Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Frida Agu
Abstrak :
Dengan makin bertambahnya jumlah lanjut usia di Indonesia, maka pelayanan kesehatan, termasuk kesehatan mental bagi kelompok usia tersebut merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan mental yang adekuat, maka, diperlukan data prevalensi gangguan mental lanjut usia yang ada di masyarakat. Saat ini di Indonesia belum ada data prevalensi gangguan mental pada lanjut usia. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan mental lanjut usia di Keluraban Manggarai, Kecamatan Tenet, Jakarta Selatan. Besar sample 144 subyek penelitian, berusia 60 tabun dan lebib. Pengambilan sampel dengan menggunakan cara cluster random sampling. Instruinen yang dig unakan adalah Composite International Diagnostic Interview (CIDI) versi 1.1. Dari hasil penelitian diperoleh; prevalensi gangguan mental lanjut usia di kelurahan Manggarai sebesar 25%. Tidak ada perbedaan bermakna antara jumlah lanjut usia wanita dan lanjut usia Aria yang mengalaxni gangguan mental Sindrom otak organik merupakan gangguan yang paling banyak terdeteksi dad penelitian ini yakni 11,7 %. Semua gangguan akibat deficit kognitif antara lain Depresi, Delirium, Dimensia, Sindroma Pasca Kontusio serebri dan retardasi mental dapat masuk dalam sindroma otak organik- Cangguan mental lainnya yaitu Depresi 6,2 % dan Gangguan camas 4,7 %, juga merupakan gangguan yang berada pads urutan kedua dan ketiga setelah sindroma otak organik. Prevalensi gangguan mental pada lanjut usia yang ditemukan pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Jarvik LF dalam Comprehensive textbook of Psychiatry bahwa 15 - 25 % dad lanjut usia mengalami gangguan mental instrumen yang digunakan pada penelitian ini tidak dapat mendeteksi gangguan Demensia yang banyak dijumpai pada lanjut usia. Oleh karena itu diperlukan perangkat yang dapat mendeteksi secara spesifik gangguan. mental pada lanjut usia.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozi Yuliandi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Perbaikan fungsi sosial adalah salah satu tujuan tatalaksana skizofrenia. Beberapa studi menunjukkan fungsi sosial dipengaruhi oleh gejala positif, gejala negatif, dan gangguan neurokognitif. Tatalaksana secara farmakologis memiliki manfaat yang efektif untuk mengatasi gejala positif seperti halusinasi dan waham, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap fungsi sosial. Demikian juga, rehabilitasi kognitif memiliki manfaat terbatas untuk meningkatkan fungsi sosial. Studi terbaru menunjukkan bahwa kognisi sosial menjadi salah satu faktor yang memengaruhi fungsi sosial. Pada pasien skizofrenia, terjadi penurunan beberada domain kognisi sosial. Terdapat berbagai metode untuk meningkatkan kognisi sosial, salah satunya adalah Social Cognition and Interaction Training (SCIT). Modul SCIT menargetkan tiga domain kognisi sosial pada skizofrenia, yaitu : emotional processing, theory of mind, dan bias atribusi. Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menilai keandalan antar penilai Modul SCIT untuk skizofrenia versi Indonesia.

Metode. Studi ini merupakan uji keandalan antar penilai modul SCIT untuk skizofrenia versi Indonesia terhadap implementasi aktivitas dalam setiap sesi yang dilakukan oleh peneliti di modul SCIT pada kelompok sehat. Besar sampel ditetapkan berdasarkan jumlah orang dalam satu kelompok berdasarkan ketentuan dari modul yaitu 7 orang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Intraclass Correlation Cofficient (ICC) dengan total nilai tiap sesi modul dibandingkan antar penilai.

Hasil. Keandalan antar penilai pada modul SCIT versi Indonesia ini sangat baik, dengan nilai Intraclass Correlation Cofficient (ICC) sebesar 0.985.

Kesimpulan. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi modul SCIT versi Indonesia memperlihatkan bahwa konsistensi antar penilai yang sangat baik. Modul pelatihan ini bisa diterapkan dengan menyesuaikan situasi dan budaya di Indonesia.
ABSTRACT
Background. One of the goals of schizophrenia treatment is to improve the patient`s social functioning. Some studies show social function is influenced by positive symptoms, negative symptoms and neurocognitive disorders. Pharmacological treatment has effective benefits for dealing with positive symptoms such as hallucinations and delusions, but does not have a significant effect on social functioning. Likewise, cognitive rehabilitation has limited benefits for improving social functioning. Recent studies have shown that social cognition is one of the factors that influence social functioning. In schizophrenia patients, there are decrease some domain of social cognition. There are various methods to improve social cognition, one of which is Social Cognition and Interaction Training (SCIT). The SCIT module targets three domains of social cognition in schizophrenia, emotional processing, theory of mind, and attribution bias. This research is a preliminary study to assess the inter-rater reliability of SCIT module for schizophrenia in Indonesian version.

Method. This study is an inter-rater reliability of SCIT module for schizophrenia in Indonesian version on the implementation of activities in each session conducted by researcher in SCIT module in healthy groups. The sample size is determined based on the number of people in one group based on the provisions of the module which is 7 people. Measurements were made using the Intraclass Correlation Cofficient (ICC) with the total value of each module session compared between raters.

Results. The inter-rater reliability of SCIT module for schizophrenia in Indonesian version is very good, with the Intraclass Correlation Cofficient (ICC) value is 0.985.

Conclusion. In this study, can be concluded that the implementation of the Indonesian version of SCIT module shows that the consistency among raters is very good. So that this training module can be implemented by adjusting to the situation and culture in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Legoh, Dickson Allan
Abstrak :
Latar Belakang: Banyak penelitian yang melaporkan adanya hubungan antara disfungsi ereksi (DE) dengan depresi, akan tetapi hubungan kausal tetap tidak jelas. Sulit membatasi mana yang lebih dahulu apakah depresi atau DE. Prevalensi depresi pada laki-laki dengan DE oleh Strand J, dkk mendapatkan angka 14,7% dengan menggunakan DSM IV. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara lama dan derajat DE dengan depresi. Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross-sectional terhadap 49 sampel DE organik yang datang berobat di Klinik Impotensi Departemen Urologi RSUPN-CM Jakarta pada bulan Januari 2004 sampai Agustus 2004 yang memenuhi kriteria penelitian. Instrumen yang digunakan adalah structure clinical interview for DSM IV Axis I-Disorder (SCID). Hasil: Dari 49 sampel DE organik sebesar 22,4% sampel mengalami depresi. Proporsi Gangguan Depresi tertinggi ditemukan pada sampel DE organik derajat ringan (62,5%) dan lama sakit DE 2 tahun (30,4%). Pada sampel terdapat hubungan yang bermakna antara DE organik derajat ringan dengan Gangguan Depresi (p 0,020), sementara hubungan antara lama DE organik dengan Gangguan Depresi tidak terbuktikan secara statistik (p 0,208). Hasil analisis regresi logistik didapatkan DE organik derajat ringan merupakan faktor risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada sampel (OR 8,7). Simpulan: Disfungsi ereksi derajat ringan adalah faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami gangguan Depresi pada pasien DE organik. ......Introduction: A number of trials have reported a correlation between erectile dysfunction and depression; however the causal link has not been clear yet. It's difficult to determine which of these - erectile dysfunction or depression - occurs first. Prevalence of depression in men with erectile dysfunction, assessed by Strand J et al obtained 14.7% by using DSM-IV. The purpose of this trial was to elicit the presence of correlation between the morbid duration and the degree of erectile dysfunction with depression. Methods: A cross sectional trial on 49 samples who presented to the Clinic of Impotence in the Urological Department of Cipto Mangunkusunzo Hospital in Jakarta from January 2004 until August 2004. The fulfilled the criteria of the trial. The instrument used was Structured Clinical Interview for DSM IV Axis-I Disorder (SCID). Result: Out of 49 organic erectile dysfunction samples, 22.4% of them were found to have depression. Proportions of the highest Depression Disorder were found in mild organic erectile dysfunction samples (62.5%) and with the morbid duration 52 years (30.4%). In the samples, significant correlation was found between mild organic erectile dysfunction with Depression Disorder (p 0.020) whereas the correlation of the morbid duration of organic erectile dysfunction with Depression Disorder was not statistically obtained (p 0.208). The results of logistic regression analysis revealed that mild organic erectile dysfunction constituted a risk factor for developing Depression Disorder among the sample (OR 8.7). Conclusion: Mild erectile dysfunction is a factor that has a role in augmenting the risk for developing Depression Disorder in organic erectile dysfunction patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindita Pinastikasari
Abstrak :
[ABSTRAK
Pendahuluan: Menurut World Health Organization, populasi orang dengan skizofrenia (ODS) di dunia adalah tujuh dari 1000 orang. Kelly (2002) menyatakan bahwa 25% dari total 138 ODS mengalami gangguan fungsi eksekutif. Pada metaanalisis Green (1996) dinyatakan bahwa fungsi eksekutif dapat memengaruhi performa fungsi. Telah ada penelitian Desmiarti (2010) yang meneliti hubungan antara defisit fungsi memori verbal dengan performa fungsi ODS. Namun belum ada penelitian yang meneliti hubungan antara fungsi eksekutif dengan performa fungsi ODS di Indonesia. Metode: Penelitian menggunakan rancangan potong lintang pada 160 ODS di Poliklinik Jiwa Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penelitian ini menggunakan instrumen Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders, Positive and Negative Symptoms Scale Excitement Components, Extrapyramidal Syndrome Rating Scale, tes kemampuan membaca, Trail Making Test (TMT) A dan B, Personal and Social Performance Scale (PSP). Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna antara fungsi eksekutif (TMT B) dengan performa fungsi (PSP) yaitu p=0.014 dengan hasil analisis korelasi Spearman p=0.000 dan koefisien korelasi r=-0.345. Pada hasil analisis multivariat didapatkan adanya hubungan bermakna antara pendidikan (OR=0.294, p=0.016), gejala penyakit (OR=0.271, p=0.006), status pernikahan (OR=0.166, p=0.002), pekerjaan (OR=0.079, p=0.000), jenis antipsikotika (OR=0.067, p=0.001) dengan performa fungsi (PSP). Simpulan: Semakin tinggi skor TMT B (fungsi eksekutif) maka semakin rendah skor PSP (performa fungsi) ODS. Defisit fungsi eksekutif (TMT B) berhubungan langsung dengan performa fungsi (PSP). Faktor yang juga berpengaruh pada performa fungsi (PSP) adalah pendidikan, gejala penyakit, status pernikahan, pekerjaan dan jenis antipsikotika. Instrumen TMT B dapat lebih spesifik menilai fungsi eksekutif pada kelompok ODS sehingga dapat digunakan sebagai alat deteksi defisit fungsi kognitif di layanan psikiatri.
ABSTRACT
Introduction: Based on World Health Organization, schizophrenia population in the world is seven from 1000. Kelly (2002) said that 25% from 138 schizophrenia people experiencing executive function disorder. Green metaanalysis (1996) stated that executive function can influence function performance. There is a Desmiarti?s research (2010) that examine relationship between verbal memory function deficit with function performance in schizophrenia. However, there is no research that examine relationship between executive function with function performance in schizophrenia at Indonesia. Method: This research using cross-sectional design from 160 schizophrenia people at Poliklinik Jiwa Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. This research using instrument such as Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders, Positive and Negative Symptoms Scale Excitement Components, Extrapyramidal Syndrome Rating Scale, reading ability test, Trail Making Test (TMT) A and B, Personal and Social Performance Scale (PSP). Result: There is a significant relationship in this research between executive function (TMT B) with function performance (PSP) p=0.014 by Spearman correlation analysis result p=0.000 and correlation coefficient r=-0.345. There are significant relationship in this research multivariate analysis between education (OR=0.294, p=0.016), schizophrenia symptoms (OR=0.271, p=0.006), married status (OR=0.166, p=0.002), job (OR=0.079, p=0.000), antipsychotics (OR=0.067, p=0.001) with function performance (PSP). Conclusion: The higher TMT B score (executive function), the lower PSP score (function performance) of schizophrenia people. Executive function deficit (TMT B) have a direct relation with function performance (PSP). Another factors that have influence to function performance (PSP) are education, schizophrenia symptoms, married status, job, antipsychotics. TMT B instrumen was more specific to assess executive function at schizophrenia group so TMT B can be used as detection tool of cognitive function deficit on psychiatric care, Introduction: Based on World Health Organization, schizophrenia population in the world is seven from 1000. Kelly (2002) said that 25% from 138 schizophrenia people experiencing executive function disorder. Green metaanalysis (1996) stated that executive function can influence function performance. There is a Desmiarti’s research (2010) that examine relationship between verbal memory function deficit with function performance in schizophrenia. However, there is no research that examine relationship between executive function with function performance in schizophrenia at Indonesia. Method: This research using cross-sectional design from 160 schizophrenia people at Poliklinik Jiwa Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. This research using instrument such as Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders, Positive and Negative Symptoms Scale Excitement Components, Extrapyramidal Syndrome Rating Scale, reading ability test, Trail Making Test (TMT) A and B, Personal and Social Performance Scale (PSP). Result: There is a significant relationship in this research between executive function (TMT B) with function performance (PSP) p=0.014 by Spearman correlation analysis result p=0.000 and correlation coefficient r=-0.345. There are significant relationship in this research multivariate analysis between education (OR=0.294, p=0.016), schizophrenia symptoms (OR=0.271, p=0.006), married status (OR=0.166, p=0.002), job (OR=0.079, p=0.000), antipsychotics (OR=0.067, p=0.001) with function performance (PSP). Conclusion: The higher TMT B score (executive function), the lower PSP score (function performance) of schizophrenia people. Executive function deficit (TMT B) have a direct relation with function performance (PSP). Another factors that have influence to function performance (PSP) are education, schizophrenia symptoms, married status, job, antipsychotics. TMT B instrumen was more specific to assess executive function at schizophrenia group so TMT B can be used as detection tool of cognitive function deficit on psychiatric care]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Givenchy Eunike Semen
Abstrak :
Pendahuluan: WHO menetapkan Compulsive Sexual Behavior Disorder (CSBD) sebagai diagnosis baru yang dikelompokkan dalam klasifikasi gangguan kontrol impuls. CSBD merupakan masalah klinis yang signifikan, namun penelitian epidemiologi secara luas masih terbatas. Prevalensi diperkirakan berkisar 3%-6% di USA. Saat ini kebutuhan akan panduan skrining dan diagnosis mendesak. Di Indonesia, meski belum ada data resmi tentang CSBD, meningkatnya akses ke situs pornografi dan perilaku seksual pada kelompok usia muda menunjukkan potensi masalah. Peneliti tertarik untuk menguji validitas instrumen Compulsive Sexual Behavior Inventory-13 (CSBI-13) versi Bahasa Indonesia, sebagai langkah awal dalam memahami dan menangani CSBD di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan instrumen Compulsive Sexual Behavior Inventory-13 yang valid secara isi dan konstruks, serta reliabel dalam Bahasa Indonesia. Metode: Penelitian ini dimulai dengan proses forward and backward translations antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Dilanjutkan dengan uji validitas isi dan konstruks serta reliabilitas konsistensi internal dan test retest. Uji validitas isi dilakukan oleh 3 pakar psikiatri di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, dan pengukuran item content validity ratio (CVR), content validity index (I-CVI) dan scale content validity index (S-CVI). Responden untuk uji validitas konstruks dan reliabilitas konsistensi internal adalah 112 orang, sedangkan untuk uji reliabilitas test-retest adalah 30 orang, yang diambil dari pasien dan keluarga pasien yang datang ke Poli Kulit Kelamin, Urologi, dan Pokdisus (HIV/AIDS) RSUPN dr Cipto Mangunkusumo pada bulan Oktober-November 2023. Analisis dari uji validitas konstruks dilakukan dengan exploratory factor analysis. Uji reliabilitas dinilai menggunakan konsistensi internal Cronbach’s alpha dan test-retest. Uji reliabilitas test-retest diuji dari dua kali pengukuran dengan jarak pemeriksaan 30 hari. Hasil: Validitas isi instrumen CSBI-13 versi Bahasa Indonesia, baik I-CVI dan S-CVI bernilai 1,00, dan CVR bernilai 1 di setiap butirnya. Hasil dari explaratory factor analysis didapatkan 3 faktor yang terbentuk. Nilai reliabilitas konsistensi interna baik dengan Cronbach’s alpha 0.872. Uji reliabilitas test-retest menunjukkan hubungan yang signifikan (r = 0.975; p<0.001). Simpulan: Instrumen CSBI-13 versi bahasa Indonesia sahih secara isi dan konstruks serta reliabel untuk digunakan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo sebagai skrining terhadap gangguan perilaku seksual kompulsif. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai uji sensitivitas dan spesifisitas instrumen ini. ......Background: WHO defines Compulsive Sexual Behavior Disorder (CSBD) as a new diagnosis, in impulse control disorders group. Compulsive Sexual Behavior Disorder is a significant clinical problem, but epidemiological research is limited. The prevalence is estimated from 3%-6% in the USA. Currently, the need for screening and diagnosing are urgent. In Indonesia, although there is no official data on CSBD, increasing access to pornography content and sexual behavior among young adult indicates a potential problem. There are several instruments that have been developed to screen or diagnose this disorder and CSBI-13 is one of the instrument that has been adapted into several languages. This study aims to evaluate the validity and reliability of Compulsive Sexual Behavior Inventory-13 in Indonesian version. Method: This research was started by forward and backward translation process between English and Bahasa Indonesia, followed by content and construct validity tests as well as internal consistency and test retest reliability. The content validity was carried out by 3 psychiatrist as experts in Ciptomangunkusumo Hospital, to measure item content validity ratio (CVR), content validity index (I-CVI) and scale content validity index (S-CVI). Around 112 respondents filled the CSBI-13 Indonesian Version that has been finalized, to get the construct validity and internal consistency reliability, while 30 respondent filled the instrument in two different times, for the test-retest reliability. Respondent were from patients and patient families who came to the Dermatology, Urology and Pokdisus (HIV/AIDS Patient Care) Outpatient at RSUPN Dr Cipto. Mangunkusumo in October-November 2023. Analysis of the construct validity was completed by exploratory factor analysis. The reliability was assessed using internal consistency and test-retest. Test-retest reliability was completed from two measurements with 30 days interval. Results: The content validity of the Indonesian version of the CSBI-13 instrument I-CVI and S-CVI is 1.00, and CVR has a score of 1 for each item. From explaratory factor analysis, there are three factors were formed. The internal consistency reliability is reliable (Cronbach's alpha 0.872). The test-retest reliability showed a significant relationship (r = 0.975; p<0.001). Conclusion: CSBI-13 Indonesian version is valid, in content and construct, and also reliable for use in Ciptomangunkusumo Hospital as a screening for compulsive sexual behavior disorders. Further research is needed to assess the sensitivity and specificity test of this instrument.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Kurniawan
Abstrak :
Latar Belakang: Perilaku non-suicidal self injury NSSI adalah tindakan menyakiti diri yang tidak bertujuan untuk mengakhiri hidup. Beberapa studi menemukan bahwa angka NSSI cukup tinggi pada remaja SMA, dilakukan oleh 1 dari 4 remaja usia 16-17 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mencari angka perilaku menyakiti diri pada siswa SMA di Jakarta, mencari motivasi dan faktor risiko perilaku tersebut. Metode: Peneliti menghubungi tiga sekolah yang bersedia menjadi lokasi penelitian. Dilakukan pengacakan untuk menentukan masing-masing satu kelas IPA dan IPS dari tiap sekolah yang akan menjadi subyek penelitian. Peneliti menggunakan Self Harm Behavior Questionnaire versi bahasa Indonesia untuk menilai perilaku menyakiti diri, SCL-90 versi bahasa Indonesia untuk menilai psikopatologi, dan mengadaptasi Child and Adolescent Self-Harm in Europe untuk menilai motivasi dan stresor sosial. Uji ?2 dan Pearson dilakukan untuk menilai hubungan faktor risiko dan perilaku menyakiti diri. Hasil: Sebanyak 34,3 subyek penelitian pernah melakukan tindakan menyakiti diri dalam masa remaja mereka dan tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Laki-laki lebih banyak melakukan perilaku menyakiti diri dengan memukul tembok atau lemari 44,4 sedangkan perempuan lebih banyak melakukan cutting 41,5 . Motivasi terbanyak dalam melakukan tindakan menyakiti diri adalah keinginan untuk melegakan pikiran yang tidak menyenangkan. Terdapat beberapa faktor risiko sosial yang berhubungan dengan perilaku menyakiti diri yaitu kesulitan berteman RR 1,985 , riwayat teman dengan perilaku menyakiti diri RR 1,648 , dan mengalami perundungan RR 1,593 . Psikopatologi yang memerlukan perhatian khusus adalah depresi RR 1,618 , ansietas RR 1,673 , somatisasi RR 1,816 , dan psikositisme RR 1,703 . Simpulan: Angka perilaku menyakiti diri pada remaja SMA cukup tinggi. Hal ini berhubungan dengan faktor risiko stresor sosial yang berhubungan dengan relasi remaja dengan sebayanya. Pada setiap perilaku menyakiti diri, perlu dicari kemungkinan adanya gangguan mental emosional yang mendasarinya. ......Background Non suicidal self injury NSSI is an act with non fatal intention. Several studies discovered high number of NSSI in adolescents, which is found in 1 every 4 adolescent aged 16 17 years old. This research aims to find the number of NSSI in high school student in Jakarta, finding the overlying motivation, and the risk factor of such acts. Methods Three schools are willing to participate in the study. A randomization is performed to determine one of the social science class and one fo the math and physics science class from each school to be the research subject. The questionnaires used are Self Harm Behavior Questionnaire to evaluate self harm act, SCL 90 to evaluate psychopathology, and Child and Adolescent Self Harm in Europe to evaluate motivation and social stressor. Pearson and 2 test is performed to find the relationship between risk factors and self harm acts. Result Among the respondents, 34.3 has performed self harm behavior during their adolescent period. There is no significant difference between the number of male and female subjects. Male subjects report high number of aggressive acts such as hitting wall or cupboard 44.4 while female subjects report high number of self cutting 41.5 . The main motive for self harm was to lsquo get relief from a terrible state of mind rdquo . Several risk factors are associated with self harm acts, such as difficulties with peer relationships RR 1,985 , self harm behaviour in close friend RR 1.618 , and bullying RR 1.593 . Notable psychopathologies are depression RR 1.618 , anxiety RR 1.673 , somatization RR 1.816 , and psychoticism RR 1.703 . Conclusion The number of self harm acts in high school student is quite high. This condition is related to social stressor risk factor, which is related to adolescent relationship with peer group. In every self harm act, it is important to find the possibility of underlying mental emotional disorder.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57671
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita
Abstrak :
Latar Belakang: Skizofrenia merupakan masalah gangguan mental berat yang menyebabkan penderitaan di dunia. Di Indonesia, prevalensi gangguan mental berat sebesar  1,7  per  mil. Di Jakarta, untuk populasi di atas usia 15 tahun, 2,03% di antaranya menunjukkan gejala positif gangguan psikosis. Skizofrenia membutuhkan perawatan jangka panjang, menyebabkan produktivitas menurun atau hilang, beban sosial dan keuangan sangat besar, serta biaya perawatan tinggi. Ketersediaan Pusat Kesehatan Masyarakat dikaitkan dengan menurunnya angka morbiditas pada orang dengan skizofrenia. Tatalaksana segera akan memperbaiki keluaran pada pasien skizofrenia. oleh karena itu penting untuk diketahui pengetahuan dokter di Puskesmas mengenai tatalaksana skizofrenia. Metode: Studi ini merupakan studi deskriptif analitik yang menggunakan desain potong lintang, dilakukan di Puskesmas Provinsi DKI Jakarta. Subjek penelitian adalah dokter umum yang melakukan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas Propinsi DKI Jakarta. Total 32 subjek diikutsertakan dalam studi, mengisi kuesioner Pengetahuan Dokter Puskesmas Mengenai Antipsikotika. Pola peresepan dikumpulkan dengan melihat peresepan bulan Juli-Desember 2017. Hasil: Pengetahuan dokter mengenai antipsikotika lebih banyak kurang baik (59,4%). Sumber pengetahuan terbanyak adalah dari pendidikan fakultas kedokteran (93%).  Pola peresepan yang lebih banyak dijumpai adalah tidak tepat (96,9%) dan  politerapi (59,7%). Penelitian ini juga mendapatkan tidak ada hubungan bermakna antara pengetahuan dokter mengenai antipsikotika dengan pola peresepan antipsikotika dalam tatalaksana skizofrenia (p>0,05). Kesimpulan: Dokter Puskesmas di DKI propinsi Jakarta banyak meresepkan antipsikotika, misalnya kombinasi haloperidol dan klorpromazin, bersamaan dengan antikolinergik. Hal ini tidak berhubungan dengan pengetahuan mengenai antipsikotika. ......Background: Schizophrenia is a severe mental disorder that cause severe burden in the world. The prevalene of severe mental disorder in Indonesia is 1,7‰. In Jakarta, the prevalence of positive psychotic symptoms for people above 15 years old is 2,03%. People with schizophrenia have low productivity and require a life long treatment which cause high social and economical burden. The availibility of primary public health is associated with decreased schizophrenia’s morbidity rate. Early treatment will influence the outcome of schizophrenia, hence it is important to obtain the knowledge of primary care physicians about the management of schizophrenia. Method: This is a descriptive analytic study with a cross sectional design. The study was conducted in Primary Public Health Care in Jakarta. Subjects are doctors who provide mental health services in the selected primary public health. Thirty two subjects were recruited in the study. They were asked to take the questionnaire that could measure the knowledge of the primary care physicians regarding antipsychotics. Prescription patterns were obtained by looking at the prescription data from July to December 2017. Results:  This research shows that about 59,4% physicians have low knowledge about antipsychotics. The physican’s knowledge was mostly obtained from studying at medical faculty (93%). Majority of prescription pattern are inexact (96,9%) and polytherapy (59,7%). This study also shows that there is no correlation between physican’s knowledge about antipsychotics and prescription pattern for schizophrenia management. Conclusion: The physicians of primary health care in DKI Jakarta often prescribed antipsychotics, such as combination of haloperidol and chlorpromazine, with addition of anticholinergics. This is not related to their knowledge about antipsychotics.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monika Joy Reverger
Abstrak :
Latar Belakang : Tujuan terapi skizofrenia saat ini adalah untuk mengembalikan fungsi pasien kepada fungsi sebelum menderita skizofrenia atau paling tidak mendekati fungsi sebelum menderita skizofrenia. Pengobatan skizofrenia dengan antipsikotika saat ini dianjurkan dengan pemberian tunggal, namun akhir-akhir ini terjadi peningkatan pemberian antipsikotika secara kombinasi baik di Indonesia maupun di dunia. Pemberian antipsikotika secara kombinasi diperkirakan pada akhirnya mempengaruhi performa fungsi pasien skizofrenia. Penilaian performa fungsi pasien dapat dilakukan melalui penilaian dengan Personal and Social Performance Scale (PSP). Tujuan : Menilai performa fungsi pasien skizofenia dengan terapi tunggal dan kombinasi antipsikotika, serta membandingkan performa fungsi di antara kedua kelompok tersebut. Metode: Dua ratus lima pasien dengan diagnosis skizofrenia berusia 18-59 tahun yang berobat jalan didampingi keluarga/care giver di Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM pada Desember 2011 sampai Mei 2012, pria maupun wanita, tanpa membedakan jenis skizofrenianya, disertakan dalam penelitian dengan simple random sampling, dan dikelompokkan menjadi dua menurut jumlah antipsikotika yang diterima, tunggal dan kombinasi. Dilakukan pengumpulan data dan penilaian pasien menurut Personal and Social Performance Scale (PSP) yang sudah divalidasi kedalam bahasa Indonesia. Hipotesis penelitian adalah performa fungsi pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi tunggal antipsikotika lebih baik dibandingkan yang mendapatkan terapi kombinasi antipsikotika. Dilakukan analisis non parametrik untuk membandingkan nilai PSP antara kedua kelompok tersebut, serta analisis multivariat untuk mengetahui faktor yang paling berperan terhadap performa fungsi pasien. Hasil : Hasil analisis non parametrik dengan uji Mann-Whitney memberikan hasil p<0.005, yang artinya performa fungsi pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi tunggal lebih baik daripada yang mendapatkan terapi kombinasi. Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling bermakna dalam memberikan performa fungsi yang baik adalah tingkat pendidikan pasien, apabila dibandingkan dengan faktor lainnya. Performa fungsi menjadi salah satu faktor dalam menentukan pemilihan antipsikotika. Dalam penelitian ini tidak dianalisis hubungan antara awitan, lama penyakit, jenis skizofrenia, frekuensi kekambuhan, serta faktor sosial ekonomi pasien terhadap baik atau buruknya performa fungsi. Kesimpulan : Performa fungsi pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi tunggal antipsikotika lebih baik daripada yang mendapatkan terapi kombinasi antipsikotika. ......Background : The goal of therapy for schizophrenia nowadays is to restore patient?s function to their premorbid level, or at least near that original capability. Single drug therapy, or monotherapy for schizophrenia is recommended, but there are evidences that the use of combination therapy with antipsychotic or polypharmacy is frequent, this is true in Indonesia and also in the rest of the world. The use of the combination therapy is believed to affect performance and function of the patients. Measurement of performance and function can be done with the Personal and Social Performance Scale (PSP),for the clinical assessment. Objectives : To assess the functioning performance in patients with schizophrenia who have been given monotherapy and poltpharmacy of antipsychotics, followed by a comparison analysis between both groups. Method: Two hundred and five patients who have been diagnosed withschizophrenia between the ages of 18-59 years and accompanied by a family member or their caregivers coming to the Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM in December 2011 to April 2012, were assessed. Both male and female patients were studied and no differentiation of schizophrenia type was done in this study. Simple random sampling was used and they were then listed in two groups, one group receiving single drug and the other getting combination therapy. Data collection conducted by researcher and the assessment is according to the protocol of the Personal and Social Performance Scale (PSP), Indonesian validated translation. Research hypothesis is that the performance of the functions of patients with schizophrenia who received single therapy is better compared to those receiving combination antipsychotic therapy. Non-parametric analysis was performed to compare values between groups, as well as multivariate analysis to determine the factors that most contribute to the performance of the functions of the patient. Results : The result of non-parametric analysis with Mann-Whitney test is p <0.005, which means that the performance of the functions of patients with schizophrenia who received single therapy was better than the group who received combination therapy. The results of multivariate analysis showed that the most significant factor in delivering good performance is the educational level of the patients, when compared with other factors. Conclusions : Performance of the functions of patients with schizophrenia who received single therapy antipsychotics was found to be better than the group who were given combination antipsychotic therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31168
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Aditya
Abstrak :
Latar belakang: Teori attachment telah terbukti menjadi suatu dasar dalam mempelajari regulasi emosi dan kesehatan jiwa. Pola attachment yang tidak aman merupakan suatu keadaan yang berisiko dan rentan untuk terjadi gangguan jiwa, sedangkan peningkatan keamanan dalam attachment memberikan dampak perbaikan terhadap psikopatologi yang dimiliki seseorang. Pengenalan terhadap pola attachment ini penting untuk menentukan intervensi yang tepat untuk pasien. Pengenalan ini dapat dilakukan dengan melakukan wawancara psikiatri yang mendalam atau dengan menggunakan kuesioner. Menilai pola attachment menggunakan kuesioner membantu psikiater mengetahui pola attachment pasien lebih cepat. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan instrumen Relationship Questionnaire RQ versi Bahasa Indonesia serta menguji kesahihan dan keandalan instrumen Relationship Questionnaire dalam Bahasa Indonesia. Metode: Penelitian ini menggunakan disain uji validitas isi dan uji validitas konstruksi. Uji reliabilitas yang dilakukan adalah reliabilitas konsistensi internal dengan mengukur koefisien korelasi dengan nilai Cronbach's ?. Hasil: Koefisian validitas isi instrumen RQ versi Bahasa Indonesia adalah 1.00. Keandalan instrumen Relationship Questionnaire versi Bahasa Indonesia menurut nilai Cronbach's ? untuk keseluruhan butir instrumen adalah 0,577. Nilai Cronbach's ? untuk pola A secure adalah 0,279; untuk pola B preoccupied adalah 0,619, untuk pola C fearful adalah 0,659, dan untuk pola D dismissing adalah 0,615. Simpulan: Instrumen RQ versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan yang baik dan dinilai cukup andal. ...... Background: Attachment theory has proven as one basic to learn emotional regulation and mental health. Insecure attachment styles were risky and vulnerable condition to grow become mental illness, meanwhile attachment security improvement have good healing effect in psychopathology. Detection for someone's attachment styles is important so a psychiatrist can decide which intervention fit the best for the patients. We can know someone's attachment styles through detail psychiatic interview or use an instrument. Using an instrument can help psychiatrist to know the patients'attachment styles faster. Aims: We did this research to get and to evaluate validity and reliability of Relationship Questionnaire in Bahasa Indonesian version. Methods: This research use content validity test and construct validity test to evaluate validity of the questionnaire and use Cronbach's to evaluate the reliability. Results: Construct validity coefisien of the RQ in Bahasa Indonesia version is 1.00. The reliability according to Cronbanch's values for whole item is 0,577 for secure attachment is 0,279 for preoccupied attachment 0,619, for fearful attachment is 0,659, and for dismissing attachment is 0,615. Conclusion: Relationship Questionnaire in Bahasa Indonesia version have good validity dan reliability.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Emilya Kusnaidi
Abstrak :
Dewasa ini, prevalensi penderita gangguan kepribadian ambang diperkirakan terus meningkat pada populasi orang dengan gangguan jiwa. Individu dengan gangguan kepribadian ambang memiliki ketidakstabilan citra diri yang berdampak pada hubungan interpersonal. Hal ini membuat pasien dengan gangguan kepribadian ambang memiliki komorbiditas dengan gangguan jiwa lain, dan diasosiasikan dengan peningkatan risiko bunuh diri, gangguan fungsi menetap, hingga pengobatan intensif jangka panjang yang membebankan masyarakat. Hingga saat ini di Indonesia belum ada penelitian yang membahas tentang gambaran citra diri pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang. Penelitian ini merupakan studi kualitatif. Subjek yang dilibatkan adalah pasien dengan gangguan kepribadian ambang yang berobat jalan di Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM. Subjek dipilih dengan cara purposive sampling. Dari hasil wawancara mendalam pada 4 subjek didapatkan adanya gambaran citra diri yang berangkat dari citra diri yang kurang baik. Seluruh subjek mengatakan bahwa citra diri mereka saat ini berhubungan dengan pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan, dan dapat menjelaskan hubungannya dengan sudut pandang subjek. Sebagian subjek mengatakan ada faktor lain yang berkontribusi dalam konstruksi citra diri yang mereka rasakan, yakni terapi dan pandangan orang lain terhadap diri subjek. Pengalaman yang tidak menyenangkan masa kecil tersebut merupakan pencetus dan dikorelasikan dengan kondisi gangguan saat ini serta kekurangan pribadi yang mereka rasakan. Sebagian besar subjek mengatakan bahwa pengalaman tersebut memilki dampak positif dan negatif terhadap mereka yang membuat adanya perubahan pada citra diri. ......Nowadays the prevalence of people with mental disorders is estimated to continue to increase in the population of individuals with mental illnesses. Individuals with borderline personality disorder have an unstable self-image which impacted interpersonal relationship. This makes patients with the disorders have comorbidities with other mental disorders such and is associated with an increased risk of suicide, permanent dysfunction, to intensive treatment that burdens society. Up to now, in Indonesia, there has been no research that discusses the picture of self-image in patients with borderline personality disorder. Therefore, researchers will look for a description of childhood experiences and self-image in patients with borderline personality disorder. This research is a qualitative study. The subjects involved were patients with borderline personality disorder who were in an outpatient clinic at RSCM. Subjects were selected by purposive sampling. From the results of in-depth interviews on 4 subjects, it was found that their self-image departed from a bad self-image. All subjects said that their current self-image was related to unpleasant childhood experiences, and could explain the relationship with each subject's point of view. Some of the subjects said that other factors contributed to the construction of the self-image they felt, namely therapy and other people's views of the subject. These adverse childhood experiences were the triggers and correlated with the current state of the disorder and the personal shortcomings they felt. Most of the subjects said that the experience had both positive and negative impacts on those who made changes to their self-image.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>