Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bakhrizal Bakti
Abstrak :
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Solok, Nomor 05 Tahun 1995, telah ditetapkan bahwa tugas dan wewenang sebagai pelaksana pengelolaan sampah di Kabupaten Solok di limpahkan kepada Badan Pengelola Kebersihan Dan Keindahan (BPKK) Kabupaten Solok. Sejak mulai berdiri sampai saat ini BPKK Kabupaten Solok belum mempunyai rencana strategis dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Untuk mengantisipasi kecenderungan dimasa yang akan datang, permasalahan sampah dimasa yang akan datang di Kabupaten Solok, maka organisasi BPKK Kabupaten Solok ini dipandang sangat perlu mempunyai perencanaan strategis. Untuk dapat menyusun rencana strategis BPKK Kabupaten Solok, dilakukan penelitian operasional dengan analisis kualitatif dan kuantitatif. Penyusunan strategi ini dilaksanakan melalui tiga tahap. Tahap I (input stage) terdiri dari analisis lingkungan eksternal dan internal dari BPKK yang dilakukan oleh Decision Making Consensus Group (DMCG), yang terdiri dari Kepala dan seorang staf Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Kepala BPKK serta seorang pejabat dari Dinas Kesehatan dan Dinas Kependudukan/KB & Tenaga Kerja Kabupaten Solok. Kemudian pada Tahap II (matching stage), DMCG melakukan identifikasi alternatif strategi dengan analisis Matriks Internal-Ekstemal (1E) dan Matriks SWOT. Setelah itu dilanjutkan dengan Tahap III (decision stage) untuk menentukan prioritas strategis terpilih dengan menggunakan metode Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Berdasarkan hasil analisis Matriks SWOT memperlihatkan BPKK berada dalam kuadran Weaknesses-Opportunities (WO), dimana pada kondisi yang demikian BPKK dapat meminimalkan kelemahan internalnya dengan memanfaatkan peluang yang ada. Sedangkan pada analisisis dengan Matriks IC, inemperlihatkan posisi BPKK pada Sel V ( Hold and Maintain ), yang berarti BPKK masih punya peluang untuk melakukan pertumbuhan atau pengembangan organisasinya. Melalui analisa kedua matriks tersebut, maka strategi prioritas yang tepat untuk digunakan oleh BPKK Kabupaten Solok di dalam pengembangan organisasi sesuai dengan tugas dan fungsi yang diembannya adalah sebagai berikut ; 1). Strategi Penetrasi Pasar, 2). Strategi Perluasan Pasar dan, 3). Strategi Diversifikasi Terkait. Secara umum ada tiga komponen kegiatan yang dapat dijalankan didalam penerapan strategi tersebut yaitu ; a). Melakukan peningkatan penjualan dan pemasaran, b). Melakukan peningkatan kemampuan operasi dan c). Melakukan pembenahan/peningkatan infrastruktur pendukung. Sebagai saran, agar perencanaan strategis BPKK yang telah dibuat ini dapat dioperasionalkan maka perlu adanya rekomendasi dan dukungan dari Kepala Daerah dan DPRD Kabupaten Solok, setelah itu baru dilakukan sosialisasi kepada pihak terkait untuk menjalin koordinasi didalam pelaksanaannya.
Chief Executive's (Bupati's) of Solok District Decree No.: 05, 1995, had given the responsibility and authority of waste management at Solok District to the Cleanliness and Beauty Management Board (BPKK). Since it was founded, the Board has not had Strategic Planning to conduct its tasks and functions yet. To anticipate the future environmental cleanliness, especially in waste problems at Solok District, this Strategic Plan would be a necessity for Solok District organization of BPKK. In order to build a Strategic Planning of this Board, this operational research had been conducted using qualitative and quantitative analyses. These strategies were built in three steps. First (input stage), consists of external and internal environmental analyses of BPKK through Decision Making Consensus Group (DMCG). People in this group include Head and one staff of District Financial Management Board (BPKD), head of BPKK and Head of District Health Office and Head of District Demographic/ Family Planning and Manpower Office. On the second stage (matching stage), DMCG identified alternative strategies by Internal-External Matrix and SWOT Matrix analyses. Finally, the third step (decision stage) was selecting the strategic priority, using Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) method. Based on the result of SWOT Matrix Analysis, BPKK is positioned at Weaknesses-Opportunities (WO) quadrant, which means BPKK could minimize its internal weaknesses using the opportunities. Meanwhile, the result of IE Matrix shown a position of BPKK was at Cell five (Hold and maintain), it means that the Board still the opportunity to grow and develop its organization. Both matrix analyses resulted in the priority strategies for organization development of BPKK, related to the tasks and functions, are as follows : 1). Market Penetration Strategy 2). Market Development Strategy and 3). Related Diversification Strategy. In general, there are three of actions that can be done to apply the strategies: a). Increasing sales and marketing efforts b). Enhancing operational abilities, and c). Improving supporting infrastructures. In order to operational this BPKK strategic planning, there is a need of recommendation and support from Bupati and District Parliament (DPRD). After ward socialization to the related sectors should be done to build coordination of the delivery of the programs.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T1107
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ifran Havson HA
Abstrak :
Pada tahap perkembangan Klinik AQMA terdapat peningkatan jumlah perusahaan dari 25 perusahaan pada tahun 1999, 36 perusahaan pada tahun 2000 dan 37 perusahaan pada tahun 2001, sedangkan jumlah pasien perusahaan meningkat dari 43,291 orang tahun 1999, 45.345 orang pada tahun 2000 dan 48.072 orang pada tahun 2001. Dan Jumlah tagihan perusahaan sebesar Rp. 739.402.300,- pada tahun 1999, Rp. 1.044.027.939 pada tahun 2000, dan Rp. 1.213.43 1.060 pada tahun 2001. Pendapatan Klinik AQMA yang bersumber dari pasien umum terlihat pula peningkatan jumiah pendapatan sebesar Rp. 2.171.350.100 pada tahun 1999, Rp, 2.855.861.625,- pada tahun 2000, Rp. 3.045.688.600,- pada tahun 2001, dengan jumlah pasien sebesar 79.434 orang pada tahun 1999, 90.703 orang pada tahun 2000, dan 107.110 pada tahun 2001. Walaupun demikian, apabila dilihat pada tahun 2001, pendapatan Klinik AQMA yang diperoleh dari sektor tagihan perusahaan sebesar Rp. 1.213.431.060,- sedangkan budget frnansial yang harus dianggarkan dari sektor tagihan perusahaan tersebut untuk investasi pembangunan gedung dan peraiatan medis dalam mendukung peningkatan pelayanan kepada langganan adaiah sebesar Rp. 1.500.000.000,-. Sementara untuk biaya operasional masih dapat diatasi dari pendapatan pasien umum. Berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang mempunyai hubungan bermakna dengan piutang perusahaan yang mengadakan kerjasama dengan Klinik AQMA Cikampek, sehingga diharapkan terjadinya peningkatan income Klinik AQMA yang bersumber dari piutang perusahaan. Selanjutnya dalam penelitian ini dilakukanlah perumusan masalah yang didasarkan pada pertanyaan menyangkut faktor-faktor yang dianggap mempunyai hubungan bermakna dengan piutang perusahaan, yaitu jumlah karyawan, proporsi jumlah karyawan berobat terhadap jumlah karyawan, tarif rata-rata karyawan berobat, discount dan lama kerjasama. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab persoalan yang kaitannya dengan upaya pihak manajemen Klinik AQMA dalam mengoptimalkan hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan untuk para karyawannya, sehingga berdampak kepada meningkatnya piutang perusahaan. Untuk memperoleh model yang sesuai, dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang bersumber dari data primer Klinik AQMA yang didokumentasikan dan selanjutnya dibandingkan dengan teori yang ada. Metodologi penelitian yang dipakai menggunakan jenis penelitian survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan bersumber dari data primer yang didokumentasikan dengan pendekatan secara kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor jumlah karyawan mempunyai hubungan bermakna dengan piutang perusahaan, sedangkan faktor lainnya berupa proporsi jumlah karyawan berobat terhadap jumlah karyawan, tarif rata-rata karyawan berobat, discount dan lama kerjasama tidak mempunyai hubungan bermakna dengan piutang perusahaan. Walaupun demikian, faktor-faktor yang tidak mempunyai hubungan bermakna tersebut dengan piutang perusahaan tetap menjadi bagian yang hams diperhatikan agar terciptanya percepatan dalam pencapaian tujuan yang diharapkan terutama dalarn kaitannya dengan pengalokasian anggaran keuangan untuk investasi gedung dan alat kesehatan. Implementasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan Klinik AQMA yang bersumber dari piutang perusahaan untuk merespon tuntutan kebutuhan pasien terutama kalangan karyawan perusahaan dalam rangka menunjang kebutuhan medis dan sebagai acuan dalam pengembangan Klinik AQMA pada tahap selanjutnya.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Rubiani
Abstrak :
Tarif pelayanan persalinan di Puskesmas Cimanggis Kota Depok yang berlaku saat ini adalah Rp. 75.000,0. Tarif ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan operasional kamar bersalin di Puskesmas di mana Puskesmas harus melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai tempat pertolongan persalinan yang bermutu dengan tidak hanya selalu bergantung kepada subsidi Pemerintah. Dengan penyesuaian tarif diharapkan terwujud maksimalisasi pelayanan, karena tarif yang sesuai dengan kemampuan membayar masyarakat akan meningkatkan utilisasi. Penyesuaian tarif dilakukan melalui analisa tarif yang berdasarkan biaya satuan pelayanan persalinan ,tingkat pengembalian biaya, tingkat kemampuan (ability to pay ATP) dan kebijakan tarif dan tarif pesaing yang setara. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di unit kamar bersalin Puskesmas Cimanggis Kota Depok, yaitu menganalisa biaya dengan menggunakan data tahun 2000 dan menggunakan metode double distribution. Adapun untuk menilai tingkat kemampuan dan kemauan masyarakat membayar yaitu dengan mengolah data hasil survei terhadap masyarakat Kabupaten Bogor. Kemampuan masyarakat menurut ATP adalah : 92 % masyarakat mampu membayar Rp 72.000,0 ; 72% masyarakat mampu membayar Rp 270.000,0.; 50% masyarakat mampu membayar Rp.504.000,00. Dari hasil analisa biaya kamar bersalin, didapatkan biaya satuan aktual Rp.585.593,00 dan biaya satuan normative Rp.524.626,00 Tarif pertolongan persalinan yang akan disarankan adalah Rp. 270.000,0. Saran perubahan tarif tersebut disambut baik oleh kepala Dinas Kesehatan Kota Depok serta Kepala Puskesmas Cimanggis, selanjutnya akan diusulkan ke Pemda untuk diproses lebih lanjut. Daftar Pustaka : 21 (1996 - 2001)
A Case Study of Birth Delivery Rational Price Analysis at Puskesmas Cimanggis, City of Depok, 2002The current price of delivery service at Puskesmas Cimanggis City of Depok is Rp75.000,-. Considering the tasks and functions of Puskesmas as quality delivery service place that does not depend on government's support, the current price is not suitable with operational need of birth delivery room in Puskesmas. It is expected that price adjustment would maximize the service, because the appropriate price that is in line with people's ability to pay would increase utilization. The price adjustment was conducted through price analysis based on the unit cost of birth delivery service, cost recovery rate, ability to pay (ATP), price policy, and competitor's price. This study is a study case that was conducted in Birth Delivery Room Unit at Puskesmas Cimanggis City of Depok by analyzing the cost using double distribution method. The assessment of the ability to pay and the willingness to pay of the people in the District of Bogor was conducted by processing data from the survey result. The ability to pay according to ATP1 was 92% of people were able to pay as much as Rp72.000, 00; 72% of people were able to pay as much as Rp270.000,00 and 50% of people were able to pay as much as Rp504.000,00. Based on the cost analysis of birth delivery room of this study, the actual unit cost was Rp585.593, 00 and normative unit cost was Rp524.626,00. Nevertheless, the recommended price of birth delivery service is Rp270.000, 00. The recommendation of the price change is accepted by the Head of District Health Office as well as the Head of Puskesmas Cimanggis. Furthermore, the next step would be proposing this pricing to the Local Government. References: 21 (1996 - 2001)
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiarini Sugianto
Abstrak :
Rumah Sakit Pusat Raden Said Sukanto yang disebut Rumah Sakit Sukanto adalah badan pelaksana pada dinas kedokteran dan kesehatan Polri. Salah satu kegiatannya adalah menyelenggarakan perawatan pasien rawat inap dan rawat jalan. Selama periode triwulan II/2002 telah melayani perawatan pasien rawat inap untuk anggota dinas dan keluarga sebanyak 3.512 orang dan pasien rawat jalan sebanyak 26.611 orang. Dalam kegiatan operasionalnya, RS. Sukanto belum dapat mencukupi kebutuhan obat-obatan untuk anggota dan keluarga. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui rata-rata beban biaya obat untuk anggota dinas dan keluarga di rawat inap dan rawat jalan serta total beban biaya obat-obatan yang selama ini dikeluarkan oleh pasien dinas dan anggota keluarga. Desain penelitian ini adalah survei untuk menghitung total beban biaya obat di rawat inap dan rawat jalan selama periode triwulan II/2002. Teknik pengumpulan data adalah dengan abstrasi catatan medik selama 6 hari (15 April -20 April 2002) selanjutnya analisa dilakukan melalui uji t atau uji Anova dan uji Kai Kuadrat dengan bantuan perangkat lunak (SPSS). Dari hasil perhitungan didapatkan rata-rata beban biaya obat rawat jalan sebesar Rp.39.587 dirawat inap sebesar Rp.110.171 sehingga total beban biaya obat di rawat inap dan rawat jalan pada triwulan II/2002 adalah sebesar Rp. l. 440.370.209,- dukungan anggaran dinas untuk obat-obatan sebesar Rp.798.249.900,-(55%) sisanya Rp.640.120.309,-(45%) ditanggung oleh pasien dinas sendiri. Dari keseluruhan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlu adanya penyempurnaan pengolahan dan perencanaan obat baik ditingkat MABES (DISDOKKES) maupun Rumah Sakit Sukanto, serta peninjauan kembali perhitungan proporsi DPK yang selama ini dipotong 2% dari setiap anggota POLRI.
Raden Said Sukanto Police Department General Hospital is working committee on Medical and Health Service of Indonesian Police Department (POLRI), which one activity organizing health care, for ambulatory patient and in-patient. This hospital on second quarterly 2002 had been serving member ships of police office and their families for staying care around 3.512 person and ambulatory care as much as 26.611 patients. Sukanto Hospital could not fulfill the over drugs for policemen and their families. The objective of research is to knowing the cost charge average and total cost of medical supply that Police Department spends for policemen and their families at ambulatory care and room care. Research design is taking survey for calculating the total cost and the cost average of medical supply at ambulatory care and room care on second quarterly 2002. While, medical record abstraction have required for collecting of data, as long as six days, in the middle of April until 20 th April 2002. Furthermore, the researcher carried our univariat analysis by t-test or anova or chi-square with assisting SPSS. From those analysis was found that the cost charge average of medical supply in ambulatory care was Rp.39.587,- whereas in room care was Rp. 1.440.370.209,-, with the result that, the total cost both of its, on second quarterly 2002 was Rp.1.743.613.511,-. The department just only could expensed Rp.798.249.900, - (55%), and less of fund, about Rp.612.120.309, - (45%) became responsible for patients. Conclusion of these research could explained that MABES or Sukanto Hospital necessary to make conduct preparation of medical supply with good planning, and the hospital has to make judgment in medical cost by implementation of reference system in main level or region level. Finally, in order to the membership of police office and their families didn't have much charge, the hospital has to increase quality of service and has to rise good image, as good hospital for membership of police office.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T11482
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Satriya Budi
Abstrak :
Penyakit tonsilofaringitis termasuk dalam infeksi saluran pernafasan akut yang kasusnya banyak di masyarakat, mencapai 40 - 60 % kunjungan pasien ke Puskesmas. Dari Sistim Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas menunjukkan bahwa tonsilofaringitis adalah yang paling sering ditemui di lapangan. Dilain pihak pengobatan antibiotika irasional terus berlangsung, tidak terkecuali ISPA. Padahal menurut laporan WHO, kebanyakan penyakit ISPA disebabkan oleh virus bukan bakteri, hanya 10 % gejala ISPA yang memang betul-betul memerlukan antibiotika. Sementara DepKes RI mengeluarkan pedoman Pengobatan Dasar Berdasar Gejala bagi Puskesmas, dimana faringitis oleh infeksi kuman ditetapkan pilihan I amoksisilin, pilihan II ampisilin, pilihan III penisilin V dan terakhir pilihan IV eritromisin Oleh karena itu perlu adanya evaluasi dengan cost effectiveness analysis antara amoksisilin dan eritromisin pada terapi tonsilofaringitis, agar diketahui pilihan yang tepat secara ekonomis di masyarakat. Penelitian dilakukan di daerah Jakarta Barat pada Puskesmas Tambora, mulai bulan Juni sampai dengan September 2002. Dalam evaluasi disertakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kesembuhan terapi tonsilofaringitis mulai internal umur, jenis kelamin, pendidikan, status gizi, penghasilan keluarga, kepatuhan minum obat, adanya pengaruh minum obat simptomatis sebelumnya, ada tidaknya efek samping obat dan eksternal terpapar oleh polusi ditempat kerja, kepadatan hunian rumah serta kondisi lingkungan rumah. Desain penelitian kohort, perhitungan sampel uji beda dua mean. Jumlah sampel jadi 241 orang dengan rincian 120 orang menerima pengobatan dengan amoksisilin dan 121 orang menerima pengobatan dengan eritromisin. Jugs dilakukan pemeriksaan kultur kuman dan tes resistensi terhadap 75 spesimen swap, sebagai kontrol terhadap proses terapi yang rasional. Keduanya sensitif, namun eritromisin lebih sensitif dari amoksisilin. Hasil kesembuhan penderita tonsilofaringitis dari 120 orang penderita yang diterapi amoksisilin: 101 (84,2%) orang penderita yang sembuh dan dari 121 orang yang diterapi eritromisin 115 (95,0%) orang penderita yang sembuh. Dalam analisa statistik nilai p = 0,005 bermakna, yang berarti bahwa kesembuhan dipengaruhi oleh adanya perbedaan jenis antibiotika yang digunakan dan nilai RR = 8,007, yang berarti kesembuhan dengan terapi eritromisin lebih baik 8.007 kali dibanding amoksisilin. Berdasarkan perhitungan akhir, unit cost untuk amoksisilin Rp. 182.405,97, lebih murah dibanding eritromisin, yaitu Rp. 156.834,90. Maka terapi tonsilofaringitis yang menggunakan antibiotika eritromisin lebih cost effective dibanding dengan terapi yang menggunakan amoksisilin.
Cost Effectiveness Analysis Between Amoxicillin And erythromycin for The Tonsilopharyngftis Therapies at Puskesmas Tambora, West Jakarta 2002. Tonsilopharyngitis is one of the acute respiratory infection cases which frequently found in society. In fact, 40-60% patients who come to the Puskesmas are infected. The Integrated Reporting and Recording System of Puskesmas shows that tonsilopharyngitis is the most commonly case found in the society. On the other hand, the irrational antibiotic treatment, including ISPA, is continuously conducted. According to WHO, most of the ISPA diseases are mainly caused by virus rather than bacteria. Only 10 % of ISPA symptoms need antibiotic. Depkes RI has published a guidance of the basic treatment based on symptoms, which are given for the Puskesmas. It is stated that the pharyngitis caused by a germ infection determined as option 1 amoxicillin, option II ampicillin, and option III penicillin V and option IV erythromycin. The techniques of cost effectiveness analysis between the amoxicillin and erythromycin for the tonsilopharyngitis are done in order to know the right use of therapy in the society economically. The research is held at Puskesmas Tambora located in west Jakarta started from June until September 2002. It is included in the evaluation the factors which related to the convalescence of the tonsilopharyngitis therapy antibiotic. The internal factors, namely, education, nutrition status, family income, medicine consumption, the previous effect of the symptomatic medicine consumption, the existence of the side effect of the medicine, and the external factors are air pollution in the workplace, thickness of the habitation and the environment condition. Cohort research design is the sample test of the two different means. There are 241 patients for the sample. 120 of them are given with the amoxicillin therapy and the other 121 patients are given with the erythromycin therapy. The culture examination of the germ and the resistance test for the 785-swap specimen are also conducted as the control of the rational therapy. Both of the used antibiotics are still sensitive for the tonsilopharyngitis germ, and the erythromycin is more sensitive rather than amoxicillin. The tonsilopharyngitis healing result of the 120 patients who have given the amoxicillin therapy consists of 101 (84,2%) patients, and 115 (95%) out of the 121 patients who have given the erythromycin therapy are recuperated. In a statistic analysis, p= 0.005 is valuable. It means that the recuperation is influenced by the different kinds of antibiotic used, and RR = 8,007, which has a recovery meaning for the therapy is 8.007 times better than amoxicillin. Based on the final calculation, unit cost for the amoxicillin is Rp 182.405,97 and for the erythromycin is RP 156.834,90. Thus, tonsilopharyngitis therapy, which is using erythromycin, is more cost effective rather than the tonsilopharyngitis therapy using amoxicillin
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12666
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusi Iriani
Abstrak :
Keteraturan membayar iuran yang merupakan salah satu komponen penting untuk dapat terselenggaranya dana sehat, sangat ditentukan oleh kemauan membayar iuran secara teratur oleh sehuuh anggotanya. Kemauan membayar iuran secara teratur yang merupakan bentuk perilaku kesehatan yang berhubungan dengan dana sehat dipengaruhi oleh faktor-faktor predisposing, enabling dan reinforcing dimana ketiganya secara bersama-sama ataupun masing-masing dapat mempengaruhi perilaku tersebut. Penelitian ini adalah penelitian survey dengan rancangan potong lintang. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, dilaksanakan di desa tertinggal di Kecamatan Sukaraja Kabupaten Dati II Bogor, dengan jumlah sampel 322 KK. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan kemauan membayar iuran dana sehat secara teratur. Variabel dependen penelitian adalah kemauan membayar iuran dana sehat secara teratur, sedangkan variabel independennya adalah faktor predisposing yang meliputi pendidikan, pengetahuan, persepsi, kebiasaan berobat dan tanggungan keluarga, faktor enabling yang meliputi pendapatan/pengeluaran keluarga, kelengkapan sarana pelayanan kesehatan, kemudahan pengumpulan iuran dan jarak tempuh, serta faktor reinforcing yang meliputi perilaku petugas. Analisa data dilaksanakan dengan menggunakan analisa Univariat dengan distribusi frekuensi dan analisa Bivariat dengan uji Kai kuadrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemauan membayar iuran dana sehat secara teratur yang masuk dalam kategori baik hanya 35,5 % dan sisanya 66,5 % masuk dalam katagori tidak baik, dimana yang masuk kategori baik adalah peserta yang telah membayar iuran Dana Sehat secara terus menerus selama dua belas bulan dari bulan April 1997 sampai bulan Maret 1998, dan yang masuk kategori tidak baik adalah yang kurang dari itu. Disamping itu variabel yang menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik (p<0,05) dengan kemauan membayar iuran dana sehat secara teratur adalah variabel pendidikan, pengetahuan, persepsi, kebiasaan berobat selama satu tahun, kelengkapan sarana pelayanan kesehatan, jarak tempuh dan faktor reinforcing yaitu perilaku petugas. Sedang kebiasaan berobat periode satu bulan terakhir, tanggungan keluarga dan pendapatan /pengeluaran menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna secara statistik. Peneliti menyarankan agar program Dana Sehat di desa tertinggal di Kecamatan Sukaraja harus ditangani lebih profesional antara lain dengan meningkatkan fungsi Yayasan Rereongan Tegar Beriman dari sekedar hanya sebagai pengumpul dana menjadi suatu Badan Penyelenggara, menghitung kembali iuran peserta berdasarkan besarnya resiko kelompok, menyelenggarakan pelatihan/penyegaran program dana sehat bagi petugas untuk meningkatkan motivasi dalam menyelenggarakan program ini, mencari cara terbaik untuk kemudahan pengumpulan iuran, memberi insentif bagi kolektor, meningkatkan pemasaran social dana sehat, secara berkala perlu memilih desa yang menjadi penyelenggara dana sehat terbaik dan menyempurnakan keanggotaan Tim Pembina yang secara rutin akan melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi. Apabila langkah-langkah diatas tidak dilaksanakan, akan sulit bagi Dana Sehat untuk dapat berkembang, bahkan dapat diprediksi akan mengalami kebangkrutan sehingga saran berikutnya adalah program Dana Sehat di desa tertinggal di Kecamatan Sukaraja sebaiknya dihentikan saja mengingat demikian berat dan kompleksnya kendala yang melingkupi pelaksanaan program tersebut. Selanjutnya diperkenalkan bentuk lain misalnya seperti pola JPKM (asuransi sosial terkendali) dimana keanggotaannya meliputi seluruh masyarakat Kabupaten Dati II Bogor, sehingga tercipta subsidi silang dari masyarakat yang mampu dan tidak mampu. Disamping itu perlu adanya penelitian lanjutan yang lebih luas dan dalam tentang faktor kemampuan membayar iuran dana sehat sehingga informasi yang didapat akan saling melengkapi dan dapat dijadikan bahan masukan bagi penentuan kebijakan penyelenggaraan dana sehat yang lebih baik. Daftar Pustaka : 31 (1975-1998)
Contribution is one of the most important component for the viability of a health fund. It depends on the willingness to pay contribution regularly by all members. The willingness to pay contribution regularly is a health behavior that is influenced by predisposing, enabling and reinforcing factors, collectively or separately. This research is a survey carried out in two under developed villages in Sukaraja Sub District Bogor, West Java. Using list of health fund members, primary and secondary data, were collected. We interviewed 322 families using a questionnaire developed specifically for this study. The aim of this research is to identify factors related to the willingness to pay health fund contribution regularly. Dependent variable in this research is regular (12 consecutive months) contribution, while the independent variables are predisposing factors that include education, knowledge, perception, health seeking behavior and family responsibility. The enabling factors cover family income and expenditure, perception of health service facilities, ease of contribution collection, and distance to health providers, while the reinforcing factor covers officials' behavior. Univariate and Bivariate analyses were performed:. we defined good willingness to pay if house hold pay contribution for 12 consecutive months while bad WTP if the house hold pay other wise. The result showed that 33,5 % of house hold surveyed had good WTP and 66,5 % did not pay contribution for full one year (bad WTP) We conclude that seven out of ten dependent variables significantly related to good WTP. Sustainability of health fund in these two villages is very much determined by those seven variables. Based on the results, we recommend that health fund programmed in under developed village should be prepared by adequate training for officials in order to increase the performance of this programmed. More over, implementation of health fund should not be imposed in poor and low educated communities. Some financial Incentives for collectors can be considered, to increase their motivation in collecting contribution. We suggest to increase contribution and benefit to achieve optimum level of health fund. If the performance remains poor we recommend that health funds in under developed villages should be stopped because of too many complex and handicaps while the costs of promoting it is too expensive I recommend further comprehensive and long term research for policy decision to implement more sustainable insurance scheme. References : 31 (1975-1998)
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rismawati
Abstrak :
Penelitian dilakukan pada Rumah Sakit Umum Daerah Sekayu. Penelitian dilakukan dari tanggal 12 Juni s/d 12 Juli 2004. Rumah Sakit Umum Daerah Sekayu adalah berstatus Tipe C, memiliki 60 tempat tidur, didukung dengan SDM sebanyak 277 orang, baik tenaga medis maupun non medis. Pencapaian BOR RSUD Sekayu mengalami peningkatan yaitu dari 47% pada tahun 2000 naik menjadi 51% di tahun 2001, dan naik lagi menjadi 58% pada tahun 2002 dan untuk tahun 2003 naik menjadi 79 %. Unit produksi yang memiliki tren pendapatan stabil meliputi : poliklinik umum, instalasi radiologi, instalasi laboratorium, instalasi UGD, kamar operasi dan karcis. Unit produksi yang memiliki tren tidak stabil terdiri dari : rawat inap umum, rawat inap kebidanan, rawat inap neonatus, poliklinik bedah, polilinik anak, poliklinik penyakit dalam, poliklinik kebidanan, poliklinik mata, poliklinik gigi, poliklinik KB, fisioterapi, ambulance, poliklinik KIA, ICU, perawatan jenazah dan instalasi diklat. Unit produksi yang memiliki tren positif (naik) antara lain ; rawat inap umum, rawat inap kebidanan, rawat inap neonatus, poliklinik bedah, poliklinik penyakit dalam, poliklinik umum, UGD, kamar operasi, ICU, fisioterapi, instalasi radiologi, instalasi laboratorium, ambulance, jenazah, dan karcis. Pendapatan unit produksi yang memiliki tren negatif (turun) antara lain : poliklinik anak, poliklinik kebidanan, poliklinik mata, poliklinik gigi, poliklinik KB, poliklinik KIA, instalasi diktat. Unit produksi yang memiliki koefisien determinasi (R2) diatas 50% adalah instalasi laboratorium sebesar 92%, rawat inap umum sebesar 89,7%, poliklinik umum 86%, instalasi radiologi 81%, kamar operasi 76% dan karcis 73%. Unit produksi yang memiliki koefisien determinasi (R2) dibawah 50% adalah rawat inap neonates 48,9%, poliklinik bedah 48%, instalasi UGD 45%, ambulance 34,7%, instaiasi fisioterapi 23%, ICU 19,8%, poliklinik penyakit dalam 15,7%, poliklinik KB 9,4%, poliklinik mata 6,2, poliklinik KIA 5,5%, rawat inap kebidanan 2,7%, instalasi diktat 2%, poliklinik anak 1,2%, poliklinik kebidanan 0,6%, perawatan jenazah 0,05% dan poliklinik gigi 0,04. Unit produksi yang berpotensi adalah rawat inap, yaitu tahun 2002 sebesar 40,36 % dan tahun 2003 sebesar 42,7 %. Rata-rata persentase kontribusi rawat inap adalah sebesar 41,22 %, kemudian disusul instalasi laboratorium yaitu tahun 2002 sebesar 17,03 % dan tahun 2003 sebesar 18,63 %. Rata-rata persentase kontribusi laboratorium sebesar 17,83 % dan yang menempati urutan ketiga adalah kamar operasi yaitu persentase pendapatannya tabula 2002 sebesar 16,33 % dan tahun 2003 sebesar 13,24 %. Rata-rata persentase kontribusi kamar operasi sebesar I4,78 %. Pendapatan RSUD Sekayu kalau dilihat dari jenis pasien, maka pasien umum memiliki nilai pendapatan terbesar, yaitu untuk tahun 2002 sebesar Rp. 736.680.282, tahun 2003 nilai pendapatan Rp. 1,104,096,271. Pihak manajemen RSUD Sekayu harus melakukan perbaikan terhadap unit-unit produksi yang memiliki tren yang tidak stabil dan negatif, memiliki koefisien determinasi (R2) dibawah 50%, disamping itu mengembangkan unit produksi yang berpotensi, meningkatkan pasien umum dan pasien dari perusahaan (swasta) dan memberdayakan unit farmasi sebagai unit produksi.
The Evaluation Production Unit Role 0 The Income Level At Regional General Hospital In Sekayu Musi Banyuasin Regency, South Sumatra ProvinceThe research was held from 12th June 2004 till 12th July 2003 at Regional General Hospital in Sekayu, Musi Banysmin Regency, South Sumatra Province this hospital is Musa Regency Government Owned and the status is Type C, has go beds, supported by 227 human resources (paramedics and non paramedics) that BOR was increased from 47 % in 2000 to 51 % in 2001, 58 % in 2002, and 79 % in 2001 The stable production unit income tends consisted of ; general health care unit, radiology unit, laboratory unit, operation room, and ticketing. The unstable consisted of; general care unit, obstetric and gynaecology care unit, eye care unit, tooth care unit, family planning unit, physiotherapy, ambulance, mother and children care unit, ICU, Corpse care unit, and training unit. The production units which showed positive trend were ; general care unit, obstetric and gynaecology care unit, neonatal care unit, surgery unit, internal diseases care unit, general health care unit, emergency unit, operation room, physiotherapy, radiology unit, laboratory, ambulance, Corpse care unit and ticketing. The production units which showed trend were, children care unit, obstetric and gynaecology care unit, eye care unit, tooth care unit, family planning unit, mother and children care unit, and training unit. The determination coefficients (R2) of production unit above 50 % were showed for laboratory unit (92%), general care unit (89,7%), general health care unit (86%), radiology unit (81%), operation room (76%), and ticketing (73%). The determination coefficients (R2) of production unit below 50 % were showed for neonatal care unit (48,7%), surgery unit (48%), emergency unit (45%), ambulance unit (34,7%), physiotherapy unit (23%), ICU (19,8%), internal diseases care unit (15,7%), family planning unit (9,4%), eye care unit (6,2%), mother and children health care unit (5,5%), obstetric and gynaecology care unit (2,7%), training unit (2%), children health care unit (1,2%), obstetric and gynaecology health care unit (0,6%), corpse care unit (0,05%), and tooth care unit (0,04). The potential production unit was the care unit (ruang rawat inap) were namely 40,36% in 2002 and 42,7% 2001 The average percentage of its contribution were 41,22 %, laboratory 17,03 % in 2002, and 18,63 % in 2003. The average contribution of laboratory was 17,83 %, and third contribution was find the operation room amounted to 16,33 % in 2002, 13,24 % in 2003, and the average was 14,78 %. The Private Company Contributed Of Sekayu Regency Government owned Hospital seeing from the of patient so most of the patients were from the society which contributed Rp. 736.680.282 in 2002 and Rp. 1.104.096.271 in 2003. The management of Sekayu Regency Government Owned Hospital must be making renovation for production unit that have trend those are not balance and negative, having coefficient determination (R2) under 50 %, beside it making larger the production unit those are potential, increased the society patients and the patient from the company (private) and make better the pharmacy unit as production unit.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12880
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalina Kusumawati
Abstrak :
Tenaga perawat dalam rumah sakit memiliki populasi terbesar dari seluruh populasi sumber daya manusia di rumah sakit. Karena jumlahnya yang begitu besar perawat merupakan asset yang berharga bagi rumah sakit. Untuk dapat mempertahankannya, tentu rumah sakit hares memperhatikan kepuasan kerja mereka sehingga dapat memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pasien. Angka turn-over yang cukup tinggi menyebabkan rumah sakit perlu untuk mengkaji apa yang menjadi penyebabnya. Karena akibat dari angka turn-over yang cukup tinggi tersebut dapat menyebabkan rumah sakit mengeluarkan dana tambahan untuk melakukan perekrutan dan training bagi karyawan baru. Tentunya hal ini merupakan kerugian finansial yang sangat besar bagi rumah sakit. Penelitian ini dilakukan terhadap perawat di rawat inap dengan jumlah 89 orang. Dalam penelitian ini akan dilihat gambaran kepuasan kerja perawat. Variabel babas terdiri dari faktor individu perawat yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, lama kerja, dan pengalaman kerja. Sementara itu variable terikat terhadap kepuasan kerja terdiri dari upah, wewenang. kebijakan organisasi, interaksi, status professional, dan tuntutan tugas. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat cross-sectional survey dengan menggunakan instrument penelitian yang dimodifikasi Bari Paula L. Stamps (1997) rujukan dari Paramita (2003). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa upah dipersepsikan paling penting tetapi dari tingkat kepuasan dipersepsikan paling tidak mernuaskan. Total reponden yang menyatakan tidak puas sebanyak 50,6 %. Gambaran faktor individu terhadap upah, wewenang, kebijakan organisasi, interaksi, status professional, dan tuntutan tugas menunjukkan tingkat ketidakpuasan yang cukup tinggi. Karena itu rumah sakit perlu menetapkan jenjang karir professional sebagai sistem untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme dan akhirnya memenuhi kepuasan kerja.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12800
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanelda
Abstrak :
Penyakit campak merupakan penyakit infeksi yang cukup serius, sering menyerang anak umur di bawah lima tahun yang tidak mempunyai kekebalan terhadap penyakit campak. Di negara berkembang penyakit campak masih merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan pada anak-anak. Program imunisasi di negara berkembang merupakan program prioritas. Di Indonesia imunisasi campak diberikan kepada bayi untuk menghindari dari penyakit menular . Program imunisasi ini dimulai pada tahun 1984 dengan melakukan pemberian imunisasi campak dosis tunggal atau satu dosis terhadap bayi umur 9 - 11 bulan. Pada tahun 1990 Indonesia berhasil mencapai cakupan 85,4 % . Sesuai dengan besaran target UCI yang ditetapkan secara nasional salah satu tujuan utamanya adalah pemberian imunisasi dasar kepada setiap bayi umur satu tahun (kontak lengkap dengan. indikator campak) dengan target minimal 80 % imunisasi untuk semua anak. Beberapa hasil penelitian dan laporan dari negara-negara di dunia menyatakan bahwa strategi pemberian imunisasi dosis tunggal atau satu dosis terhadap anak tidak dapat mencapai menurunkan terjadinya kasus campak sebagai tujuan global. Negara-negara berkembang di Amerika Utara, Eropah Barat dan Australia menerapkan pemberian vaksinasi campak dua dosis yang saat ini berada pada tahap eliminasi campak. Dengan keterbatasan anggaran pembiayaan kesehatan saat ini, WHO memberikan rekomendasi terhadap negara-negara berkembang untuk melakukan kegiatan inovatif sebagai strategi dalam pengendalian kasus campak antara lain melalui model catch up dan crash program yang merupakan kegiatan tambahan pemberian vaksin dosis kedua. Dengan kegiatan imunisasi rutin yang sudah dilaksanakan di Indonesia temyata pencapaian target UCI sulit untuk dipertahankan dan sebagian daerah tingkat kecamatanldesa cakupan imunisasi campak belum merata. Sesuai dengan rekomendasi Kelompok Kerja Reduksi Campak , maka Indonesia tabus 2000 disamping melaksanakan imunisasi rutin terhadap bayi juga sudah melaksanakan pemberian imunisasi campak tambahan terhadap anak SD kelas I sampai VI yang pertama kali dilaksanakan pada dua Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat melalui model catch up dan crash program untuk anak umur di bawah lima tahun di daerah resiko tinggi pada 13 propinsi di Indonesia. Secara objektif studi CEA memberikan pengaruh yang besar terhadap pengukuran biaya satuan yang paling cost efektive untuk melihat komponen biaya terbesar dari suatu kegiatan dalam penurunan Ilaju kasus penyakit campak setelah dilakukan penambahan dosis imunisasi vampak. Penelitian telah dilakukan pada 16 puskesmas di Kota Padang Propinsi Sumatera Barat tahun 2002 sebagai lokasi penelitian yang terdiri dan delapan puskesmas UCI melaksanakan program rutin (pembanding) model-1 dan delapan puskesmas Non UCI pada tahun yang sama melakukan program imunisasi tambahan crash program disamping program rutin sebagai model-2. Disain penelitian adalah penelitian operasional dengan metode CEA . Dari hasil analisa data yang dilakukan dan perhitungan biaya satuanikegiatan pelayanan (suntikan) dari kedua model pendekatan yang berbeda maka diperoleh basil yang menunjukkan model-1 : Rp. 99.847,- dan model-2 :Rp. 57.048,- (100% : 57,08%) terhadap sasaran yang terlindung Bari kasus campak maka diperoleh efektivitas model-2 sebesar 42,92 %. CE ratio M.2 : M.I = 1,8 : 3,12, dengan komponen biaya terbesar adalah biaya operasional atas pembelian alat suntik autodisable (ADS) dan vaksin campak sebesar 53,12% dari total biaya yang ada dengan kasus yang terjadi sebesar 36,5%. Terjadi penurunan kasus yang cukup signifikan pada puskesmas yang melaksanakan kegiatan model-2 sebesar 36,5 % dibanding dengan puskesmas model-1 hanya dapat menurunkan kasus 6,1%. Sampai saat ini di Kota Padang tidak pernah terjadi KLB campak bila melihat frekuensi KLB campak dalam waktu lima tahun terakhir masih sexing terjadi di Prop. Sumatera Barat, meskipun Kota Padang masih merupakan daerah endemis penyakit campak. Dengan peningkatan cakupan yang sangat tinggi dapat terjadi penurunan trend kasus yang cukup tajam, sehingga dapat memutuskan lmenghambat terjadinya transmisi virus. Untuk menghilangkan desa atau kelurahan rawan campak yang masih terdapat di Kota Padang, disamping melaksanakan kegiatan program rutin, kegiatan crash program tetap dijadikan prioritas kegiatan strategis dengan cost effective yang relatif rendah.
Cost Effectiveness Analysis on Measles Immunization Program from Two-Models In Padang City on the Year 2002Measles is a serious infectious disease attacked predominantly children under five who are susceptible to the disease. In most developing countries, measles is still one of the leading causes of children morbidity and mortality. Immunization is a mayor health issue in developing countries. In Indonesia immunization for infants against measles which a communicable disease, was started in 1984 and measles immunization was introduced as a single dose approach for infants at nine month of age. In 1990, Indonesia achieved 85,4 % level of dosage. One of a bigger goals for children by the year 1990 is that at least 80% children under the age of one would have access to immunization Universal Child Immunization (UCI). Many studies and country reports suggest that single dose measles strategy is not sufficient to achieve the global target of measles elimination. Several developed countries in the North America, West Europe and Australia that have implemented two-dose measles schedule are now in three measles elimination phase, WHO recommended developing countries to implement innovative immunization strategy such as measles catch up campaign and crash program to prevent measles outbreak before introducing two-dose measles strategy. In Indonesia so that beside routine basic immunization program to infant has also in the year 2000 introduced additional measles vaccination to school children year 1 - 6 elementary school in DKI Jakarta and West Java (catch-up program) and crash program for children under five was also introduced in measles high risk area. The objectives of the cost effectiveness analysis study are to get better picture and better understanding of the most cost effective model of measles vaccination, unit cost for each activity, the biggest budget component, trend of measles reduction after additional measles vaccination been implemented. The pilot study was conducted in 16 health centers representative health centers in the on regions municipalityldistrict in West Sumatra province (Padang City). Consists of eight centers have achieved village UCI Coverage in 2002 which are implementing routine immunization (model-1) and eight health centers who have not village UCI coverage in 2002 too which are implementing crash program immunization_The study design was operational research, economical evaluation cost effectiveness analysis (CEA) using retrospective data with descriptive analysis. From data analysis it is evidence that the unit cost for different approaches are the results indicates. Model-1 (Routine) Rp, 99.847,- dan Model-2 (Routine + crash program) Rp. 57.048,-.The most cost effective is crash program which is 42,92% (100 % : 57,08 %) of the cost of routine immunization. CE Ratio M2 : M1 = 1,8 : 3,15 with the biggest component is operational cost which is 53,2 % of the total cost.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T12829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Minarsih Moerdhoko
Abstrak :
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah melalui kebijakan otonomi manajemen telah merubah 13 rumah sakit vertikal menjadi Perjan, melalui P.P Nomor 116 sampai dengan Nomor 128 tahun 2000 tentang pendirian Perjan Rumah Sakit. Dengan perubahan status organisasi ini. maka pengelolaan keuangannya berubah sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam PP Perjan. Dalam ketentuan yang tertuang pada PP Nomor 118 tahun 2000 tentang Pendirian Perusahaan Jawatan Rumah Sakit Persahabatan pasal 17, dinyatakan bahwa Direksi dalam melaksanakan tugas memimpin dan mengurus Perjan harus membuat Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Dalam menyusun RKAP harus melibatkan semua unit yang ada didalam rumah sakit, yang mempunyai tanggung jawab atas kegiatan operasional rumah sakit, unit tersebut disebut juga dengan pusat pertanggungjawaban. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pembuatan RKAP RSP, balaimana persepsi para Manajer Menengah RSP terhadap RKAP, factor-faktor apa yang menghambat serta harapan-harapan para Manajer Menengah RSP terhadap RKAP.\ Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam dan observasi sebagai metode pengumpulan data, dimana tujuan penelitian adalah mengetahui proses pembuatan RKAP di RSP. Informan dalam penelitian ini jumlahnya 25 orang yang terdiri dari dua kelompok, yaitu: Manajer Puncak yang terdiri dari Para Direktur sebanyak 3 orang, Kepala Bagian Keuangan dan Kepala Bagian Akuntansi sebagai nara sumber, serta Manajer Menengah yang terdiri dari Manajer Instalasi dan Kepala SMF yang seluruhnya ada sebanyak 20 orang. Hasil penelitian menunjukkan proses penyusunan RKAP masih belum melibatkan para manajer menengah secara aktif, hal ini disebabkan karena waktu penyusunan yang terbatas, disamping itu juga karena kurangnya pengetahuan tentang perencanaan dari para Manajer. Pengesahan RKAP oleh Menteri pada tahun pertama sangat lambat sekitar pertengahan tahun anggaran berjalan, hal ini karena RKAP merupakan hal baru bagi rumah sakit sehingga memerlukan penyesuaian dalam pembuatannya, sedang pada tahun kedua sudah lebih baik disahkan pada bulan Maret 2003. Faktor-faktor yang menghambat dalam pembuatan RKAP adalah data yang tidak akurat antara unit kerja dan rumah sakit, disamping itu juga pengetahuan para Manajer tentang manajemen pada umumnya dan perencanaan pada khususnya masih kurang. Belum adanya umpan balik dari RKAP yang telah disahkan serta evaluasi yang belum dijalankan juga merupakan hambatan yang dirasakan oleh para manajer. Para manajer mengharapkan agar ada perbaikan pencatatan dan pelaporan data, pemberian umpan balik serta adanya evaluasi kegiatan agar mutu RKAP menjadi lebih baik. Disamping itu juga pemberian pelatihan untuk pembuatan perencanaan strategi sangat mereka harapkan. Daftar Bacaan 38 ( 1987- 2003)
In the effort improvement quality service of society health, governmental through autonomous policy of management have altered 13 vertical hospital into Private Corporation, through the Government Law Number 116 up to Number 128 year 2000, about pounding of Corporate Hospital. With change of this organizational status, hence management of its finance change according to Government Law Number 116 up to Number 128 year 2000, In Rile decanted at the Government Law Number 118 year 2000 about Founding of Company of Persahabatan Hospital section 17, expressed by that Board of Directors in executing duty lead and manage the company have to make Work Plan and Company Budget ( RKAP). In compiling RKAP, The Board of Directors have to entangle all existing unit within hospital, having responsibility for operational activity hospital. The unit referred as responsibility center. The purpose of this research is to know the process of compilation of RKAP RSP, how perception of all Middle Manager of RSP to RKAP, factors that pursuing and also expectation of all Middle Manager of RSP toward RKAP. The Research method is qualitative, by using in depth interview and observation as data collecting method, where research target is to know the process of making RKAP in RSP. Informer in this research is amount 25 person, who is consisted of two group, that is: Top Manager consisted of All Director as much 3 person, Monetary Superintendent and the Accountancy Superintendent as resource person, and also the Middle Manager consisted of Installation Manager and Lead of Functional Medical Staff (SMF) which entirely there is as much as 20 people. The result of study indicate that process of compilation of RKAP still not yet entangled all middle manager actively, this matter is because of limited time compilation, and also because lack of knowledge about planning of the managers. Authentication of RKAP by Minister in the year first very tardy about in the middle of the budget walk, this matter because RKAP represent new matter for hospital so that need adjustment in its making, in the year the second have better, is ratified at March 2003 The factors pursuing in making RKAP is inaccurate data between unit work and the hospital, despitefully also knowledge of all Manager about management and the planning still less. Existence of feed back not vet from RKAP which have been ratified and also the evaluation which not yet been run also represent resistance felt by all manager. All manager expect in order to there is data reporting and record-keeping repair, feed back and also the existence evaluate activity in order to quality of RKAP become better. Beside that they also expect the training for the strategy planning. References 33 ( 1937- 2003)
Depok: Universitas Indonesia,
T12932
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>