Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Melliza Xaviera Putri Yulian
Abstrak :

Latar belakang: Masa remaja adalah bentuk peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa yang diiringi oleh munculnya fase pubertas. Pada perempuan, fase ini ditandai oleh karakteristik seks primer berupa proses menstruasi dan berkembangnya karakteristik seks sekunder seperti payudara dan rambut pubis yang muncul di usia 11-13 tahun. Dalam beberapa kasus ditemukan keterlambatan onset pada karakteristik seks tersebut, hal ini disebut dengan amenore primer. Kelainan ini dapat dikaitkan dengan adanya abnormalitas pada kromosom seks. Keterlibatan kromosom Y menjadi suatu indikator yang penting. Diagnosis yang tepat dengan melakukan penapisan etiologi diharapkan dapat menunjukkan tata laksana yang sesuai. Tujuan: Mengetahui hubungan antara karakteristik seks sekunder dengan jenis kromosom seks pasien amenore primer di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Sebuah studi potong lintang yang dilakukan pada 65 subjek amenore primer yang dipilih secara non-randomized consecutive sampling di RSCM serta telah memenuhi kriteria inklusi dan menapis kriteria eksklusi yang telah ditetapkan. Data yang dianalisis berasal dari informasi pada rekam medis pasien amenore primer periode Januari 2018-2020. Hasil: Sebagian besar subjek memiliki karakteristik seks sekunder yang tidak berkembang, pada payudara (52,3%) maupun rambut pubis (58,5%). Dari analisis kromosom, didapatkan 84,6% sampel tanpa kromosom seks Y dan 15,4% sampel dengan kromosom seks Y. Nilai p yang didapat tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara karakteristik seks sekunder mencakup pertumbuhan payudara (p=0,174) dan rambut pubis (p=0,729) terhadap jenis kromosom seks pasien amenore primer di RSCM. Simpulan: Tidak ditemukan hubungan yang signifikan (p>0,05) antara karakteristik seks sekunder dengan jenis kromosom seks pasien amenore primer di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. 


Background: Adolescence is a form of transition from childhood to adulthood accompanied by the emergence of the puberty phase. In women, this phase is characterized by primary sex characteristics in the form of the menstrual process and the development of secondary sex characteristics such as breasts and pubic hair that appear at the age of 11-13 years. In some cases, there is a delay in onset of these sex characteristics, called primary amenorrhea. This disorder can be associated with an abnormality on the sex chromosomes. The involvement of the Y chromosome is an important indicator. Correct diagnosis by performing etiological screening is expected to show appropriate treatment. Aim: To determine the correlation between secondary sex characteristics and sex chromosome type of primary amenorrhea patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Methods: A cross sectional study conducted on 65 primary amenorrhea subjects selected by non-randomized consecutive sampling in RSCM who has met the inclusion criteria and filtered by the exclusion criteria. The data analyzed came from information in the medical records of primary amenorrhea patients. Results:Most of the subjects have undeveloped secondary sex characteristics, both breast (52.3%) and pubic hair (58.5%). From chromosome analysis, this study discovered 84.6% samples without Y-chromosome related and 15.4% samples with Y-chromosome related. The p value obtained did not show a statistically significant correlation between secondary sex characteristics including breast growth (p = 0.174) and pubic hair (p =0.729) on the sex chromosome type of primary amenorrhea patients at RSCM. Conclusions: There is no significant correlation (p>0.05) between secondary sex characteristics and the sex chromosome type of primary amenorrhea patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Maulana Wildani
Abstrak :
Gangguan menstruasi terjadi akibat disregulasi hormon yang terjadi dalam tubuh dan memberikan dampak pada wanita usia produktif, termasuk mahasiswi kedokteran. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan menstruasi, dan stress psikologis merupakan salah satu penyebabnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa mahasiswi kedokteran rentan mengalami tingkat stress yang tinggi, dan hal tersebut berhubungan dengan kejadian gangguan menstruasi. Terdapat sedikit studi yang membahas mengenai hubungan antara gangguan menstruasi dengan tingkat stress pada populasi mahasiswi kedokteran di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mencari prevalensi gangguan menstruasi pada mahasiswi kedokteran dan hubungannya dengan tingkat stress. Kuesioner dibagikan untuk mengumpulkan data cross-sectional dari subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek dibagi menjadi populasi klinik dan preklinik, dan data akan dibagi menjadi data karakteristik subjek, parameter menstruasi, dan juga parameter nyeri haid. Terdapat proporsi yang besar terhadap tingkat pendarahan abnormal (59.0%) dan nyeri haid (67.0%). Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stress dan tingkat kehilangan darah (p = 0.049). Studi analisis data menunjukkan hubungan bermakna antara stress psikologis dengan gangguan menstruasi yang ditandai dengan tingkat pendarahan abnormal. ......Menstrual disorder happens as hormonal dysregulation occurred inside the body and it affects women in productive age, including medical students. There are many factors that influence the occurrence, and psychological stress is one of them. Studies shows that medical students are prone to high level of stress, and it correlates with the occurrence of menstrual disorder. There are few researches that discuss correlation between menstrual disorder and level of stress on Indonesian medical students’ population. This study aims to find the prevalence of menstrual disorder among female medical student and its correlation with psychological stress. Questionnaire were distributed to collect cross-sectional data from subjects who had fulfilled inclusion and exclusion criteria. Subjects will be divided into clinical and preclinical population and the data will be classified into subjects’ characteristics, menstruation parameters, and dysmenorrhea parameters. There are large proportions of subjects who experienced abnormal blood loss (59.0%) and dysmenorrhea (67.0%). There was significant association between level of stress and amount of blood loss (p = 0.049). Study data analysis showed statistically significant association of psychological stress with menstrual disorder that is marked by abnormal blood loss.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aureilia Calista Zahra
Abstrak :
Pendahuluan: Sindrom polikistik ovarium adalah salah satu gangguan metabolikendokrin yang paling umum yang banyak ditemukan pada wanita dengan usia reproduksi. Sindrom ini ditandai dengan ketidakseimbangan hormon, dan terdapat beberapa tanda klinis seperti ketidakteraturan siklus menstruasi dan hiperandogrenisme yang dapat menyebabkan anovulasi. Sindrom polikistik ovarium merupakan kondisi yang banyak dikaitkan dengan obesitas serta resistensi insulin, yang dapat diukur dengan menghitung rasio gula darah/insulin puasa. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menganalisa hubungan antara obesitas dan rasio gula darah/insulin puasa pada pasien dengan sindrom polikistik ovarium. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik yang menggunakan metode crosssectional dengan menggunakan data yang diperoleh dari rekam medis di Klinik Yasmin, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana. Variabel independent merupakan index massa tubuh dan variable dependen adalah rasio dari gula darah/insulin puasa. Hasil: Terdapat lebih banyak pasien sindrom polikistik ovarium dengan obesitas jika dibandingkan dengan normal dan overweight. Pasien sindrom polikistik ovarium dengan obesitas memiliki rata-rata rasio gula darah/insulin puasa yang paling rendah, dengan rata-rata 11.484 (SD + 5.325). Terdapat perbedaan yang signifikan jika dibandingkan kelompok index massa tubuh normal dan overweight. Selain itu, terbukti bahwa ada korelasi yang signifikan (P < 0.001) antara index massa tubuh dengan rasio gula darah/insulin puasa, dengan nilai Pearson Correlation -0.408, yang menandakan bahwa jika satu variabel memiliki nilai yang tinggi, maka nilai dari variabel lain akan turun. Kesimpulan: Penelitian ini menemukan bahwa adanya korelasi negaitf yang signifikan antara index massa tubuh dengan rasio gula darah/insulin puasa. Keduanya memiliki nilai yang tidak sebanding, dimana nilai dari rasio gula darah/insulin puasa akan menjadi lebih rendah jika index massa tubuh pasien dengan sindrom polikistik ovarium tinggi. ......Introduction: Polycystic ovary syndrome is one of the most common metabolicendocrine disease that can be found in women in reproductive age. This syndrome is characterized by hormonal imbalance, and will give rise to several clinical manifestations such as irregular menstrual cycle and hyperandrogenism, which is one of the cause of anovulation. Polycystic ovary syndrome is a condition that is closely correlated to obesity and insulin resistance, which can be measured by counting the fasting glucose/insulin level ratio. Thus, this study aims to analyse the correlation of obesity and fasting glucose/insulin level ratio in polycystic ovary syndrome patients. Methods: This research is an analytical study that uses cross-sectional method and utilize medical records from patients in Klinik Yasmin, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana. The independent variable is the body mass index, meanwhile the dependent variable is the ratio of fasting glucose/insulin level. Results: There are more obese than lean and overweight polycystic ovary syndrome patients. PCOS patients with obesity present the lowest average fasting glucose/insulin level ratio, with value of 11.484 (SD + 5.325). The difference is significant when compared to lean and overweight patients. Additional to that, it is found that there is a significant correlation (P < 0.001) between body mass index and fasting glucose/insulin level ratio. This result have Pearson Correlation value of -0.408, which means when one variable value is high, the other variable value will be low. Conclusion: This research has found that there is a significant negative correlation between body mass index and fasting glucose/insulin level ratio, with both values are disproportionate to one another. This can be seen by the lower the fasting glucose/insulin level ratio is, the higher the body mass index will be.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichsan Fauzi Triyoga
Abstrak :
Status gizi telah terbukti berpengaruh pada sistem hormonal tubuh, sehingga dapat pula menjadi faktor penting untuk berkembangnya gangguan menstruasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis gangguan menstruasi yang terjadi pada mahasiswi kedokteran Universitas Indonesia dan apakah status gizi berperan di dalamnya. Hasil penelitian dikumpulkan dari kuesioner yang disebarkan melalui media sosial pada April 2020. Penelitian ini diikuti oleh 188 mahasiswa, mulai dari mahasiswa tahun pertama hingga tahun kelima Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Data dianalisis menggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics dan menggunakan berbagai uji statistik. Indeks massa tubuh menunjukkan hubungan yang bermakna dengan gangguan frekuensi menstruasi (P <0,05). Lingkar pinggang terbukti tidak berpengaruh terhadap gangguan frekuensi menstruasi, dismenore, gangguan lama menstruasi, dan gangguan kehilangan perdarahan menstruasi (P> 0,05 untuk semua nilai). Status gizi abnormal berdasarkan IMT nampaknya relatif banyak terjadi pada mahasiswi kedokteran Universitas Indonesia dan gangguan menstruasi yang ditemukan sangat banyak adalah gangguan kehilangan darah menstruasi dan dismenore. Status gizi yang dijadikan indikator IMT ternyata berhubungan dengan gangguan frekuensi menstruasi. ......Nutritional status has been proven to have an effect on the hormonal system of the body, thus it may also be an important factor to the development of menstrual disorders. This study was conducted to know the kinds of menstrual disorders that occur in female medical students of Universitas Indonesia and whether nutritional status plays a role in them. The results were collected from a questionnaire distributed through social media in April 2020. 188 students participated in the study, ranging from the first until the fifth year students of Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. The data were analyzed using IBM SPSS Statistics software and using various statistical tests. Body mass index showed one significant relation with menstrual frequency disorder (P < 0.05). Waist circumference was proven to not have any effects towards menstrual frequency disorders, dysmenorrhea, menstrual duration disorders, and menstrual bleeding loss disturbance (P > 0.05 for all values). Abnormal nutritional status using BMI seems to be relatively prevalent among female medical students of Universitas Indonesia and menstrual disorders that were found to be highly prevalent were menstrual blood loss disturbance and dysmenorrhea, 68,4% and 67.1% respectively.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Rizki Rahayu
Abstrak :
Latar belakang: Amenorrhea primer didefinisikan sebagai tidak adanya siklus menstruasi hingga usia 16 tahun pada kondisi pertumbuhan dan perkembangan karakteristik seksual sekunder yang normal atau pada usia 14 tahun tidak adanya perkembangan dari karakteristik seksual sekunder. Penyebab amenorrhea primer dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu, obstruksi outflow tract, disfungsi ovarium, disfungsi hipotalamus-pituitari. Adanya abnormalitas pada kromosom dapat menyebabkan gangguan perkembangan saluran reproduksi. Menjadi perhatian adalah pasien fenotipe wanita yang memiliki kromosom Y mempunyai peluang 25% untuk mengembangkan tumor gonad. Tujuan: Mengetahui hubungan antara tampilan sonografi uterus dengan jenis kromosom seks pada pasien amenore primer di RSCM. Metode: Penelitian ini akan menggunakan desain cross-sectional pada 65 subjek dengan teknik consecutive dalam pengambilan sampel. Pengambilan data dari rekam medis pasien amenore primer di RSCM periode Januari 2018 hingga Januari 2020. Data akan diolah menggunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 20. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan tampilan sonografi uterus mayoritas memiliki hipoplasia uterus 70.7% (n=46). Pada jenis kromosom seks mayoritas memiliki kromosom seks tanpa Y 84.6% (n=55). Hasil menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan secara statistik (p=0.015) antara tampilan sonografi uterus dengan jenis kromosom seks pada pasien amenore primer di RSCM. Dengan persentase terbesar pada kromosom seks tanpa Y memiliki tampilan hipoplasia uterus (n=42). Simpulan: Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik (p<0.05) antara tampilan sonografi uterus dengan jenis kromosom seks pada pasien amenore primer di RSCM. ......Background: Primary amenorrhea was defined as the absence of a menstrual cycle until the age of 16 years in conditions of normal growth and development of secondary sexual characteristics or at 14 years of absence of development of secondary sexual characteristics. The causes of primary amenorrhea can be divided into three categories: outflow tract obstruction, ovarian dysfunction, and hypothalamic-pituitary dysfunction. The presence of chromosomal abnormalities can cause impaired development of the reproductive tract. The concern is that phenotypic female patients who have a Y chromosome have a 25% chance of developing gonadal tumors. Aim: To determine the correlation between uterine sonography appearance and sex chromosome types od primary amenorrhea patients at RSCM Methods: A cross-sectional study conducted on 65 subjects with consecutive techniques of sampling. Data were collected from the medical records of primary amenorrhea patients at RSCM from January 2018 to January 2020. Data were processed using the Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) program version 20. Results: In this study, uterine sonography was found that 70.7% (n=46) had uterine hypoplasia. In the type of sex chromosome that 84.6% (n=55) has a sex chromosome without Y. The results showed that there was a statistically significant relationship (p = 0.015) between uterine sonographic appearance and sex chromosome type of primary amenorrhea patients at RSCM. The largest proportion of sex chromosomes without Y had the appearance of uterine hypoplasia (n = 42). Conclusions: There is significant correlation (p>0.05) between uterine sonographic appearance and the sex chromosome type of primary amenorrhea patients at RSCM
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Permatasari
Abstrak :
Latar belakang: Amenore primer merupakan gangguan pada siklus menstruasi wanita. 11,1% wanita remaja menunjukkan keluhan ginekologi terkait menstruasi. Prevalensi kasus amenore primer terjadi pada 0,1–2% wanita usia reproduksi. Amenore primer dapat disebabkan sex reversal female (kromosom 46XY) atau sindrom Turner (45X). Abnormalitas perkembangan genitalia eksterna merupakan manifestasi dari gangguan kromosom. Belum ada penelitian yang mengkaji hubungan antara presentasi genitalia eksterna dengan genotip kromosom seks pada pasien amenore primer di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Tujuan: Mengetahui tampilan genitalia eksterna pada pasien amenore primer di RSCM, Jakarta dan hubungannya dengan kejadian ambiguitas genitalia. Metode: Penelitian ini dilakukan desain studi dengan potong lintang secara retrospektif menggunakan rekam medis pasien amenore primer Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM periode Januari tahun 2018-2020. Data diolah menggunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 20. Uji hipotesis akan dilakukan menggunakan uji Chi-Square atau Fisher’s exact test. Hasil: 65 rekam medis amenore primer yang melakukan analisa genetika berhasil dikumpulkan. 90,77% (n=59) kasus amenore primer bergenitalia eksterna normal dan 9,23% (n=9) bergenitalia ambigu. Seluruh kasus genitalia ambigu berkarakteristik pembesaran klitoris dengan 1 kasus juga diamati phallus genital. Hanya 53,8% kasus yang memiliki kromosom perempuan normal, 46XX. Hubungan signifikan didapatkan antara ambiguitas genitalia eksterna dan abnormalitas kromosom seks (p=0,042) Simpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara ambiguitas genitalia eksterna serta tidak normalnya hasil analisa kromosom seks pada pasien amenore primer di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM periode Januari tahun 2018-2020.
Background: Primary amenorrhea is a disorder of a woman's menstrual cycle. 11.1% of adolescent women showed gynecological complaints related to menstruation. The prevalence of primary amenorrhea cases occurs in 0.1–2% of women of reproductive age. Primary amenorrhea can be caused by female sex reversal (chromosome 46XY) or Turner syndrome (45X). Abnormalities in the development of external genitalia are a manifestation of chromosomal disorders. There are no studies that have examined the relationship between external genitalia presentation and sex chromosome genotypes in primary amenorrhea patients at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM), Jakarta. Goal: Finding the characteristic the appearance of external genitalia in primary amenorrhea patients at RSCM, Jakarta and its relationship with the incidence of genital ambiguity Method: This study was conducted with a retrospective cross-sectional study design using the medical records of primary amenorrhea patients from the Department of Obstetrics and Gynecology RSCM January 2018-2020. Data were processed using the Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) program version 20. Hypothesis testing will be carried out using the Chi-Square test or Fisher's exact test. Result: 65 medical records of primary amenorrhea that performed genetic analysis were collected. 90.77% (n = 59) cases of primary amenorrhea with external genitalia were normal and 9.23% (n = 9) had ambiguous genitalia. All cases of ambiguous genitalia were characterized by clitoral enlargement with 1 case also observed for the genital phallus. Only 53.8% of cases had a normal female chromosome, 46XX. There was a significant relationship between external genital ambiguity and sex chromosome abnormalities (p = 0.042). Conclusion: There is a significant relationship between external genital ambiguity and abnormal results of sex chromosome analysis in primary amenorrhea patients in the Obstetrics and Gynecology Department of RSCM for the period January 2018-2020 (p<0,05).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahnaz Quamila
Abstrak :
Latar Belakang Sejumlah penelitian telah menunjukkan dampak negative obesitas pada fertilitas dan hasil kehamilan pada pasien sindrom ovarium polikistik (SOPK) yang menjalani in vitro fertilization (IVF) atau juga umumnya dikenal sebagai program bayi tabung. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara obesitas sebagaimana direpresentasikan oleh indeks massa tubuh (IMT) dan angka kehamilan pada pasien SOPK di Klinik Yasmin Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSM). Metode Sejumlah 45 pasien SOPK obese dan 45 pasien non-obese dikumpulkan dari rekam medis. Analisis chi-square dilakukan untuk meneliti hubungan obesitas dengan angka kehamilan biokimia dan klinis. Terlebih dari itu, dilakukan analisis perbedaan kelompok rata-rata untuk melihat perbedaan perlakuan program bayi tabung yang diberikan pada dua kelompok pasien SOPK yang dapat memengaruhi hasil dan menjelaskan hasil tingkat kehamilan. Hasil Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara obesitas, sebagaimana direpresentasikan oleh IMT, dan angka kehamilan baik secara biokimia maupun klinis pada pasien SOPK yang menjalani program bayi tabung di Klinik Yasmin RSCM. Kesimpulan Meskipun tidak teridentifikasi hubungan yang signifikan antara IMT dan angka kehamilan pada pasien SOPK dalam populasi penelitian kami, hal ini menunjukkan adanya kemungkinan adanya faktor lain yang berkontribusi pada infertilitas dan patofisiologi SOPK. Maka dari itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelajahi faktor-faktor tersebut. ......Introduction Previous studies have suggested the negative impact obesity on fertility and pregnancy outcomes in polycystic ovary syndrome (PCOS) patients undergoing in vitro fertilization (IVF). Therefore, this study aims to investigate the significance of obesity in PCOS pregnancy outcomes by identifying the association between body mass index (BMI) and pregnancy rates in obese and non-obese (lean) PCOS patients undergoing IVF at Klinik Yasmin Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Method Ninety patient records were collected and analyzed (obese N = 45; lean N = 45). The study mainly focused on assessing the association between BMI and both biochemical and clinical pregnancy rates in obese patient group using chi-square analysis. We also conducted a supplementary analysis of mean group differences to explore variations in IVF intervention between the two patient groups that could possibly account for pregnancy rate outcomes. Results No statistically significant association between obesity, as denoted by BMI, and biochemical as well as clinical pregnancy rates in PCOS patients undergoing IVF in Klinik Yasmin RSCM. Conclusion Although we were unable to identify a statistically significant association between BMI and pregnancy rates in PCOS patients undergoing IVF within our study population, our findings suggest the possible role of additional factors that may contribute to infertility in this syndrome. Further research is needed to explore other factors that may strongly contribute to pregnancy outcomes in women with PCOS.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tsaniya Meidini Tahsya Hermawan
Abstrak :
Latar Belakang Sindrom Polikistik Ovarium (SAPK) adalah salah satu penyakit metabolic-endokrin yang paling sering ditemui pada Wanita dalam usia reproduktif. Sindrom Polikistik Ovarium merupakan kondisi yang banyak dikaitkan dengan obesitas dan meningkatnya jaringan adiposa, yang bisa diukur dengan lingkar pinggang dan tingkat lemak viseral. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menganalisis korelasi dari obesitas dengan jaringan lemak viseral pada pasien sindrom polikistik ovarium dan kontrol pada klinik Yasmin, RSCM Kencana Metode Penelitian ini merupakan studi retrospektif analitik yang menggunakan metode cross-sectional dengan menggunakan data yang diperoleh dari rekam medis di Klinik Yasmin, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana. Variabel independent merupakan index massa tubuh, sedangkan variable dependen adalah lingkar pinggang dan tingkat lemak viseral pada pasien SOPK dan kontrol. Hasil Penelitian ini menemukan perbedaan yang signifikan pada Lingkar pinggang (LP) dan Tingkat lemak viseral antar parameter IMT yang berbeda. Ketika membandingkan SOPK dan kelompok tidak SOPK pada kelompok yang disesuaikan dengan IMT, hanya kelompok obesitas yang memiliki perbedaan signifikan pada LP dan tingkat lemak viseral. Selain itu, ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara indeks massa tubuh dan lingkar pinggang (p<0,000), serta lemak viseral (p<0,000) pada pasien PCOS. Hasilnya memiliki nilai Korelasi Pearson masing-masing sebesar 0,892 dan 0,871 yang berarti variabel lainnya akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya salah satu variabel. Kesimpulan Hasil dari penelitian ini menemukan adanya korelasi signifikan positif antara jaringan lemak viseral dan IMT pada pasien SOPK. ......Introduction Polycystic ovary syndrome (PCOS) is one of the most common metabolic-endocrine disease that can be found in women in reproductive age. Polycystic ovary syndrome is a condition that is closely correlated to obesity and increase of adipose tissue, which can be measured by waist circumference and visceral fat level. Thus, this study aims to analyse the correlation of obesity with waist circumference and visceral fat in polycystic ovary syndrome and control patients. . Method This research is a retrospective analytical study that uses cross-sectional method and utilize medical records from patients in Klinik Yasmin, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana. The independent variable is the body mass index, meanwhile the dependent variable is the waist circumference and visceral fat level. Results This research has found a significant difference in WC and VF among different BMI parameters. When comparing PCOS and the control group in their BMI-matched group, only the Obese group had a significant difference in WC and VF. Additionally, it is found that there is a significant correlation between body mass index and waist circumference (p<.000), as well as visceral fat (p<.000) in PCOS patients. The result has Pearson Correlation values of 0.892 and 0.871, respectively, which means the other will be higher as one variable increases. . Conclusion This research has found that there is a significant positive correlation between visceral adipose tissue and body mass index in PCOS patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lucy lisa
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Gangguan kognitif merupakan salah satu masalah pada aging population berkaitan dengan perubahan neuroendokrin pascamenopause. Gangguan kognitif minimal (minimal cognitive impairment/MCI) merupakan kondisi peralihan fungsi kognitif antara penuaan normal dan demensia. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar kisspeptin dan kadar hCG hipofisis dengan gangguan kognitif minimal pada perempuan pascamenopause. Metodologi: MCI ditentukan dengan sistem skoring yang terdiri dari status diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu, dislipidemia, Geriatric Depression Scale (GDS), uji Rey Osterrieth Complexion Figure (ROCF), uji digit span backward dan uji Trail Making Test B. Studi potong lintang terhadap 181 perempuan pascamenopause usia £ 65 tahun, terbagi 2 kelompok yaitu dengan MCI 90 orang dan tanpa MCI 91 orang. Hasil: Analisis terhadap usia, lama menopause, indeks massa tubuh, lama pendidikan, kadar kisspeptin dan kadar hCG hipofisis. Kadar kisspeptin menunjukkan perbedaan bermakna anatar kedua kelompok (p<0,001). Kadar kisspeptin dan lama menopause berkorelasi positif dengan skor MCI (r=0,607 dan r=0,542; berurutan). Namun, tidak ada perbedaan kadar hCG hipofisis antara kedua kelompok (p=0,664), dan skor MCI tidak berkorelasi dengan kadar hCG hipofisis (p=0,398; r=0,06). Kesimpulan: Kadar kisspeptin signifikan lebih tinggi pada perempuan pascamenopause dengan MCI, dan menunjukkan korelasi positif. Sementara kadar hCG hipofisis tidak berbeda di antara kedua kelompok dan tidak menunjukkan korelasi.
ABSTRACT Backgroud: Cognitive impairment is one of problems among elderly women due to neuroendocrine alteration after menopause. Minimal cognitive impairment (MCI) is a transition state of cognitive function between normal aging and dementia. Aims: To investigate relationship between kisspeptin and pituitary hCG with MCI in postmenopausal women. Methods: MCI was determined by scoring; with diabetic status, glucose intolerant, dyslipidemia, Geriatric Depression Scale (GDS), Rey Osterrieth Complexion Figure (ROCF), digit span backward, and Trail Making Test (TMT) B. Using cross-sectional study, 181 postmenopausal women £ 65 years old, were grouped into with and without MCI; 90 and 91 women, respectively. Results: Data was analysed to their ages, span of menopause, body mass index (BMI), education grade, kisspeptin and hCG level. Kisspeptin level had significantly different among the groups (p<0.001). There was a positive relationship between kisspeptin level and span of menopause to MCI score (R=0.607 and R= 0.542, respectively). Pituitary hCG level, however, showed no difference among the groups. Moreover, MCI score showed no relationship to hCG level (p=0.398; R=0.063). Conclusions: Kisspeptin level was significantly higher among postmenopausal women with MCI, and showed a positive relationship. While pituitary hCG had no difference among the groups, and showed no relationship.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Anindya Tyagitha
Abstrak :
Latar belakang : Angka kejadian infertilitas di Indonesia diperkirakan kurang lebih mencapai 6% atau terdapat kurang lebih 3-4,5 juta pasangan yang mengalami kesulitan mempunyai keturunan. Pada tahun 2012 dilaporkan bahwa 28,4% siklus merupakan transfer embrio beku dibandingkan pada tahun 2003 dimana dilaporkan siklus embrio beku dilakukan hanya 16,1% pada program Fertilisasi In Vitro (FIV). Walaupun transfer embrio beku telah semakin sering dilakukan, tetapi metode untuk persiapan endometrium yang paling efektif, antara alamiah atau artifisial, masih belum diketahui secara jelas. Tahap persiapan endometrium sebelum transfer embrio merupakan tahap yang sangat penting dalammencapai reseptivitas endometrium dan keberhasilan kehamilan. Tujuan : Mengetahui luaran program FIV pada transfer embrio beku dengan metode alamiah dan artifisial di Klinik Yasmin, RSCM Kencana. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan menggunakan metode uji potong lintang, periode 1 Januari 2011-31 Desember 2018. Pengambilan sampel dengan cara total sampling. Subjek penelitian ini merupakan seluruh wanita yang mengikuti FIV dengan tranfer embrio beku yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang dilakukan di RSCM. Data yang didapatkan dianalisis secara bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahui angka implantasi dan kehamilan pada transfer embrio beku dengan metode alamiah dan artifisial. Hasil : Dari 147 subyek yang memenuhi kriteria penelitian, didapatkan 19 subyek menjalani persiapan endometrium dengan metode alamiah dan 128 menjalani persiapan endometrium dengan metode artifisial. Angka implantasi metode alamiah vs metode artifisial (32 % vs 29%); angka kehamilan biokimiawi (89,5% vs 53,1%; p < 0,05); angka kehamilan klinis (42,1% vs 34,4%; p > 0,05); serta angka kehamilan lanjutan (36,8% vs  28,9%; p > 0,05). Kesimpulan :  Persiapan endometrium secara alamiah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terjadinya implantasi dan kehamilan biokimiawi dibandingkan persiapan secara artifisial. Sedangkan angka kehamilan klinis dan kehamilan lanjutan tidak berbeda bermakna. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menambah besar sampel, terutama pada kelompok persiapan endometrium secara alamiah. ......Background : Infertility incidence in Indonesia is estimated to reach approximately 6% or approximately 34.5 million couples who have difficulty having children. In 2012 it was reported that 28.4% of cycles were frozen embryo transfers compared to 2003 where it was reported that only frozen embryo cycles performed only 16.1% in the In Vitro Fertilization (FIV) program. Although frozen embryo transfers have increasingly been done, the most effective method for endometrium, between natural or artificial, is still not clearly known. The endometrial preparation stage before embryo transfer is a very important stage in achieving endometrial receptivity and the success of pregnancy. Objective : Knowing the outcome of the FIV program on frozen embryo transfer using natural and artificial methods at the Yasmin Clinic RSCM Kencana. Methods : This research was an restropective analytical study using a cross-sectional test method for the period of January 1, 2011-December 31, 2018. Sampling by total sampling. The subjects of this study were all women who took part in FIV with frozen embryo transfer that met the inclusion and exclusion criteria performed at RSCM. The data obtained were analyzed bivariately using the chi-square test to determine implantation and pregnancy rates in frozen embryo transfer using natural and artificial methods. Results : 1 47 subjects who met the study criteria, 19 subjects underwent endometrial preparation by natural methods and 128 were subjects who underwent endometrial preparation by artificial methods. The rate of implantation of natural methods vs. artificial methods (32% vs 29 %); biochemical pregnancy rates (89,5% vs 53,1%; p < 0,05); clinical pregnancy rate (42,1% vs 34,4%; p > 0,05) and on going  pregnancy rates (36.8% vs 2 8,9%; p > 0,05). Conclusion : Natural endometrial preparations have a higher tendency for implantation and biochemical pregnancy, while  clinical pregnancy rate and on going pregnancies not significantly difference. Further research is needed to increase sample size, especially in natural preparation group.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>