Masjid-masjid abad XIX di kabupaten Agam, Sumatra Barat, sebagai warisan budaya benda dapat memperlihatkan perpaduan antara adat Minangkabau dan agama Islam di wilayah Sumatra Barat, khususnya Kabupaten Agam. Masjid-masjid ini adalah Masjid Bingkudu, Masjid Kubang Putih, Masjid Pincuran Gadang, dan Masjid Siti Manggopoh. Dari berbagai unsur yang ada di masjid-masjid tersebut, ditarik makna untuk mendapat gambaran bagaimana adat dan agama di Sumatra Barat berpadu. Interpretasi akan makna yang dikandung masjid-masjid tersebut dilakukan menggunakan model semiotik Peirce tentang segitiga tanda. Dengan metode ini, setiap tanda yang terdapat pada bangunan masjid dibedah menjadi representamen, objek, dan interpretan, yang kemudian menggambarkan makna. Dengan menggabungkan makna dari setiap tanda, didapat kesimpulan bahwa meskipun adat dan agama ini adalah dua hal yang berbeda dan memiliki beberapa nilai yang cenderung bertentangan, tetapi adat Minangkabau dan agama Islam dapat berpadu secara harmonis di masyarakat muslim Minangkabau pada abad XIX.
Nineteenth-century mosques in Agam district, Sumatra Barat, are example of tangible heritage that can picture how Islam religion and Minangkabau custom blends in Sumatra Barat, especially in Agam district. These mosques are Masjid Bingkudu, Masjid Kubang Putih, Masjid Pincuran Gadang, and Masjid Siti Manggopoh. From various elements the mosques have, it can draw meanings to know how Minangkabau custom and Islam religion unite. The method to get the meanings is by Peirce’s semiotics with his sign triangle. With this method, each sign in the mosques splitted into representamen, object, and interpretant, in which can explain the meanings. By combined interpretations from all signs, eventhough Minangkabau custom and Islam religion is a two different thing and have some value that tend to contradict one anonther, in fact Minangkabau custom and Islam religion can harmonically cohered in Minangkabau muslim society.
"PLTU Mantung merupakan pembangkit listrik bertenagakan uap pertama diAsia Tenggara. PLTU ini dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda untuk meningkatkan hasil dari kegiatan penambangan timah di Belinyu. Kehadiran PLTU Mantung membawa banyak perubahan signifikan, tidak hanya pembaharuan mesin-mesin penambangan yang menggunakan uap sebagai sumber energi tetapi juga turut berperan dalam perekrutan pekerja tambang secara besar-besaran. Kehadiran PLTU Mantung tidak hanya membawa perubahan dari segi pembaharuan teknologi penambangan timah akan tetapi kegiatan penambangan timah tersebut pada akhirnya membentuk suatu pola kehidupan sosial, yang jika dikaji dari sudut pandang Marxisme ialah, kehidupan sosial antara majikan dan buruh. Pembagian kelas sosial tersebut terlihat dari pola tata letak bangunan serta pembagian wilayah yang diperuntukan bagi majikan dan buruh. Kehidupan sosial majikan dan buruh diteliti berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologis yang merepresentasikan dua golongan tersebut.
Mantung steam power plant is the first steam-powered plant in Southeast Asia. Mantung steam power plant was built by the Dutch Colonial government to improve the results of tin mining activities in Belinyu. The presence of Steam Power Plant Mantung bring many significant changes, not only the renewal of mining machines that use steam as an energy source but also played a role in the recruitment of mine workers on a large scale . The presence of Steam Power Mantung not only bring changes in terms of technology renewal tin mining but the tin mining eventually form a pattern of social life, which if examined from the standpoint of Marxism is, social life between owners and workers. The division of social class is evident from the pattern of the layout of the building and zoning that is intended for owners and workers. Social life by owners and workers researched by archaeological remains representing two classes.
"