Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prudensius, Maring
"Hutan mengandung nilai ekonomi, ekologi, sosial, dan kultmal. Banyak pihak menaruh perhatian pada nilai tersebut dengan kepentingan berbeda. Hubungan antarpihak dengan kepentingan berbeda bisa melahirkan konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Analisis konflik, perlawanan, dan kolaborasi sering dilakukan secara terpisah sekalipun realitas konflik, perlawanan, dan kolaborasi melibatkan pihak yang sama pada kasus yang sama.
Penelitian ini mengacu perspektif yang mernandang kekuasaan sebagai kompleks strategi dinamis yang datang dari berbagai pihak. Perspektif ini melihat konflik, perlawanan, dan kolaborasi bukan sebagai realitas yang berdiri sendiri tetapi sebagai hasil dari hubungan kekuasaan. Genealogi kekuasaan menjadi metode penelitian dengan memberi tekanan pada peristiwa yang terjadi sekarang sambil melakukan penelusuran historis jika diperlukan. Wawancara mendalam dan pengarnatan terlibat dipilih untuk menelusuri dan memperdalam data yang diperoleh melalui pernyataan informan, dokumen, dan teks. Penelitian lapangan dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2007 pada parapihak yang terlibat dalam penguasaan hutan di Egon Flores.
Kajian ini memperlihatkan, untuk memahami hubungan kekuasaan yang dinamis harus dimulai dari memahami bagaimana tujuan kekuasaan diformulasi, bagaimana strategi, mekanisme, dan taktik dijalankan untuk merealisasi tujuan kekuasaan. Tujuan yang mendasari kerangka pikir pihak yang terlibat mempengaruhi pilihan strategi dan taktik untuk merealisasikan tujuan tersebut. Hubungan antara aparat pemerintah, masyarakat, dan LSM dalam penguasaan hutan di Egon Flores selalu mengandung kompleksitas kepentingan dan tujuan. Kepentingan yang menggerakkan para pihak untuk saling berhubungan tidak selalu karena perhitungan ekonomi-material, kalkulasi hukum, dan substantif semata, tetapi juga cara dan pendekatan yang dijalankan.
Tujuan yang dijalankan melalui strategi, mekanisme, dan taktik yang bersifat menekan dan melarang melahirkan konflik dan perlawanan. Sebaliknya, strategi, mekanisme, dan taktik yang bersifat persuasif memunculkan Sikap berkolaborasi. Konflik, perlawanan, dan kolaborasi selalu muncul bersarna. Dengan demikian, hubungan kekuasaan tidak hanya berlangsung dalam perlawanan dan konflik tetapi juga dalarn kolaborasi. Hubungan itu sulit dilepaskan satu Salina lain karena masing-masing merangsang lahir nuansa hubungan lainnya. Hal ini memberi alasan konseptual untuk melakukan kajian kekuasaan, konflik, perlawanan, dan kolaborasi secara terpadu. (*)
Forest have economic, ecological, social, and cultural value. Many stakeholders have great concern to the values with different interest. Relations inter-stakeholders with different interest can rise conflict, resistance, and collaboration inter-stakeholders. Conflict, resistance, and collaboration usually analyzed as partial, although reality of the conflict, resistance, and collaboration involve same stakeholders on the same case.
To understand relations of power on conflict, resistance, and collaboration, this research inspire to perspective which put relations of power as complex and dynamic strategy that come from multi-stakeholders. The perspective understood conflict, resistence, and collaboration not as partial reality, but as result of relations of power. The field method and analysis inspire to genealogy of power which focus on contemporary problem while take account to the hystorical trajectories, if needed. Deep interview and participatory observation used to get data from informan, document, and other text. The Held research started March until August 2007 in Egon Flores.
This research show that eifort to understand relations of power that work as dynamic should started from understand what the purpose of power, how the purpose constructed, how the strategy, mechanism, and tactic used. The purpose of power influence the frame think, strategy, and tactics of the stakeholders to realize the power. Relations among local government, community, and NGOs within forest management in Egon Flores always include complexity of interests and purposes. The interest which influence the stakeholders to conect one each other not always since economic, legal, and substantive reasons, but also depend on the way and approach that used inter-stakeholders.
The purpose of power which done through pressure strategy and tactics rise the conflict and resistance. On the other hand, the persuasive strategy and tactis could rise collaboration. Athough, this research show that conflict, resistance, and collaboration always exist together in the field. So, relations of power not only exist on conflict and resistance but also on collaboration. Relations of conflict, resistence, and collaboration could not separated one each others since each of them always inter-conected. The fact gave conseptual reasons to analyze relations of power, conflict, resistance, and collaboration as integrated. (*)
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
D895
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Keron A. Petrus
"Kebijakan pengelolaan hutan untuk tujuan komersial yang diberikan kepada pihak swasta atau Badan Usaha Milik Negara dan pengawasan langsung oleh negara (pemerintah pusat dan daerah), telah menciptakan ketidakadilan peran dan akses masyarakat lokal pada sumber daya hutan. Situasi ini menyebabkan kerusakan hutan meningkat, kemiskinan dan konflik sosial merebak di mana-mana. Untuk itu, masyarakat lokal perlu diberi peran dan ruang untuk membangun, membuat pengaturan internal di tingkat lokal. Pengaturan yang dibuat dan digunakan oleh rnasyarakat disebut institusi lokal.
Dalam kajian ini institusi lokal diartikan sebagai seperangkat aturan yang digunakan (working rules or rules-in-use) sekelompok orang untuk mengatur aktivitas-aktivitas bersama, peran-peran yang harus dijalankan oleh orang-orang tertentu, dan sekaligus menyelesaikan permasalahan atau konflik/sengketa atas aktivitas tersebut. Dengan demikian, institusi memberikan semacam perangkat atau pedoman bagi mereka yang terlibat agar melakukan kegiatan yang mengacu kepada kepentingan, harapan bersama sesuai yang telah disepakati.
Hutan sebagai sumber daya milik bersama dan terkait dengan berbagai kepentingan yang cenderung berbeda di satu sisi, dan sifat kodrat manusia yang kreatif, inovatif di sisi yang lain rnaka pemahaman terhadap institusi lokal tidak bersifat statis tetapi sebagai sesuatu yang dapat dikonstruksi dan direproduksi berdasarkan kepentingan tertentu. Tindakan individu akan cenderung dikorelasikan dengan berbagai serring sosial dan fisik sehingga memberi pengaruh signifikan pada dinamika instimsi lokal.
Pola hubungan atau relasi sosial antarindividu, ketersediaan dan sifat sumber daya, berkembangnya ekonomi pasar, intervensi kebijakan dan berkembangkannya berbagai mode dominasi dan kekuasaan negara atas sumber daya hutan adalah beberapa aspek yang memberi kemungkinan institusi Iokal dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi secara dinamis.
Kajian ini menjelaskan, institusi lokal yang dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi masyarakat desa hutan Sumber Agung dapat dikategorikan sebagai institusi yang belajar. Dalam pengertian institusi yang dikembangkan secara dinamis berdasarkan dinamika internal dan eksternal. Tercatat sejumlah perubahan sebagai strategi adaptasi. Di antaranya, penggantian personil kepengurusan, perubahan mekanisme mencapai konsensus, aturan-aturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dimodifikasi berdasarkan realitas yang ada.
Perubahan-perubahan tidak semata ditanggapi sebagai sesuatu yang lama diganti/dimodifikasi dengan yang baru, tetapi perubahan juga ditanggapi ketika terjadinya proses sosialisasi dan internalisasi atas mekanisme institusional dalam suatu kurun waktu tertentu.
Hal lain yang juga menggambarkan institusi lokal dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi secara dinamis ialah terdapatnya variasi dalam cara penanganan permasalahan dan konflik sengketa yang terjadi, dan pada dasarnya mengekspresikan ragamnya orientasi kepentingan di antara para pengguna terhadap hutan sebagai sumber daya milik bersama. Bagaimana masyarakat scara institusional menghadapi praktik dominasi dan kekuasaan negara atas hutan juga memperlihatkan dinamika yang cukup penting bagi institusi lokal selanj utnya.
Dalam konteks inilah, ingin ditegaskan bahwa institusi lokal yang terbentuk saat ini merupakan produk dari negosiasi berbagai orientasi kepentingan yang berbeda-beda. Ada kepentingan ekonomi subsisten, sistem ekonomi pasar, dominasi dan relasi kekuasaan negara terhadap sumber daya hutan sebagai sumber daya milik bersama.
Pada posisi seperti ini, dapat diasumsikan prinsip-prinsip institusional hasil temuan Ostrom (1990, 1994), bukanlah prinsip yang dapat diidealkan bagi sebuah institusi lokal. Karakteristik fisik dan sosial yang berbeda, prinsip tersebut dapat ditambahkan, atau sebaliknya dikurangi. Kajian-kajian selanjutnya akan memperkaya pemahaman tentang institusi lokal yang dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi oleh kelompok pengguna sebagai salah satu strategi menyelesaikan permasalahan kehutanan yang bersifat multidimensi.
The policy of forest management, that transfer forest exploitation for commercial purposes to private commercial institutions or state owned corporations, as well as direct monitoring and control from the govemment (both central and regional), have created unequal roles and access of the local (host) community to get the benefit from the forest resources. This situation has increased forest deterioration and the spread of poverty and social conflicts.
Therefore, the local (host) community must be given suficient roles and space in the formulations of local arrangement in the local community level in order to develop sustainable, in both economic and social, forest management. The arrangement formulated, developed and implemented by the local community is called local institution.
In this study, local institution refers to a set of working rules or effective rules of a group of society that control their daily collective activities, community roles that are attached to certain individuals as well as conflict resolutions mechanism. This institution provides the involved parties with a kind of tool and guidelines which refer to collective interests and expectations based on collective agreement in conducting daily activities.
Forest is a collectively owned resource and is closely related to various interest, which tend to be different on one side, and the nature of htunan being, which tend to be creative and innovative one the other side, therefore, the understanding that local institutions is something that can be reconstructed and reproduced instead of a static one. Individual action would be related to certain social and physical settings, so it will give significant impact to the dynamics of local institution.
There are some aspects that provide possibilities for establishing, developing modifying local institutions in dynamic ways. They are: social relation pattern amongst individuals within a society, availability and the nature of resources, the growing of market economy, policy intervention, the growing of various dominations, and state authority over forest resources.
This study explains that local institution, which is established, developed and modified by Sumber Agung village community can be categorized as learning institution. In the context that this institution is developed based on internal and external dynamics. Some changes as part of adaptation strategy have been recorded. Amongst them are personnel and mechanism changes to reach consensus, modifications on regulations on forest management and utilization in conjunction to the current realities.
Changes refer to not only the modification the old ones with the new ones but also internalization and socialization over the institutional mechanism within a certain period of time.
Other thing that also show that local institution established, developed and modified in a dynamic way is the variety of ways in the problem solving, conflict/dispute handling. Basically, it also expresses the variety of interest orientations amongst the stakeholders of the forest as a cornrnunally owned resource. The way how the community, as an institution, cope with the domination practice and state authority over the forest also shows the important dynamics for the next local institution.
In this context, this study would like underline that the local institution is a product of negotiation from various orientations of interests amongst the stakeholders of the forest. Amongst them are economic subsistent interest, the interests of market economy system, domination and authority relation over forest resources as communally owned resource.
In this position, it is assumed that institutional principles introduced by Ostrom (1990, 1994), are not the ideal principles for a local institutions. Due to the differences on social and political characteristics, those principles can be included or discharged. Further studies will enrich the understanding on the local institutions established, developed and modified by stakeholders as one of strategy to solve problems on forestry, which has multidimensional characters.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
D896
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Partrijunianti Gularso
"ABSTRAK
Pada tahun 1981, Pemerintah membentuk Kota Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah No.43 th 1981, dan dalam kurun waktu 18 tahun, Depok menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1999 berdasarkan UU No 15, atas dasar tuntutan dan aspirasi masyarakat maka Kotif Depok diangkat menjadi Kodya Daerah Tk II Depok dan ditetapkan pada tgl 20 April 1999.Perkembangan kota Depok semakin pesat dan meluas ke wilayah-wilayah lain di sekitarnya.Pembangunan perumahan, pembangunan perkantoran, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan, pembangunan pasar tradisional semi modern, dan bermacam-macam pembangunan pelayanan umum dilaksanakan hampir di seluruh wilayah secara bersamaan. Dengan semakin meluasnya perkembangan pembangunan di segala bidang, sudah barang tentu membutuhkan lahan untuk mengaktualisasikannya.Lahan penduduk kampung yang semula merupakan lahan pertanian, dan perkebunan buah-buahan, menjadi menyusut karena dijual untuk kepentingan tersebut.Kondisi ini berdampak pada terjadinya suatu perubahan di berbagai aspek kehidupan penduduk kampong Rawakalong yang mengaku dirinya sebagai orang Betawi di wilayah Kodya Depok. Mereka kemudian mengubah pekerjaannya semula sebagai petani, menjadi pekerjaan lain di sector informal seperti bekerja sebagai tukang ojek, srabutan, tukang bangunan, dan pemilik rumah petak yang disewakan. Pekerjaan di sector informal tidak memberikan penghasilan tetap dan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga, dan mereka merespons kondisi ini dengan cara adaptif dimana para suami mengijinkan isteri mereka untuk bekerja di luar rumah dengan beberapa syarat yang tidak jauh menyimpang dari kebudayaan mereka. Dan pekerjaan yang banyak dilakukan oleh para perempuan di kampung ini adalah sebagai pekerja rumahtangga. Bentuk respons lainnya terjadinya konflik antara pasangan suami dan isteri karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Konflik yang berkepanjangan bisa berakhir dengan suatu perceraian, dan kemudian terjadi perkawinan baru dengan perempuan lain. Oleh karena itu kawin?cerai menjadi suatu hal yang biasa terjadi di kampong ini. Untuk memperoleh data penelitian dilakukan penelitian kualitatif, terhadap beberapa orang informan yang bisa mencakup berbagai usia dan status perkawinan dengan cara observasi, wawancara mendalam dan menggunakan pengalaman hidup mereka (life history method).

ABSTRACT
In 1981, the government established the Administrative Town of Depok through Government Decree No.43 of 1981, and within 18 years, Depok showed considerable development. In 1999, based upon Legislation No.15 as well as the aspirations of its citizens, the Administrative Town of Depok was elevated to the Regional Municipality of Depok on April 20, 1999. The rate of development of Depok increased and spread to the surrounding areas. The development of housing, office complexes, retail centers, semi-modern traditional markets, and other public service facilities went underway almost at once throughout the area. The increase in growth and development in every area required space. Land held by kampong residents that was previously utilized as farmland and orchards decreased in area through their sale for development projects. The impact took the form of change in many aspect of life among the people of the kampong of Rawakalong,who identify themselves as Betawi of the Municipality of Depok. The people left their farmwork for other occupations in the informal sector, such as motorcycle taxis (ojek ), construction work, and tenement leasing. Work in the informal sector does not provide a steady income, nor does it cover family needs, and their response is adaptive. Husbands allow their wives to takes jobs outside the home, under certain conditions that do not break from their cultural norms. The job must often sought by the women of the kampong is as domestic help. Another response involves conflict between spouses, due to an inability to adapt to the changes occurring . A prolonged conflict may end in divorce, which may lead to re-marriage. Thus divorce and re-marriage has become common in this kampong. Data was collected through qualitative research among informant of varying age and marital status, with observation, in-depth interviews and the use of the life-history method."
Depok: 2012
D1305
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Ladiawati
"This dissertation focuses on corporate organization culture. Through the case study conducted on PT. Bank Ralcyat Indonesia, Tbk, Parung unit, Bogor, West Java, this dissertation presents problems concerning the mechanism of realizing corporate organization culture, specifically with regards to the social relations within the company and its working environment.
Based on the result of the research, conducted from January to June 2005, using participatory observation and in-depth interviews as the main methods of data collection, this dissertation describes how values and nouns of t.he company are socialized and internalized through various activities. These activities, which are ritualistic in nature, develop, maintain and strengthen solidarity and working order in the company, as well as the loyalty and interest of the company's customers.
For an organization, values are regarded as determinants of the character of the organization. With the existence of values, the members of the organization create an identity for themselves. This feeling of togetherness what renders the values effective."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D814
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agusthina Christina Kakiay
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas bekerjanya kekuasaan dalam hubungan pelakupelaku yang terlibat dalam pelayanan publik di terminal Depok. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, secara khusus etnografi. Upaya membaca data penelitian memanfaatkan pendekatan pluralis yang melihat kekuasaan tersebar di dalam masyarakat, sehingga yang menjadi fokus adalah strategi dan teknik kekuasaan. Pemikiran Foucault dan Bourdieu dimanfaatkan untuk mengarahkan analisis saya.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa (1) kekuasaan bekerja tidak secara langsung tetapi melalui teknologi pengaturan tindakan pelaku baik dengan cara menyesuaikan diri dengan aturan main yang disepakati maupun menyesuaikan diri dengan posisi masing-masing; (2) relasi kekuasaan pelaku-pelaku adalah tersebar dan bersifat kompleks. Di kalangan petugas DLLAJ terjadi fragmentasi dalam relasi atasanbawahan, antara kelompok yang mendukung pimpinan dan tidak. Juga karena variasi latar belakang seperti : jaminan keamanan ekonomi, status kepegawaian (PNS, TKK dan honorer), etnis, teman angkatan, solidaritas unit-unit pelayanan (administrasi, retribusi dan jalur). Relasi antar instansi resmi (DLLAJ, Pospol dan DKLH) diwarnai oleh ego sektoral dan pertimbangan perimbangan pembagian keuntungan ekonomi. Terlibatnya pelaku-pelaku di luar aparat negara terjadi melalui ?koordinasi tahu sama tahu? diperkuat melalui negosiasi identitas, membangun jaringan dengan pejabat dan tokoh politik. Selain itu ada aktor-aktor in absentia (umumnya oknum militer). Pada kasus tertentu ada kerja sama dalam hubungan pelaku-pelaku berdasarkan kepentingan dan solidaritas di kalangan tertentu, terutama yang mengidentifikasi diri sebagai kelompok marginal dalam kebijakan nasional.
Implikasi teoritis : (1) Pendekatan pluralis khususnya Foucaltian sangat membantu menjelaskan gejala kekuasaan yang bersifat jamak. Ini berarti faktor penjelas terhadap realitas pelayanan publik di terminal Depok adalah kompleks.
Temuan penelitian memperlihatkan adanya pusat-pusat kekuasaan lain di luar negara yang harus juga diperhitungkan seperti swasta atau pemilik modal dan komunitas atau paguyuban-paguyuban bahkan pelaku individu ; (2) Terjadi dialektika antara kebebasan atau otonomi pelaku-pelaku dengan struktur objektif. Artinya pelaku tidak
sepenuhnya otonom, tetapi hanya eksis sebagai bagian dari struktur yang diterima. Di sisi lain seorang pelaku tidak sepenuhnya mempengaruhi pelaku lainnya, melainkan hanya parsial.
Kesimpulan : relasi kekuasaan pelaku-pelaku dalam pelayanan publik di
terminal Depok bersifat kompleks. Baik koordinasi tahu sama tahu, fragmentasi, kerja sama dan solidaritas adalah bagian-bagian yang mempertegas sifat kompleks dari pola relasi kekuasaan pelaku-pelaku.

ABSTRACT
The writer is interested in conducting research to find out how power works between public service workers who involve managing public service in Depok Bus Terminal that then give the effect of service management. The pluralistic approach is used for reading the research data based on Foucauldian?s notion of power that states the spread of power in the community focused on its strategy and technique of power. Foucault and Bourdieu?s thoughts are also used for directing my analysis.
The research findings indicate that (1) the power does not work directly but through the technology of the action by adjusting either the rules of play or the position of each; (2) the power relation between public service workers is very complex.
Among DLLAJ officers, there is fragmentation occurred in the superior-subordinate relationship, and between groups supporting the leader and not. There are also other factors such as economy security, employment status (civil servants (PNS), TKK, and honorary employments (honorer)), ethnicity, friends in the same generation, service unit solidarity (administration and a levy). Relations between formal institutions (DLLAJ, Pospol and DKLH) are marked by a sector ego, some considerations in sector distribution of economic benefits. The involvement of external actors outside the state apparatus occurs through ?tahu sama tahu coordination? strengthened by identity negotiations and by building a network between senior officials and political leaders. Moreover, there are actors in absentia (generally military personnel). In some cases there is cooperation between actors in the relationship of the importance and solidarity among certain groups, especially those who identify themselves as marginalized groups in national policy.
Theoretical implications are: (1) the pluralistic approach by Foucaldian helps to explain the power symptoms that are in a plural form. This means that the clarifying factors of the public service reality in Depok bus terminal is very complex. Research finding shows the existence of the centers of power in the foreign country should also be calculated like the owner or private capital, and the economic communities or even individual actors; (2) the existence of groups that occupies and plays a position between the market and the community, state and community gives the effect of the creation of "game rules" applied and agreed between them; (3) the dialectics is created by either freedom or autonomous actors with the objective structure. This means that the actors are not fully autonomous, but only exist as part of the received structure. On the other side, an actor does not fully affect others, but only in a partial form.
Conclusion: The power relation of public service workers in Public Service in Depok bus Terminal is very complex. ?tahu sama tahu coordination, fragmentation, cooperation and solidarity are the parts that explain the nature of the complex patterns of power relation between actors."
Depok: 2009
D983
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marko Mahin
"ABSTRAK
Kaharingan adalah nama agama masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Menurut masyarakat Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah (yang terdiri dari 13 Kabupaten dan 1 Kotamadya) terdapat 223.349 orang penganut agama Kaharingan (Kalimantan Tengah Dalam Angka 2008). Karena kebijakan Negara yang hanya mengakui 5 agama resmi, maka Kaharingan di lihat sebagai ?adat?, ?kebudayaan?, atau ?aliran kepercayaan?. Dengan demikian, para penganut agama Kaharingan secara tidak langsung diklasifikasikan sebagai orang-orang yang ?belum beragama?, atau ?tidak beragama?. Stigmatisasi itu memposisikan masyarakat Dayak Kaharingan menjadi target proselitisasi baik oleh Pekabar Injil Kristen maupun oleh Pendakwah Islam. Karena mereka dipandang tanpa agama, maka dalam iklim politik Indonesia yang khas mereka bisa dengan mudah dituding komunis, pemberontak dan musuh negara. Agar dapat eksis sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama di panggung kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah dan Indonesia, para aktivis Kaharingan (baca aktor sosial) dengan sadar melakukan praktik-praktik sosial tertentu. Beberapa strategi dan siasat dibangun dan terbangun untuk memperoleh relasi dan posisi yang menguntungkan secara sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.
Tulisan ini memperlihatkan bagaimana politik kultural dan keagamaan terbangun dan dibangun oleh para penganut agama Kaharingan ketika berhadapan dengan struktur-struktur objektif yang ada di sekitar mereka. Dalam tulisan ini para penganut Kaharingan dilihat sebagai individu-individu yang aktif, atau sebagai subjek yang menjalani proses dialektika kehidupan yang terus menerus melakukan dialog dengan agen-agen yang lain. Mereka dipandang sebagai satu kelompok masyarakat yang memiliki teori tentang dunia dan tempat mereka di dalamnya.

ABSTRACT
Kaharingan is a name for Dayak Ngaju religion?s in Central Kalimantan. According to Dayak Ngaju people, Kaharingan has already existed thousand years before Hindu, Buddha, Islam and Kristen came. Based on the data from Central Statistic Body in 2007, in Central Kalimantan (which consist of 13 Kabupaten and 1 Kotamadya), there were 223.349 Kaharingans (Central Kalimantan in Number 2008). Because state policy only recognize 6 official religions, Kaharingan considered as ?tradition?, ?culture?, or ?belief?. A Kaharingan person classified as ?less religious? or even ?does not have religion?. Communist phobia in Indonesia made them easily accused as communist (does not have religion = atheist = communist), they are enemy of the state and insurgent. This stigma made Dayak Kaharingans as proselytization target by Christian Missionary or Islamic preacher. In order to exist as a social, political, cultural, and religion entity among the Central Kalimantan people and Indonesia, Kaharingans activists (: social actors) consciously did some certain social practices. Some strategies and tactics were developed to gain relation and position that give them social, economical, political, and cultural advantages.
This writing will describe how the politic of culture and religion built by Kaharingans when they faced objective structures around them. Kaharingans viewed as active individuals or as a subject which carry out dialectic process, continuously doing dialog with other agents. They seen as a group that has worldview about the place where they belong."
Depok: 2009
D00631
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Kurniawan
"Disertasi ini membahas dinamika hubungan-hubungan sosial yang terjalin antara polisi dan masyarakat dalam proses pertukaran sosial, terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan pelayanan publik dan penegakan hukum di wilayah hukum kepolisian resor Depok. Lebih khusus, penelitian ini mengkaji bagaimana realitas hubungan polisi dan masyarakat tersebut memberi penjelasan terhadap proses kebijakan yang dibuat oleh para petugas di lapangan, dan relasi kekuasaan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis yang bersifat deskriptif, sebagai upaya peneliti dalam mengembangkan jenis teori berdasarkan data empirik di lapangan. Masalah-masalah yang muncul dari tindakan para polisi yang bertugas di bagian terdepan (para pelaksana sekaligus pembuat kebijakan di lapangan, sebagai fokus), dikaji dengan cara menjelaskan refleksi dari tindakan mereka berupa interaksi dengan masyarakat yang terdiri dari pengguna jasa, pelapor, pengguna jalan, serta pelanggar hukum, dimana hubungan tersebut juga terjadi dalam konteks kebijakan dan kekuasaan yang melibatkan peran polisi dan mitra kerjanya, baik dari dinas lain maupun yang berasal dari warga masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan publik merupakan proses pertukaran sosial berupa interaksi timbal balik di antara para pelaku yang menjalankan peran masing-masing sesuai dengan corak hubungan serta struktur kekuasaan yang ada di tempat kerja atau di lapangan.
Temuan dari penelitian ini memberi penjelasan bahwa semakin besar peluang seorang pelaku untuk melakukan pertukaran, maka semakin besar pula kekuasaan pelaku tersebut, sehingga peluang pertukaran ini secara langsung berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan. Hal tersebut ditandai oleh adanya para pelaku yang berinteraksi satu sama lain sekaligus menjalankan strategi kekuasaan dengan cara mensiasati hukum, aturan, dan kebijakan yang secara terus-menerus diinterpretasi, diadaptasi, dan dikomunikasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk melegalkan pertukaran di antara mereka.
Kesimpulan penelitian ini menyarankan kepada para pelaku di kepolisian agar memfokuskan diri pada peningkatan kualitas pelayanan dan penegakan hukum yang bukan sekedar slogan, tetapi dengan menyadari bahwa penekanan yang lebih kongkrit dari tindakan mereka adalah terletak pada bagaimana mereka mengatur pengelolaan uang pajak yang telah diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah dengan sebaik-baiknya.

This dissertation discusses on dynamic social relations between police officer and the public in the process of social exchange, primarily in providing public service and law enforcement activity at Depok Police Administrative District. Simply put, this research is about how the reality of the relation between police officer and the public gives explanation to the process of policy-making by the street-level bureaucracy, and also how it could point out the power relation among parties involved.
This research is a qualitative one and its analysis design is descriptive, as an effort of researcher to develop theory based on empirical data in the field. Some others issues arise as effects of police action by the police officer that placed in front of public (policy-implementer and policy-maker in the field, as focus), studied in this dissertation by explaining the reflection of their action in law enforcement and providing service to the public that is interaction with the public, such as police?s service users, reporters, street users, and law breakers, in which this relation is in the context of policy and power that become wrapped around the role of police officers an their partnership from other department or sourced from the public.
The results of this research indicates the public service is a process of social exchange like reciprocal interaction among parties involved in rules performing according to the types of relation and the structures of power occurred in the workplace or in the field. This research findings shows that the more opportunity to bribe the more powerful the persons or the actors, and this opportunity is directly related to policy-making process and power structure. This can be found the actors or performers interacts one another and showing their power strategy to manipulate law, rules, and policy which is continuously interpreted, adapted, and disseminated in daily live to legalize exchange between them.
This research recommends to any actors in the police department to focus on improving service quality and law enforcement that is not just enough slogans, but realizing that concrete stressing of their actions is how to manage tax income paid by the public to the government carefully.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D625
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi
"Disertasi ini mengkaji bagaimana individu-individu dalam suatu organisasi mengkonstruksi makna layanan publik di dalam konteks tertentu. Para pekerja di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta (BPAD), lembaga pemerintah di bidang layanan perpustakaan umum, melaksanakan layanan kepada masyarakat dengan cara yang berbeda dari peraturan. Mereka melayani pengunjung dengan membedakan atribut sosial. Ketika melayani pengunjung anak, karyawan berkata dengan kasar, tetapi ketika melayani orang dewasa, mereka bersikap penuh perhatian. Sikap mereka menjadi lebih ramah ketika menghadapi pengunjung yang berwajah indo, atau yang membawakan makanan kecil untuk petugas. Setiap tindakan individu dalam melayani merupakan cerminan refleksi mereka atas interaksi yang terjadi sehari-hari dalam internal organisasi. Berdasarkan realitas tersebut, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: bagaimana para pekerja mengkonstruksi makna layanan publik di perpustakaan umum? Pertanyaan diuraikan menjadi: 1) bagaimana pimpinan dan para karyawan mendefinisikan situasi ketika mereka berada di atas panggung?; 2) bagaimana pimpinan dan para karyawan sebagai tim mengelola kesan di panggung untuk mengkonstruksi makna layanan publik di perpustakaan umum? Penelitian yang dilakukan sejak Januari 2007 hingga Desember 2009 ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen. Penelitian dilakukan di BPAD, jl. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Para informan adalah pimpinan dan para karyawan yang saat itu tercatat sebagai pegawai dan semuanya diberi nama samaran. Temuan yang diperoleh adalah bahwa, 1) hubungan kekuasaan membentuk unit layanan di BPAD sebagai unit yang memiliki kinerja paling rendah dan kurang berkontribusi untuk perkembangan organisasi, sehingga layanan kepada pengguna dipahami sebagai pekerjaan yang tidak berarti; 2) situasi yang didefinisikan dan diinterpretasikan secara berulang-ulang tersebut, yang diwarnai kerikuhan, iri hati, tarik-menarik kepentingan, dan ketidakpastian pencapaian tujuan organisasi, menunjukkan lemahnya solidaritas dan kesetiakawanan dalam tim kerja. Secara singkat, layanan publik bukan sekedar prosedur dan tata cara melayani pengunjung, tetapi sesungguhnya merupakan suatu proses budaya yang dikonstruksi oleh sekelompok individu, yang terdiri dari para bawahan, pimpinan, dan lembaga induk. Interaksi yang dilandasi oleh relasi kekuasaan dan lemahnya solidaritas dan kesetiakawanan menyebabkan para karyawan mengekspresikan makna layanan berdasarkan kepentingan pribadi.

This dissertation studies how individuals constructs the meaning of public services in a specific context in an organization called Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI Jakarta (BPAD). All the workers of BPAD, a governmental institution of a public library, do not perform the service according to the rules. The service is based on the personal front. When serving children, they speak rudely, on the contrary, when they serve adults, they perform with full attention. In addition, They become more hospitalize towards their user with western face, or the ones who bring them snacks. Every service conducted by the workers reflects their every day interactions at the work place. Based on the fact, the research questions are as follows: how do the workers construct public services at the public library? The question embraced two subquestions: 1) how do the leaders and subordinates define situation on the stage?; 2) how do they as a team manage certain impression on the stage in order to construct the meaning of public services? Some of importants points are that the research held during January 2007 to December 2009 uses qualitative approaches. It uses methods of the data collection which consist of interviews, participant observations, and document analysis. Informants used are the workers officially-registered as employees and they are given pseudonym names. The place of its research is held at a BPAD, at Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. The findings show that 1) the power relation considers that the unit of services at BPAD has the lowest performances and the least contributions to the organizational developments, therefore its user service is understood as unqualified work; 2) situations that are defined and interpreted repeatedly, which colored with awkwardness, jealousy, conflict of interest, and unpredictable change in achieving organization goals, shows to lack of a solidarity and a loyalty in the working teams. In short, the public services are not merely procedures and ways of serving users, but actually are a cultural process constructed by a group of individuals, which comprised of superiors, subordinates, and parent institution. Interaction based on power relation and lack of solidarity and loyalty in the working teams cause all workers to express the meaning of services based on a private interest which bring them conflict of interests."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
D907
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Murtadlo
"ABSTRAK
Globalisasi pendidikan adalah suatu tantangan besar yang harus dihadapi oleh semua institusi pendidikan. Dalam dunia yang berubah, institusi pendidikan harus menghadapi beberapa isu penting. Pertama, Pendidikan harus kompetitif, yang memaksa pelaku pendidikan harus bekerja lebih serius untuk mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan mereka; Kedua, lembaga pendidikan perlu mempertimbangkan penerimaan terhadap nilai-nilai humanitas baru seperti pemahaman multikultural dan demokrasi sebagai ihtiar menyiapkan peserta didik memasuki dunia baru; Ketiga, sesuai dengan tuntutan sosial dan pasar, lembaga pendidikan perlu mengambil posisi sedemikian rupa sehingga alumni lulusannya dapat berkompetisi dan terserap pasar.
Madrasah adalah salah satu jenis lembaga pendidikan di Indonesia yang mempunyai segmen masyarakat tertentu. Lembaga pendidikan ini mengambil porsi kurang lebih 18-20 % dari layanan pendidikan sesuai dengan jenjang tingkat pendidikannya. Jumlah madrasah di Inonesia kurang lebih 39.469 lembaga. Permasalahan penelitian yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaku madrasah mengambil posisi dalam menghadapi globalisasi pendidikan. Untuk penelitian ini, saya mengambil kasus Madrasah Pembangunan di Ciputat Tangerang Banten. Madrasah ini berhasil membuktikan diri sebagai lembaga pendidikan alternatif. Siswa-siswinya berasal dari masyarakat urban kelas menengah secara ekonomi, dan lembaga pendidikan itu berhasil memperbaik kinerja dan image secara mengagumkan. Fenomena ini adalah sebuah perkecualian dari kebanyakan madrasah yang cenderung terbatas, memprihatinkan.
Penelitian ini menyimpulkan beberapa pernyataan berikut: Pertama, dalam konteks globalisasi di dunia pendidikan, identitas adalah sesuatu yang penting dan menjadi salah satu sumber inspirasi utama untuk pengembangan lembaga pendidikan yang berkarakter dan berkeunggulan. Nama ?madrasah? merujuk pada sebuah jenis pendidikan di Indonesia menjadi nama identitas yang berkontestasi baik secara lokal, nasional maupun internasional. Kedua, madrasah sebagai salah satu jenis lembaga pendidikan di Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi pendidikan harus mempunyai posisi yang sama dengan sekolah umum dalam legalitas dan akses terhadap negara. Kasus Madrasah Pembangunan, karena keberhasilan dalam memposisikan diri.

ABSTRACT
Globalization is one thing that must be faced by all educational institutions. In a changing world, educational institutions must face some crucial issues. First, educational competitiveness is a priority in the current education system which makes educational practitioners work harder in order to maintain the existence of their institutions. Second, educational institutions should take into consideration the new secular/humanity values such as democracy and multiculturalism in their theory and practice. Third, in line with societal demand to match education with the market, education institutions must review its position so that its alumni are able to compete in job market.
One of institutional education in Indonesia is education that manage by religious community. There are madrasahs (Islamic schools) that services for about 18-20 % Indonesia schools follows its each levels. The number madrasahs in Indonesia is approximately 39.469 unit (2007). The main research question is how are practitioners of madrasahs facing globalizatian challenges? For this research, I carried out a case study of Madrasah Pembangunan, located in Ciputat, Tangerang. The Madrasah is very successful. It?s students come from urban middle class family and that school has a favorable image and efficient administration. This phenomenon is different from the more common madrasahs found in the country with poor condition and second class in quality.
This research concluded to the following statement: first, in the context of globalization, identity issues become important and can even become a source of inspiration for the development of educational institutions that characterized and competitive. The word of ?madrasah? to mention some Islamic schools becomes one identity that contesting in the local, national and international context. Second, madrasah as one of education institution in Indonesia in facing globalization must have same opportunity with the general schools both in position legal claims and in the context of competition. Now, one of madrasahs like Madrasah Pembangunan Ciputat, Tangerang begin ready to follow competition with the others. Third, the position of the state to madrasah preferable concerned to keep benefit of the integration and modernization of the nation's need to drive quality through the helping in financing, management, and direction for developing of Islamic education."
Depok: 2012
D1325
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Suarga
"Penelitian ini menjelaskan suatu permasalahan sosial yang ditemukan di era reformasi yaitu bagaimana proses yang terjadi ketika para pihak mulai mempersoalkan pemahaman tentang illegal logging dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia khususnya temuan pada kasus Adelin Lis di Sumatera Utara, seorang pengusaha yang memiliki izin resmi namun dituntut secara pidana di dalam wilayah kerjanya sendiri, karena setelah jatuhnya rezim Orde Baru muncul pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan sistem serta aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedoman bersama dalam bingkai aturan perundangan negara buatan para rimbawan.
Dalam merangkai penjelasan berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh maka penelitian ini bertujuan untuk pertama memahami bagaimana para pihak melakukan perang wacana tentang illegal logging sehingga kemudian illegal logging tersebut bisa memiliki definisi ganda yaitu ia merupakan sebuah pelanggaran administratif tapi juga bisa diinterpretasikan sebagai pelanggaran pidana, sehingga untuk itu pulalah penelitian ini kemudian memilih rimbawan dan pihak-pihak lain yang berbeda konsep sebagai subyek kajian. Kedua, kehidupan berbangsa di Indonesia dalam 14 (empat belas) tahun terakhir pasca reformasi diwarnai dengan proses transisi demokratisasi yang memberikan ruang teramat luas bagi kebebasan berekspresi serta masuknya pengaruh global ke dalam segala aspek termasuk sektor kehutanan, pengelolaan sumber daya hutan dan tata aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedomannya. Untuk itu dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa dalam penerapan konsep-konsep wacana yang berideologikan pengaruh global sebagaimana diungkapkan di atas ternyata memiliki muatan persaingan kepentingan yaitu utamanya kepentingan persaingan usaha yang bermotifkan ekonomi. Ketiga, perkembangan spesialisasi ilmu dalam ilmu Antropologi semakin berkembang dan dinamis, salah satunya adalah penggunaan teori analisa diskursus.
Analisa diskursus merupakan alternatif yang semakin populer belakangan ini karena mampu menggelar proses argumentatif secara scientific terhadap proses-proses legitimasi kekuasaan metode masa kini yang lebih mengedepankan proses penyebaran informasi melalui media. Asumsi dasar dari perkembangan teori diskursus belakangan ini adalah karena sejarah dan manusia ditentukan oleh adanya knowledge production (pengetahuan yang diproduksi) dan pemahaman atas berbagai hal yang terjadi di dunia yang diinterpretasi secara kolektif (Arts dan Buizer, 2009: hal. 340). Dalam sebuah ?pertarungan? sosial, antropologi mampu menyajikan proses konstruksi para pihak ketika mereka berkompetisi secara holistik, bukan sekedar membuktikan siapa pihak yang menang atau yang kalah. Analisa diskursus menyajikan proses konstruksi argumentatifnya dengan cara yang lebih runut serta rinci.
Dalam penelitian ini ingin memperlihatkan bagaimana pentingnya Antropologi terhadap spesialisasi analisa diskursus, dan begitu pula sebaliknya bagaimana pentingnya analisa diskursus terhadap Antropologi secara umum. Keempat atau terakhir, adalah tujuan praktis dalam pembentukan maupun pertarungan wacana persoalan illegal logging ke depan. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa perdebatan serta variasi pemahaman para pihak tentang illegal logging ini sesungguhnya memiliki makna kepedulian masyarakat dunia tentang lingkungan yang lebih besar. Masing-masing pihak memiliki intensi atau niat yang baik yaitu mereka peduli tentang masa depan dunia yang lebih baik sehingga untuk itu dibutuhkan pengelolaan lingkungan khususnya sumber daya hutan yang lebih bertanggung jawab demi kepentingan bersama. Seperti yang telah diungkapkan lebih awal, konsep-konsep yang membentuk tinjauan konseptual dalam penelitian ini adalah konsep analisa wacana dan konsep legitimasi diskursus yang memiliki muatan ideologi neoliberalisme.
Adapun pemahaman prinsipiil yang saya mengerti dari kedua konsep tersebut adalah bagaimana memecahkan suatu topik yang kompleks atau substansi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil dan detail demi mendapatkan pemahaman yang lebih baik (Arts dan Buizer, 2009: hal. 341), kemudian menjalankan suatu tindakan melalui rangkaian proses yang telah dianggap mantap dan seringkali rutin ketika mencoba mengkonversi suatu pemaknaan dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya (Sokal dan Bricmont, 1998 dalam Humphreys, 2009: hal. 319), dan memasukkan unsur norma serta nilai dalam kategori relatifisme moral untuk mendalami bagaimana sesungguhnya diskursus tetap diklaim atau dianggap etis oleh kelompok tertentu tanpa perlu memiliki dasar ilmiah sebagaimana lazim dilakukan pada klaim pengetahuan yang bersifat epistemik (Humphreys, 2009: hal.320). Kedua pokok pemahaman atas konsep di atas merupakan kriteria data yang saya butuhkan untuk mempelajari dan memahami analisis wacana dan legitimasi diskursif.
Kedua pokok pemahaman di atas pula selanjutnya saya coba untuk kemudian memandu saya dalam merekonstruksi seputar putusan pengadilan kasus Adelin Lis sebagai entry point dalam memasuki ranah dialektika persoalan diskursus tentang illegal logging sehingga benar data yang saya ambil adalah data legitimasi diskursif. Adapun hasil dan kesimpulan penelitian ini adalah pertama, pertarungan diskursus illegal logging yang terjadi adalah antara para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai pedoman dasar penerapan aturan serta pengelolaan sumber daya hutan yaitu memanfaatkan konsep Pembangunan Hutan Produksi Lestari serta metode Tebang Pilih Tanam Indonesia (jalur formal) dengan para pihak yang menggunakan diskursus global sebagai pedoman dasar pengelolaan hutan yaitu penerapan konsep-konsep biodiversity, sustainable development dan governance (jalur non formal).
Para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai basis pemahaman pengelolaan hutan berpendapat kalau illegal logging adalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa mengantongi sehelai izinpun, sedangkan para pihak yang menggunakan basis diskursus global melihat siapapun termasuk pemilik izin apabila dianggap ?merusak? maka mereka dikatakan tetap ?liar? dan oleh karenanya tetap dianggap melakukan illegal logging. Kesimpulan kedua, dijelaskan bahwa dalam membangun diskursus illegal logging menggunakan referensi kasus Adelin Lis adalah dengan pertama mencermati, mengulas kembali serta mempelajari berbagai diskusi diskursus yang terjadi seputar proses hukum di ranah peradilan negara dan kedua mencermati, mengulas kembali serta mempelajari diskusi diskursus yang terjadi dalam konteks ditemukannya legitimasi diskursif pada berbagai diskursus yang bermuatan ideologi neoliberalisme yang sangat sarat dengan konsep-konsep globalisasi dan menggunakan moda teknologi informasi masif seperti media elektronik internet blogs yang berdaya jangkau lintas ruang dan waktu.
Kedua pihak yang berseteru dapat dikatakan membangun simulacra-simulacra yaitu sesuatu yang berdiri sendiri dan muncul tanpa memiliki konteks sejarah awalnya. Para rimbawan dalam menetapkan kawasan hutan misalnya, banyak ditemukan melakukannya hanya di atas meja tanpa melakukan penelitian lapangan sehingga banyak kawasan hutan yang ditetapkan ternyata tidak berhutan lagi atau sudah berupa perkotaan. Para pihak yang menchallenge rimbawan juga membangun simulacra dalam menyebarkan konsep illegal logging nya seperti para blogger yang bukan berlatar belakang kehutanan namun aktif berkampanye masalah lingkungan hanya berdasarkan referensi informasi digital pula meski selalu memiliki pesan-pesan humanis lingkungan yang dikemas secara rapih didistribusikan dalam media yang menggunakan teknologi informasi masa kini yang sangat masif dan berdaya sebar sangat cepat dalam jumlah yang sangat besar pula dengan biaya sangat murah di internet. Kesimpulan ketiga, adalah dengan menjelaskan kalau relasi serta koalisi para pihak terbentuk setelah mencatat dan merangkum hasil diskusi dari proses diskursus yang diangkat oleh dua pertanyaan penelitian sebelum ini, yaitu koalisi terbentuk sebagai wujud pengejawantahan dari persaingan usaha skala global dimana kedua koalisi adalah para pihak yang ingin memperebutkan akses penguasaan sumber daya hutan untuk tetap dimanfaatkan sebagai usaha berbasiskan kepentingan ekonomi.
Koalisi pertama adalah para pihak yang menganggap Adelin Lis sebagai pengusaha resmi memiliki izin sah dan hanya melakukan pelanggaran administratif karena yang didakwakan masih berada dalam wilayah kerja sesuai izinnya, sedangkan koalisi kedua tetap menganggap Adelin Lis melakukan tindak pidana illegal logging karena tetap dianggap merusak hutan yang dikelolanya. Dari perspektif Antropologis dapat disimpulkan akhirnya kalau koalisi pertama adalah pihak yang mempertahankan interest positivis legalistik, sedangkan koalisi kedua adalah pihak yang berpedoman pada interest post-konstruktivis legalistik.

This research is about a social problem where certain parties systematically challenging the existing forestry legal system in particular on illegal logging issue raised out of a legitimate and licensed businessman (Adelin Lis) being prosecuted on a case within his own concession in North Sumatera. This problem discovered in the reform era, where there are concerns and dissatisfactions among group of parties towards the existing forestry legal and management system as well as practices.
To explain the research problem clearly, the purpose of this research are first, to understand how the discourse battle on illegal logging could end up having at least two definitions; as an administrative or civil case but also as a criminal case. Then the subjects of this research are foresters and parties or inviduals that challenged them. Secondly, there are global content within the concept used by the parties that challenged the existing forestry legal system so the next purpose of the research is to find out how those global content concept that are brought up actually have economic purposes. Thirdly, the expansion of specialization of Anthropology discipline are very dynamic, one of which is discourse analysis. So another purpose of this research is to show how important Anthropology towards discourse analysis specialization, and vice versa how important is discourse analysis towards Anthropology in general. Lastly, would be the practical purpose of this research, that is how variation of illegal logging interpretation is actually an expression of good intentions by all parties involved in this battle, that people of the world are more and more concerns about environment and how forest resources in particular needs to be managed more wisely for the sake of future generations.
The two main conceptual framework are discourse analysis and discursive legitimacy which has neoliberalism ideology content (Humphreys, 2009). Understanding both concepts would be the criteria to guide me to search deeply into collecting primary data, reconstructing Adelin Lis court trial and gathering other secondary data on illegal logging by making sure that information I collected are indeed discursive legitimacy material. The research findings are, first, the illegal logging discourse battle is between those using existing forestry legal system such as Sustainable Forest Management (PHPL) and Indonesian Selective Cutting and Planting System (TPTI) that I consider as using formal scheme as their reference base, against those using global concept such as biodiversity, sustainable development and governance (Arts and Buizer, 2009) or using non formal scheme as their reference base, in managing forest resource as well as forest law enforcement.
Those using existing forest legal system as reference base strongly describe that illegal logging is strictly for illegal offenders that do not have a single license at all, while the challengers think that illegal loggers are described as for anyone who destroys forest including license holder or concession owner. Second finding is, beside in depth interviews illegal logging discourse constructions in Adelin Lis case are done through two processes, one is reconstructing court trial proceedings, and two is collecting discourses from media in particular electronic blogs.
Both parties involved in the battle constructed simulacra. Foresters for example created forest land use mapping out of a simple desktop without going into the field, therefore the reference maps used in the existing forestry legal system can be easily challenged. On the other hand, bloggers that happen to be the challengers do not have any forestry basic knowledge whatsoever, are broadcasting their discourses on webs based only on electronic references collected digitally as well. The digital discourses presented are professionally packaged filled with popular humanistic and green messages. The third or last finding is, new power relation and coalition formed from the whole research proceedings. All parties involved in the battle agreed that the entire discourse of illegal logging have economic purposes.
The first coalition describes Adelin Lis, a legitimate licensed businessman, only conducted an administrative offense since the case against him were carried out within the boundary of his concession. While the second coalition describes Adelin Lis conducted a criminal offense, eventhough he is a licensed businessman but he is destroying the forest. In an Anthropological prespective, the first coalition is considered to be the positive-legalist interests, while the second coalition is the post constuctive-legalist interests.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1331
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>