Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Darien Alfa Cipta
"Latar Belakang: Gangguan depresi merupakan gangguan jiwa yang lazim pada masyarakat dengan angka kesenjangan pengobatan sebesar 91% dan memiliki prevalensi sebesar 5-20% di layanan kesehatan primer. Untuk mengatasi kesenjangan pengobatan pada gangguan depresi tersebut, integrasi antara layanan kesehatan jiwa ke dalam layanan primer menjadi hal yang penting. Pengetahuan dokter keluarga tentang pengelolaan gangguan depresi diperlukan untuk dapat melakukan deteksi dini dan tatalaksana agar luaran klinis menjadi lebih baik. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dokter keluarga tentang pengelolaan gangguan depresi serta faktor-faktor yang terkait.
Metode: Penelitian merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang. Sampel sebanyak 83 dokter keluarga didapatkan dari anggota Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI). Pengambilan data dilakukan menggunakan kuesioner demografis, kuesioner penilaian pengetahuan, dan kuesioner care coordinator scale (CCS). Data dianalisis dengan regresi linier multivariat.
Hasil: Pengetahuan dokter keluarga tentang gangguan depresi pada domain preventif, diagnostik, dan tatalaksana farmakologis belum sesuai harapan. Berdasarkan uji multivariat, didapatkan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan adalah faktor edukasi pengobatan (p=0,006) dan faktor tindak lanjut (p=0,04) pada skala CCS, dengan R2 sebesar 0,077.
Simpulan: Diperlukan intervensi untuk memperkuat kapasitas dokter keluarga dalam melakukan pengelolaan gangguan depresi, dengan fokus pada aspek tatalaksana farmakologis.

Background: Depressive disorder is a common mental disorder with a treatment gap of 91%, with a prevalence of 5-20% in the primary care setting. To address the treatment gap for depressive disorder, integrating mental health services into primary care is essential. Fair knowledge of the management of depressive disorder is required to provide early detection and initial treatment for a better clinical outcome. The aim of this study is to understand the level of knowledge of family physicians about the management of depressive disorders and the factors associated with it.
Methods: This is an observational study with a cross-sectional design. A sample of 83 family physicians was obtained from The Association of Indonesian Family Physician members. Data were collected using a demographic questionnaire, knowledge assessment questionnaire, and care coordinator scale (CCS) questionnaire. Data were analysed using multivariate linear regression.
Results: The knowledge of family physicians of depressive disorder management in the domains of prevention, diagnostic, and pharmacological management, has not met expectations. Medication education (p=0,006), and follow-up care plan (p=0,04) domains of CCS are factors associated with family physicians’ knowledge of the management of the depressive disorder in the multivariate analysis, with R2 of 0,077.
Conclusion: Interventions to strengthen the capacity of family physicians in managing depressive disorder are required, with a focus on the pharmacological management aspect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Reynald Aditya
"Narapidana wanita merupakan kelompok berisiko mengalami gangguan jiwa. Kunjungan keluarga diduga berpengaruh positif mencegah gangguan jiwa pada narapidana wanita. Belum ada penelitian khusus mengenai hal ini di Indonesia. Tujuan penelitian adalah menemukan hubungan antara kunjungan keluarga dengan gangguan jiwa. Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan instrumen kuesioner demografi dan MINI ICD X untuk diagnosis kejiwaan. Penelitian dilakukan bulan Agustus-Oktober 2015 di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Jakarta Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 58,65% responden terdiagnosis gangguan jiwa. Kunjungan keluarga dialami oleh 86,5% responden, dengan frekuensi mayoritas kurang dari 4x/bulan (81,7%). Analisis menggunakan uji Chi Square menyatakan hubungan ada tidaknya kunjungan keluarga maupun frekuensi kunjungan keluarga dengan gangguan jiwa tidak bermakna secara statistik (p=0,297 dan 0,659). Walaupun didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara kunjungan keluarga dengan gangguan jiwa, data prevalensi gangguan jiwa yang tinggi pada populasi ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk penatalaksanaan yang komprehensif.

Women prisoners are a group at risk for mental disorders. Family visits suspected to have positive effect on preventing mental disorders in women prisoners. There has been no specific research on this topic in Indonesia. The research objective is to find the relationship between family visits with mental disorder. We used cross sectional design with a demographic questionnaire and MINI ICD X for psychiatric diagnosis. The study was conducted in August-October 2015 in State Prison Class IIA East Jakarta. The results showed that 58.65% of respondents diagnosed with a mental disorder. Family visits experienced by 86.5% of respondents, and majority with frequency less than 4x / month (81.7%). Analysis using Chi Square test whether there is a relationship between family visits and its frequency with mental disorder was not statistically significant (p = 0.297 and 0.659, respectively). Although there is no significant relationship between family visits with mental disorder, the high prevalence of mental disorders in this population needs special attention from the government for a comprehensive management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clayrino Emiro Nerviadi
"Masalah kriminal masih menjadi masalah yang utama di Indonesia. Pelaku kriminalitas akan ditahan di lembaga pemasyarakatan (lapas) sebagai konsekuensi atas perbuatannya. Kondisi narapidana dan lapas dapat memicu timbulnya gangguan jiwa pada narapidana. Penelitian ini dilaksanakan atas dasar masih sedikitnya penelitian yang melihat gangguan jiwa pada narapidana wanita. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan fasilitas sosialisasi rumah tahanan dengan timbulnya gangguan jiwa pada narapidana wanita di Rumah Tahanan Pondok Bambu tahun 2015.
Metode yang digunakan adalah wawancara menggunakan kuesioner demografi dan MINI-ICD 10 untuk melihat gangguan jiwa yang dialami narapidana. Hasil yang didapatkan adalah sebanyak 58.6% responden mengalami gangguan jiwa. Dari aspek penggunaan fasilitas sosialisasi, 50% responden pernah menggunakan fasilitas sosialisasi dan mengalami gangguan jiwa sedangkan dari aspek kondisi fasilitas sosialisasi, 47% responden mengatakan kondisi fasilitas sudah baik dan mengalami gangguan jiwa.
Setelah dianalisis menggunakan SPSS versi 23 dengan uji Chi Square, tidak ditemukan hubungan yang bermakna baik dari faktor penggunaan maupun kondisi fasilitas sosialisasi terhadap timbulnya gangguan jiwa pada narapidana wanita. Hal ini dapat disebabkan karena sudah baiknya fasilitas yang ada di Rumah Tahanan Pondok Bambu dan mungkin ada faktor lain yang lebih berperan dalam timbulnya gangguan jiwa pada narapidana wanita sepertu kesehatan fisik yang cenderung memiliki hubungan yang bermakna, sedangkan fasilitas sosialisasi hanya berperan sebagai faktor protektif agar narapidana tidak mengalami gangguan jiwa.

Criminal problem is still being the main problem in Indonesia. The criminal will be held at prison as consequency for what they have done. Prisoner and prison condition can trigger mental health disorder among the prisoner. This research was done on the basis of the lack of research on mental health disorder among women prisoner. The aim of this research was to find relation between socialization facilities with mental health disorder among women prisoner at Pondok Bambu Prison year 2015.
This research used interview as the method using demography and MINI-ICD 10 questionaire to find mental health disorder among the prisoner. The result showed that 58.6% respondents have mental health disorder. From the use of socialization facilities aspect, 50% respondents had use the socialization facilities and have mental health disorder while from condition of socialization facilities aspect, 47% respondents said the condition of the facilities were good and have mental health disorder.
After we analyed the datawith SPSS version 23 using Chi Square test, there was no significant relation between the use or condition of socialization facilities with mental health disorder among women prisoner. This result could be caused by the condition of facilities at Pondok Bambu Prison which is already good and maybe there is another main factor that caused mental health disorder among women prisoner like health condition of women prisoner. Socialization was just a protective factor for the prisoners so they will not have mental health disorder.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Zuhairi Adhyatmac
"[Kriminalitas adalah perbuatan yang melanggar peraturan. Saat ini terdapat banyak kasus kriminalitas di Jakarta. Pelaku tindak kriminal akan diadili dan dibina di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Namun, kenyataanya, narapidana di lapas lebih rentan terkena gangguan jiwa, khususnya wanita yang memiliki sisa vonis yang masih banyak. Oleh sebab belum adanya data mengenai hubungan lama masa menjalani hukuman dengan gangguan jiwa, maka diadakan penelitian potong lintang dengan menggunakan instrumen MINI ICD 10 dan kuisioner umum pada 104 narapidana wanita yang memiliki vonis minimal 3 tahun di Rutan Kelas IIa Jakarta Timur dari bulan Agustus hingga September 2015. Data diolah dengan menggunakan software SPSS ver.23.0 for windows. Didapatkan 96 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dengan prevalensi gangguan jiwa 57,29% dan jenis terbanyak ialah gangguan psikotik. Setelah diuji dengan chi squre, tidak ditemukan hubungan bermakna antara lama masa menjalani hukuman dengan gangguan jiwa (p=0,420). Akan tetapi, ditemukan kecenderungan responden dengan sisa vonis lebih sedikit lebih banyak memiliki gangguan jiwa yang bertolak belakang dengan hasil penelitian di Amerika. Nilai p di penelitian ini lebih kecil dibandingkan studi systematic review Fazel S dan Seewald K tahun 2012. Disarankan untuk melanjutkan penelitian ini di rutan-rutan yang berbeda karena belum ada penelitian yang serupa di Indonesia.

Crime is an act against rules. Currently, there are many criminality cases in Jakarta. Criminals will be prosecuted and supervised in prisons. However, in fact, inmates are susceptible to mental disorders, especially women who have long residual sentence. Because of lack of data on relation between length of serving time and mental disorders, held a cross sectional study using MINI ICD 10 and demographic questionnaires to 104 women inmates who have sentence at least 3 years at Class IIa of East Jakarta Jail from August to September 2015. Data were processed using SPSS ver.230 for windows. From 96 respondents who meet inclusion and exclusion criteria, prevalence of mental disorders was 57.29% with psychotic disorders that highest than others. After using chi-square test, found no significant association between length of serving time and mental disorder (p=0.420). However, there was a tendency that respondents with few residual sentence have a risk to mental disorder that different from research in USA. P value in this research were lower than systematic review study by Fazel S and Seewald K in 2012. Since there have not been any similar research in Indonesia, it was needed to conduct another research about length of serving time and mental disorder in women prisoner in different jails.;Crime is an act against rules. Currently, there are many criminality cases in Jakarta. Criminals will be prosecuted and supervised in prisons. However, in fact, inmates are susceptible to mental disorders, especially women who have long residual sentence. Because of lack of data on relation between length of serving time and mental disorders, held a cross sectional study using MINI ICD 10 and demographic questionnaires to 104 women inmates who have sentence at least 3 years at Class IIa of East Jakarta Jail from August to September 2015. Data were processed using SPSS ver.230 for windows. From 96 respondents who meet inclusion and exclusion criteria, prevalence of mental disorders was 57.29% with psychotic disorders that highest than others. After using chi-square test, found no significant association between length of serving time and mental disorder (p=0.420). However, there was a tendency that respondents with few residual sentence have a risk to mental disorder that different from research in USA. P value in this research were lower than systematic review study by Fazel S and Seewald K in 2012. Since there have not been any similar research in Indonesia, it was needed to conduct another research about length of serving time and mental disorder in women prisoner in different jails.;Crime is an act against rules. Currently, there are many criminality cases in Jakarta. Criminals will be prosecuted and supervised in prisons. However, in fact, inmates are susceptible to mental disorders, especially women who have long residual sentence. Because of lack of data on relation between length of serving time and mental disorders, held a cross sectional study using MINI ICD 10 and demographic questionnaires to 104 women inmates who have sentence at least 3 years at Class IIa of East Jakarta Jail from August to September 2015. Data were processed using SPSS ver.230 for windows. From 96 respondents who meet inclusion and exclusion criteria, prevalence of mental disorders was 57.29% with psychotic disorders that highest than others. After using chi-square test, found no significant association between length of serving time and mental disorder (p=0.420). However, there was a tendency that respondents with few residual sentence have a risk to mental disorder that different from research in USA. P value in this research were lower than systematic review study by Fazel S and Seewald K in 2012. Since there have not been any similar research in Indonesia, it was needed to conduct another research about length of serving time and mental disorder in women prisoner in different jails., Crime is an act against rules. Currently, there are many criminality cases in Jakarta. Criminals will be prosecuted and supervised in prisons. However, in fact, inmates are susceptible to mental disorders, especially women who have long residual sentence. Because of lack of data on relation between length of serving time and mental disorders, held a cross sectional study using MINI ICD 10 and demographic questionnaires to 104 women inmates who have sentence at least 3 years at Class IIa of East Jakarta Jail from August to September 2015. Data were processed using SPSS ver.230 for windows. From 96 respondents who meet inclusion and exclusion criteria, prevalence of mental disorders was 57.29% with psychotic disorders that highest than others. After using chi-square test, found no significant association between length of serving time and mental disorder (p=0.420). However, there was a tendency that respondents with few residual sentence have a risk to mental disorder that different from research in USA. P value in this research were lower than systematic review study by Fazel S and Seewald K in 2012. Since there have not been any similar research in Indonesia, it was needed to conduct another research about length of serving time and mental disorder in women prisoner in different jails.]"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Rosvitha Amanda Dewi
"Kriminalitas merupakan masalah sosial yang jumlahnya meningkat setiap tahunnya di Indonesia. Konsekuensi akibat melakukan tindak pidana adalah dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan. Lingkungan lembaga pemasyarakatan berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan berpengaruh terhadap kualitas hidup narapidana, terutama narapidana wanita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan jiwa pada narapidana wanita dan hubungannya dengan masing-masing domain kualitas hidup. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan memanfaatkan kuesioner MINI ICD-10 untuk mendiagnosis gangguan jiwa serta kuesioner WHOQOL-BREF untuk skoring kualitas hidup. Dilakukan dari Agustus-Oktober 2015 di Rumah Tahanan Wanita Kelas IIA Jakarta Timur. Data dianalisis dengan menggunakan Pearson Chi-square. Dari 104 responden, 61 diantaranya memiliki gangguan jiwa dengan gangguan jiwa terbanyak adalah episode psikotik berulang. Dari 61 responden dengan gangguan jiwa, 39 orang memiliki kualitas hidup buruk pada domain kesehatan fisik (p=0,90). Pada domain psikologis, 30 dari 61 responden memiliki kualitas hidup buruk(p=0,50). Pada domain hubungan sosial, 43 dari 61 responden memiliki kualitas hidup buruk serta pada domain lingkungan(p=0,47), 43 dari 61 responden memiliki kualitas hidup buruk (p=0,56). Berdasarkan uji hipotesis tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara gangguan jiwa dengan kualitas hidup pada narapidana wanita. Ketiadaan makna tersebut dapat disebabkan oleh adanya ketidaksadaran responden terhadap gangguan jiwa yang diderita, ketersediaan fasilitas, dan perbedaan respon adaptasi. Walaupun demikian, sebagian besar narapidana wanita memiliki kualitas hidup yang buruk.

Criminality is a social problem, which keep increasing after years in Indonesia. The consequence for committing a criminal action is imprisoned. Being held in prison can be a burden for offenders especially the female offenders, thus it led to mental illness. Mental illness can affect many aspects in life, in other words, individual's quality of life. Based on those facts, this research aim to get the relationship between mental illness and four domains of quality of life. This research has cross-sectional design which all the data was collected using two main questionnaires, MINI ICD-10 to diagnose the mental illness and WHOQOL-BREF for quality of life scoring. This study was conducted from August 2015-October 2015 in Rumah Tahanan Wanita Kelas IIA East Jakarta. Data were analyzed using Pearson Chi-square. The result showed that from 61 from 104 respondents have mental illnesses. In related with quality of life, 39 from 61 respondents with mental illnesses have poor quality of life in physical domain (p=0,90); 30 from 61 respondents with mental illnesses have poor quality of life in psychological domain (p=0,50); 43 from 61 respondents with mental illnesses have poor quality of life (p=0,47) in social relationship domain; 43 from 61 respondents with mental illnesses have poor quality of life (p=0,56) in environment domain. Based on hypothetical testing, it is found that there?s no association between mental illness and quality of life among women prisoners. This result could be affected by awareness about their mental illness, jail's facility, and adaptation response. Despite of that, most of respondents have poor quality of life."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Kumalasari
"Kejahatan marak terjadi di Indonesia. Hingga tahun 2015, jumlah narapidana di DKI Jakarta mencapai 9.347 narapidana. Gangguan jiwa terjadi karena ketidakseimbangan sistem pada manusia, baik karena ketidakseimbangan sistem pada tubuh manusia tersebut sendiri maupun interaksi dari sistem lain. Gangguan jiwa dapat terjadi karena bermacam-macam faktor. Faktor demografi merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi terjadinya gangguan jiwa. Sampai saat ini belum terdapat data berisi gangguan jiwa yang terjadi di Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan tingkat pendapatan dengan gangguan jiwa pada narapidana wanita. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain potong lintang dengan instrument pelaksanaan penelitian berupa kuesioner demografi dan kuesioner MINI ICD-10 yang mencakup 14 gangguan jiwa sebagai alat diagnosis. Penelitian dilakukan dari bulan Agustus ? Oktober tahun 2015 di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur. Data yang didapatkan dianalisis dengan uji Chi-Square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 61 dari 104 responden (58,7%) mengalami gangguan jiwa dengan hasil terbanyak gangguan Psikotik sebanyak 29 orang (47,54%). Kemudian hasil tingkat pendidikan menunjukkan bahwa terdapat 39 orang (60,0%) dengan pendidikan menengah keatas yang mengalami gangguan jiwa, 40 orang (57,1%) narapidana yang bekerja mengalami gangguan jiwa, serta 53 orang (61,6%) narapidana dengan pendapatan dibawah pendapatan perkapita yang mengalami gangguan jiwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan statistik yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan gangguan jiwa, status pekerjaan dengan gangguan jiwa, maupun tingkat pendapatan dengan gangguan jiwa, namun terlihat kecenderungan bahwa narapidana dengan pendidikan tinggi, narapidana dengan tingkat pendapatan rendah, serta narapidana dengan status pekerjaan bekerja cenderung mengalami gangguan jiwa.

Indonesia is a country with a high level of crime rates. Until 2015, the number of prisoner in DKI Jakarta reaches 9.437 prisoners. Mental disorder occurs due to imbalance of systems within human. Mental disorder can occur because of various factors. One of the contributing factor is demographic factor. This research aims to understand the relationship between education level, working status, and income level with mental disorder in women prisoner. This research was conducted by cross sectional method, with using instruments such as demographic questionnaire and MINI-ICD 10 as diagnostic tool, which consist of 14 classification of mental disorder. The research is is done in August-October 2015 in Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok bambu Jakarta Timur. The collected Data is then analyzed using Chi Square method.
The result shows that there are 61 people out of 104 respondents (58,7%) who are diagnosed with mental disorder. The mental disorder with the highest prevalence is psychotic disorder with 29 people (47,54%). Then the data analysis shows that there are 39 people (60,0%) with education level middle-to-high that are diagnosed with mental disorders. There are also 40 people (57,1%) working prisoner that are diagnosed with mental disorders, and 53 people (61,6%) prisoner with incomes below GDP that are diagnosed with mental disorders The conclusion of the research is that there are no significant difference between education level, working status, and income level with mental disorders. However, there are tendency of prisoner with high level of education, lower income level, and ?working? working status with mental disorder.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Dwinanti Amanda
"Latar Belakang: Perilaku kekerasan yang berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain banyak dijumpai pada orang dengan gangguan psikotik. Salah satu penyebab terjadinya perilaku kekerasan adalah gejala positif yang dialami mereka. Dengan mengetahui hubungan antara gejala positif dan perilaku kekerasan, diharapkan dapat mencegah terjadinya perilaku kekerasan dan dapat dilakukan penatalaksaan yang sesuai. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara gejala positif dengan perilaku kekerasan pada gangguan psikotik.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling pada warga binaan Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung, sebanyak 90 orang, yang dirawat selama periode April-Mei 2014. Pada subyek penelitian dilakukan wawancara penapisan gejala psikotik menggunakan MINI ICD 10 yang dilanjutkan dengan pemeriksaan gejala positif menggunakan PANSS skala positif dan penilaian perilaku kekerasan menggunakan OAS.
Hasil: Pada hasil analisis, terdapat hubungan antara gejala positif dengan perilaku kekerasan (p<0,001; r = 0,629). Gejala positif yang memiliki hubungan sedang dengan perilaku kekerasan antara lain gaduh gelisah dan kejaran. Sedangkan waham, permusuhan dan perilaku halusinasi memiliki hubungan lemah dengan perilaku kekerasan. Gejala positif berupa kekacauan proses pikir dan waham kebesaran memiliki hubungan sangat lemah dengan perilaku kekerasan.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara gejala positif dengan perilaku kekerasan pada gangguan psikotik.

Background: Violent behaviors which potentially harmful to self and others are found usually in people with psychotic disorder. One of the reasons for the behavior to take place is the positive symptoms experienced by these individuals. By determining the association between positive symptoms and violent behaviors, it is hoped that these behaviors can be prevented and managed appropriately. This research is conducted to find association between positive symptoms and violent behaviors in psychotic behavior disorder.
Method: This is an analytical cross sectional research. Samples were taken by means of simple random sampling from residents of Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung Social Rehabilitation center, with 90 subjects cared for during the period of April to May 2014. Subjects were given screening interview for psychotic symptoms using MINI ICD 10, then proceed to positive symptoms examination using positive scale of PANSS and rating of violent behavior using OAS.
Result: The coefficient correlation between positive symptoms and violent behaviors was r = 0,629 (p<0,001). Positive symptoms with moderat correlation with violents behaviors are agitation and paranoia. Meanwhile delusion, hostility and hallucinatoric behaviors have weak correlation with violent behaviors. Positive symptoms such as disorganized thought process and grandiose delusion have very weak correlation with violent behaviors.
Conclusion: Significant correlation is found between positive symptoms and violent behaviors in psycotic disorder.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rininta Mardiani
"Latar Belakang: Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan salah satu gangguan jiwa pada anak, dengan tiga gejala utama yaitu kesulitan memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas. Hingga saat ini, belum dapat disimpulkan penyebab pasti terjadinya GPPH, namun dari berbagai penelitian menunjukkan berkaitan dengan nutrisi yaitu adanya defisiensi seng.
Tujuan: Mengetahui perbedaan rerata antara kadar seng dalam serum pada anak dengan GPPH dibandingkan dengan kelompok kontrol anak sehat, serta mengetahui hubungan antara rerata kadar seng dalam serum dengan gejala klinis pada anak dengan GPPH.
Metodologi: Desain penelitian ini adalah potong lintang. Kontrol adalah anak sehat. Penelitian dilakukan di SDN 01 Pagi KampungMelayu, Jakarta Timur, pada bulan Mei – Juni 2013. Jumlah sampel yang dibutuhkan pada masing-masing kelompok yaitu anak dengan GPPH dibandingkan dengan anak sehat, sebesar 42.
Hasil: Didapatkan rerata kadar seng dalam serum untuk kelompok anak GPPH sebesar 52,50 µg/L dan kadar seng dalam serum untuk kelompok anak sehat sebesar 51,50 µg/L. Tidak ada perbedaan rerata yang bermakna antara kedua kelompok. Tidak ada hubungan bermakna antara kadar seng dalam darah dengan gejala klinis GPPH.
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan bermakna rerata kadar seng dalam darah pada kelompok anak GPPH dibandingkan anak yang sehat, dan tidak didapatkan hubungan bermakna kadar seng dalam darah pada anak GPPH dengan gejala klinis GPPH.

Background: ADHD is a disorder commonly met at children with attention deficiency, hyperactivity, and impulsivity as prominent symptoms. Up until now, the definite causal of ADHD remains unclear, but some studies showed its correlation to zinc deficiency.
Objective: This study aimed to acknowledge the discrepancy between serum zinc level mean of ADHD children group and healthy children control group and the correlation between serum zinc level and clinical symptoms on ADHD children.
Methods: The study designed used cross sectional with control is healthy children. The study was conducted at SDN 01 Pagi Kampung Melayu, East Jakarta, Mei - June 2013. The number needed for each sample group was 42.
Result: The result showed serum zinc level mean was 52,50 µg/L in ADHD children group and 51,50 µg/L in healthy children group. There is no significant difference between them. There is no significant difference between serum zinc level mean and ADHD clinical symptoms.
Conclusion: There is no significant difference between serum zinc level mean in ADHD children group and healthy children group, and there is no significant correlation between ADHD children serum zinc level and ADHD clinical symptoms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Tobing, Duma
"Isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya yang mengakibatkan individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir adalah memberikan gambaran pemberian asuhan keperawatan pada isolasi sosial melalui pendekatan model interpersonal Peplau dan modeling and role modeling model Erikson, Tomlin dan Swain di Ruang Bratasena Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa ini dilakukan pada 15 klien isolasi sosial dengan pemberian terapi social skills training dan psikoedukasi keluarga.
Hasil pemberian terapi menunjukan adanya peningkatan kemampuan klien dalam bersosialisasi, penurunan tanda dan gejala isolasi sosial dan peningkatan kemampuan keluarga merawat klien dengan isolasi sosial. Efektifitas terapi menunjukan bahwa terapi social skills training efektif menurunkan gejala isolasi sosial khususnya pada gejala kognitif, sosial dan perilaku. Terapi social skills training dapat direkomendasikan sebagai standar terapi spesialis keperawatan pada klien isolasi sosial.

Social isolation is a state of loneliness experienced by a person because of other people's negative attitudes and states considered threatening to the individual which resulted in decreased or even not at all able to interact with others around them. The purpose of the study was described an overview nursing management to the patients with social isolation using Peplau interpersonal model and modeling and role modeling Erikson,Tomlin & Swain approach at Bratasena Room Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital in Bogor. Social social skills training and family psychoeducation were recognize as a nursing specialists intervention provided 15 clients.
Results of therapy shown that increased client's ability to socialize, reduction of signs and symptoms of social isolation and increased the ability of families caring for clients with social isolation. Effectiveness of therapy showed that social skills training therapy was effective in reducing symptoms of social isolation particulary cognitive, social and behavioural. Social skills training therapy can be recommended as standard therapy nursing specialists on client social isolation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deasyanti
"Latar Belakang: Jumlah orang dengan gangguan jiwa semakin meningkat, namun tidak diikuti dengan pelayanan psikiatrik yang optimal, baik perawatan secara informal maupun formal, jumlah petugas sosial yang berimbang dan kemampuan teknis keperawatan dalam memberikan pelayanan sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi profil petugas, kebutuhan pengetahuan dan keterampilan bagi petugas panti dan petugas kesehatan Panti Sosial BinaLaras Harapan Sentosa (PSBL) 2 Cipayung.
Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-kuantitatif melalui observasi dan pengisian kuesioner bagi seluruh petugas panti dan petugas kesehatan PSBL Harapan Sentosa 2 Cipayung pada periode April-Mei 2014.
Hasil: Didapatkan PNS (50%) dengan tugas sebagai staf administrasi yang memiliki latar belakang pendidikan terbanyak SMA (58,5%) dan belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai kesehatan (73,91%). Pengetahuan yang dibutuhkan: pengertian mengenai gangguan jiwa yang memahami hanya (13%), faktor yang menjadi penyebab munculnya ganggguan jiwa yang memahami (45,6%), gejala yang paling sering muncul terbanyak yang memahami (54,4%), masalah yang sering muncul terbanyak tidak mau merawat diri (54,4%), kebutuhan yang dibutuhkan terbanyak pengertian dan dukungan dari orang yang merawat (72,2%), kesulitan terbanyak menentukan diagnosis dan kriteria gangguan jiwa (50%), kendala terbanyak berkaitan dengan fisik (61%) dan hal yang dapat terjadi jika tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup adalah risiko kekerasan (65,5%). Prioritas pengetahuan yang dibutuhkan: deteksi gangguan jiwa, gangguan jiwa, dan manajemen keperawatan. Prioritas keterampilan: perawatan gangguan jiwa, dan cara mengatasi gaduh gelisah. Dari (95,6%) membutuhkan pengetahuan dan keterampilan dengan metode yang dipilih pelatihan dan pendampingan perawat yang sudah berpengalaman. Sebanyak (73,9%) menyatakan sudah ada ketersediaan sarana. Sarana tersebut adalah Rumah Sakit (81,5%) dan (100%) bersedia untuk mengikutinya.
Simpulan: Profil petugas panti dan petugas kesehatan di PSBL 2 Harapan Sentosa memiliki tingkat pendidikan terbanyak bukan dengan latar belakang kesehatan dan hanya sedikit petugas panti dan petugas kesehatan yang sudah mendapatkan pelatihan mengenai gangguan jiwa. Petugas panti dan petugas kesehatan membutuhkan pengetahuan dan keterampilan dibidang kesehatan jiwa mengenai gangguan jiwa, perawatan dan kendala dan kesulitan yang dihadapi dengan metode pelatihan dan pendampingan.

Background: People with mental disorder is increasing nowadays. Unfurtunately it is not followed with optimal mental health services, number of institution officers and technical nursing capability for those officers. The aim of this research is to identified profile, knowledge, and still requirements of intitutions officers and medical staff in Bina Laras Harapan Sentosa 2 Social Institution Cipayung East Jakarta.
Method: The design of this research was qualitative-quantitative through observation and filling up questioner for institution officers and medical staff in Bina Laras Harapan Sentosa 2 Social Institution Cipayung East Jakarta on April-May 2014.
Result: From 46 participants, 50% was administration staff with high school educational background. About 73,91% had never have medical training before. Requirements of knowledge are: knowledge of mental disorder 13% understanding, factors that contribute to the onset of mental disorder 45,6%, symptoms that often appears 54,4%, most encountered problems lack of self caring about 54,4%, crucial needs supoort from caregiver for about 72,2%, difficulties in handling people with mental disorder diagnosis and criteria of mental disorder for about 50%, obstacle in disease for about 61% and things to except with lack of knowledge and skill risk for asssault for about 65,5%. Priority of knowledge needed are detection of mental disorder, mental disorder, and nursing management. Priority of skill are nursing for mental disorder and handling of agitation. About 95,6% officers require knowledge and skill to taking care of people with mental disorder. They prefer training and supporting methods from experienced capable nurse.About 73,9% officers affimerd that there is already hospital 81,5% to help improve, knowledge, skill amd all of the, are willing to participate.
Conclusion:Most of intitutional officers and medical staff in PSBL 2 dont have medical educational back ground. Among them only few have a tarining about mental disorder. Institutional officer and medical staff need knowledge and skill about mental disorder, nursing management and also difficulties in applying methods of training and supporting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>