Kerajaan Indragiri di Pulau Sumatra dikenal sebagai kerajaan yang berperan penting dalam sejarah kerajaan di Nusantara. Di bagian timur, Kerajaan Indragiri berbatas langsung dengan Selat Malaka, sebuah kawasan yang dikenal sebagai pusat perdagangan sejak abad ke-14. Selain itu, Sungai Indragiri dapat dilayari dari pesisir timur hingga pedalaman Sumatra bagian tengah. Faktor geografis yang strategis membuat kerajaan tersebut berhubungan dengan kerajaan-kerajaan lain. Mereka juga membina hubungan dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal tersebut terekam dalam sejumlah naskah yang saat ini disimpan di ANRI sebagai mana yang dicatat dalam Katalog 86 ANRI berjudul “Daftar Arsip Kontrak antara Pribumi di Kalimantan, Bali, Surakarta dan Sumatera”. Berdasarkan topiknya, ada enam naskah yang berisi tentang kontrak yang dibuat oleh Kerajaan Indragiri dengan Pemerintah Kolonial, yaitu Katalog 86 ANRI sub-bab Sumatra, bernomor 166, 167, 168, 170, 173 dan 174. Keenam naskah berasal dari abad ke-19 dan ditulis dalam aksara jawi berbahasa Melayu. Keenam teks dialihaksarakan dengan cara kerja filologi. Hasil alih aksara digunakan untuk menganalisis isi kontrak tersebut. Tulisan ini membahas teks enam kontrak dari segi hukum antarbangsa yang dikemukakan Brierly (1996). Menurut Brierly, hukum antarbangsa adalah kaidah dan asas tindakan yang mengikat bagi negara beradab dalam hubungan mereka antara satu negara dengan lainnya. Dalam kasus Kerajaan Indragiri dengan Pemerintah Hindia Belanda, hubungan tersebut diikat dalam bentuk kontrak. Berdasarkan analisis pada pasal-pasal yang terdapat dalam keenam kontrak, terlihat bahwa Kerajaan Indragiri telah berstatus sebagai negara protektorat/vasal dari Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1838 sehingga yurisdiksi negara pemberi perlindungan lebih dominan dibanding negara yang dilindungi.
Located in the Island of Sumatra, the Kingdom of Indragiri was famous of its role on the history of the kingdom in Indonesia. The Straits of Malacca, known as a commercial center since the 14th century, bordered the Kingdom of Indragiri in the east. The Indragiri River can be navigated from the east coast to the inner part of Central Sumatra. Its strategic location strengthens the Kingdom of Indragiri’s association with other kingdoms. Furthermore, the Kingdom also maintains its relationship with the Dutch colonial government, which is evidenced from the manuscripts stored in ANRI and recorded in Catalog 86 ANRI entitled "List of Archives of Contracts between Indonesian Society in Kalimantan, Bali, Surakarta and Sumatera". Based on the topic, there are six manuscripts encompassing contracts made by the Kingdom of Indragiri with the Colonial Government, namely manuscripts 166, 167, 168, 170, 173 and 174. The six manuscripts were written in the 19th century in Malay language. For the analysis, the six manuscripts are transliterated philologically. This paper discusses the text of six contracts in terms of international law proposed by Brierly (1996).
The law among nations examined in this study refer to Brierly (1996) who maintains that the law among nations is the principle and the act of binding action for the civilized state in their relationship between one country and another. In the case of the Kingdom of Indragiri with the Government of the Netherlands East Indies, the relationship was bound in the form of a contract. The analysis of the issue reveals that the Kingdom of Indragiri has been a protectorate/vassal state of the Dutch Indies Government since the year of 1838. Consequently, the jurisdiction of the protectionist country is more dominant than the protected state.
"Kutika merupakan naskah yang memuat tradisi perhitungan hari di kalangan masyarakat Bugis. Secara umum, kutika dimaknai sebagai kumpulan catatan waktu baik dan buruk untuk melakukan suatu kegiatan. Dalam penelitian ini, kutika tidak hanya dipandang sebagai kitab perhitungan hari baik dan buruk, tetapi juga sebagai ilmu perhitungan tradisional yang memuat berbagai pengetahuan dalam tatanan kehidupan orang Bugis. Adapun korpus penelitian ini adalah naskah kuno yang berasal dari koleksi Museum Mulawarman, Kalimantan Timur dengan kode PRI/15/MMK/KKT 1530. Naskah ini merupakan naskah kutika satu-satunya yang terdapat di dalam koleksi museum tersebut. Selain itu, naskah ini merupakan naskah multiaksara yang ditulis menggunakan empat aksara dengan variasi empat bahasa, yakni bahasa Bugis, Melayu, Arab, dan Banjar. Untuk membuka akses naskah, penelitian ini menerapkan pendekatan filologis dengan metode edisi kritis, yaitu menghadirkan edisi suntingan teks yang mudah dibaca dan minim kesalahan penulisan. Dalam menganalisis isi teks, digunakan teori ekofenomenologi untuk mengungkap kontribusi teks KUSR dalam isu pelestarian lingkungan di bidang pertanian. Temuan dari penelitian ini adalah judul awal yang digunakan dalam katalog tidak sesuai dengan isi teks sehingga digunakan judul yang lebih sesuai, yaitu Kutika Ugi Sakke Rupa (KUSR). Melalui kajian isi teks, dapat dilakukan penelusuran mengenai identitas pengarang dan pengaruh tarekat Samaniyah, Khalwatiyah, dan Qadiriyah yang berkembang pada abad ke-19. Temuan selanjutnya berdasarkan sudut pandang ekofenomenologi, terungkap bahwa naskah KUSR memiliki kontribusi yang dapat diterapkan pada teknik pertanian modern, yaitu pola tanam berdasarkan bioindicator, pola rotasi tanam, dan biopestisida. Hal ini berkaitan erat dengan cara manusia Bugis berkomunikasi dengan alam sebagai upaya untuk hidup berdampingan secara selaras berdasarkan naskah KUSR.
Kutika is a manuscript that contains the tradition of days calculation among Buginese community. Generally, Kutika is defined as collection of good and bad time record to carry out activities. In this research, Kutika is not only seen as book of good and bad days calculation, but also as a traditional calculation science which contains various knowledge in Buginese life order. The corpus of this research is a manuscript which comes from Mulawarman Museum collection in East Kalimantan, with code PRI/15/MMK/KKT 1530. This manuscript is the only Kutika manuscript in that museums collection. Moreover, this manuscript is multi-character script, which is written using four characters with four varied languages, i.e. Bugis, Malay, Arabic, and Banjar. This research applies a philological approach with a critical edition method to open up the manuscript access. It means that this method provides an easy-to-read edition with minimum writing correction. In analyzing the text content, eco-phenomology is used to reveal the contribution of KUSR manuscript in agricultural environmental issues. The findings of this research show that the original title which is used in the catalogue does not related to the content of the manuscript. Thus, a more appropriate title is used and called as Kutika Ugi Sakke Rupa (KUSR). Through the contents, it is possible to trace the author identity and the influence of the development of Shamaniyah, Khalwatiyah, and Qadiriyah Sufi orders in 19th century.Futher findings based on the eco-phenomenological approach stated that contribution of KUSR manuscript can be applied to modern agricultural techniques, such as, cropping patterns based on bioindicators, crop rotation patterns, and biopesticides. This matter is closely related to the way of Buginese communicates with nature, as an effort to live harmoniously based on the KUSR manuscript.
"