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) sangat penting untuk dilakukan untuk memastikan keberadaan dan kepastian akan terpenuhinya hak asasi masyarakat adat. Hutan adat merupakan salah satu hak masyarakat adat yang harus dipenuhi, sebab hutan adat merupakan bentuk perwujudan dari hutan hak. Penulisan makalah ilmiah ini menjelaskan dinamika yang terjadi dalam proses PPMHA, khususnya pengusulan Hutan Adat Himba Atang Ambun Liang Bungai, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dengan menggunakan pendekatan bottom-up, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) berupaya untuk mengadvokasi kebutuhan Masyarakat Adat Dayak Ot Danum Himba Atang Ambun Liang Bungai dalam upaya pengusulan hutan adat. Melalui pendekatan bottom-up, diharapkan BRWA mampu melibatkan seluruh anggota masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan terkait hutan adat berdasarkan konteks dan pengetahuan lokal. Dengan menggunakan konteks dan pengetahuan lokal dalam proses pengambilan keputusan terkait hutan adat, diharapkan komunitas masyarakat adat terkait dapat memastikan keberlanjutan dan kelestarian dari (calon) hutan adatnya. Makalah ilmiah ini merupakan hasil refleksi dari kegiatan magang saya ketika menjadi fasilitator BRWA di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, saat berupaya untuk mengadvokasi masyarakat adat akan perwujudan haknya, yaitu hutan adat.

The Process of Recognition and Protection of Indigenous Legal Communities (PPMHA) is crucial to ensure the existence and certainty of the fulfillment of indigenous people's basic rights. Customary forests are one of the rights of indigenous people that must be fulfilled, as customary forests are a manifestation of forest rights. This scientific paper explains the dynamics that occur in the PPMHA process, especially the customary forest registration of Himba Atang Ambun Liang Bungai, Gunung Mas, Central Kalimantan. Using a bottom-up approach, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) strives to advocate for the needs of the Dayak Ot Danum Himba Atang Ambun Liang Bungai indigenous community in their effort to apply for customary forests. Through a bottom-up approach, BRWA aims to involve all members of the indigenous community in the decision-making process related to customary forests based on local context and knowledge. By using local context and knowledge in the decision-making process related to customary forests, it is hoped that the related indigenous community can ensure the continuity and preservation of their (potential) customary forests. This scientific paper is the result of my internship reflection when I became a facilitator for BRWA at Gunung Mas Regency, Central Kalimantan, while striving to advocate for indigenous people's rights, namely their customary forests."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Adhi Wibowo
"Masyarakat Sedulur Sikep Klopoduwur sering dianggap sebagai masyarakat terbelakang dan dipandang negatif sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dan bertahan hingga saat ini. Belum begitu banyak yang membahas mengenai Sedulur Sikep Klopoduwur, berbagai penelitian yang telah ada lebih sering membahas Samin Surosentiko untuk membahas atau merujuk masyarakat Sedulur Sikep Klopoduwur. Makalah ini ditulis dengan metode kualitatif data sekunder berbasis studi pustaka. Penelitian ini kemudian berangkat dari pertanyaan terkait identitas penganut ajaran Sikep tentang bagaimana identitas mereka selama ini dilihat oleh berbagai pihak dan bagaimana identitas tersebut dipertahankan di era modern ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa; (1) pandangan negatif terhadap penganut ajaran Sikep telah dibentuk sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dan dilanggengkan pada masa kemerdekaan indonesia dan pemerintahan Orde Baru, (2) Masyarakat Sedulur Sikep Klopoduwur telah berusaha untuk mengubah pandangan terhadap diri mereka agar dapat dilihat secara positif dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat Sedulur Sikep Klopoduwur yang terjadi pada era modern.

The Sedulur Sikep Klopoduwur community has often been considered a backward community and has been viewed negatively since the Dutch colonial era and continues to this day. Not much has been discussed about Sedulur Sikep Klopoduwur, various existing studies have more often discussed Samin Surosentiko to discuss or refer to the Sedulur Sikep Klopoduwur community. This paper was written using qualitative secondary data methods based on literature study. This research then starts from questions related to the identity of adherents of the Sikep teachings regarding how their identity has been viewed by various parties and how this identity is maintained in this modern era. The results of this research show that; (1) negative views towards adherents of Sikep teachings have been formed since the Dutch colonial era and were perpetuated during the period of Indonesian Independence and the New Order government, (2) The Sedulur Sikep Klopoduwur community has tried to change their view of themselves so that they can be seen positively with changes in society Sedulur Sikep Klopoduwur which takes place in the modern era."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bhremaalya Enzovani Wiratno Putra
"Sejak tahun 1990-an, PT Freeport Indonesia mensponsori festival-festival besar yang bertujuan untuk merevitalisasi dan memberdayakan masyarakat Kamoro, penduduk asli Mimika, Papua Tengah. Festival-festival ini memberikan kesempatan kepada para pemahat Kamoro untuk menjual karya mereka dengan harga yang menguntungkan dan menampilkan budaya mereka kepada khalayak yang lebih luas. Inisiatif ini memicu terjadinya kebangkitan budaya Kamoro yang signifikan, khususnya di kalangan maramowe, sang pengukir Kamoro. Seiring berjalannya waktu, kebangkitan budaya ini berkembang menjadi misi preservasi, pemberdayaan, dan promosi budaya Kamoro yang kini dilakukan oleh Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe di bawah naungan PT Freeport Indonesia. Penelitian ini mengkaji proses kompleks yang terlibat dalam inisiatif-inisiatif ini, dengan fokus pada fenomena komodifikasi budaya dan rekacipta tradisi. Selain itu, tulisan ini juga memberikan wawasan mengenai perkembangan ini dari sudut pandang masyarakat Kamoro sendiri.

Since the 1990s, PT Freeport Indonesia has sponsored major festivals aimed at revitalizing and empowering the Kamoro people, the indigenous people of Mimika, Central Papua. These festivals give Kamoro carvers the opportunity to sell their work at profitable prices and showcase their culture to a wider audience. This initiative sparked a significant cultural revival, especially among Maramowe, the Kamoro carvers. Over time, this cultural revival developed into a mission to preserve, empower and promote Kamoro culture which is now carried out by the Maramowe Weaiku Kamorowe Foundation under the auspices of PT Freeport Indonesia. This research examines the complex processes involved in these initiatives, focusing on the phenomena of cultural commodification and the reinvention of tradition. In addition, this paper also provides insight into these developments from the perspective of the Kamoro people themselves."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library