Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rekho Adriadi
"ABSTRAK
Penelitian ini ingin mengetahui hubungan pemekaran daerah dengan munculnya Murman Effendi sebagai “bos lokal” di kabupaten Seluma, serta dampaknya terhadap praktek pemerintahan di kabupaten Seluma. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan wawancara mendalam dan studi dokumen. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori “bossisme lokal”.
Pemekaran daerah merupakan bentuk dari keganjilan struktur lembaga negara. Di Indonesia pemekaran daerah merupakan suatu fenomena yang muncul pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru, melalui desentralisasi dan otonomi daerah terbuka peluang bagi daerah untuk membentuk daerah otonomi baru. Terbukanya peluang bagi daerah untuk membentuk daerah otonomi baru dimanfaatkan oleh elite-elite politik lokal untuk mendapatkan kekuasaan di tingkat lokal. Elite lokal inilah yang kemudian menjadi bos-bos lokal di daerah pemekaran. Melalui desentralisasi dan otonomi daerah para bos lokal mempunyai kekuasaan untuk mendominasi seluruh sektor politik, sosial, ekonomi dan budaya di daerah. Kabupaten Seluma yang merupakan sebuah kabupaten baru masih dalam tahap perkembangan baik fisik maupun sumber daya manusia, peranan Murman Effendi sebagai bos lokal sangat sentral.
Dampak dari bossisme lokal di Seluma yaitu tidak terwujudnya pemerintahan yang baik, ketiadaan lembaga yang kuat seperti legislatif dan civil society sebagai penyeimbang dari kekuasaan eksekutif membuat Murman Effendi menjadi bos lokal di kabupaten Seluma. Murman Effendi sebagai bos lokal mendominasi kekuasaan di kabupaten Seluma. Implikasi teori menunjukkan bahwa Murman Effendi merupakan “bos lokal” yang muncul pasca runtuhnya Orde Baru, namun Murman Effendi tidak menggunakan intimidasi dan kekerasan dalam menjadi ”bos lokal”.

ABSTRACT
This research aims to know the relation between regional expansions with the emergence of Murman Effendi as “local boss” in Seluma regency and also to know the impact to the governance practices in Seluma regency. Researcher used qualitative method with an interview approach deeply and document study. The theory which was used in this research was local bossism theory.
Regional expansion is a manifestation of national institution structure peculiarity. In Indonesia regional expansion is a phenomenon which is arise after the collapse of new order governance, through decentralization and regional autonomy. The opportunity for a regional to form a new regional autonomy has been used by local political elites in order to gain power in local level. These local elitesare the ones which become local bosses in regional expansion. Through decentralization and regional autonomy, local bosses have power to dominate every sector such as politics, social, economy and culture in regional. Seluma regency is new regency which is still in development stage both physics and human resources, the role of Murman Effendi as local boss is important.
The impact of local bossism in Seluma was that there was no realization of good governance, there were no strong institutions such as legislative and civil society as the balancer from executive power which causes Murman Effendi became local boss in Seluma regency. Murman Effendi as a local bos dominated power in Seluma regency. The theory implication shows that Murman Effendi was a local boss which arised after the collapse of new order but Murman Effendi did not use intimidation and violence."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pungky Sukmawati
"ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini adalah gagalnya Setgab mendukungkebijakan pemerintah SBY-Boediono di Sidang Paripurna DPR RI, 31 Maret 2012 tentang RAPBN-P 2012. Fenomena ini bertentangan dengan konsep koalisi untuk membentuk pemerintahan mayoritas yang stabil, efektif dan berjangka lama. Atas dasar itu,permasalahan penelitian adalah: 1). bagaimanapolahubunganantarpartaikoalisidalamSekretariatGabungan (Setgab) denganformasipemerintahanan SBY-Boediono?; 2). bagaimanasikappolitikanggotaSetgabdalamSidangParipurna DPR RI, 31 Maret 2012 tentang RAPBN-P 2012?; 3). mengapakoalisipolitikyangmayoritasdilegislatifgagalmengamankankebijakanpemerintahdalam RAPBN-P2012 diSidangParipurna DPR RI, 31 Maret 2012?.
Penelitian ini menggunakan teori koalisi dari Arendt Lijphart, teori Hubungan Eksekutif-Legislatif oleh Alan Ware, teori Konflik dari Lewis A. Coser, dan teori Pilihan Rasional dari James Anderson. Penelitianini menggunakan metodekualitatif, dengan teknikanalisis data deskriptif analitis. Sedang pengumpulan data dengan data primer dansekunder, baik dokumen maupunwawancaramendalamdengan tokoh dalam koalisi.
Kesimpulan penelitian ini adalah Setgab merupakan koalisi besar (oversized coalition),terdiri dari partai politik dengan jarak ideologi lebar, berorientasi kekuasaan (office seeking) dan bersifat pragmatis. Secara formal hubungan eksekutif-legislatif menganut sistem presidensil, namun dalam realitasnya presiden sangat tergantung dukungan legislatif. Dalam koalisi terjadi konflik politik, namun langkah Golkar dapat dimaknai sebagai bentuk katub penyelamat menghindarkan dari konflik yang lebih besar. Sikap politik anggota koalisi dalam merespon usulan pemerintah mengenai APBN-P 2012 dalam Sidang Paripurna DPR, 31 Maret 2102 lebih menekankanpertimbangan maksimalisasi kepentingan internal partai dibandingkan komitmen terhadap kepentingan koalisi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kegagalan anggota Setgab dalam mengamankan kebijakan pemerintahan pada saat Sidang Paripurna DPR RI, 31Maret 2012.
Implikasi teoritis menunjukan bahwa partai-partai dalam Setgab sikap politiknya cenderung bersifat pragmatis, mengutamakan kepentingan internalnya sehingga sering mengalami konflik internal, sesuai dengan pendapat Arendt Lijphart, James Anderson dan Lewis A. Coser. Sedangkan teori hubungan eksekutif-legislatif dari Alan Ware mampu menjelaskan hubungan secara normatif, namun lemah dalam menjelaskan hubungan eksekutif-legislatif dalam konteks praktek empirisnya.

ABSTRACT
This study was based on the fact of frictions that took place among members of the Government Coalition called the Setgab at the Plenary Session of DPR RI on March 31, 2012, during the discussion of the Bill of the Revision to the 2012 National Budget. It included the political manoeuvering of Golkar Party by petitioning to add a clause to the proposed Bill. The other is PKS Party's rejection to the Governrnent's proposed Bill.These have hindered the coalition from reaching a consensus to further secure the Governrnent's policies.
This phenomenon went against the intention of building acoalition in order to guarantee a stable, effective and sustainable majority governrnent. Based on this issue, the research question is formulated as follows: what was the pattem of relation among parties in the Coalition of Setgab related to the formation of SBY's govemment?;what was the positioning of members of the Govemment Coalition on the Bill of the Revision to the 2012 National Budget at the Plenary Session of DPR RI, March 31, 20127; and, why did the Coalition fail to secure the Govemment's Bill on the Revision of the 2012 Budget Bill despite having built a majority in the legislature? This research involves the use of qualitative method with descriptive analytical technique in analysing the data. In the section of theoretical framework, it incIudes the use of theories on coalition, conflict, executive-legislative relation, and rational choice. The data collected incIudes primary and secondary data.Data collection also usedin-depth interview with prominent persons within the Coalition.
Findings of this study demonstrate th at the Coalition established was a large one,consisting of political parties with wide ideological range, tied together by office­seeking motivation and was a pragmatic move to fulfill practical considerations. Consequently, the relationship between the executive and legislative institutions became a vulnerable one, particularly in the face of political conflicts. Formally adopting presidential system, in reality the Indonesian president largely depends on the parliament's support. Furthermore, coalitions formed to guarantee parties' support for governrnent's policies in the legislative is at times interrupted by the extension of certain party' s selfish interest which created conflict between the president and other coalition member/s.Finally, findings and conclusions of this study show the theoretical implications in the analysis and that the theories are relevant in explaining the answer to research questions.
"
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rico Valentino
"ABSTRAK
Partai politik menjadi organisasi yang turut mendongkrak serta mempertahankan legitimasi kekuasaan bagi Lee Kuan Yew dan Soeharto di Singapura dan Indonesia. Melalui People Action’s Party (PAP) dan Golongan Karya (Golkar) kedua tokoh tersebut mendominasi kekuasaan hingga lebih dari 30 Tahun. Dengan alasan politis, yakni terciptanya stabilitas politik dalam proses pembangunan negara, PAP dan Golkar menjadi salah satu organisasi politik yang mengakar dan mendarah daging di dalam tatanan masyarakat maupun sistem tata kelola pemerintahan. PAP di era Kepemimpin Lee Kuan Yew dan Golkar di era Orde Baru, kepemimpinan Soeharto mampu mendominasi pembentukan perilaku budaya politik masyarakat, sistem kepartaian dan sistem politik karena didesain sedemikian rupa sehingga kedua partai tersebut dapat mengungguli partai oposisi di tiap periodesasi pemilu. Oleh karena itu, kedua negara tersebut, dinilai sebagai negara otoriter atau psedeou-demokrasi bagi beberapa pengamat politik pada era 1960-an hingga 1990-an.
Teori yang digunakan didalam penelitian ini adalah teori partai
politik menurut Prof. Miriam Budiardjo dan Alan Ware, teori pembangunan negara menurut Lucian Pye, Seymour Martin Lipset, Daniel Bell, dan Samuel P. Huntington, teori hegemoni oleh John Agnew, Afan Gaffar dan Dany Rodan, dan Otoritarianisme oleh Lucan Levitsky. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini akan menggunakan studi kepustakaan (literature review) yang digunakan sebagai sumber data primer maupun sekunder.
Kesimpulan penelitian bahwa sebagai bentuk dominasi kekuasaan rezim otoriter di Singapura dan Indonesia di era Lee Kuan Yew dan Orde Baru Soeharto, maka dibutuhkan penguatan-penguatan kelembagaan politik, khususnya partai politik, yakni PAP dan Golkar. Sistem kepartaian, hegemonik sebagaimana disampaikan oleh Affan Gafar dilandasakan pada pemahaman dan landasan argumentasi bahwa sistem kepartaian yang tidka membuka ruang kompetisi formal dalam kekuasaan. Partai politik selain PAP di Singapura maupun Golkar di Indonesia diperbolehkan hidup akan tetapi peranya dimarginalkan. Selain dari pada itu, didalam proses pengukuhan dominasi kekuasaan, partai difungsikan untuk mendukung kebijakan di Parlemen yang berhubungan erat didalam konteks budaya politik, sistem politik dan sistem ek
onomi sehingga menunjang otoritarianisme tersebut. Stabilitas politik menjadi propaganda untuk melanggengkan kekuasaan.
Implikasi teoritis menunjukkan bahwa pendekatan hegemoni partai berkuasa, dan teori pembangunan negara berimplikasi positif didalam strategi PAP dan Golkar untuk memperkokoh kekuasaan politik Singapura dan Indonesia.

ABSTRACT
Political party as an organization was relied by Lee Kuan Yew and Soeharto to gain power legitimacy in Singapore and Indonesia. Through People's Action Party (PAP) and Golongan Karya (Golkar), both figures had dominated for over 30 years. For political reasons, political stability in the process of nation development, PAP and Golkar played an intensive role in the public society as part of the government. PAP during Lee Kuan Yew's leadership and Golkar in the New Order through Soeharto's leadership were able to shape up the political culture of the society, the party system and even the political system because of how they managed to adapt and designed their political and were able to hold on until several elections. This resulted to the forming of a authoritarian or some would say a psedeou-democracy in the year of 1960s to 1990s.
Theories that were used, party politic by Prof. Miriam Budiardjo and Alan Ware, nation building by Lucian Pye, Seymour Martin Lipset, Daniel Bell, and Samuel P. Huntington, theory of hegemony by John Agnew, Afan Gaffar and Dany Rodan, and also theory of authoritarianism by Lucan Levitsky. This research were made through qualitative method and also consists of some literature review as a secondary data.
Conclusion of the research showed that, PAP as a dominant force in Lee Kuan Yew era and Golkar on the other hand in Soeharto era needed strengthening through several political institutions. The hegemonic party system that was defined by Affan Gafar focused on the understanding and the argumentation that the parties were able to obstruct fair political competition in the country. Opposition parties in Singapore and Indonesia were allowed to operate but were marginally outcast in the political competition. Moreover, in the process of gaining political dominance, party was functioned to support public policies in the Parliament and that had a significant relation in the shaping of political culture, political and economic system in the country, so much so that they turned into authoritarian. Political stability is the key to retaining power in their (PAP and Golkar) propaganda.
Theoritical implication showed that the hegemonic ruling party and the theory of national building had a positive impact in the strategical process of PAP and Golkar."
2013
T38706
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Adi Putri
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keunikan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Tingginya posisi perempuan Minang darin aspek sosial dan budaya tidak berbanding lurus dengan kedudukan dalam politik, yang terlihat dari masih sedikitnya perempuan yang memiliki powsisi menentukan dalam politik dan pemerintahan. Juga tercermin dari jumlah keterwakilan di DPRD yang masih jauh dari kuota 30 yang dinyatakan dalam undang-undang.Fokus penelitian ini adalah pada bagaimana perempuan caleg yang ada di Sumatera Barat menggunakan modal sosial yang sudah ada, untuk mendapatkan posisi politik di DPRD. Penelitian ini dilakukan terhadap tiga orang perempuan caleg yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD Sumatera Barat dalam Pemilu 2014. Teori utama yang digunakan adalah teori modal sosial Putnam, didukung oleh teori dari ahli lain seperti Uphoff, Grootaert, Coleman dan Lawang.Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan studi kasus, dimana data-data didapatkan dari wawancara terhadap tiga perempuan caleg yang menang, kepada anggota jaringan yang dimiliki oleh perempuan caleg yang berasal dari organisai sosial dan tokoh adat dan kepada pengurus partai Golkar dan Nasdem yang merupakan partai yang mencalonkan perempuan caleg.Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa perempuan caleg yang menang dalam Pemilu 2014 untuk DPRD SUmatera Barat, memiliki modal sosial yang terdiri dari jaringan, norma dan kepercayaan. Pola jaringan merupakan personal berbentuk duaan ganda berlapis. Norma sebagai modal sosial dikaitkan dengan peran Ninik Mamak dan bundokanduang dalam mendukung keterpilihan perempuan caleg. Kepercayaan dari anggota jaringan dan norma yang berlaku di masyarakat terhadap posisi perempuan di Minangkabau adalah modal sosial kognitif.Temuan penelitian adalah bahwa dengan cara-cara yang tepat, seperti pendekatan silaturahim dengan tokoh masyarakat dan tokoh adat, kampanye door to door maka modal sosial dapat memengaruhi kemenangan caleg perempuan di Sumatera Barat. Filosofi penggunaan modal sosial oleh perempuan caleg di Minangkabau adalah cancang aia ndak kaputuih, yang artinya bahwa hubungan yang terbangun dari kedekatan karena satu kaum, satu alumni organisasi dan satu kampung 3H: sadarah, sabagarah, sadaerah diibaratkan seperti mencincang air, yang tak akan pernah putus.

ABSTRACT
The background behind this dissertation is the unique culture of the Minangkabau people in West Sumatera. Viewed from a social and cultural aspect, women 39;s high social standing in the Minangkabau Society is incongruent to their position in politics, as women only hold a smal number of seats in the government. The number of female representatives in the Regional People 39;s Representatives Council DPRD is also far from the thirty percent quota that is written in the law.The main focus of this study is how women, as representatives in council, are able to gain gain their seats using pre-existing social capital. This study is centered around three female candidates that has managed to secure the seats in council.The main theory used in this study is Putnam 39;s social capital theory, and it is supported by theories from experts such Uphoff, Grootaert, Coleman and Lawang. This research uses qualitative method and executes it through interviews with three femal candidates who come from social organization, traditional leaders, and party officials from Golkar and Nasdem the parties which nominated these women .The principal findings of this study reveal that femal candidates who secured their seats in the 2014 regional election have one common similarity-all of these women have social capital consisting of network, norms, and trust. The network a person has is personal in nature and considered double-layared. a person 39;s belief and the norms a person upholds, if consistent with those of society 39;s, is considered as cognitive social capital.the theoretical implication of this study shows that, using the correct methods, such as personally approaching traditional leaders adn doing door to door campaign, could increase a person 39;s social capital. social capital can influence the victory of women candidates in West Sumatera. The philosophy behind the use of social capital is cancang aia dak kaputuih, which means mincing water that will never break "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D2463
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valina Singka Subekti
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas dinamika politik proses perubahan UUD 1945 di MPR 1999-
2002 pada masa transisi demokrasi, terhadap lima isu utama, yaitu : 1) dasar negara dan
agama, 2) DPR 3) DPD, 4) MPR dan 5) sistem pemilihan Presiden langsung. Tujuan
penelitian, pertama, melihat bagairnana pandangan dan sikap fraksi-fraksi di PAH BP
MPR terhadap lima isu tersebut, dan bagaimana perdebatan itu berlangsung. Kedua,
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan dan sikap fraksi. Apakah
dipengaruhi oleh latar belakang sejarah ideologis partai, atau oleh latar belakang
kepentingan partai. Ketiga, menjelaskan dan mengnalisis perkembangan ilmu politik
melalui studi proses perubahan UUD 1945.
Metode penelitian adalah kualitatiff Posisi peneliti sebagai participant-observer,
mempengaruhi otentisitas penelitian. Pendekatan struktural dan kultural digunakan unmk
memperoleh refleksi mendalam atas fenomena yang diteliti. Teori transisi demokrasi
digunakan untuk menjelaskan setting politik perubahan UUD 1945. Teori elite oleh
Robert Michell, teori aliran politik oleh Geertz dan Feith, dan teori lconflik oleh Maurice
Duvergor dan Maswadi Rauf untuk menjelaskan proses dan dinamika interaksi politik
fraksi-fraksi di MPR.
Hasil penelitian menunjukkan, pertama, peran elite fraksi di PAH BP MPR dan DPP
partainya sangat besar, juga masyarakat sipil dalam mempengaruhi proses pembahan
UUD 1945. Kedua, fraksi-fraksi bersikap bahwa Pancasila sebagai dasar negara sudah
final sehingga yang diperdebatlcan bukan substansi Pancasila, tetapi masalah
penempatannya saja. Ketiga, dalam masalah agama (Pasal 29) masih nampak wama
aliran mempengaruhi secara terbatas pandangan dan sikap fraksi. ?Aliran? disini berbeda
wujudnya dari aliran politik yang menjadi mainstream utama politik Indonesia masa lalu.
Aliran lebih bermakna sebagai identitas politik partai. Keempat, pada lima isu yang
dibahas, posisi fraksi-fraksi bergerak antara reformis moderat dan refomis progresif;
berlainan dengan temuan Blair mengenai dikotomi konservatif-progresif dalam
pengelompokan fraksi-fraksi di PAH BP MPR.
Implikasi teoritis memperlihatkan adanya perubahan dan kontinuitas dalam aliran politik
di Indonesia. Aliran politik tidak dapat lagi seutuhnya dilihat seperti yang dimaksudkan
Geertz maupun Feith. Aliran politik dewasa ini lebih digunakan sebagai alat identitas
politik partai. Fenomena perubahan ideologi di tingkat global dan menguatnya
pragmatisme di kalangan umat Islam akibat proses deideologisasi dan modernisasi
ekonomi selama Orde Baru telah memunculkan masyarakat Islam yang lebih
mengutamakan Islam kultural daripada Islam sebagai ideologi."
2006
D796
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saiman
"ABSTRAK
Disertasi ini dilatarbelakangi dengan seringnya terjadi pemasalahan perbatasan Indonesia-Malaysia yang sangat menganggu keamanan dan kedaulatan NKRI. Ketertinggalan pembangunan perbatasan Indonesia merupakan salah satu penyebab terjadinya permasalahan perbatasan khususnya di Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara. Berdasarkan UU No. 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara dan Perpres No. 12 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), negara mempunyai kekuasaan dan kewenangan dalam pembangunan perbatasan guna pencapaian masyarakat perbatasan yang sejahtera dan aman. Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan mengusulkan pembangunan jalan, dermaga, listrik, sarana pendidikan, kesehatan dan lainnya sesuai RPJMD tahun 2012-2016 kepada Pemerintah Pusat untuk membuka keterisolasian dan ketertinggalan pembangunan pada 12 wilayah kecamatan perbatasan.
Pertanyaan penelitian ini bagaimana peran BNPP dan power interplay antar lembaga, mengapa terjadi perbedaan prioritas kebijakan dan kepentingan Pemerintah Pusat dan Daerah, serta mengapa anggaran minim dan bagaimana respon dan nasionalisme masyarakat perbatasan?
Penelitian ini menggunakan metode kualitiatif dengan jenis penelitian studi kasus. Pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan wawancara. Teori Miliband tentang negara memiliki otoritas sebagai teori utama. Teori Distribusi kekuasaan dalam hubungan Pusat-Daerah oleh B.C.Smith, Rondinelli dan Cheema serta teori nasionalisme sebagai teori pendukung dalam kajian ini.
Temuan penelitian menunjukkan peran BNPP sebagai lembaga koordinasi. Keanggotaan BNPP di dominasi oleh kementerian dan lembaga negara sehingga terjadi ego sektoral dan power interplay antar lembaga dan pemerintah daerah mengakibatkan BNPP tidak efektif. Perbedaan prioritas kebijakan dan kepentingan program pembangunan infrasruktur perbatasan terjadi, karena kepentingan nasional Pemerintah meliputi aspek politik, keamanan dan strategis geografi. Kepentingan Daerah meliputi membuka isolasi wilayah, pelayanan masyarakat, membangun kawasan ekonomi dan nasionalisme. Anggaran perbatasan minim, dan masyarakat mengalami pergeseran orientasi nasionalisme.
Implikasi teoritis menunjukkan bahwa hubungan (distribusi) kekuasaan dan kewenangan Pemerintah Pusat pada Daerah dalam pembangunan infrastruktur perbatasan di Kabupaten Nunukan masih dominasi Pusat. Sesuai dengan teori negara oleh Miliband dan Skocpol, dan Smith tentang distribusi kekuasaan dalam hubungan Pusat-Daerah, sehingga belum memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah perbatasan Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara. Perlu penguatan regulasi dan institusi BNPP serta keberpihakan pemerintah pusat (negara) pada percepatan pembangunan perbatasan

ABSTRACT
The background of this study is often happen problems in Indonesian-Malaysian borders which very threatened security and sovereignty of NKRI. Underdevelopment in Indonesian border were one of cause Indonesian border problems in Nunukan Regency of North Borneo Province. According State Territorial Policy Number 43, year of 2008 and Presiden Policy Number 12 year of 2010 about National State Institution of Border Management (BNPP), state have outhority in border developments for society prosperity and security. Nunukan Local Goverment had to proposed road developments, port, electric construction, education and health facilities according RPJMD 2012-2016 policy for central Government to opens territorial isolation and underdevelopment in 12 border districs.
This research questios, how was the rule of BNPP and power interplay with other institutions, why happen differences of policy priority and Central-Local Goverment intersts. Why were budgets and nationalism border society.
This research used kualitatif methods and the case study, data collecting by library studi and interview. State theory by Miliband as main theory, Central-Local Governments Relations by B.C.Smith, Rondinelli and Cheema and nationalism were supports theories in this research.
The result of reserch showed that BNPP rule as coordinatif institution, members of BNPP dominant by departements and state institutions so that ego sectoral happen and power interplays with anathor institutions and local government so that BNPP was not efectif. Policy priority defferences and national interests of Central Goverment consists politic aspec, security and strategic geografic. Local Government including to opens isolation territorial, public service, economics development territorial and nationalism.
Theoritical implications showed that outhority distributions relations Central Government for Local Government in border infrastructur developments in Nunukan Regency of North Borneo Provinci dominated by Central Government. So that relevants by State theory about authority of Miliband and Skocpol and Central-Local Government distribution theory by Smith. Thus border infrastructur developments by Central Government were not give impacts for society prosperity and local development of Nunukan Regency of North Borneo Provinci. So that must to sthreengtness for regulations and institution of BNPP and aligmants Central Government (state) for border developments accelerations."
2016
D2226
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Wardana
"Disertasi ini merupakan studi tentang konflik politik yang mengiringi proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur Bali tahun 2013. Studi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang: (1) Sebab konflik internal PDI-P dalam pemilihan gubernur Bali (2) Strategi yang digunakan Made Mangku Pastika maupun Anak Agung Ngurah Puspayoga sebagai mantan pasangan petahana Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2008-2013 untuk saling berkompetisi di dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali periode tahun 2013 (3) Implikasi dampak kemenangan Made Mangku Pastika pada dinamika politik di Bali.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam (in depth-interview) terkait konflik pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Bali tahun 2013. Penelitian ini menggunakan teori konflik dari Rauf, Dahrendof dan Coser, teori politik dari Parson, teori elite dari Mosca dan Keller, teori politik lokal dari Smith dan Stewart, teori oligarki dari Winter, teori perilaku pemilih dari Firmanzah dan teori strategi dari Schroder. Adapun teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konflik Rauf dan teori-teori lain yang digunakan sebagai teori pendukung.
Temuan utama yang diperoleh dari penelitian ini adalah kekalahan telak PDI-P di kandang Banteng PDI-P Bali yang merupakan basis PDI-P terbesar di wilayah Indonesia Tengah dan Timur.Temuan menarik lainnya adalah tumbangnya dominasi kalangan puri/ bangsawan sebagai gubernur Bali. Sejak dulu, posisi gubernur Bali selalu diisi oleh orang-orang dari kalangan puri sebagai bentuk tradisi mempertahankan keturunan raja-raja. Namun, dalam dua periode ini pemimpin Bali terpilih berasal dari kalangan non-puri (non bangsawan), yakni Jabawangsa dari wangsa/soroh Pasek sebagai hal yang tidak pernah diduga sebelumnya. Temuan lainnya adalah kekalahan PDI-P yang mengusung ideologi "wong cilik" dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali periode 2013-2018, dikarenakan calon yang diusung justru tidak menunjukkan keberpihakannya pada ideologi tersebut.
Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah memperkuat teori konflik dari Dahrendof dan Rauf bahwa konflik yang semula bersifat individu dan meluas menjadi konflik kekuasaan bilamana masing-masing pihak yang berkonflik memiliki posisi dan kewenangan yang cukup untuk mengendalikan pendukungnya di dalam struktur pemerintahan.

Centered around the gubernatorial elections in Bali (2009-2013 Period), this dissertation is a study on the political conflicts that transpired during the elections. It aims to answer a series of questions regarding several matters. Firstly, the cause of PDI-P's internal conflict in the gubernatorial elections. Secondly, the strategies implemented by Made Mangu Pastika and Anak Agung Ngurah Pruspayoga, the former governor and vice-governor pair of the 2008-2013 period, as they compete against one another in the gubernatorial elections of the 2013 period. Lastly, the political implications of Made Mangku Pastika's victory on the political dynamics in Bali.
This research uses the qualitative and in-depth interview method in studying the conflicts in the 2013 gubernatorial elections in Bali. This research uses several theories: (1) The conflict theory by Rauf, Dahrendof, and Coser, (2) the political theory by Parson, (3) the elite theory by Mosca and Keller, (4) the local politics theory by Smith and Stewart, (5) the oligarchy theory by Winter, (6) the voter's behavior theory by Firmanzah, and (7) the strategy theory by Schroder. The main theory will be Rauf's conflict theory while the remaining theories are used as supporting theories.
The principal finding of this research is PDIP-P's loss in Bali, which is the central base of PDI-P in Indonesia's central and eastern regions. This research also shows the collapse of the aristocrats power as the governor of Bali. Once, the position of the governor was filled with Balinese aristocrats, an act that demonstrates the preservation of the royal lineage. However, the last two periods shows a collapse in this preservation act. The Governor's office was taken by Jaba Wangsa from Pasek, a man from the lowest of the four Hindu caste, the Sudra. Another finding was that the loss of PDI-P, a party which upholds the common people ideology, in the Bali gubernatorial elections of the 2013-2018 period is resulted by the candidate's failure to project the ideology.
The theoretical implication of this research upholds Dahrendof's and Rauf's conflict theory which states that a personal conflict may become a struggle of power if the two sides have the position and authority to control its supporters in the government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D2239
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Tenri Sompa
"ABSTRAK
Kegiatan investasi pertambangan batubara di Kabupaten Tanah Bumbu
ternyata tidak hanya bersifat ekonomi-bisnis melainkan juga mengandung
dimensi-dimensi politik dan memberi pengaruh tersendiri terhadap dinamika
kekuasaan di arena politik lokal. Kenyataan itulah yang melatarbelakangi studi
ini.Tiga pertanyaan utama yang dijawab dan dibahas dalam studi ini. Pertama,
bagaimana pola hubungan pemerintah daerah dengan pengusaha tambang
batubara serta dampak hubungan tersebut terhadap kebijakan investasi tambang
batubara di Kabupaten Tanah Bumbu? Kedua, bagaimana peran politik pengusaha
tambang batubara dalam proses pemilihan kepala daerah di Kabupaten Tanah
Bumbu? Ketiga, bagaimana dinamika konflik berbasis tambang batubara antara
masyarakat lokal dan pelaku usaha serta bagaimana peran pemerintah daerah di
dalamnya?
Di tataran teoretik, studi ini menggunakan teori oligarki dari Osterman
sebagai acuan utama. Selain itu juga menggunakan teori negara Marxis dari
Mandel dan Althusser, teori desentralisasi dan politik lokal dari Smith dan Stoker,
dan teori konflik dari Rozen, sebagai acuan pendukung.Pada tataran metodologis,
studi ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Temuan pokok studi ini menunjukkan bahwa hubungan pengusaha
tambang dengan penguasa lokal dan pejabat-pejabat birokrasi berlangsung dekat
karena antarpihak meskipun berbeda kepentingan namun mampu mempertemukan
kepentingan tersebut dan sama-sama mengambil keuntungan. Pengusaha tambang
mendapatkan kemudahan-kemudahan serta keuntungan ekonomi, sedangkan
pengusasa lokal dan pejabat birokrasi mendapatkan keuntungan politik dan
ekonomi sekaligus.
Hubungan antara pengusaha tambang dengan penguasa lokal terlihat
sangat jelas pada saat pemilihan kepala daerah. Dalam sejarah pemilihan kepala
daerah langsung di Kabupaten Tanah Bumbu selama ini, pasangan kandidat yang
memenangkan kontestasi selalu saja yang mendapat dukungan penuh dari para
pengusaha tambang. Pengusaha tambang yang cukup berpengaruh dalam setiap
momen pemilihan kepala daerah langsung serta dalam dinamika politik lokal
Kabupaten Tanah Bumbu merupakan para pengusaha lokal.
Teori-teori yang digunakan dalam studi ini, baik teori utama maupun teori
pendukung, sangat membantu dalam memberikan penjelasan terhadap temuantemuan
penelitian, serta dalam membentuk kerangka berpikir ketika membangun
interpretasi-interpretasi. Memang, satu teori tidak secara utuh bisa menjadi
sandara penjelasan, dan karena itu dilengkapi dengan teori-teori yang lain

ABSTRACT
This research is based on the activity of coal mining investment in Tanah Bumbu District
that is not merely for economic and business purposes, butalso contains the dimensions of
politics which affect the power dynamics in the local politics. Three major questions are
answered and discussed by this study. First, what is the relationship pattern between the local
government and the coal mining businessmen and how does it affect the policies of coal mining
investment in Tanah Bumbu? Second, what is the political role of the coal mining businessmen
in the local elections? Third, how is the coal mine-based conflict between the local communities
and the coal mining businessmen, and what is the government?s role in it?
In a theoretical level, this study uses Osterman?s theory of oligarchy as the main theory.
In addition, Mandel?s and Althusser?s theory of Marxist states, Smith?s and Stoker?s
decentralization theory and local politics theory, and Rozen?s conflict theory are used as its
supporting theories. Furthermore, this study uses a qualitative approach.
The principal finding of this study shows that the close relationship between the coal
mining businessmen and the local authorities as well as the bureaucratic officers is the result of
each party?s interest. Although they have different interests, they managed to combine it and
benefit from it. The coal mining businessmen are guaranteed facilities and economic benefits,
while the local authorities and bureaucratic officers gains political and economic benefits.
The relationship between the coal mining businessmen and the local authorities can be
seen clearly during the local elections. Throughout the years, the winning candidates of the
Tanah Bumbu local elections are those who gain the support of the coal mining businessmen.
Therefore, it is evident that the coal mining businessmen have influence over the local elections
and over the dynamics of the local politics in Tanah Bumbu.
Both the main and supporting theories used in this study are helpful in giving a clear
explanation of the research findings and in forming a framework while constructing the
interpretations. In order to give a thorough explanation, several theories are needed"
2016
D1706
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M Nur Alamsyah
"ABSTRAK
Penelitian ini tentang gerakan politik masyarakat dalam proses pembentukan daerah baru di Indonesia. Peran elit dalam pemekaran menentukan, sebaliknya gerakan massa dari bawah dianggap sebatas massa dalam pembentukan daerah. Kenyataannya pada setiap proses pembentukan daerah di Indonesia, masyarakat berpartisipasi untuk pembiayaan maupun aksi gerakan.Pembentukan Kabupaten ParigiMoutong menarik terkait mengapa kelompok-kelompok gerakan pemekaran muncul dan bagaimana strategi kelompok-kelompok tersebut, serta bagaimana bentuk persaingan dan konsensusnya.Teori utama yang digunakan adalah teori struktur kesempatan politik dari Dough McAdam, Jhon McCharty dan Mayerd N.Zald.Teori inimenekankan bahwa gerakan sosial dimungkinkanjika terdapat kesempatan politik, mobilisasi, dan proses pembingkaian. Penelitian ini menggunakan studi kualitatif dengan kasus gerakan politik pada proses pembentukan Kabupaten Parigi Moutong Tahun 1999-2002. Pengumpulan data diperoleh melalui tahapan:, studi data sekunder, pra wawancara, wawancara mendalam, segmentasi makna data dan analisis data.Hasil penelitian ini menemukan bahwa kelompok gerakan pemekaran menentukan pembentukan Kabupaten Parigi Moutong. Keberhasilan gerakan kelompok dengan aksi beragam dengan memanfaatkan kesempatan reformasi, perubahan aturan, bangkitnya gerakan mahasiswa serta lahirnya kompetisi kepartaian. Gerakan dengan menggunakan instrumen budaya tersebut dapat mendorong mobilisasi sumber daya kelembagaan formal dan nonformal dalam mendukung pembentukan daerah melalui inisiatif DPR-RI. Melalui proses pembingkaian issu dengan media alternatif, serta pemanfaatan instrumen kearifan lokal melalui silaturrahmi dan musyawarah serta penggunaan bantaya ruang pertemuan adat ,melahirkan motivasi, ikatan dan konsensus kuat dalam gerakan ini. Temuan tersebut mengkonfirmasi teori struktur kesempatan politik dan menambahkan elemen baruuntuk faktor proses pembingkaian pada elemen budaya yang spesifik dalam konteks gerakan politik di Kabupaten Parigi Moutong.a

ABSTRACT
This research expounds the position of the public rsquo s political movement during the formation process of a new district in Indonesia. Because the realization of forming a new district is determined by the elites, the birth of a new district is often equated with elite domination. While the mass movement is not visible and is seen as unrelated to the formation process, the mass movement can become potential funders and can become an asset in the formation process itself.The formation process brings into light the questions on the emergence of various expansion group movements and their strategies, as well as the disputes and consensus caused by these movements.The main theoryused in this dissertation is the theory of political opportunity structure by Dough McAdam, Jhon McCharty and Mayerd N. Zald. This theory accentuates that social movements may emerge if a political opportunity, a resource mobilization structure, and a framing process is present. The qualitative method with a case study on the Parigi Moutong District in order to understand the political movement in the formation process of the Parigi Moutong District in 1999 2002. The data are collected through secondary data study, pre interviews, in depth interviews, data segmentation, and data analysis.This research shows that political movements are vital to the formation process of the Parigi Moutong District. The political process such as the development of opinions, the mass action in Parigi Moutong, the urgent action the Donggala District and Province, the lobbying and negotiation with the central government, to the utilization of the initiative mechanism of DPR RI is executed by the expansion group movement until the parliamentary session and the definitive formation of the ParigiMoutong District.Confirming the theory of political opportunity structure, the political movement groups rsquo influence are made possible by the presence of a political opportunity. This opportunity enables the mobilization structure of resources and the framing process with the alternative media, as well as optimization with local wisdom. The discussions in the bantaya traditional meeting room , and an act of hospitality as the instrument of local culture has given birth to a political bond and consensus in the district expansion movement. This finding is a new element that complements the theory of political opportunity structure for cultural framing in the local context of Parigi Moutong District rsquo s formation process."
2016
D1718
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enny Suryanjari
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang partisipasi politik masyarakat Baduy berupa pemberian suara pada Pemilu Legislatif 2009. Menurut keyakinan mereka orang Baduy tidak ditugaskan mengikuti Pemilu. Dalam rangka menghormati peraturan pemerintah, mereka 3 kali mengikuti pemilu dengan peserta sedikit 3 . Pada 2009 masyarakat Baduy mengikuti Pemilu dengan jumlah peserta mencapai 21 dari Daftar Pemilih Tetap. Pertanyaan penelitian: mengapa terjadi peningkatan peserta Pemilu. Bagaimana peran calon legislatif dalam memenangkan pemilu.Penelitian ini menggunakan teori bosisme lokal John T.Sidel , teori partisipasi politik Rush dan Althoff , partisipasi politik Huntington dan Nelson , teori komunikasi tradisional Pye . Teori bosisme lokal untuk menjelaskan adanya jaringan kekuasaan politik dan ekonomi, partisipasi politik dari Rush dan Althoff untuk menjelaskan voting, dan partisipasi politik dari Huntington dan Nelson untuk menjelaskan mobilisasi, teori komunikasi tradisional untuk menjelaskan pendekatan dengan masyarakat tradisional. Metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi dan penelusuran pustaka.Hasil Penelitian: peningkatan partisipasi politik berupa pemberian suara pada Pemilu 2009 di desa Kanekes disebabkan oleh adanya persuasi yang dilakukan oleh calon legislatif partai Golkar, H.Kasmin, kepada pemerintah adat. Persuasi dilakukan dengan menggunakan komunikasi tradisional yaitu bertatap muka, komunikator adalah orang yang sudah dikenal baik sehingga komunikan percaya dengan isi pesan yang diterima. Akhirnya pemimpin adat menyetujui penyelenggaraan Pemilu di desa Kanekes dengan syarat hanya diikuti oleh warga Baduy Luar dan TPS hanya didirikan di Balai Desa sebanyak dua unit. Setelah Pemilu disetujui oleh pimpinan adat, tim sukses partai Golkar yang terdiri dari orang Baduy melakukan kampanye kepada warga dengan memanfaatkan ikatan primordial yaitu ikatan kesukuan.Kesimpulan: faktor yang menyebabkan adanya peningkatan partisipasi politik berupa pemberian suara pada H.Kasmin pada Pemilu Legislatif adalah adanya tekanan dari calon legislatif kepada pemerintah adat dan adanya kampanye dari tim sukses H.Kasmin. Pemberian suara dilakukan dengan cara memobilisir warga yang dilakukan oleh kepala desa jaro pamarentah .kata kunci : partisipasi politik, masyarakat tradisional, bosisme local

ABSTRACT
This study examines the political participation of Baduy people in the orm of voting in the 2009 Legislative Election. According to their beliefs, Baduy people are not assigned to give their vote in the election. In order to respect the government regulations, they have cast their votes 3 times with a few participants 3 . In 2009, Baduy people participated in the General Election with the number of participants reached 21 of the Permanent Voters List.Research question: Why did the number of the participants in the election increase? What was the role of legislative candidates in winning the election. This study uses the theory of local bosism John T.Sidel , political participation theory Rush and Althoff , political participation Huntington and Nelson , traditional communication theory Pye . The theory of local bosism is used to explain the existence of a network of political and economic power, political participation of Rush and Althoff is used to explain voting, and political participation from Huntington and Nelson is used to explain the mobilization, traditional communication theory is used to explain the approach with traditional society. Qualitative research methods. Data collection techniques were carried out through in-depth interviews, observation and library search.Results: The increase of political participation in voting in the 2009 elections in Kanekes village was caused by persuasion conducted by Golkar party legislative candidate H. Kasmin to the Adat Government Kepala Adat . Persuasion is done by using traditional face to face communication, done by a communicator who is well known so the communicants believed with the contents of messages they received. Finally, the Adat leaders agreed that the election was conducted in Kanekes village on condition that it was only followed by Baduy Luar residents and TPS was only established in Village Hall as many as two units. After the election was approved by the Adat leaders, the Golkar party 39;s successful team of Baduy people campaigned to the residents by using primordial ties.Conclusion: The factors that led to vote increase for H. Kasmin in Legislative Election was the pressure from the legislative candidate to Ketua Adat The Adat government and the campaign of H. Kasmin 39;s successful team. Voting was conducted by mobilizing citizens done by the village head jaro pamarentah .Keywords: political participation, traditional society, local leaders."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>