Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Nugraheni
"Latar Belakang: Laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki LSL merupakan populasi yang sedang berkembang dan memiliki masalah-masalah spesifik, salah satunya gangguan jiwa yang merupakan manifestasi dari psikopatologi. Faktor-faktor yang memengaruhi psikopatologi pada LSL penting untuk diketahui.
Objektif: Tujuan penelitian ini adalah mencari jenis psikopatologi yang ada pada populasi LSL dan faktor-faktor yang berhubungan di dua lembaga swadaya masyarakat LSM khusus LSL di Jakarata.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode studi potong lintang. Sampel diambil dengan metode cluster random sampling. Pengukuran data dilakukan menggunakan kuesioner Brief COPE untuk mengukur mekanisme koping, WHOQOL-Bref untuk mengukur kualitas hidup, dan SCL-90 untuk mengukur psikopatologi. Data lain yang diukur adalah data demografik, status seksual, keterbukaan orientasi seksual, HIV/AIDS dan penggunaan NAPZA, dan perilaku seksual berisiko. Analisis data menggunakan uji bivariat menggunakan Pearson chi-square atau Fisher rsquo;s exact test dan dilanjutkan dengan uji multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil: Terdapat 100 sampel yang dimasukkan ke dalam analisis data. Sebagian besar responden mengalami psikopatologi 77. Psikopatologi yang paling banyak ditemukan adalah depresi 29. Analisis multivariat menunjukkan bahwa pernah tidak menggunakan kondom 3 bulan terakhir, membuka orientasi seksual kepada keluarga, dan menggunakan mekanisme koping negatif meningkatkan risiko psikopatologi sebesar 2.9 kali, 2 kali dan 1.4 kali IK 95 =1.0-8.9; IK 95 =0.5-8.2; IK 95 =0.3-5.7.

Background: Men who have sex with men MSM is a growing population with specific problems such as mental disorder, a manifestation of psychopathology. The factors associated with psychology is an important matter to discuss.
Objective: The purpose of this study is to portrait the pychopathology in MSM population and the related factors in two organizations which care about MSM's well being in Jakarta.
Methods: This is a cross sectional study using cluster random sampling. Coping mechanism, psychopathology and quality of life were measured using Brief COPE, SCL 90 and WHOQOL Bref. Demography of the respondents, sexual status, disclosure of sexual orientation, HIV AIDS status, drug use, and risky sexual behavior were also measured. Bivariate analysis using Pearson chi square or Fisher's exact test was continued with multivariate analysis using logistic regression model.
Results: Data from one hundred respondents were analyzed. Most of them have psychopathology 77, especially depression 29. Never use condoms in the last 3 months, disclosing sexual orientation to family member, and negative coping mechanisms increase the risk of psychopathology 2.9 times, 2 times, and 1.4 times 95 CI 1.0 8.9 95 CI 0.5 8.2 95 CI 0.3 5.7 .
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58974
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrial
"Pengunaan internet saat ini sangat diminati semua kalangan karena bisa diakses kapanpun dan dimanapun. Internet saat ini penting untuk bidang pendidikan, komunikasi, informasi, bahkan mencari hiburan. Dampak negatif berupa gangguan adiksi pada internet dapat terjadi apabila salah dari cara penggunaan internet. Sebanyak 2% orang dewasa di dunia mengalami gangguan adiksi terhadap internet sedangkan 8,4% remaja laki-laki dan 4,5% remaja perempuan Asia telah mengalami adanya gangguan prilaku akibat adiksi internet. Mahasiswa juga tidak luput dari gangguan ini, terdapat 9,8% mahasiswa yang mengalami adiksi terhadap internet mengalami masalah kognitif, juga 12% mahasiswa kedokteran yang mengalami adiksi internet menunjukan performa akademik dibawah rata-rata. Masalah ini menjadi perhatian diseluruh dunia, namun tidak ada penelitian di Indonesia yang mennjelaskan mengenai kasus adiksi ini. Penelitian cross-sectional ini dilakukan di tiga fakultas kedokteran di Jakarta. Subjek penelitian adalah mahasiswa pre-klinik sebanyak 189 orang yang dipilih secara acak, kemudian digunakan kuesioner IAT, RSES, SCL-90. Dikelompokan menjadi empat kelompok adiksi lalu diuji RAVLT untuk menilai tingkat kognitif. Dari total responden 56,6% mengalami adiksi ringan, 20,1% adiksi sedang dan mayoritas adalah perempuan, umumnya mengakses media sosial dengan durasi sehari lebih dari enam jam. Didapatkan hubungan yang bermakna antara adiksi internet dengan gangguan kognitif (p=0,00), adiksi internet dengan gejala psikopatologi (p=0,007), dan adiksi internet dengan self-esteem (p=0,002). Sehingga dapat disimpulkan bahwab terdapat hubungan adiksi internet dengan adanya gangguan kognitif, gejala psikopatologi, dan penurunan self-esteem. Screening test dan edukasi mengenai penggunaan internet dibutuhkan untuk mencegah mahasiswa menjadi adiksi.  

The use of the internet is currently very popular among all people because it can be accessed anytime and anywhere. The internet is currently important in the fields of education, communication, information, even entertainment. But the negative impact of addiction disorders on the internet often occur. As many as 2% of adults in the world experience addiction disorders to the internet while in Asia 8.4% male and 4.5% female adolescents have experienced behavioral disorders due to internet addiction. As students there are 9.8% who experience addiction to the internet experiencing cognitive problems, also 12% of medical students who experience internet addiction show academic performance below the average. Its become a worldwide problem but no reasearch in Indonesia describe the followed cases.  This cross-sectional study was conducted in three medical faculties in Jakarta. The research subjects were 189 pre-clinic students randomly selected, then IAT, RSES, SCL-90 questionnaires were used. Grouped into four addiction groups then tested RAVLT to assess cognitive levels. Of the total respondents 56.6% experienced mild addiction, 20.1% were moderate addiction and the majority were women, generally accessing social media with a duration of more than six hours a day. Significant correlation was found between internet addiction and cognitive impairment (p=0.00), internet addiction with psychopathological symptoms (p=0.007), and internet addiction with self-esteem (p=0.002). It can be concluded that there is a correlation between internet addiction and cognitive impairment, psychopathological symptoms, and a decrease in self-esteem. Screening test and education about using of internet are needed to prevent student becoming addicted."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasetiyawan
"Metamfetamin merupakan salah satu zat yang paling banyak disalahgunakan di Indonesia diantara zat yang lainnya dan dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif. Prevalensi gangguan fungsi kognitif pada orang dengan ketergantungan metamfetamin kira-kira 40% pada penelitian di Amerika Serikat. Sedangkan di Cina ditemukan 69,89% pengguna metamfetamin kronis mengalami gangguan fungsi kognitif. Di Indonesia penelitian mengenai metamfetamin masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini untuk melihat profil fungsi kognitif pada orang dengan gangguan penggunaan metamfetamin. Penelitian dilakukan dengan rancang potong lintang. Subyek penelitian adalah pasien dengan gangguan penggunaan metamfetamin di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta pada bulan Maret 2019. Besar sampel sebanyak 81 orang. Pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan instrumen RAVLT dan pemeriksaan psikopatologi menggunakan instrumen SCL-90. Dari penelitian ini didapatkan hasil prevalensi gangguan fungsi kognitif pada orang dengan gangguan penggunaan metamfetamin sebanyak 37%. Sebagian besar orang dengan gangguan penggunaan metamfetamin yang mengalami gangguan fungsi kognitif adalah laki-laki (80%), berusia ≥30 tahun (63%), pendidikan tinggi (70%), telah bekerja (56,7%), status tidak menikah (53,3%) , tingkat keparahan berat (70%), penggunaan > 24 bulan (83,3%), frekuensi tidak setiap hari (80%), dosis yang digunakan ≤ 0,5 gram (70%), menggunakan alkohol (46,7%%) dan ganja (46,7%), mempunyai psikopatologi (53,3%) dan gejala psikotik (40,0%). Secara statistik tidak terdapat hubungan antara karakteristik subyek, tingkat keparahan gangguan penggunaan metamfetamin, pola penggunaan metamfetamin, penggunaan zat lain serta psikopatologi dengan fungsi kognitif. Prevalensi gangguan fungsi kognitif pada orang dengan gangguan penggunaan metamfetamin cukup besar dan tidak ditemukan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Methamphetamine use is increasing in Indonesia and commonly associated with cognitive impairment. The estimated prevalence of cognitive impairment in methamphetamine dependent individuals was found to be approximately 40% in the United States. In China, approximately 69.89% of chronic methamphetamine user exhibit cognitive impairment. Methamphetamine study in Indonesia is still limited. The research purpose is to explore profile of cognitive impairment in people with methamphetamine use disorder. The research was conducted with cross-sectional design. The subjects were the people with methamphetamine use disorder in Marzoeki Mahdi Mental Hospital in Bogor and Drug Dependence Hospital in Jakarta in March 2019. The sample consisted of 81 persons. The cognitive function was measured using RAVLT and psychopathology examination using SCL-90. The estimated prevalence of cognitive impairment in people with methamphetamine use disorder was found to be approximately 37%. Subjects with cognitive impairment were aged ≥30 years (63%), males (80%), had a higher level of education (70%), employed (56.7%), married (53.3%), with profound severity (70%), methamphetamine ever used > 24 months (83.3%), not daily use of methamphetamine (80%), dose of methamphetamine use ≤ 0,5 gram (70%), reported less alcohol drinking (46.7%%), less cannabis use (46.7%), had psychopathology (53.3%) and had more psychotic symptoms (40,0%). No association was found between subjects characteristic, severity, pattern, another drug and psychopathology with cognitive impairment. Cognitive impairment occurred frequently among methamphetamine use disorder. This study provides no association between potential related factors of cognitive impairment among patients with methamphetamine use disorder."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Julivia Murtani
"Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada masa pandemik COVID-19 ini membuat terjadinya peningkatan penggunaan internet pada aktivitas sehari-hari. Pembatasan kegiatan akademik dan interaksi sosial, serta adanya tuntutan adaptasi dengan situasi baru dalam waktu singkat meningkatkan risiko terjadinya gangguan mental pada mahasiswa kedokteran. Penggunaan media sosial dan permainan daring juga menjadi salah satu cara untuk mengatasi stress yang muncul akibat kondisi pandemik. Mekansime coping maladaptif ini kemudian dapat berkembang menjadi penggunaan internet secara berlebihan dan menambahkan risiko terjadinya adiksi internet. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor - faktor yang memengaruhi adiksi internet pada mahasiswa kedokteran selama masa pandemik COVID-19 di tiga fakultas kedokteran di Jakarta.
Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dari Maret sampai Desember 2021. Sampel penelitian adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Katolik Atma Jaya dan Universitas Kristen Krida Wacana. Kuesioner penelitian disebarkan secara daring. Dari 1146 sampel, sebanyak 625 subjek penelitian ditentukan dengan metode simple random sampling. Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) digunakan untuk menentukan adiksi internet. Masalah emosi diukur dengan instrumen Self Reporting Questionnaire 20 (SRQ-20) versi Bahasa Indonesia dan citra diri diukur dengan menggunakan instrumen Rosenberg Self Esteem Scale (RSES) versi Bahasa Indonesia. Analisis regresi logistik dilakukan untuk menilai faktor risiko adiksi internet. Dari 625 subjek, mayoritas responden perempuan dengan nilai rerata usia 20,21 tahun (SD ± 2,15) dan berasal dari jenjang pre-klinik. Diperoleh prevalensi adiksi internet pada mahasiswa selama masa pandemik COVID-19 di tiga fakultas kedokteran di Jakarta adalah 26,2% dengan faktor risiko berupa memiliki masalah emosi (OR= 3,039, IK=1,967-4,694), tujuan penggunaan internet untuk bermain permainan daring (OR = 3,595, IK=1,251-10,333), tujuan penggunaan internet untuk bermain media sosial (OR = 1,971, IK=1,231-3,156), citra diri rendah (OR = 1,812, IK=1,142-2,87, usia awitan penggunaan internet ≤ 8 tahun (OR = 1,747, IK=1,140-2,678), jenjang pendidikan pre-klinik (OR = 1,636, IK=1,019-2,629), dan durasi penggunaan internet akhir pekan ≤ 11 jam / hari (OR = 1,578, IK=1,058-2,356).
Temuan dalam penelitian ini serupa dengan penelitian lainnya. Tujuan penggunaan internet untuk permainan daring dan media sosial, serta memiliki masalah emosi menjadi faktor risiko utama adiksi internet pada mahasiswa kedokteran selama masa pandemik COVID-19. Program pencegahan adiksi internet dapat dilakukan dengan melakukan deteksi dini terhadap masalah emosi dan adiksi internet secara berkala pada mahasiswa kedokteran.

Physical distancing policy during COVID-19 pandemic era leads to increase internet use in our daily activities. Limitation of academic and social interaction, along with fast adaptation demand in these new circumstances escalate the occurence of mental health disorders among medical students. Social media and online games become the alternatives to cope up with stress during pandemic. This could lead to excessive internet use and increase risk of internet addiction. The study was aimed to identify factors associated with internet addiction among medical students during COVID-19 pandemic in Jakarta.
This research used cross sectional design from March to December 2021. The samples were medical students from Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Universitas Katolik Atma Jaya and Universitas Kristen Krida Wacana. An online survey was distributed. From 1146 samples, 625 research subjects were chosen using simple random sampling method. Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) was used to screen internet addiction. Emotional problems was assessed using Indonesian version of Self Reporting Questionnaire 20 (SRQ-20), and self-esteem was assessed using Indonesian version of Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). The risk factors of internet addiction were assessed using a multivariate logistic regression test. Of the 625 subjects, the majority of respondents were female, with mean age of 20,21 years old (SD ± 2,15) and originated from pre-clinical stage. Prevalence of internet addiction during COVID-19 pandemic in three faculty of medicine in Jakarta was 26.2%. Risk factors associated with internet addiction include having emotional problems (OR= 3,039, CI=1,967-4,694), purpose of internet use for playing online games (OR = 3,595, CI= 1,251-10,333), purpose of internet use for social media (OR = 1,971, CI=1,231-3,156), low self-esteem (OR = 1,812, CI=1,142-2,870), onset of internet use ≤ 8 years old (OR = 1,747, CI=1,140-2,678), pre-clinical education stage (OR = 1,636, CI=1,019-2,629), and weekend duration of internet use ≤ 11 hours/day (OR = 1,578, CI=1,058-2,356).
The findings in this study were similar to other studies. The purpose of internet use for playing online games and social media, and having emotional problems were the main risk factors for internet addiction among medical students during COVID-19 pandemic. Prevention programs for internet addiction can be implemented by focusing on early detection of emotional problems and internet addiction regularly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasetiyawan
"Metamfetamin merupakan salah satu zat yang paling banyak disalahgunakan di Indonesia diantara zat yang lainnya dan dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif. Prevalensi gangguan fungsi kognitif pada orang dengan ketergantungan metamfetamin kira-kira 40% pada penelitian di Amerika Serikat. Sedangkan  di Cina ditemukan 69,89%  pengguna metamfetamin kronis mengalami gangguan fungsi kognitif. Di Indonesia penelitian mengenai metamfetamin masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini untuk melihat profil fungsi kognitif pada orang dengan gangguan penggunaan metamfetamin. Penelitian dilakukan dengan rancang potong lintang. Subyek penelitian adalah pasien dengan gangguan penggunaan metamfetamin di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta pada bulan Maret 2019. Besar sampel sebanyak 81 orang. Pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan instrumen RAVLT dan pemeriksaan psikopatologi menggunakan instrumen SCL-90. Dari penelitian ini didapatkan hasil prevalensi gangguan fungsi kognitif pada orang dengan gangguan penggunaan metamfetamin sebanyak 37%. Sebagian besar orang dengan gangguan penggunaan metamfetamin yang mengalami gangguan fungsi kognitif adalah laki-laki (80%), berusia ≥30 tahun (63%), pendidikan tinggi (70%), telah bekerja (56,7%), status tidak menikah (53,3%) , tingkat keparahan berat (70%), penggunaan > 24 bulan (83,3%), frekuensi  tidak setiap hari (80%), dosis yang digunakan ≤ 0,5 gram (70%), menggunakan alkohol (46,7%%) dan ganja (46,7%), mempunyai psikopatologi (53,3%) dan gejala  psikotik (40,0%). Secara statistik tidak terdapat hubungan  antara karakteristik subyek, tingkat keparahan gangguan penggunaan metamfetamin, pola penggunaan metamfetamin, penggunaan zat lain serta psikopatologi dengan fungsi kognitif. Prevalensi gangguan fungsi kognitif pada orang dengan gangguan penggunaan metamfetamin cukup besar dan tidak ditemukan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Methamphetamine use is increasing in Indonesia and commonly associated with cognitive impairment. The estimated prevalence of cognitive impairment in methamphetamine dependent individuals was found to be approximately 40% in the United States. In China, approximately 69.89% of chronic methamphetamine user exhibit cognitive impairment. Methamphetamine study in Indonesia is still limited. The research purpose is to explore profile of cognitive impairment in people with methamphetamine use disorder. The research was conducted with cross-sectional design. The subjects were the people with methamphetamine use disorder in Marzoeki Mahdi Mental Hospital in Bogor and Drug Dependence Hospital in Jakarta in March 2019.  The sample consisted of 81 persons. The cognitive function was measured using RAVLT and psychopathology examination using SCL-90. The estimated prevalence of cognitive impairment in people with methamphetamine use disorder was found to be approximately 37%. Subjects with cognitive impairment were aged ≥30 years (63%), males (80%), had a higher level of education (70%), employed (56.7%), married (53.3%), with profound severity (70%), methamphetamine ever used > 24 months (83.3%), not daily use of methamphetamine  (80%), dose of methamphetamine use ≤ 0,5 gram (70%), reported less alcohol drinking (46.7%%), less cannabis use (46.7%), had psychopathology (53.3%) and had more psychotic symptoms (40,0%). No association was found between subjects’ characteristic, severity, pattern, another drug and psychopathology with cognitive impairment. Cognitive impairment occurred frequently among methamphetamine use disorder. This study provides  no association between potential related factors of cognitive impairment among patients with methamphetamine use disorder."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Afrisanty
"Latar Belakang: Prevalensi anak dengan HIV/AIDS terus meningkat setiap tahunnya baik di dunia maupun di Indonesia. Caregiver anak dengan HIV/AIDS berisiko mengalami psikopatologi seperti kecemasan dan depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara mekanisme koping dengan psikopatologi pada caregiver anak dengan HIV/AIDS.
Metode: Pemeriksaan dilakukan pada 107 caregiver anak dengan HIV/AIDS yang datang ke Poliklinik Anak Divisi Alergi Imunologi Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta. Mekanisme koping dinilai dengan instrumen Brief- Coping Orientation to Problem Experienced (Brief-COPE) untuk melihat jenis mekanisme koping dan kategori mekanisme koping. Psikopatologi dinilai dengan instrumen Symptom Checklist-90 (SCL-90).
Hasil: Tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara jenis mekanisme koping dan psikopatologi, namun terdapat korelasi bermakna (r = -0,291) antara kategori mekanisme koping dan psikopatologi. Dari 107 caregiver anak dengan HIV/AIDS didapatkan 29 (27,1%) caregiver mengalami psikopatologi. Psikopatologi terbanyak adalah somatik dan depresi.
Simpulan: Jenis mekanisme koping (emotional dan problem focused coping) tidak berhubungan dengan psikopatologi. Kategori mekanisme koping yang menunjukkan banyaknya tingkatan mekanisme koping berkorelasi lemah dengan psikopatologi caregiver. Semakin banyak dan beragam mekanisme koping yang digunakan oleh caregiver anak dengan HIV/AIDS maka semakin rendah terjadinya psikopatologi dan sebaliknya semakin sedikit ragam mekanisme koping yang digunakan oleh caregiver anak dengan HIV/AIDS maka semakin tinggi terjadinya psikopatologi. Perlu ditingkatkan keterampilan mekanisme koping melalui psikoterapi dan psikoedukasi bagi para caregiver yang mengasuh anak dengan HIV/AIDS.

Background: The prevalence of children with HIV / AIDS continues to increase every year in the world or in Indonesia. Caregivers of children with HIV / AIDS are at risk for psychopathtology such as anxiety and depression. This study aims to evaluate relationship between coping mechanisms and psychopathology in caregivers of children with HIV / AIDS.
Methods: Assessment on 107 caregivers of children with HIV / AIDS at the The Allergic Immunology Pediatric Outpatient Clinic, Dr. Ciptomangunkusumo National Referral Hospital Jakarta. Coping mechanisms assessed by the instrument Brief -Coping Orientation to Problems Experienced (Brief-COPE) to evaluate the types of coping mechanisms and coping mechanisms categories. Psychopathology was assessed by the instrument Symptom Checklist-90 (SCL-90).
Results: There was no relationship statistically significant between the types of coping mechanisms and psychopathology, but there is a significant correlation (r = -0.291) between categories of coping mechanisms and psychopathology. Of the 107 caregivers of children with HIV / AIDS found 29 (27.1%) experience psychopathology. Most psychopathology are somatic and depression.
Conclusion: Type of coping mechanism (emotional and problem focused coping) was not associated with psychopathology. Categories coping mechanism that shows how many levels of coping mechanisms weakly correlated with psychopathology. The more numerous and diverse coping mechanisms used by caregivers of children with HIV / AIDS, the lower the occurrence of psychopathology and conversely the less diverse coping mechanisms used by caregivers, the higher occurrence of psychopathology. Skills of coping mechanisms need to be improved through psychotherapy and psychoeducation for caregivers of children with HIV / AIDS."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanri Amri
"ABSTRAK
Pengaruh Terapi Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Humanistik Untuk Menurunkan Kecenderungan Kecemasan Pekerja Call Center Yanri Amri, Herqutanto, Kristiana SisteDepartemen Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 10330, IndonesiaEmail : yanri.amri@gmail.comAbstrak Latar belakang: Mengingat tingginya prevalensi kecemasan di antara pekerja call center, maka diperlukan suatu alat untuk menurunkan kecenderungan kecemasan di lingkungan kerja call center. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi kelompok dengan pendekatan humanistik sebagai suatu alat untuk menurunkan kecenderungan kecemasan pada pekerja call center.Metode: Penelitian ini menggunakan desain One Group Pre and Posttest Design. Jumlah sampel dalam penelitian sebanyak 21 orang yang memiliki skor TMAS sesuai kriteria. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2017 di sebuah perusahaan di Jakarta. Variabel yang diteliti adalah variabel bebas berupa terapi kelompok dengan pendekatan konseling humanistik dan variabel lainnya berupa kecendrungan kecemasan pada pekerja call center.Hasil: Prevalensi pekerja call center dengan cendrung cemas sebesar 33,9 . Terlihat perbedaan yang signifikan antara skor TMAS pada pretest dan posttest. Hasil signifikansi pada uji Wilcoxon menunjukkan nilai sig < 0.05. Terdapat perbedaan rata-rata skor TMAS sebelum dan sesudah dilakukan terapi kelompok dengan pendekatan humanistik.Kesimpulan: Terdapat penurunan bermakna pada skor TMAS sebelum dan sesudah dilakukan terapi kelompok dengan pendekatan konseling humanistik. Kata kunci:Cemas, pekerja call center, terapi kelompok, konseling humanistik, TMAS Latar Belakang Persaingan bisnis jasa pelayanan masyarakat saat ini sangat ketat. Demi kepuasan pelanggan, setiap perusahaan dituntut untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada konsumennya. Pelayanan kepada konsumen saat ini tidak mengenal jam kerja, perusahaan menginginkan konsumen dapat dilayani 24 jam sehari. Untuk kemudahan pelanggan, konsumen tidak perlu datang ke perusahaan pemberi jasa tetapi cukup melalui telepon saja. Hal ini tentu saja sangat memudahkan konsumen. Kehadiran call center di perusahaan pemberi jasa saat ini merupakan lahan pekerjaan yang sangat berkembang dengan pesat dan hampir merupakan suatu keharusan. Sebagai usaha untuk memberikan kualitas jasa yang baik, secara tidak langsung terdapat efek pada sebagian besar pekerja call center memiliki kecemasan yang tinggi. Studi-studi yang tersedia sebelumnya telah melaporkan kecemasan yang tinggi di antara karyawan call center. Hal ini bukan hanya merupakan masalah tiap individu, tetapi dapat terjadi akibat adanya keterkaitan antara hubungan struktur kekuasaan, interpretasi subjektif dan aksi dari karyawan.Terapi kelompok adalah salah satu modalitas psikoterapi yang menggunakan kekuatan kelompok, interaksi yang membangun antara peserta dan intervensi dari terapis kelompok. Tujuan dari terapi kelompok untuk memperbaiki perilaku dan pikiran dan perasaan yang maladaptif. Terapi kelompok lebih menguntungkan dibandingkan psikoterapi individu dalam kaitan waktu yang digunakan karena diberikan kepada sekelompok orang. Mengingat tingginya prevalensi kecemasan di antara pekerja call center, maka diperlukannya suatu alat untuk menurunkan kecenderungan kecemasan di lingkungan kerja call center. Salah satu alat untuk menurunkan kecenderungan kecemasan adalah terapi kelompok melalui pendekatan konseling dengan pendekatan humanistik. Tinjauan TeoritisKecemasan adalah reaksi normal terhadap stres dan merupakan salah satu bentuk emosi yang umum pada manusia. Kecemasan adalah suatu pengalaman emosional yang bersifat universal, akrab dengan kehidupan manusia dari zaman dahulu sampai sekarang, dari bayi sampai usia lanjut. Merupakan hal wajar apabila seseorang merasa cemas ketika menghadapi masalah, tetapi rasa cemas yang berlebihan bisa menyebabkan seseorang merasa sakit. Reaksi emosi dan perubahan fisiologis tersebut adalah wajar dan adaptif dalam situasi ancaman yang nyata, seperti ancaman fisik atau situasi kehidupan yang menekan. Bila kecemasan menjadi suatu ketakutan yang hebat, irasional, dan mal-adaptif dalam kehidupan sehari-hari maka individu telah menderita gangguan kecemasanKecemasan digambarkan sebagai kondisi mood yang tidak menyenangkan disertai rasa subyektif tentang ketidakpastian dan ancaman di masa depan. Kecemasan meliputi gejala utama takut fear dan khawatir worry yang diikuti oleh berbagai perubahan fisiologis sebagai akibat aktifnya reaksi ldquo;fight or flight rdquo; untuk mempertahankan hidup. Reaksi tersebut melibatkan sistem muskuloskeletal, sistem saraf simpatis peningkatan denyut jantung, tekanan darah, respirasi, laju metabolisme , dan psikoneuroendokrin melalui aksis hypothalamic-pituitary-adrenal.TMAS awalnya dikembangkan sebagai perangkat untuk memilih mata pelajaran berdasarkan kemampuan stress psikologis, motivasi dan kinerja manusia. Kemudian telah digunakan sebagai indikator umum dari kecemasan sebagai ciri kepribadian, hal ini tidak dimaksudkan sebagai ukuran tertentu kecemasan sebagai entitas klinis. Taylor berpikir bahwa kepribadian akan tercermin dalam intensitas kecemasan dan diukur dengan menggunakan tanggapan benar/salah. Semakin tinggi Skor TMAS, mewakili tingkat yang lebih tinggi dari kecemasan. Terserah kebijaksanaan psikiater untuk memutuskan kecocokan interpretasi klinis kecemasan. Dikatakan untuk cemas, menurut Taylor ketika jawabannya diperoleh setelah menjawab ya untuk pertanyaan yang lebih besar dari atau sama dengan 21.Terapi kelompok adalah salah satu modalitas psikoterapi yang menggunakan kekuatan kelompok, interaksi yang membangun antara peserta dan intervensi dari terapis kelompok. Tujuan dari terapi kelompok untuk memperbaiki perilaku dan pikiran dan perasaan yang maladaptif.Terapi kelompok dengan pendekatan konseling humanistik mengajak responden membangun dirinya sendiri untuk melakukan hal-hal yang positif. Pendekatan humanistik ini cenderung melihat dari kejadian yang sehari-hari terjadi pada responden, sehingga cara yang tepat untuk pendekatan ini adalah dengan roleplay. Selain itu dengan konseling, responden menjadi lebih mengetahui mengenai masalah yang dihadapi dan cara menanggulanginya. Pada teknik konseling ini responden akan lebih aktif untuk menentukan sikap dengan panduan konselor. Oleh karena itu sangat baik apabila pekerja dengan kecemasan diberikan informasi mengenai gangguan emosi dan cara manajemennya melalui metode roleplay. Hal ini membuat responden secara aktif dapat menentukan sifat dan jalan keluar sendiri. Teknik konseling sangat sederhana, sehingga dapat digunakan untuk atasannya jika gejala cemas ditemukan pada pekerjanya.Lingkungan kerja seseorang memainkan peran penting dalam mempengaruhi kesehatan mental mereka dan penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa hal ini berlaku bagi mereka yang bekerja di call center. Pekerja call center tersebar di seluruh dunia, industri call center ini sangat berkembang terutama di India, negara yang paling umum dikenal untuk proses bisnis outsourcing tenaga kerja yang kuat. Banyak perusahaan di seluruh dunia yang menggunakan outsourcing tenaga kerja seperti layanan pembayaran, layanan pelanggan, dan tugas administratif untuk negara lainnya dengan harapan mengalokasikan sumber daya sendiri untuk tugas-tugas yang lebih khusus.1,2 Umumnya, pekerja call center harus berurusan dengan pelanggan. Pelanggan memiliki harapan untuk mendapatkan masalah mereka diselesaikan, perusahaan memiliki harapan untuk memaksimalkan efisiensi dengan panggilan cepat, dan karyawan diharapkan untuk memenuhi keduanya. Tekanan ini membangun dan menciptakan kecemasan yang tinggi pada pekerja call center.Mengingat tingginya prevalensi kecemasan di antara pekerja call center, maka diperlukannya suatu alat untuk menurunkan kecenderungan kecemasan di lingkungan kerja call center. Salah satu alat untuk menurunkan kecenderungan kecemasan adalah terapi kelompok melalui pendekatan konseling dengan pendekatan humanistik. Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan desain dengan metode One Group Pre and Posttest Design. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang dikaji, yaitu variabel bebas berupa terapi kelompok dengan pendekatan konseling humanistik dan variabel lainnya berupa kecemasan pada pekerja call center. Hasil dari perlakuan dinilai dengan membandingkan hasil pretest dan posttest.Pelaksanaan penelitian ini dengan cara menemui langsung responden dan dengan mengedarkan persetujuan mengikuti penelitian, formulir data identitas pribadi, dan kuesioner TMAS yang dijawab pada lembar jawaban saat sebelum dan setelah perlakuan konseling. Sebanyak 31 responden yang memiliki skor TMAS lebih atau sama dengan 21 dan kurang atau sama dari 27 dimasukkan ke dalam kriteria inklusi dan diberikan perlakuan berupa terapi kelompok dengan pendekatan konseling humanistik.Penelitian berlangsung selama 7 minggu. Terapi kelompok dengan konseling humanistik dilakukan setiap selang waktu satu minggu. Konseling dengan pendekatan humanistik dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada kedatangan awal setelah diukur tingkat kecemasannya , satu minggu setelah kedatangan pertama dan dua minggu dari kedatangan awal. Waktu yang dibutuhkan untuk proses satu kali konseling sekitar 90 menit untuk tiap kelompok yang berisikan 10 respondenPsikiater berlaku sebagai konselor Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa . Sebanyak 3 orang psikiater disiapkan untuk 3 kelompok. Dalam meyakinkan hasil yang didapatkan sama, maka dipilih psikiater yang memiliki kemampuan yang sama, dengan mengikuti matriks kegiatan konseling yang telah disusun oleh peneliti.Dalam proses ini, konselor berusaha untuk mengubah persepsi klien ke arah positif, menguatkan ketahanan mental klien dan membantu klien mengevaluasi situasi dunia kerja klien termasuk kelemahan dan kekuatannya. Materi konseling mencakup bagaimana pemahaman klien mengenai pekerjaannya, harapan terhadap pekerjaan, perasaan yang dialami, upaya yang akan dilaksanakan, kemungkinan hambatan yang dihadapi, rencana solusi pemecahan, dan evaluasi rencana pemecahan masalahPada akhir penelitian, kuesioner TMAS dibagikan kembali kepada kedua kelompok untuk diisi responden sebagai post-tes kemudian membandingkan hasil dan menganalisis secara statistik. Analisis data dengan menggunakan uji wilcoxon untuk membedakan skor sebelum diintervensi dan setelah diintervensi dengan menggunakan SPSS versi 20. Hasil PenelitianPada awal penelitian, formulir pendataan awal dibagikan kepada semua pekerja call center di suatu lokasi kerja sebanyak 186 orang, dalam waktu 3 hari dan didampingi saat pengisian. Terdapat 103 orang mengisi dan mengembalikan formulirnya. Didapatkan 35 orang yang cemas atau sekitar 33.9 dari jumlah semua responden. Diantara 35 orang pekerja call center tersebut, terdiri dari 13 orang pria dan 22 orang wanita. Rentang usia responden dengan cemas adalah 22 tahun hingga 36 tahun. Berikut adalah karaketristik demografi dari responden penelitian:Tabel Karakteristik respondenKarakteristikCendrung Cemas Umur 25 Tahun15 36,6 > 25 Tahun20 32,3 Jenis Kelamin Laki-laki13 27,1 Perempuan22 40,0 Pendidikan D311 42,3 S124 31,2 Status Kawin9 28,1 Tidak kawin26 36,6 Penyakit Penyerta Tidak ada33 33,3 Ada2 50 Dari 35 orang yang memenuhi kriteria, hasil skor TMAS diurutkan dari skor terbesar ke skor terkecil. Terdapat 31 responden diambil sebagai subjek penelitian dengan skor TMAS 21 - 27. Semua responden terpilih bersedia untuk ikut serta sebagai subjek penelitian. Pada 31 orang yang bersedia sebagai subjek penelitian diberikan 3 kali sesi terapi kelompok dengan pendekatan humanistik. Setelah pelaksanaan terapi kelompok yang ketiga, evaluasi skor TMAS dilakukan 4 minggu kemudian. Terdapat 21 orang yang mengikuti kegiatan terapi kelompok secara penuh yaitu 3 kali pertemuan terapi kelompok. Sembilan orang peserta penelitian drop out dengan alasan tidak menghadiri 3 kali terapi kelompok akibat terbentur dengan jadwal shift, tidak berminat dan lebih mengutamakan kepentingan pekerjaanya serta peserta yang berhenti bekerja ditengah periode penelitian. Jumlah sampel masih melebihi jumlah minimal sesuai dengan perhitungan sebelumnya Nilai minimal dan maksimal skor Tmas pada Pretest masing-masing nya 22 dan 27. Nilai minimal dan maksimal skor Tmas pada Posttest masing-masing nya 0 dan 26. Nilai rata rata skor Tmas pada pretest dan posttest adalah 24.05 dan 10.67. Berdasarkan data nilai tes awal pretest dan nilai tes akhir posttest skor TMAS pada pekerja call center menunjukkan bahwa terdapat 4 orang pekerja call center yang megalami penurunan skor TMAS dengan gejala cemas yang tetap ada dan 16 pekerja call center mengalami penurunan skor TMAS tanpa disertai cemas serta 1 orang dengan skor TMAS awal dan akhir yang sama dengan gejala cemas yang tetap ada. Jika rata-rata penurunan skor TMAS setiap grup dibandingkan, didapatkan hasil masing-masingnya untuk grup A 20.25, grup B 9.13 dan grup C 11.50. Data penelitian ini memiliki distribusi yang tidak normal dengan nilai p < 0,05. Karena distribusi yang tidak normal, maka uji analisis yang digunakan untuk penelitian ini adalah uji Wilcoxon. Hasil signifikansi Asymp.sig pada uji Wilcoxon menunjukkan nilai < 0.05. Terdapat perbedaan rata-rata skor TMAS sebelum dan sesudah dilakukan terapi kelompok dengan pendekatan humanistik. Tabel Hubungan faktor individu dengan keberhasilan terapi kelompok dengan pendekatan humanistik dalam menurunkan tingkat kecemesan berdasarkan pengukuran skor TMASFaktor Individukeberhasilan terapi kelompok dengan pendekatan humanistikNilai p Tidak Berhasiln Berhasiln Umur>25 Tahun le; 25 Tahun 0 0 1 11,1 12 100 8 88,9 p = 0,429ReferenceJenis Kelamin Laki-laki Perempuan 0 0 1 6,7 6 100 14 93,3 p = 1,000ReferenceStatus Kawin Tidak Kawin 0 0 1 7,1 7 100 13 92,9 p = 1,000Reference Pendidikan D3 S1 1 12,5 0 0 7 87,5 13 100 p = 0,381Reference Penyakit Penyerta Ada Tidak 0 0 1 5,0 1 100 19 95,0 p = 1,000Reference Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa faktor umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan riwayat penyakit peserta tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap keberhasilan penurunan skor TMAS PembahasanPenelitian ini menggunakan jasa dari 3 orang psikiater sebagai konselor. Setiap psikiater menjadi konselor untuk kelompok yang sama selama penelitian. Keberhasilan terapi salah satunya dipengaruhi oleh konselor. Keberagaman Cara membangun hubungan dan cara penyampaian materi oleh terapis tidak dikontrol pada penelitian ini. Hal ini menjadi salah satu kelemahan pada penelitian ini. Terkait dengan usaha intervensi pada komunitas, pada penelitian ini peneliti tidak mempertimbangkan faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pada seluruh responden. Faktor lingkungan, keluarga dan banyak aspek kehidupan dapat mempengaruhi tingkat kecemasan responden. Hal ini menjadi salah satu keterbatasan penelitian yang dapat dikembangkan pada penilitian berikutnya. Di Indonesia prevalensi terkait gangguan kecemasan menurut hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas pada tahun 2013 menunjukkan bahwa sebesar 6 untuk usia 15 tahun ke atas. Prevalensi pekerja call center dengan cemas sebesar 33,9 . Nilai prevalensi cemas pada pekerja call center lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi cemas pada populasi umum. Hal ini terjadi karena terdapatnya fakto risiko yang tinggi pada pekerja call center. Pekerjaan berjadwal Shift , tuntutan memenuhi kepuasan pelanggan, pendapatan yang kecil, kesulitan bahasa dan banyak faktor lainnya yang dapat meningatkan risiko pekerja cemas di call center.Jika dihubungkan dengan faktor umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan riwayat penyakit penyerta, hal ini tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap keberhasilan penurunan skor TMAS. Hingga saat ini belum ada literatur yang menjelaskan apakah faktor karakteristik individu mempengaruhi keberhasilan terapi kelompok yang secara khusus dilakukan dengan pendekatan humanistik dalam menurunkan tingkat kecemasan. Tabel Hasil pengukuran skor TMAS sebelum dan sesudah intervensi berdasarkan kelompok perlakuan GrupNamaSkor Tmas PretestSkor Tmas PosttestGain d Gain Rata-Rata ANA22022 20.29 RI24222 ER25619 SI25520 DE24420 NY24519 AR24420 BJH26224 9.13 NE25916 AY24168 DI24618 HA26251 AN27261 RZ24240 NU22175 CNF241113 11.50 VI241113 DH22220 AD22220 NR26251 AP24222 Rata-rata penurunan skor TMAS pada 21 subjek penelitian sebesar 10.5. Jika dilihat dari rerata penurunan skor TMAS per kelompok masing-masingnya 20.29, 9.13 dan 11.50. Kelompok A memiliki rerata penurunan skor TMAS yang tertinggi. Selama rangkaian terapi kelompok, kelompok A memiliki anggota responden yang lebih solid dibandingkan 2 kelompok lainnya, kelompok A memiliki interaksi yang baik antar peserta sehingga dinamika kelompok terbangun dengan baik. Secara kebetulan 5 dari 7 responden pada kelompok A memiliki wilayah kerja yang sama. Selain itu konselor yang memimpin kelompok A memiliki minat yang khusus pada terapi humanistik. Hal ini mempengaruhi keberhasilan dalam memperbaiki perilaku, pikiran dan perasaan yang maladaptif. Salah satu responden berhasil mengalami penurunan skor TMAS tertinggi sebesar 22. Dari catatan konselor, diketahui bahwa responden tersebut memiliki pemahaman yang sangat baik mengenai materi yang diberikan selama terapi kelompok. Responden tersebut aktif dalam segala kegiatan terapi kelompok dan kegiatan roleplay. Responden senang bernyanyi dan diakuinya bahwa menyanyi adalah salah satu cara yang dia lakukan saat ingin menghilangkan penat. Pada saat terapi kelompok sesi ketiga atau evaluasi, responden mengakui bahwa responden merasa lebih tenang dan merasa mampu mengendalikan kecemasannya. Terdapat satu responden yang tidak mengalami perubahan skor TMAS awal dan akhir. Dari catatan konselor, diketahui bahwa responden memiliki riwayat percaya diri yang kurang. Latar belakang pendidikan responden adalah guru. Responden memiliki keluhan rasa cemas dan takut salah pada atasan. Responden memulai untuk belajar menghadapi kenyataan dan belajar memperhatikan sikap diri sendiri sehingga terhindar dari perasaan berbuat salah. Pada saat evaluasi, pasien masih merasa kurang percaya diri hingga menjadi cemas jika menghadapi atasannya dan merasa tidak nyaman pada tubuhnya. Hal ini diperberat dengan kondisi dinamika kelompok yang kurang baik, terlihat dari rerata penurunan skor TMAS terkecil. KesimpulanDidapatkan demografi responden prevalensi cemas terbesar ditamukan pada responden dengan usia > 25 tahun, jenis kelamin perempuan, tingkat pendidikan S1, status tidak menikah dan ada penyakit penyerta.Didapatkan 35 orang dari 103 total responden dengan skor TMAS 21Didapatkan 20 orang mengalami penurunan skor TMAS setelah perlakuan dan 1 orang memiliki skor TMAS yang sama setelah perlakuan.Terdapat penurunan bermakna pada skor TMAS sebelum dan sesudah dilakukan terapi kelompok dengan pendekatan konseling humanistik. SaranMengingat banyaknya peserta yang drop out, dibutuhkan perbaharuan matriks kegiatan konseling yang dikemas lebih menarik dan kreatif sehingga diharapkan semua responden dapat ikut serta dan aktif dalam terapi kelompok. Timbal balik responden perlu dilakukan untuk mengetahui pendapat responden mengenai matriks kegiatan yang telah disusun.Mengingat pekerjaan call center membutuhkan jiwa yang kuat dan sehat, maka perlu screening awal kecemasan saat penerimaan pegawai baru menggunakan kuesioner TMAS. Pencegahan cemas juga dapat dilakukan dengan membuat program seperti Employee Assistance Program.Perlu dilakukan screening ciri kepribadian mudah cemas dan penatalaksanaannya berupa terapi kelompok pada pekerja call center pada divisi lain seperti divisi outbound, telemarketing dan divisi lainnya.Pada penelitian ini masih terdapat 5 orang pekerja yang masih cemas, sehingga diperlukannya tindakan lanjutan terhadap pekerja tersebut berupa temu wajah dengan dokter spesialis kedokteran jiwa atau psikolog.Diperlukan penelitian selanjutnya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi kelompok dengan pendekatan humanistik pada pekerja call center dengan ciri kepribadian mudah cemas dan mengetahu durasi waktu retensi dari penurunan skor TMAS setelah dilakukan terapi kelompok dengan pendekatan humanistik.Daftar Pustaka Jeyapal DR, Bhasin SK, Kannan AT. Stress, anxiety, and depression among call handlers employed in international call centers in the national capital region of Delhi. Indian J. 2015;59 2 : 95-101.Latha G, Panchanatham N. Call center employees: is work life stress a challenge. Sabaramuwa University J. 2010;9:1-9.Ramanuj V. Mental and physical health related problems of call centre workers. NHL J Medical Sciences. 2014;3 2 :7-12.Aziz M. Factors causing stress: a study of indian call centres. Academic J Interdisciplinary Studies. 2013 Oct;2:247-52.Bhuyar P, Banerjee A, Pandve H. Mental, physical and social health problems of call centre workers. Industrial Psychiatry J. 2010;17 1 :21-5.Bharat PP, Paul B. A cross sectional study on psychological problems among call handlers employed in international call centers in the national capital region of Delhi, India. International J Current Research. 2016;8 1 :25709-12.Safaria T. Manajemen emosi. Jakarta: Bumi Aksara; 2012. 386 hlm.Utomo SS. Pengaruh konseling terhadap tingkat kecemasan pasien Seksio Sesarea di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten [tesis]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 2008.Stahl, SM. Stahl 39;s Essential Psychopharmacology: Anxiety disorders and anxiolytics. Cambridge University Press; 2013.Halm MA. Relaxation: a self-care healing modality reduces harmful effects of anxiety. American J Critical Care. 2009 Mar;18:169-72Snowdon R. How freud arrived at the origin of anxiety [Internet]. 2013 [cited 2017 Mar 7]. Available from: http://www.rscpp.co.uk/article/20/freud-anxiety.html.Shapariah S. Perbedaan kecemasan antara mahasiswa PMDK, reguler dan swadana semester V di fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta [skripsi]. Surakarta:Universitas Sebelas Maret; 2009.Andri, Yenny DP. Teori kecemasan berdasarkan psikoanalisis klasik dan berbagai mekanisme pertahanan terhadap kecemasan. Majalah Kedokteran Indonesia [Internet]. 2007 [sitasi 7 Mar 2017]; vol.57 : 233-8.Kaplan H I, Sadock BJ. 1994 . Anxiety disorder. In synopsis of psychiatry. 7th ed. Baltimore, Usa: William Wilkins; 1994. p. 573-616.The influences of anxiety psychology essay [Internet]. 2015 [cited 2017 Mar 7]. Available from: https://www.ukessays.com/essays/psychology/the-influences-of-anxiety-psychology-essay.php.Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Jakarta: EGC; 1998. 527 hlm.Sadock BJ, Sadock VA. 2010 . Buku ajar psikiatri klinis: Kaplan dan Sandock Edisi 2 . Jakarta: ECG; 2010.Elvira SD, Hadisukanto G, editor. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI; 2010.Conley, T. 2004 . Breaking free drom the anxiety trap [Internet]. 2004 [cited 2017 Mar 7]. Available from: http://www.yakita.or.id/ kecemasan.htm kecemasan.Julian LJ. Measures of anxiety: state-trait anxiety inventory STAI , beck anxiety inventory BAI , and hospital anxiety and depression scale-anxiety HADS-A [Internet]. 2011 [cited 2017 Mar 7]. Available from: http://onlinelibrary.wiley.com/store/10.1002/acr.20561/asset/20561_ftp.pdf;jsessionid=E25927B70171A24F5310D0BA396C81A9.f03t01?v=1 t=izz5x6or s=8992242235fb6552bc2b29fc789e6b06e39b541c.Hamilton M. The assessment of anxiety states by rating. Psychology and Psychotherapy: Theory, Research and Practice. 1959. p. 50-5Suyatmo. Pengaruh relaksasi otot dalam menurunkan tingkat kecemasan T-TMAS mahasiswa menjelang Ujian Akhir Program UAP di Akademi Keperawatan Notokusumo. Berita Kedokteran Masyarakat. 2009 Sep;25 3 :142-9.Amriana. Konseling krisis dengan pendekatan konseling realitas untuk menurunkan kecemasan anak korban kekerasan seksual. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam. 2014;5 1 :1-25BioPsychoSocial Assessment Tools for the Elderly - Assessment Summary Sheet [Internet]. 2017 [cited 2017 Aug 7]. Available from: https://instruct.uwo.ca/kinesiology/9641/Assessments/Psychological/TMAS.html.Sukaesih E. fektifitas Progressive Muscle Relaxation PMR Terhadap Tingkat Kecemasan dan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Geriatri di Wilayah Kota Cirebon [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati; 2016Yatman P. Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia; 1999.Himawan IA. Perbedaan tingkat kecemasan antara pasien primigravida dan multigravida pada kehamilan trimester ketiga di rumah sakit Permata Bunda Purwodadi [skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 2012.Lesmana, JM. Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: UI-Press; 2005. 229 hlmPutri, A. Pentingnya Kualitas Pribadi Konselor Dalam Konseling Untuk Membangun Hubungan Antar Konselor Dan Konseli[skripsi]. Pontianak: Universitas Negeri Tanjungpura;2016Savitri Ramaiah. 2003 . Kecemasan Bagaimana Mengatasi Penyebabnya.Jakarta: Pustaka Populer Obor.Riset Kesehatan Dasar Riskesdas . 2013 . Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.Diakses: 19 Oktober 2014, dari http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil 20Riskesdas 202013.pdf.Haynes. Penatalaksanaan stress. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC; 1999.Manuaba. Sikap manusia: teori dan pengukurannya. Edisi Kedua Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2000. Maryam. Kurniawan A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan orang tua terkait hospitalisasi anak usia Toddler di BRSD RAA Soewono Pati. FIKkes Jurnal Keperawatan. 2008 Mar;1 2 :38-56.Zamriati. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan ibu hamil menjelang persalinan di poli KIA PKM Tuminting. Jurnal Keperawatan. 2013.Vellyana D. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien Preoperative Di Rs Mitra Husada Pringsewu. 110 Jurnal Kesehatan. 2017 Apr;8 1 :108-13.Al-Saffar NM, Saeed DA. Generalized anxiety disorder in type 2 diabetes mellitus in Suleimaniya city. Tikrit Med J. 2009;15 1 :78 ndash;85.Jamiyanti A. Tingkat kecemasan pada pasien penyakit jantung koroner berdasarkan karakteristik pasien di poliklinik jantung rumah sakit Al-Islam Bandung. Bhakti Kencana Medika. 2012;2 4 .Yunitawati. Konseling psikologi dan kecemasan pada penderita hipertiroid di klinik Litbang Gaki Magelang [Internet]. 2014 [diakses 20 Nov 2017]. Available from: http://ejournal.litbang.depkes.go.id>download.Corey G. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT. Eresku, 1995Kustaryono, Andika. Efektivitas terapi kelompok untuk mengurangi kecemasan pada orang lanjut usia [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2007.

ABSTRACT
The Influence of Group Therapy with Humanistic Counseling Approach to Reduce the Trends of Anxiety Yanri Amri, Herqutanto, Kristiana Siste Department of Community Medicine, Medical Faculty, University of Indonesia, 10330, Indonesia Email yanri.amri gmail.com Abstract Background Considering the high prevalence of anxiety trends among call center workers, a tool is required to lower the trend of anxiety in the work environment of call centers. The research aims to know the influence of group therapy with humanistic approach as a tool to lower the trends of anxiety among call center workers. Method This study used One Group Pre and Posttest Design. The number of samples in this study is 21 respondents who have TMAS score in appropriate criteria. Research carried out in August until October 2017 at one of call center rsquo s company in Jakarta. The variables examined are group therapy with humanistic counselling approaches as a free variable and the trends of anxiety among the call center workers. Result The prevalence of call center workers with anxiety tends is 33.9 . There is significant difference between the TMAS score on pretest and posttest. The results of Wilcoxon test showed that the sig value 0.05. There is average score difference before and after intervention. Conclussion There is a significant decrease in TMAS score before and after group therapy with humanistic counseling approach. Keywords Anxiety, the call center workers, group therapy, humanistic counselling, TMAS Introduction Community services business competition is currently very tight. Related to customer satisfaction, every company is required to provide maximum service to its customers. Service to consumers does not care about the working hours, the company wants the consumers can be served 24 hours a day. For the convenience of customers, consumers do not need to come to the offices but quite firm by phone only. It is of course greatly facilitating the consumer. The company 39 s call center presence developed rapidly and is a must. As an effort to provide a good quality service, there is an indirect effect on the majority of call center workers have a high level of anxiety. The available studies have previously reported a high level of anxiety among employees of call centers. This is not just a matter for each individual, but can occur due to the interconnectedness between relationship power structure, subjective interpretations and actions of employees. Group therapy is one of the modalities of psychotherapy that uses the power of the group, interactions that build up between the participants and the intervention of the therapist. The purpose of group therapy to improve behavior and thoughts and feelings that are maladaptive. Group therapy is more beneficial than individual psychotherapy in terms of time spent because it was given to a group of people. Given the high prevalence of anxiety among call center workers, then it needs a tool to lower the trends of anxiety in the work environment of the call center. One of the facilities to lower the trends of anxiety is group therapy with a humanistic counseling approached. Theoretical Review Anxiety is a normal reaction to stress, and is one form of general emotion in humans. Reaction to the emotions and the physiological changes are reasonable and adaptive in the real threat situation, such as a physical threat or a life situation pressing. When anxiety becomes a great dread, irrational, and mal adaptive in life so individuals have suffered from anxiety disorders. Anxiety is portrayed as an unpleasant mood condition accompanied by subjective sense of uncertainty and threat in the future. The main symptoms include fear of fear and worry followed by various physiological changes as a result of active reaction fight or flight to sustain life. These reactions involving the musculoskeletal system nervous system, sympathetic dystrophy increased heart rate, blood pressure, respiration, metabolic rate , and psycho neuroendocrine through the hypothalamic pituitary along adrenal. Taylor rsquo s Manifest Anxiety Scale TMAS was originally developed as a device for selecting subjects for inclusion in psychological experiments on stress, motivation, and human performance. It has subsequently been used as a general indicator of anxiety as a personality trait, it is not intended as a specific measure of anxiety as a clinical entity. Taylor thought that personality drive level would be reflected in the intensity of ldquo manifested anxiety rdquo , and measured it using true false responses. Items judged by clinicians as being indicative of manifest anxiety were selected from the Minnesota Multiphasic Personality Inventory. True false responses are used for each item, and the replies indicating anxiety are counted, giving a score from 0 to 50 with the higher the score representing a higher level of anxiety. It is up to the discretion of the psychiatrist to decide where they fit in the ldquo manifest anxiety rdquo interpretation. Anxiety according to TMAS is divided into two classes, namely, a person is said to be anxious, according to Taylor when the answer Yes obtained after answering the question that is greater than or equal to 21. Group therapy is one of the modalities of psychotherapy that uses the power of the group, interactions that build up between the participants and the intervention of the therapist. The purpose of group therapy to improve behavior and thoughts and feelings that are maladaptif. Humanistic therapy technique is a technique with the personality of the phenomenology of approach to help individuals realize the real self and solve their problems with minimal therapist interventions. Humanistic therapy is not only intended to deal with people who experience emotional disorders or sufferers of neurotic or psychosis, but also for people who are healthy or the normal population, who want growth a better personal The work environment plays a vital role in affecting their mental health and recent research has shown that this is true for those who work in call centers. Call center workers are scattered around the world, the call center industry is very developed mainly in India, a country that is most commonly known for business process outsourcing labor is strong. Many companies around the world are using outsourced labor such as payment services, customer service, and administrative tasks to other countries in the hope of own resources allocated to the tasks that are more specialized. Generally, the call center workers have to deal with customers. Customers expect to get their problems solved, the company has to maximize efficiency with speed dialing and employees are expected to meet both. This pressure builds and creates high anxiety at the call center workers. The research had been done call centers workers in Delhi NCR India, obtained in the prevalence of stress, anxiety, and depression of 46.7 , 57.1 , and 62.9 . Other studies done in India in the year 2008 have results that 55 of call center workers that they are conscientious, anxious. A cross sectional study in published in the year 2016, it is said that as much as 47.1 of call center workers anxious. Due to the high prevalence of anxiety among call center workers, then it needs a tool to lower the trends of anxiety in the work environment of the call center. One of the tools to lower the trends of anxiety is group therapy through counselling approach with the humanistic approach. Research Method This study used design One Group Pre and Posttest Design. In this study there are two variables analyzed, group therapy with humanistic counselling approaches and anxiety at the call center workers. The result of treatment was assessed by comparing the results of a pretest and posttest using TMAS. The intervention was done to the call center staffs in a company in three weeks, started on August 2017. TMAS was measured 4 weeks after last intervention as a posttest. There are 21 respondents as research samples with TMAS score 21 ndash 27 for the pretest. Group therapy with humanistic counselling approach was given to all respondents in three groups. There were three psychiatrist prepared as counselor for 3 groups. To assure the results obtained are the same, psychiatrist chosen have the same capabilities, by following a counselling activity matrix has been compiled by researchers. In this process, the Counselor was trying to change the perception of the client to a positive direction, strengthen the mental stamina to clients and help clients evaluate the world situation of work clients include weakness and strength. The material includes counseling clients on understanding how his work, expectations towards work, a feeling that is experienced, the efforts that will be implemented, chances are the obstacles encountered, solutions, solving plan and evaluation plan of solving issues. The study lasted for 7 weeks. Group therapy with humanistic counselling performed every interval of one week. Humanistic approach to counseling is conducted three times during the early arrival after the measured level of anxiety , one week after the arrival of the first two weeks of early arrival. The time required to process one time counseling about 90 minutes for each group containing maximum 10 respondents. Counseling with a humanistic approach focuses on the potential of the individual to actively choose and make decisions about matters relating to himself and his surroundings. At the end of the study, a questionnaire was distributed back to the TMAS both groups for the contents of the respondents as the test. Then compare the results and analyze statistically. Data analysis using the wilcoxon test to distinguish the score before intervened and after intervened by using SPSS version 20 Result The forms distributed to 186 call center workers, within 3 days and was accompanied when filling the forms. There are 103 people filled in and returned the forms. There are 35 persons who are anxious or about 33.9 of all respondents. Among the 35 people call center workers, comprising 13 men and 22 women. Age range of respondents with anxious is 22 years to 36 years. Here is the demographic data of respondents research Tabel of Characteristics of respondents CharacteristicsAnxiety Age 25 Years Old15 36,6 25 Years old20 32,3 Sex Male13 27,1 Female22 40,0 Study Level D311 42,3 S124 31,2 Marital Status Married9 28,1 Single26 36,6 Illness No33 33,3 Yes2 50 There were 31 people are willing as a subject of research is given 3 times a group therapy session with the humanistic approach. After the implementation of the third group therapy, evaluation score TMAS done 4 weeks later. Call center workers with a score of TMAS 27 are not included and will be consulted to the psychiatrist as a follow up therapy. There were 21 people following the activity group therapy in full three times. Ten research participants dropped out for many reasons, which were due to the schedule shift bumps, no mood and prefer the interests of improvements as well as participants who stopped working in the middle of the period research. The number of samples still exceeds the minimum amount corresponds to the previous calculation. Minimum and maximum score on Pretest TMAS each of his 22 and 27. The value of the minimal and the maximal score TMAS at his respective Posttest 0 and The value of average scores pretest and posttest on TMAS was 24.05 and 10.67. Based on the data values for the initial tests pretest and the value of the ultimate test posttest score TMAS at the call center workers shows that there are 4 person call center worker who megalami a decrease in score TMAS with symptoms anxiety that persists and 16th worker call center experience a decrease in score TMAS without anxiety as well as 1 person with a score of TMAS start and end with the same symptoms of anxiety that persists. Research data has a normal distribution with p value 0.05 25 Years Old0 0 12 100 p 0,429 le 25 Years Old1 11,1 8 88,9 Reference Sex Male0 0 6 100 p 1,000 Female1 6,7 14 93,3 Reference Marital Status Married0 0 7 100 p 1,000 Not Married1 7,1 13 92,9 Reference Study Level D31 12,5 7 87,5 p 0,381 S10 0 13 100 Reference Illness Ada0 0 1 100 p 1,000 Tidak1 5,0 19 95,0 Reference From table above can be seen that the factors of age, sex, marital status, education, and disease history does not give participants a meaningful influence against downturn success score TMAS. Discussion This research uses the services from 3 people a psychiatrist as counselors. Every psychiatrist is becoming counselor to the same group for the research. The success of the therapy is influenced by counselors, variabelitas therapists are not controlled in this research. This has to be one of the flaws in the research. Associated with the intervention efforts in the community, in this study the researchers did not take into consideration other factors that can affect the level of anxiety on the rest of the respondents. Environmental factors, family and many aspects of life can affect the respondent 39 s level of anxiety. It is becoming one of the limitations of the research can be developed in the next penilitian. In Indonesia the prevalence of associated anxiety disorders according to the results of the Basic Health Research Riskesdas in the year 2013 showed that 6 for ages 15 years and over. The prevalence of anxiety in call center workers is 33.9 . The value of the prevalence of anxiety at the call center workers is higher when compared to the prevalence of anxiety in the general population. This occurs because there is a high risk facto on call center workers. Work schedules Shift , the demands of fulfilling customer satisfaction, income, language difficulties and many other factors that can meningatkan the risk of workers anxious call center. The Relationship Of Demographic Factors With Levels Of Anxiety is the anxiety level will higher on Female, age below 25 years old, low level of study, single and with any chronic disease. If the factors associated with age, gender, marital status, education and companion illness history, this does not provide a meaningful influence against downturn success TMAS score. Until now there has been no literature that explains whether the individual characteristics of the factors influencing the success of group therapy that specifically do with the humanistic approach in lowering the level of anxiety. Table 3. The results of measurements of the TMAS score before and after intervention treatment based on groups GroupNamePretestPosttestGain d Average Gain NA22022 RI24222 ER25619 ASI2552020.29 DE24420 NY24519 AR24420 JH26224 NE25916 AY24168 BDI246189.13 HA26251 AN27261 RZ24240 NU22175 NF241113 VI241113 CDH2222011.50 AD22220 NR26251 AP24222 The average decrease in score TMAS at 21 of the subject of 10.5. Group A has an highest average decrease in TMAS score 20,29 . During the series of group therapy, Group A has a member of respondent a more solid than the other two groups, Group A has a good interaction between participants so that the dynamics of the Group woke up well. This affects success in fixing the behaviors, thoughts and feelings that are mal adaptive. One of the respondents succeeded to score the highest TMAS decline of 22. Of note, the Counsellor noted that the respondents have a very good understanding about a given matter during group therapy. The respondents active in all activities of group therapy and roleplay activities. The respondents happy to singing and he confessed that her singing is one way that he did want to remove tiredness. At the time of the third session of group therapy or evaluation, respondents recognize that respondents felt calmer and felt able to control the anxiety. There was one of the respondents who did not experience a change in score TMAS beginning and end. Of note, the Counsellor noted that the respondents have a history of lacking self confidence. Educational background of the respondents were teachers. The respondent has concerns anxiety and fear of wrong on superiors. Respondents start to learn to face the reality and learn to pay attention to the attitude of yourself so that escape from the feeling of doing wrong. At the time of the evaluation, the patient still feels less confident to become anxious if he meet his superiors and felt uncomfortable at his body. It is also influenced by the conditions of the group dynamics that are less good, visible from the average decrease in score compared to other TMAS of the smallest group of 9.13. Conclusion Demographics of respondents Obtained prevalence anxious found higher on respondents by age download. Corey G. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung PT. Eresku, 1995 Kustaryono, Andika. Efektivitas terapi kelompok untuk mengurangi kecemasan pada orang lanjut usia tesis . Yogyakarta Universitas Gadjah Mada 2007. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enjeline
"Profil temperamen terdiri atas novelty seeking, harm avoidance, dan reward dependence. Individu dengan novelty seeking yang tinggi dan harm avoidance yang rendah dilaporkan lebih rentan mengalami adiksi, namun adiksi smartphone berbeda dengan adiksi zat karena smartphone digunakan dan dibutuhkan rutin oleh hampir semua orang. Kelompok usia muda, terutama mahasiswa kedokteran, merupakan kelompok dengan paparan tinggi terhadap penggunaan smartphone. Mereka juga dianggap masih terpengaruh oleh temperamen yang dimilikinya dibandingkan orang yang lebih dewasa. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui profil temperamen dan korelasinya dengan kerentanan terhadap adiksi smartphone pada mahasiswa kedokteran di Jakarta. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang pada bulan Agustus 2017 hingga Juli 2018. Pengambilan sampel ditetapkan secara probability sampling berupa systematic random sampling. Instrumen Temperament and Character Inventory (TCI) digunakan untuk menilai temperamen, dan instrumen Smartphone Addiction Scale (SAS) digunakan dalam penilaian risiko adiksi smartphone. Dari 185 sampel, mayoritas responden perempuan, usia 20 tahun, dan belum menikah. Rerata pemakaian smartphone dalam sehari adalah 7,83 jam (Simpang Baku/SB 4,03) dengan usia awal penggunaan smartphone adalah 7,62 tahun (SB 2,60). Komunikasi dan mengakses media sosial ditemukan sebagai kegiatan yang paling banyak dilakukan subyek penelitian melalui smartphone. Lebih dari 50% subyek penelitian memiliki profil temperamen harm avoidance tinggi (53%). Pada analisis regresi logistik multivariat, hanya temperamen HA tinggi yang signifikan secara statistik (OR 2,035; 95% IK 1,119 hingga 3,701), sedangkan durasi pemakaian smartphone ≥ 6 jam dan akses hiburan melalui smartphone merupakan faktor perancu. Temuan dalam penelitian ini serupa dengan penelitian lainnya, yaitu terdapat hubungan antara profil temperamen dengan risiko adiksi smartphone. Penelitian dengan keterlibatan jenis individu yang lebih beragam serta inklusi jenis adiksi lainnya perlu dilakukan sebagai studi lanjutan.

Temperament profiles consist of novelty seeking, harm avoidance, and reward dependence. An individual with high novelty seeking and low harm avoidance have been reported to be more susceptible to addiction, but smartphone addiction is different from substance addiction because smartphones are used and needed daily by almost everyone. Younger groups, especially medical students, are groups with high exposure to smartphone usage. They are also considered still affected by their temperament. Therefore, this research aimed to find out the temperament profile and its correlation with vulnerability to smartphone addiction of medical students in Jakarta. The research was conducted with cross sectional design in August 2017 until July 2018. Sampling was determined by systematic random sampling. The Temperament and Character Inventory (TCI) instrument was used to assess temperament, while the Smartphone Addiction Scale (SAS) instrument was used in smartphone addiction risk assessment. Of the 185 samples, the majority respondents were female, aged 20 years, and unmarried. The average smartphone usage in a day was 7.94 hours (Standard Deviation/ SD 3.92) with the initial age of smartphone usage was 7.58 years (SD 2.43). Most respondents used smartphone for communication and accessing social media. Over 50% of subjects had temperament profile of high harm avoidance (60%). In multivariate logistic regression analysis, only high HA temperament (OR 2.035; 95% CI 1.119 to 3.701) was statistically significant, while duration of smartphone use ≥ 6 hours and smartphone access for entertainment were considered as confounding factors. The findings in this study are similar to other studies. There is a relationship between the temperament profiles and the risk of smartphone addiction. Further research with the involvement of more diverse types of individuals and the inclusion of other types of addiction needs to be conducted."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Indriyani
"Gangguan penggunaan opioid merupakan suatu penyakit kronis dan kambuhan dengan konsekuensi ekonomi, personal, dan terhadap kesehatan masyarakat. Tingkat komorbiditas psikiatrik dan fisik ditemukan tinggi pada penggunaan opioid. Penggunaan rumatan buprenorfin jangka panjang telah terbukti dapat meningkatkan fungsi dan kualitas hidup pasien. Waktu minimal yang direkomendasi untuk mencapai manfaat klinik bagi pasien yaitu 12 bulan. Terlihat efek positif terapi berupa penurunan penggunaan opioid, perilaku berisiko terinfeksi HIV atau Hepatitis C, tindak kriminal dan mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan psikopatologi, retensi dalam terapi dan kualitas hidup pasien terapi rumatan buprenorfin di RS. Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta. Penelitian dengan desain potong lintang pada bulan Maret-Mei 2019. Pengambilan sampel secara simple random sampling; menggunakan WHOQOL-BREF untuk menilai kualitas hidup serta SCL-90 untuk menilai psikopatologi. Retensi dalam terapi merupakan lamanya pasien mengikuti terapi buprenorfin, dibagi 2 kelompok yaitu ≤ 1 tahun dan > 1 tahun. Dari 105 sampel, mayoritas laki-laki, usia rerata 39 tahun, sudah menikah, tamat SMA, bekerja paruh waktu dan 40,9% memiliki psikopatologi. Ditemukan hubungan bermakna antara kualitas hidup dengan ada tidaknya psikopatologi pada pasien. Kualitas hidup ranah psikologik, hubungan sosial dan lingkungan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok pasien tanpa psikopatologi. Temuan ini serupa dengan penelitian lainnya, yaitu terdapat hubungan antara psikopatologi dan kualitas hidup. 97,1% sampel memiliki retensi terapi > 1 tahun dengan rerata 4 tahun. Tidak ditemukan adanya perbedaan rerata kualitas hidup pasien pada masing-masing ranah yang dihubungkan dengan retensi dalam terapi, dengan p > 0,05. Hal ini dapat dipengaruhi oleh sedikitnya jumlah subjek penelitian pada kelompok retensi ≤ 1 tahun. Penelitian jangka panjang mengenai efektivitas terapi buprenorfin dengan sampel yang lebih besar dan beragam, khususnya terkait kepatuhan berobat perlu dilakukan sebagai studi lanjutan. Penelitian dengan keterlibatan jenis individu yang lebih beragam serta inklusi jenis adiksi lainnya perlu dilakukan sebagai studi lanjutan.

Opioids use disorders are chronic relapsing diseases with many negative consequences on economic, personal, and public health. Psychiatric and general medical comorbidity were high among opioids users. Long term buprenorphine maintenance had been proven could increase patient's functioning and quality of life. Recommended length in order to achieve clinical benefits was 12 months. The overt positive impacts were decreases in frequency of using, high-risk using behavior, mortality, and criminal behavior. This cross-sectional study aimed to identify the relationship between psychopatology, retention in therapy, and quality of life of buprenorphine maintenance therapy patients in Jakarta Drug Dependence Hospital. The period of observation was on March to May 2019 to samples chosen by simple-random. The instruments used were WHOQOL-BREF and SCL-90, to measure quality of life and psychopatology, respectively. For treatment retention status sample were divided into 2 groups (the up-to-1-year group and the more-than-1-year group). Of the 105 samples, the majority were males with mean age of 39 y.o., married, high-school graduated, and part-timers, also 40.9% of them already had psychopatologies. There was a significant relationship between quality of life and the existance of psychopatology. Psychological and social and environmental relationship domains of quality of life were significantly higher on without-psychopatology group. This finding is similar to other studies whom found that there was a relationship between psychopatology and quality of life. Most samples (97.1%) had retained for at least more than 1 year in therapy, with average of 4 years. No difference in each domains of quality of life found between groups (p >0.05). This may be influenced by the small number of samples whom had retained for at least 1 year. Long-term study on buprenorphine therapy effectivity and medication adherence with more varied samples needs to be conducted."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfonsus Edward Saun
"Pendahuluan: Skizofrenia berdampak besar terhadap pasien dan keluarganya. Awitannya sering pada masa remaja akhir sampai dengan dewasa awal, dengan perjalanan penyakit yang cenderung berlangsung seumur hidup. Potensi kekambuhan dan perburukan gejala semakin memperburuk prognosis gangguan ini. Berdasarkan teori diskonektivitas otak dan gangguan perkembangan saraf (struktur otak dan gangguan konektivitas), diduga patofisiologi yang terjadi adalah akibat efektivitas modulasi sinaptik yang terganggu. Mengenai perubahan konektivitas ini, terdapat perbedaan signifikan ambang motorik antara pasien skizofrenia dan kontrol yang normal, dengan alat TMS. Hal ini menunjukkan potensi besar ambang motorik sebagai penanda biologis neurofisiologi pada skizofrenia. Walau begitu, saat ini belum banyak diketahui faktor yang berpengaruh pada ambang motorik. Dikatakan terdapat perbedaan struktural otak, model perkembangan saraf, serta anisotropi fraksional, terkait awitan dan durasi perjalanan penyakit pasien dengan skizofrenia. Oleh karena itu, akan diteliti lebih lanjut hubungan antara umur saat awitan gejala psikotik dan durasi perjalanan penyakit skizofrenia dengan ambang motorik.
Metode: Penelitian dengan desain studi potong lintang, dilakukan di Unit Rawat Jalan Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada April 2018 sampai dengan Desember 2018 (N= 40, usia 18 hingga 59 tahun), dengan sampling konsekutif. Subjek penelitian adalah pasien dengan skizofrenia resisten pengobatan, yang mengikuti terapi TMS. Setelah diberikan penjelasan rinci dan memberikan persetujuan, data demografi dan klinis dikumpulkan, kemudian dilakukan penilaian ambang motorik oleh tenaga ahli terlatih. Subjek diberikan penutup kepala kain untuk mengukur dan menandai titik yang akan dinilai. Diberikan stimulasi dengan alat TMS, dari intensitas paling kecil yang dinaikkan bertahap sampai didapatkan nilai ambang motorik (respons gerakan/kontraksi otot ibu jari tangan kanan, 50% dari stimulasi). Setelah data terkumpul, dilakukan pengolahan data.
Hasil: Rerata hasil pengukuran ambang motorik yang didapatkan adalah 60,2% ± 8,841. Nilai tengah umur saat awitan gejala psikotik sebesar 19,5 ± 6,0, dan nilai tengah durasi perjalanan penyakit skizofrenia sebesar 13,0 ± 14,5 tahun. Pada uji korelasi antara variabel umur saat awitan gejala psikotik dengan ambang motorik didapatkan hasil tidak signifikan, dengan p= 0,063. Demikian pula, hasilnya tidak signifikan pada uji korelasi antara variabel durasi perjalanan penyakit skizofrenia dengan ambang motorik, p= 0,068. Tidak ada perbedaan bermakna rerata ambang motorik, terkait kelompok usia, jenis kelamin, antipsikotik, atau obat lainnya (antikolinergik, penstabil mood, benzodiazepin).
Diskusi: Terdapat kesulitan pada pengambilan sampel, tidak semua pasien yang datang bersedia untuk ikut dalam penelitian, karena ragu dan takut akan keamanannya dan waktu yang dihabiskan, sekalipun telah dijelaskan dengan rinci. Tidak ada terjadi efek samping seperti nyeri atau kejang yang dilaporkan. Pengawasan dan penilaian pada penelitian ini dilakukan oleh pakar terlatih. Kekuatan penelitian relatif terbatas. Banyak subjek, terutama yang sudah lebih tua dan tidak ada keluarga, tidak ingat secara pasti mengenai umur saat pertama kali muncul gejala psikotik.

Introduction: Schizophrenia has a major impact on patients and their families, with late adolescence to early adulthood onset, and tends to last a lifetime. There is also a great potential for recurrence and symptoms worsening. Based on the theory of brain disconnectivity and neurodevelopmental disorders, it is suspected that the pathophysiology occurs due to the disrupted effectiveness of synaptic modulation. Regarding changes in connectivity, significant motor threshold differences between schizophrenic patients and normal controls are found using TMS. This shows a great potential of motor threshold to be used as a neurophysiological biological marker in schizophrenia. Nevertheless, currently not many motor threshold influencing factors are known. It is said that brain structural differences, neural development, and fractional anisotropy are related to the onset and duration of the disease in patients with schizophrenia. Therefore, further study will be carried out to see the relationship between onset age of psychotic symptoms or duration of schizophrenia and motor threshold.
Method: A cross-sectional study design was carried out in the Psychiatric Outpatient Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital in April 2018 to December 2018 (N = 40, ages 18 to 59 years), with consecutive sampling. The research subjects were treatment-resistant schizophrenia patients who underwent TMS. Demographic and clinical data were collected after detailed explanations and subjects gave informed consent. Motor threshold measurements were then carried out by trained experts. The subjects are given a cloth head cover to measure and mark the assessment point, and stimulations are casted from the smallest intensity, gradually increased, with TMS until the motor threshold value is obtained, based on movement / contraction responses of right thumb muscle as much as 50% of the stimulation. After all data is collected, data processing is carried out.
Result: The mean result of motor threshold measurements was 60.2% ± 8.841. The median of age at the onset of psychotic symptoms is 19.5 ± 6.0, and the median of duration of illness of schizophrenia is 13.0 ± 14.5 years. The correlation test result between the age at the onset of psychotic symptoms and motor threshold was not significant, with p = 0.063. Similarly, the correlation test result between the duration of illness of schizophrenia and motor threshold was also not significant, with p = 0.068. There were no significant differences in motor thresholds mean, related to age group, gender, antipsychotics, or other drugs, such as anticholinergics, mood stabilizers, or benzodiazepines.
Discussion: There were difficulties in sampling, which not all patients who had come were willing to participate in the study, because of their doubts and safety concerns, also worry about have to spend a lot of time, even though it has been explained in detail. There were no side effects that were reported. Monitoring and assessment in this study was carried out by trained experts. The power of the study is relatively limited. There are many research subjects, especially those who are older and have no other family, dont remember for certain about their psychotic symptoms onset."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>