Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Ramli AT
"Disertasi ini membahas keterkaitan dinamika spasial dan kekuasaan yang melibatkan elemen komunitas lokal perkotaan, pengembang, dan negara. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika politik spasial komunitas lokal sebagai reaksi terhadap ekspansi pengembang, serta dampaknya pada akses komunitas ke spasial perkotaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasilnya menunjukkan bahwa regionalisasi yang secara bertahap dilakukan melalui pemindahan komunitas lokal ke daerah belakang menunjukkan ketidakberdayaan komunitas secara politik dalam mengakses ruang. Ekspansi perkotaan yang kemudian meniscayakan terjadinya gentrifikasi peri-urban, lebih tampak sebagai proses rekonsentrasi kemiskinan dan pembentukan kembali isolasi sosial baru bagi kelompok tidak mampu.

This dissertation discusses the relationship between spatial dynamics and political power that involves elements of urban local communities, housing developers, and the state. The study aims to examine political dynamics of the spatial local communities and its impact on communities' accessibilty to urban spatial. This research employs the qualitative approach.
The study found that the gradual regionalization through displacement of local communities to back region demonstrates the political powerlessness of the local urban communities to access the space. The urban expansion allows the peri-urban gentrification in which generates that the process of re-concentration of poverty and re-establishment of new social isolation to the poor communities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1375
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Usman
"Studi ini mengkaji keberadaan Kota Ternate. Dikenal sebagai wilayah pada satu sisi memiliki kekuatan adat tradisi melalui struktur Kesultanan Ternate, dan pada sisi lain, menjadi kota modern dengan struktur birokrasi pemerintahan. Tautan dua kekuasaan ini, kadang melahirkan pertentangan dan konfliktual (dualisme), kadang juga hadir hubungan timbal balik (dualitas), saling menguntungkan. Analisis atas kota dengan dua kuasa ini, menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan eksplanasi.
Hasil studi lapangan menjelaskan, struktur kekuasaan tradisional melalui Sultan Ternate memiliki dominasi atas masyarakat adat (balakusu se kano-kano), namun juga memegang kekuasaan secara politik maupun pemerintahan melalui agen (Wakil Walikota Ternate, Arifin Djafar). Sementara pada struktur pemerintahan Kota Ternate, sejak Era Walikota Syamsir Andili mengusung tema kultural melalui visi-misi, yakni “Ternate Menuju Masyarakat Madani” dan Era Walikota Burhan Abdurrrahman, hal yang sama juga dilakukan dengan mengusung visi misi “Bahari Berkesan”. Namun, baik Syamsir Andili maupun Burhan Abdurrahman, sama-sama tidak dapat mengatur keberadaan ruang kota dengan baik. Pasar dan terminal justru menjadi ajang kepentingan ekonomi antar SKPD.
Secara sosiologis, studi ini menyimpulkan bahwa pada kekuasaan tradisional maupun modern, tarikan kepentingan struktural begitu menguat yang memengaruhi dan mendominasi kultural (struktur mendominasi kultur/strukturisasi kultur), melalui tindakan sosial aktor dengan praktik-praktik sosial yang rekursif (berulang-ulang). Sementara peran warga kota melalui prosesual masih belum mampu menegosiasikan dua kekuatan ini. Karena itu, pembangunan sosial perkotaan, harus lebih diarahkan untuk kepentingan publik, dan bukan kepentingan ekonomi politik semata, sehingga integrasi sosial Kota Ternate di masa mendatang dapat tercipta.

This study examine the existence of Ternate City that known as the region on the one hand has the power custom through the structure of the Sultanate of Ternate, and on the other hand, into a modern city with the structure of government bureaucracy. The relation of two powers, sometimes spawned opposition and conflictual (dualism), sometimes also present the mutual relations (duality), mutually beneficial. The analysis of city with the two powers, by using qualitative method and explanation approach.
The result of the field study explain, traditional power structure through the Sultanate of Ternate has dominand over indigenous peoples (balakusu se kanokano), but also hold political power and government by an agent (Deputy Mayor of Ternate, Arifin Djafar), while the governance structure of Ternate, since the era of Mayor Syamsir Andili with his cultural theme or his vision-mission, namely "Ternate Menuju Masyarakat Madani". The era of Mayor Burhan Abdurrrahman, the same things also is done by his vision and mission of "Bahari Berkesan". However, both Syamsir Andili and Burhan Abdurrahman can not set up the town well. The station and market became the economic area interest between the SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Sociologically, this study conclude that between traditional and modern power, there is a pull so strongly in structural interest that influence and dominate the cultural (structure dominated culture/strukturisasi kultur), through social action actor with the social practices recursively (perulangan). The role of the towns people a processual still not able to negotiate this two forces. Therefore, the urban social development, should be directed to the public interest, and not for the economic and political interest, so that the social integration of Ternate City in the future can be created.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1976
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosef Prihanto
"ABSTRAK
Air adalah kebutuhan dasar kehidupan. Pertumbuhan jumlah penduduk dan dampak perubahan iklim menyebabkan banyak kota menghadapi masalah ketersediaan air. Semarang adalah kota level kedua di Indonesia yang menghadapi masalah ketahanan air. Terancamnya ketahanan air Kota Semarang disebabkan oleh kondisi geologi, litologi batuan, dan geomorfologi wilayah. Sebagai kota pesisir, Semarang menghadapi dampak perubahan iklim. Berdasar kondisi tersebut maka upaya pemanfaatan metode pemanenan air hujan seharusnya dapat digunakan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan air, sehingga dapat meningkatkan ketahanan air Kota Semarang. Namun, penerapan sistem pemanenan air hujan di Kota Semarang kurang berhasil, sehingga perlu dikaji penyebabnya. Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik non-parametrik memanfaatkan data kuesioner. Penelitian ini menghasilkan tiga hal. Yang pertama tingkat penerimaan masyarakat Kota Semarang terhadap penerapan pemanenan air hujan secara umum berada pada level rendah hingga sedang, dengan wilayah penerimaan paling tinggi berada di wilayah Semarang Tengah. Hasil kedua menunjukkan bahwa semakin kearah selatan, curah hujan semakin tinggi dan jika dikaitkan dengan potensi pemanenan air hujan maka wilayah Semarang Tengah memiliki potensi pemanenan air hujan paling baik. Hasil ketiga adalah, model sosio-spasial berdasar tujuh parameter, mampu menggambarkan distribusi tingkat kemauan masyarakat untuk menerapkan pemanenan air hujan dengan akurasi model mencapai 89,69 .

ABSTRACT
Water is a basic necessity of life. Population growth and climate change effects have caused many cities to face water supply problem. Semarang categorized as a second level city in Indonesia. Water security threat in Semarang City is due to its geological condition, lithology, and geomorphology of the region. As a coastal city, Semarang also faces climate change impacts. Rainwater harvesting methods should be utilized as an alternative to support water needs fulfillment hence improving water security condition. Currently, implementation of rainwater harvesting system in Semarang City has not yet successful and lead to questions on this research. The method used in this research is non parametric statistical method using questionnaire. This research has three results first, the level of Semarang City public acceptance of rainwater harvesting application in general is at low to moderate levels, with the highest reception area in Central Semarang second, towards the southern area of the city, rainfall is higher and if it is associated with the potential of rainwater harvesting, Central Semarang region has the best rainwater harvesting potential and third, the socio spatial model based on seven parameters that able to describe the distribution of community willingness to apply rainwater harvesting has yield to 89.69 model accuracy. "
2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferro Yudistira
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang nilai kontekstual dari arsitektur ephemeral. Ephemeral diposisikan sebagai konsep yang bisa menjelaskan dinamika hubungan antara lingkung-bangun dan ruang arsitektural. Pertanyaan penelitian adalah bagaimana suatu ruang arsitektural bisa muncul dan menghilang di lingkung-bangun yang tidak sesuai. Penekanan dari pertanyaan ini terletak pada dua hal, yaitu: 1) keterkaitan antara kondisi tertentu dari lingkung-bangun dengan ruang arsitektural yang muncul-menghilang di dalamnya; 2) proses muncul-menghilangnya ruang arsitektural di suatu lingkung-bangun, serta pelbagai komponen yang terlibat di dalam proses tersebut. Meminjam konsep morfogenesis dan assemblage, penelitian ini menginvestigasi kehadiran kumpulan ruang pedagang di pelataran masjid Sunda Kelapa melalui pendekatan Straussian grounded theory. Penelitian menemukan bahwa ephemeralitas ruang arsitektural yang hadir di suatu lingkung-bangun bisa dijelaskan dengan konsep in-compatibility. In-compatibility merupakan kompatibilitas antara lingkung-bangun dan ruang arsitektural yang terjadi secara sementara di kerangka waktu tertentu. Suatu ruang arsitektural menjadi ephemeral karena kompatibilitas yang membuat ruang tersebut bisa hadir di lingkung-bangun hanya terjadi secara sementara. In-compatibility terbagi menjadi dua bagian yang berkaitan erat satu sama lain, yaitu keadaan potensial (potential circumstance) dan spatial assemblage. Keadaan potensial adalah kondisi khusus dari lingkung-bangun yang hadir melalui perpotongan antara berbagai lapisan pengkondisian. Spatial assemblage adalah proses pembentukan-pembongkaran ruang arsitektural yang dilakukan dengan berdasarkan pada keadaan potensial. Inti yang menghubungkan keadaan potensial dan spatial assemblage di dalam konsep in-compatibility adalah ketersediaan sumber daya (resources) dan batasan (constraint).

ABSTRACT
This study discusses the contextual value of ephemeral architecture. Ephemeral architecture positioned as a concept that can explain the dynamism between the built environment and architectural space. The research question is how architectural space can appear dan disappear in an incompatible built environment. The question emphasizes on: 1) first, the connectedness between the particular condition of the built environment and architectural space that appear-disappear inside it; 2) second, the appear-disappear process of architectural space in the built environment, along with various components that involved in the process. Using Straussian grounded theory approach, and morphogenesis and assemblage as a theoretical lens, this study investigates the occurrence of a cluster of trader space in Sunda Kelapa mosque courtyard. This study proposed in-compatibility as the central concept to explain the ephemerality of architectural space that occurs in a certain built environment. In-compatibility is compatibility between the built environment and architectural space that occurs in a particular time frame. Architectural space becomes ephemeral because of the compatibility that allows the space to occur in the built environment only happen temporarily. In-compatibility consists of two parts that closely connected each other, which is: potential circumstance and spatial assemblage. Potential circumstance is a particular condition of a built environment that occur through the intersection between several layers of conditioning. Spatial assemblage is an assembly-disassembly process of architectural space that performed based on the potential circumstance. The core that links the potential circumstance and spatial assemblage within the concept of in-compatibility is the availability of resources and constraint.

"
2019
D2754
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Desrinah
"Kesehatan kehamilan berkaitan dengan perilaku ibu melakukan perawatan kesehatan dirinya secara mandiri, selain antenatal care di pelayanan kesehatan. Studi ini mengembangkan konsep perawatan mandiri kesehatan selama kehamilan dengan rancangan classical grounded theory. Theoretical sampling mendapatkan 25 informan ibu hamil trimester 3, ibu dengan anak berusia kurang dari 6 bulan, suami, bidan dan dokter obgyn dan ulama di perkotaan Jakarta, Bekasi, Bogor dan Tangerang. Wawancara mendalam, observasi dan studi dokumen dianalisis secara perspektif konseptual dari pengkodean terbuka dan selektif menggunakan analisis perbandingan konstan dan memo. Penelitian ini menghasilkan konsep inti: merawat kesehatan diri selama kehamilan, dan 5 konsep aktivitas/strategi: 1) Menjaga kesehatan selama hamil; 2) Menghindari atau mengatasi masalah kesehatan selama kehamilan: 3) Memenuhi kebutuhan intimasi dengan suami: hubungan seksual; 4) Menjalani praktik budaya dan agama sehari-hari; dan 5) Mencari infomasi kesehatan. Strategi/aktivitas dipengaruhi oleh faktor internal kondisi ibu hamil: perubahan fisik dan emosi ibu hamil, keluhan dan masalah medis; faktor eksternal yaitu dukungan keluarga dan profesi kesehatan; dan faktor lingkungan makro yaitu kebijakan pelayanan kesehatan ibu hamil dan pandemi Covid 19. Konsep perawatan mandiri kesehatan selama kehamilan ini mendukung kebijakan pelayanan kesehatan ibu hamil, peran profesi kesehatan dan keluarga untuk meningkatkan kemampuan mandiri (selfcare) ibu hamil menjaga kesehatannya.

Health selfcare during pregnancy were carried out in addition to antenatal care. This study aims to develop the health selfcare concepts using a classical grounded theory design. Theoretical sampling with 25 informants, including pregnant women in the third trimester, mothers with the children aged less than 6 months, husbands, midwives, obstetricians, and religious leaders in the urban areas in Jakarta, Bekasi, Bogor and Tangerang. In-depth interviews, observations, and studies of document, were analyzed using conceptual perspective from open and selective coding with constant comparison and memo. The results are core concept: health selfcare concepts during pregnancy, and five selfcare activities/strategies are: 1) staying healthy; 2) avoiding or addressing health problems; 3) fulfilling the intimacy needs with the husbands: sexual intercourse; 4) performing daily cultural and religious practices; and 5) seeking health information. Those are influenced by the internal factors i.e. the health condition of the pregnant women, which consists of physical and emotional changes, complaints and health issues during pregnancy. External factors including family and health care providers support, and macro environmental factor including the policy of the pregnant women health care service in Indonesia and the COVID-19 pandemic. Concepts of the health selfcare during pregnancy imply the urgency of the policy for antenatal health care service, the role of the health care providers and the family to improve the health selfcare during pregnancy."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Irfansyah
"[Lingkungan dan kemiskinan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan
pembangunan berkelanjutan. Tujuan riset ini adalah untuk mendeskripsikan
karakteristik penduduk miskin di lingkungan industri perkotaan Kawasan Berikat
Nusantara, mengkaji kualitas lingkungan hidup di lingkungan industri perkotaan,
menganalisis pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi, kualitas lingkungan,
Program Keluarga Harapan, dan program Corporate Social Responsibility PT.
Kawasan Berikat Nusantara (Persero) pada pengeluaran perkapita penduduk
miskin dan menghasilkan model penanggulangan kemiskinan untuk keberlanjutan
lingkungan industri perkotaan.
Variabel utama yang berpengaruh signifikan pada pengeluaran perkapita
penduduk miskin adalah jumlah anggota keluarga, status rumah, sumber air
bersih, intensitas penerimaan PKH, jarak rumah, ketersediaan air bersih,
pengelolaan sampah, polusi suara, bantuan PKH, mata pencaharian, biaya
eksternal dan penggunaan PKH. Kualitas lingkungan hidup di lingkungan
Kawasan Berikat Nusantara Kecamatan Cilincing dihitung berdasarkan nilai
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dari tahun 2008-2012 berada dalam
klasifikasi waspada. Model yang dihasilkan mampu memprediksi penurunan
jumlah penduduk miskin dengan fokus intervensi pada biaya eksternal dan faktorfaktor
lingkungan melalui integrasi Program Keluarga Harapan dan Corporate
Social Responsibility industri dalam bentuk Bina Lingkungan;Environment and poverty have a strong interconnection in sustainable
development. This research aims to describe the characteristics of the poor people,
to assess the quality of the environment based on water pollution index, air
pollution index and forest cover in urban industrial area, to analyze the influence
of socio-economic factors, environmental quality, Keluarga Harapan Program,
and the Corporate Social Responsibility PT. Nusantara Bonded Zone (Persero) on
per capita expenditure of poor people in urban industrial area, also to produce
poverty reduction model for sustainable urban industrial area.
The main variables that have significant effect on per capita expenditure of poor
people are the number of family members, the status of the house, sources of
clean water, the intensity of Keluarga Harapan Program, distance from the house,
clean water supply, waste management, noise pollution, Keluarga Harapan
Program assistance, livelihood, external costs and the utilization of PKH. From
period of 2008-2012 the environmental quality is already on ?alert? status. The
model developed is capable of predicting the decrease of poor people number with
the intervention focuses on external costs and environmental factors through the
integration of Keluarga Harapan Program and industries? Corporate Social
Responsibility of Environmental Safeguard Program, Environment and poverty have a strong interconnection in sustainable
development. This research aims to describe the characteristics of the poor people,
to assess the quality of the environment based on water pollution index, air
pollution index and forest cover in urban industrial area, to analyze the influence
of socio-economic factors, environmental quality, Keluarga Harapan Program,
and the Corporate Social Responsibility PT. Nusantara Bonded Zone (Persero) on
per capita expenditure of poor people in urban industrial area, also to produce
poverty reduction model for sustainable urban industrial area.
The main variables that have significant effect on per capita expenditure of poor
people are the number of family members, the status of the house, sources of
clean water, the intensity of Keluarga Harapan Program, distance from the house,
clean water supply, waste management, noise pollution, Keluarga Harapan
Program assistance, livelihood, external costs and the utilization of PKH. From
period of 2008-2012 the environmental quality is already on ‘alert’ status. The
model developed is capable of predicting the decrease of poor people number with
the intervention focuses on external costs and environmental factors through the
integration of Keluarga Harapan Program and industries’ Corporate Social
Responsibility of Environmental Safeguard Program]"
2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mara Oloan
"ABSTRAK
Berkembangnya kehidupan demokrasi di Indonesia telah disusul dengan tuntutan demokratisasi dalam berbagai bidang termasuk dalam penataan ruang. Menguatnya tuntutan masyarakat agar diikutsertakan dalam perencanaan tara ruang kota merupakan salah satu indikasi perubahan tersebut. Sebelumnya, kebijakan nasional yang mengadopsi PSM dalam perencanaan sudah banyak. Fakta lapangan, penyelenggaraan PSM dalam perencanaan tata ruang masih terus dipertanyakan banyak pihak. lni berani pendekatan PSM belum terinstitusionalisasi dalam arti belum diterima, belum dinilai tinggi, dan belum dipaluhi.
Rencana tata ruang kota merupakan kebijakan publik (public poiicy). Pemasalahan kebijakan akan terjadi apabila kebutuhan-kcbutuhan (needs), nilai-nilai (valtrex), dan potensi/peluang untuk perbaikan belum tercalisasi padahal seharusnya dapat didorong melalui public action. Munculnya tunlulan masyaral-:al berperan serla dalam perncanaan lata ruang kota mengindikasikan adanya kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi, nilai-nilai terdistorsi, dan peluang perbaikan yang tidak termanfaatkan. Kesenjangan yang ada antara kebijakan pnblik dengan harapan masyarakat merupakan persoalan kebijakan (policy probiem).
Berdasarkan permasalahan dikemukakan diatas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah persoalan kebijakan (policy problem) PSM dalam perencanaan tata ruang kota di kota Jakarta? 2) Bagaimana model PSM yang diinginkan stakeholders dapat ditransformasikan dalam proses pelembagaan perencanaan tata ruang kota Jakarta? 3) Bagaimana institusionalisasi PSM tersebut di dalam perencanaan tata ruang kota Jakarta?
Penelitian ini berlolak dari asumsi, proses perencanaan tata ruang kota merupakan proses pembuatan kebijakan publik. Berdasar asumsi ini, proses perencanaan tata ruang pada dasarnya mengikuti kerangka proses pembuatan kebijakan publik (public policy making). Untuk mengkaji persoalan kebijakan mengenai PSM, dilakukan analisis secara policy content terhadap tatanan peraturan nasional serta tatanan peraturan dan kebijakan yang terkait langsung dengan PSM dalam perencanaan di DKI Jakarta. Ada beberapa teori yang digunakan sebagai alat analisis. Pertama, A ladder of citizen participation dari Arnstein. Kedua, lnstitusionalisasi yang diangkat dari teori institution building dari The Inter-University Research Programme for Instituion Building. Ketiga teori tentang instrumen kebijakan dari Howlett & Ramesh.
Eksplorasi terhadap model PSM yang diinginkan stakeholders, didekati dari teori tentang lingkup PSM oleh Ronald McGill dan Margareth, teori tentang obyek PSM dari Fagence, teori tentang isu-isu panting dalam penyelenggaraan PSM dari Margareth. Untuk mengetahui pola interaksi antar kelompok stakeholders, didekati dengan paradigma jaringan kolaboratif PSM yang dikemukakan Innes & Booher, serta teori social capital khususnya pola interaksi antar institusi yang dikemukakan Ismail Serageldin & Christian Grootaert. Sedangkan untuk mengetahui institusionalisasi PSM dalam perencanaan tata ruang Kota Jakarta, didekati dari teori institution building dikemukakan diatas.
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif-eksploratif. Disebut deskriptif karena merupakan penelitian klarifikasi PSM sebagai fenomena sosial. Sebagai penelitian eksploratif penelitian ini berupaya mencari jawaban-jawaban mengenai How dan Why perihal PSM. Data kuantitatif diperoleh dari pengolahan terhadap jawaban responden atas kuesioner, dan data kualitatif diperoleh dari wavtancara mendalam dengan para informan, hasii telaahan terhadap tatanan peraluran, kebijakan, dan dokumen terkait lainnya, Serta observasi lapangan. Responden dipilih dari stakeholders kelompok government, pi-ivote sector, dan civil society secara purposive yang diwakili institusi, asosiasi, organisasi, dan kelompok yang berpartisipasi dalam penataan ruang.
Temuan penelitian menyingkapkan bahwa tatanan peraturan nasional membatasi PSM hanya pada tingkatan informing, consultation, dan plocotion (tangga ke 3, 4, dan 5), dan sedikit pada taraf kemitraan ("partnership?). PSM yang lelah diterapkan oleh Pemda DKI Jakarta mencapai tingkatan kemitraan (partnership) melalui perwakilan institusi dari Perguruan Tinggi, Asosiasi Profesi, Asosiasi Pelaku Bisnis, institusi-institusi pemerintah pusat dan daerah, dan LSM sehingga PSM bersifat institusional. Sedangkan PSM yang diharapkan stakeholders mencapai tingkatan delegated power dan citizen control (tangga ke 7 dan 8 Arstein). Namun khususnya kelompok civil society, memilih tetap dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan private sector secara terbuka.
Sebagian besar stakeholders menyatakan tingkat pelibatan PSM selama ini tidak cukup, padahal dinilai sangat panting. Nilai-nilai keadilan, dan pernerataan sosial-ekonomi dinilai belum terealisasi. Stakeholder menyatakan bahwa tujuan utama PSM adalah untuk memastikan aspek keadilan dan pemerataan sosial ekonomi diakomodasikan dalam rencana tata ruang kota. Penelitian ini menyimpulkan tidal( efektifnya pelaksanaan PSM dalam perencanaan, bersumber dari tidak adanya pcngaturan PSM pada sebagian besar unsur/sub-unsur institusionalisasi, baik pada tatanan peraturan nasional maupun daerah. Kebijakan strategis (UU Penataan Ruang) yang telah mengadopsi pendekatan PSM, temyata juga tidak ditindaklanjuti dengan penetapan instrumen-instrumen kebijakan yang memadai agar kebijakan strategis tersebut efektif sehingga untuk menyelenggarakan PSM pedomannya tidak memadai.
Model PSM dalam perencanaan tata ruang kota yang diinginkan stakeholders, memiliki pola benjenjang/bertahap. Bukan seperti PSM paradigma tradisional lagi, tetapi tidak pula seperti paradigma jaringan kolaboratif yang dikemukakan Innes and Booher. Untuk tahap awal, stakeholders menghendald forum-forum informal, dimana kelompok civil society harus dipisah dengan kelompok bisnis (private sector). Selain itu, stakeholders menginginkan adanya Komisi Perencanaan, bertugas mengembangkan pendekatan, menyusun strategi, mengagendakan, dan membahas hasil akhir dari proses PSM dalam perencanaan tata ruang kota.
Penelitian ini menunjukkan bahwa institusionalisasi PSM masih rnenghadapi masalah besar. Sebanyak 21 dari 27 unsur/sub-unsur institusionalisasi kondisinya masih "tidak memadai? sebagai persyaratan berlangsungnya proses institusionalisasi PSM dalam perencanaan tata ruang kota. Dinas Tata Kota DK1 Jakarta sebagai institusi perencanaan, tidak disiapkan untuk menyelenggarakan PSM dengan partisipasi yang lebih luas dari civil society, private sector dan government sebagai implementasi pendekatan PSM yang sudah diadopsi UU Pcnataan Ruang . Hal ini terkait dengan tidak memadainya instrumen kebijakan dari UU tersebut.

ABSTRACT
The evolvement of democratic life in Indonesia has been followed by the need of democratization in all sectors including in spatial planning. lnvigorating contention from community demanding to be involved in the urban planning process is one ofthe indications of such evolvement. Prior to that, the national policy adopting Public Participation (hereinafter ?PP?) in planning had reached numerous numbers. ln contrary, the empiric Facts show that the implementation of PP in urban planning process remains questioned frequently by many parties. This implies that the approach of PP has not been institutionalized, in a way that it has not been well-accepted, not highly praised, and has been neglected.
Urban planning is a public policy. Policy problems will occur if needs, values, and opportunities for improvement have not been executed, whereas they could be encouraged through public action. The existence of public contention to be involved in urban planning indicates that there arc unfullilled needs, distorted values, and unutilized opportunities for invoking improvement. Gap occurred between settled public policies with public?s expectations constitutes as a policy problem. According to problems elaborated above, this research questions: l) ?What are policy problems of implementating PP in urban planning process in Jakarta?? 2) ?How could the PP model desired by stakeholders be transformed in institutionalization process of urban planning of .lakarta'?? 3) ?How has the institutionalization of PP in the urban planning of Jakarta been institutionalized??
This research is based on the assumption that the process of urban planning is a process of public policy making. Evolving from such assumption, the process of urban planning basically follows the frame of public policy making process. In reviewing policy problem of PP in urban planning, analysis through policy content is conducted towards the set of national regulations and provincial regulations directly attached with PP in the planning of Jakarta. There are several theories utilized as tools of analysis in this research. The first theory is ?A ladder of Citizen Participation" from Amstein. The second theory is the institutionalization which arises from the theory of institution building from ?The Inter-University Research Programme for Institution Building?. The third theory is concerning the policy instrument by Howlett & Ramesh.
Exploration of the PP model intended by the stakeholders is observed by the approach using several theories; the theory on the coverage of PP by Ronald McGill and by Margareth, the theory on the object of PP by Fagence, and also the theory conceming major issues in the implementation of PP also by Margareth. In identifying the interaction pattern among the stakeholders, a theory on the paradigm of colaborative network of PP by Innes & Booher, and also a theory on social capitol specifically on the interaction pattem among institutions by Ismail Serageldin & Christian Grootaert, are applied. In the other hand, in identifying the institutionalization of PP in the Jakarta urban planning, the aforementioned institution building theory is applied.
This research is built as descriptive-explorative research. It is descriptive because it is a research on the clarification of PP as a social phenomenon. It is an explorative research because it aims to find solutions on ?how? and ?why? regarding PP. Quantitative data is obtained through the analysis of respondents? answers to questionnaires, and qualitative data is obtained through profound interviews with informants, critical review on the set of regulations, law, related documents and field observation. Respondents are chosen from groups of stakeholders, government, private sector, and civil society in purposive order represented by institutions, associations, organizations, and groups of participants on spatial planning.
Research finding reveals that the set of national regulation enacts limitation to PP only to the degree of informing, consultation, and placation (the 3rd, 4th, and 5th ladder), and a little to the degree of partnership. PP implemented by the provincial government of Jakarta has reached the degree of partnership through institution representatives from universities, professional associations, business associations, central and regional govemmental institutions, and non-governmental organizations that makes PP institutional. However, PP aspired by stakeholders reaches the degree of delegated power and citizen control (the 7th and 8th Amstein?s ladders). Though, groups of civil society in particular, prefer to participate together with government and private sector transparently.
Most of stakeholders narrated that the involvement degree of PP up to the present is not suflicient, whereas its value considered being very substantial. Values of justice and redistribution of social-economics are argued to be not realized yet. Stakeholders affirm that the main objective of PP is to ensure that the aspects of justice and social-economics equality are being accommodated in urban planning process. This research concludes that the ineffectivencss of the implementation of PP in planning is rooted from the absence of the regulation of PP in most of institutionalization elements in both national and regional/provincial set of regulations and policies. The strategic policy (The Spatial Planning Act No.24/1992) adopting PP implementation is infact not equipped with sufficient policy instruments in order to make the strategic policy becomes effective. Thus, the directive of PP implementation is also insufficient.
Model of PP in urban planning process intended by the stakeholders has a grading pattern. It is not similar to the traditional paradigm of PP or either to the collaborative network paradigm stated by limes & Booher. In the first grade of the model, stakeholders yearn for informal forums, in which civil society groups must be separated from private sector groups. Moreover, stakeholders request for a Commission of Planning. This commission has the obligation to develop model of approach, set strategies, arrange agenda and discuss the linal results of PP process in urban planning.
This research illustrates that the institutionalization of PP still faces problems. 21 out of 2? elements/sub-elements of institutionalization still struggle with the condition of ?insufficiency? as a requirement to implement PP institutionalization process in the urban planning. City Planning Agency of Jakarta?s Government, as a planning institution, is not prepared to perform PP implementation with a wider range of participation from the civil society, private sector, and the govemment, as an implementation of PP approach that had been adopted by The Spatial Plaruiing Act No.24/1992. This is in accordance to the fact of the insufficient policy instrument in the derivative of such act."
Depok: 2007
D818
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Anshori Wahdy
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rendahnya partisipasi yang terjadi dalam pemberdayaan masyarakat perkotaan dan upaya-upaya untuk peningkatannya. Penelitian dilakukan pada kasus pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan PPMK di Kelurahan Kampung Rawa, Kali Baru, Tanjung Duren Selatan dan Melawai di DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara yang dalam penyelenggaraan pemerintahannya memiliki kekhususan, dengan menggunakan metode kualitatif. Pemilihan lokasinya didasarkan pada Indeks Potensi Kerawanan Sosial IPKS untuk mendapatkan gambaran dari beberapa struktur sosial masyarakat perkotaan.
Hasil penelitian menunjukkan rendahnya partisipasi disebabkan oleh pengembangan partisipasi masih bersifat normatif, ketidaksesuaian penerima manfaat pada daerah tertentu, minimnya informasi, tidak kuatnya organisasi kemasyarakatan Lembaga Musyawarah Kelurahan, tidak berjalannya bantuan pemimpin lokal Ketua Rukun Warga dan Ketua Rukun Tetangga, dan tidak adanya pelatihan manajemen program. Hal tersebut diperburuk dengan rendahnya kepedulian masyarakat pada lingkungannya. Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan selain tentunya peran pemerintah dan penggunaan e-governance, diperlukan juga peran dari Ketua Rukun Warga dan Ketua Rukun Tetangga sebagai penggerak dan juga perwakilan masyarakat.

This research aims to analyze the low participation in community empowerment of urban areas and efforts to improve it. It was implemented using a qualitative method in the Community Empowerment Program for Villages PPMK in the villages of Kampung Rawa, Kali Baru, Tanjung Duren Selatan and Melawai in DKI Jakarta, Indonesia which holds special rights in running its government. Those administrative villages were selected based on Social Insecurity Potential Index IPKS to give an overview of the urban social structure.
The results suggest a low level of participation because the development of the participation is still normative, incompliance of the target groups on certain areas, lack of information, weak community organization Village Consultative Council LMK, no assistance of the local leaders Chief of Neighborhood Association RT and Chief of Community Association RW, and lack of management training programs. It is exacerbated by the low awareness of the people on environment. Therefore, efforts that can be undertaken besides the roles of the Government and the implementation of e governance are the roles of Chiefs of the RTs and RWs as the driving force and representatives of the community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
D2331
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habib Subagio
"Lahan basah adalah bagian penting yang terintegrasi dengan ekosistem global yang memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan seperti mencegah atau mengurangi dampak banjir, menampung air permukaan dan serta menyediakan habitat unik baik flora maupun fauna. Lahan basah perkotaan memberikan jasa ekosistem langsung bagi masyarakat sekaligus mendorong kelangsungan funsi ekologi kota. Upaya pengendalian ruang wilayah kota memerlukan instrumen yang mampu mengintegrasikan variabel lingkungan kompleks yang terdiri dari aspek biofisik, aspek sosial-kultur, dan aspek ekonomi. Perkembangan pemodelan dinamika spasial saat ini masih terkonsentrasi pada penggunaan driving factor biofisik, sementara kompeksitas dinamika alih fungsi lahan perkotaan tentu dipengaruhi oleh faktor pendorong selain biofisik.
Riset ini bertujuan; 1) menganalisis peran dari setiap faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan basah perkotaan berdasarkan hasil pemanfaatan penggalian data (data mining), 2) mengkontruksikan pemanfaatan penggalian data spasial untuk pemodelan dinamika spasial, dan 3) membangun model dinamika spasial untuk memproyeksikan komposisi spasial penggunaan lahan sebagai masukan dalam evaluasi keberlanjutan lahan basah perkotaan.
Metode yang dipakai adalah pemodelan dinamika spasial dengan mengintegrasikan model markov, model cellular automata, dan model driving factor yang dihasilkan dari analisis spasial multitemporal dan pemanfaatan penggalian data spasial. Riset menggunakan 17 data driving factor yang dikategorikan dalam 3 varibel yaitu biofisik, sosio kultur dan ekonomi. Riset mengadopsi 8 driving factor biofisik yang digunakan dalam riset-riset sebelumnya, semnetara itu hasil kontruksi penggalian data spasial menambahkan 9 driving factor yang mewakili variabel sosio-kultur dan variabel ekonomi. Peran dari variabel sosio-kultur dan variabel ekonomi secara mayoritas lebih besar dalam mempengaruhi dinamika spasial alih fungsi lahan basah perkotaan.
Hasil riset menunjukkan bahwa keberlangsungan lahan basah perkotaan wilayah riset masih dapat terus terjaga pada seluruh skenario model dengan tren luas lahan basah yang terus menurun. Skenario optimal merupakan pilihan terbaik dengan komposisi spasial yang rasional dan menunjukkan indikator penilaian lingkungan yang memiliki resiko paling rendah untuk indikator nilai koefisien limpasan rerata sebesar 0,458 lebih rendah dibandingkan skenario BAU dengan nilai koefisien limpasan rerata sebesar 0,462. Skenario optimal ini memiliki konsekuensi terjadinya fragementasi lahan basah yang lebih tinggi pada lahan basah yang terdapat pada alokasi lahan untuk permukiman dan lahan jasa perdagangan. Number of Patch (NP) pada skenario optimal pada tahun 2016 sebesar 105 meningkat menjadi 198 pada tahun 2034, lebih tinggi dibandingkan dengan skenario BAU yang menunjukkan NP sebesar 33 pada tahun 2016 dan NP sebesar 78 pada tahun 2034.

Wetlands are an important part that is integrated with global ecosystems that have important functions in maintaining environmental balance such as preventing or reducing the effects of flooding, storing surface water and as well as providing unique habitats for both flora and fauna. Urban wetlands provide ecosystem services directly to the community while promoting the sustainability of the city's ecological functions. Efforts to control spatial planning require instruments capable of integrating complex environmental variables consisting of biophysical aspects, socio-cultural aspects, and economic aspects. The development of spatial dynamics modeling is currently still concentrated on the use of biophysical driving factors, while the complexity of urban land use change is certainly influenced by driving factors other than biophysical aspects.
This research aims; 1) analyzing the role of each factor that influences the conversion of urban wetlands based on the results of the utilization of data mining, 2) constructing the utilization of spatial data mining for spatial dynamics modeling, and 3) building spatial dynamics models to project the spatial composition of land use as input in evaluating the sustainability of urban wetlands.
The method used is spatial dynamics modeling by integrating the Markov model, cellular automata model, and driving factor models resulting from multitemporal spatial analysis and the use of spatial data mining. The research uses 17 driving factor data which are categorized into 3 variables namely biophysical, socio-cultural and economic. The research adopted 8 biophysical driving factors used in previous research, while the results of the construction of spatial data mining added 9 driving factors representing sociocultural and economic variables. The role of socio-cultural variables and economic variables is predominantly higher in influencing spatial dynamics over the function of urban wetlands.
The results of the research show that the sustainability of urban wetlands in the research area can still be maintained in all model scenarios with a trend of decreasing area of wetlands. The optimal scenario is the best choice with a rational spatial composition and shows the environmental assessment indicators that have the lowest risk for the average runoff coefficient value of 0.458 lower than the BAU scenario with an average runoff coefficient of 0.462. This optimal scenario has the consequence of higher fragmentation of wetlands in the wetland area contained in the allocation of land for settlements and commercial areas. The number of patches (NP) in the optimal scenario in 2016 was 105 increased to 198 in 2034, higher than the BAU scenario which showed a NP of 33 in 2016 and a NP of 78 in 2034.
"
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2019
D2673
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfa Adib Ash Shiddiqi
"Pemerintah telah menyediakan transportasi umum, seperti KRL, bus rapid transit (BRT), MRT, dan LRT namun ternyata proporsi pengguna angkutan umum menurun (JUTPI, 2012,2018). Masalah dirumuskan adanya ketidakseimbangan antarkomponen dalam sistem transportasi. Penelitian bertujuan memodelkan sistem transportasi yang memetakan komponen-komponen pendukung pembangunan berkelanjutan, dan mengevaluasi kinerja komponen supply dan demand. Metode untuk mengkaji komponen-komponen dilakukan melalui desk study dan expert opinion. Terkait komponen supply digunakan metode customer satisfaction index, dan komponen demand digunakan survey stated preference willingness to shift yang diolah dengan perhitungan binomial logit. Penelitian ini memunculkan 22 komponen, diantaranya adalah keselamatan, kualitas transportasi umum, preferensi moda, aksesibilitas, biaya transportasi, dan polusi udara. Meski responden puas terhadap mass transit, namun kapasitas dan dukungan feeder perlu ditingkatkan. Kebijakan fiskal terkait biaya BBM, congestion charging dan kenaikan biaya parkir dapat mendorong perpindahan penggunaan moda. Kesimpulan penelitian adalah penyeimbangan komponen supply dan demand dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kinerja angkutan umum dan memberikan disinsentif fiskal untuk pengguna kendaraan pribadi.

The government has provided public transportation, such as KRL, bus rapid transit (BRT), MRT, and LRT, but in fact the proportion of public transport users has decreased (JUTPI, 2012, 2018). The problem is formulated as an imbalance between components in the transportation system. The aim of the research is to model the transportation system which maps the components supporting sustainable development, and analyzes the performance of the supply and demand components. The method for assessing the components is carried out through a desk study and expert opinion. Regarding the supply component, the customer satisfaction index method was used, and the demand component used a stated preference willingness to shift survey which was processed using binomial logit calculations. This research raises 22 components, including safety, quality of public transportation, mode preference, accessibility, transportation costs, and air pollution. Respondents are satisfied with the mass transit service, but are not satisfied with the feeder capacity and support. Fiscal policies such as increasing fuel costs, congestion charging and increasing parking fees can encourage a shift in mode use. The conclusion of the study is that balancing the supply and demand components can be done by increasing the performance of public transport and providing fiscal disincentives for private vehicle users."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>