Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tubagus Arie Rukmantara
Abstrak :
Setelah kemerdekaan dicapai oleh Indonesia, selain konsolidasi politik dalam negeri, reorientasi kebijakan luar negeri juga menjadi salah satu fokus utama. Hubungan awal Indonesia-Kamboja sudah terjadi sejak masa pra-Angkor saat Raja Jayawannan II tercatat pemah datang ke Jawa meskipun statusnya ketika datang ke Jawa masih menjadi debat diantara pars arkeolog dan sejarawan. Hubungan diplomatik dengan Kamboja jugs diresmikan pads saat pemerintahan Sukarno. Kebijakan Sukarno, baik yang berupa penjalinan hubungan dengan Kamboja maupun menjadi negara yang dominan di Asia Tenggara dilanjutkan oleh penerusnya, Presiden Suharto. Bukti dari berlanjutnya kebijakan Sukarno di era pemerintahan Presiden Suharto untuk tetap mendekatkan diri dengan Kamboja, ditunjukkan oleh Presiden Suharto dengan menjadikan Kamboja sebagai negara Asia Tenggara yang pertama dikunjunginya setelah dia menjabat sebagai Presiden. Maka dan itu, Indonesia menjadi sangat berkepentingan ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Pangeran Sihanouk ke Jenderal Lon Nol lewat sebuah kudeta yang didominasi oleh militer di tahun 1970. Beberapa sarjana mempercayai bawwa kudeta ini diinspirasikan oleh peristiwa G 30 S di Indonesia yang dianggap kemenangan militer terhadap komunis. Indonesia tetap menjalin hubungan diplomatiknya dengan langsung mengakui pemerintahan Lon Nol dan tidak mengakui pemerintahan pengasingan Pangeran Sihanouk dengan alasan bahwa Indonesia hanya akan mengakui pemerintahan yang didirikan di ibukota negara yang bersangkutan dan tidak akan pernah mengakui pemerintahan pengasingan. Namun pengakuan terhadap pemerintahan Lon Nol dianggap tidak cukup untuk menjamin stabilitas dan perdamaian di Kamboja. Berdasarkan pemikiran tersebut, pemerintah Indonesia lewat Menlu Adam Malik mengadakan konferensi intemasional yang membahas penyelesaian masalah Kamboja di tahun 1970 yang dikenal dengan Konferensi Jakarta Saat terjadi lagi pergantian pemerintahan dari Lon Nol ke rezim Khmer Merah yang dipimpin oleh Polpot, Indonesia tetap melanjutkan hubungan diplomatiknya dengan pemerintahan di Pnom Penh. Menurut beberapa saijana kudeta yang dilakukan Khmer Merah juga diinspirasikan dari peristiwa G 30 S yang ditafsirkan oleh Pol Pot sebagai duduknya dominasi militer sebagai penguasa di Indonesia. Sejak awal, keinginan pemerintah Indonesia ialah terbentuknya Kamboja yang non-blok, netral, dan independen tanpa intervensi kekuatan luar manapun. Pandangan tersebutlah yang dijalankan oleh pengganti Adam Malik, Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Menlu Mochtar memberikan respon yang cepat lewat jalur ASEAN saat terjadinya perebutan kekuasaan dan Khmer Merah ke kelompok PRK (People's Republic of Kampuchea). Perebutan kekuasaan yang dibantu oleh Vietnam tersebut dipandang oleh ASEAN sebagai invasi Vietnam terhadap Kamboja. Negara-negara anggota ASEAN juga terpecah dalam pandangan berbeda tentang siapa pihak yang dianggap paling berbahaya dalam kemelut di Kamboja tersebut. Namun perbedaan pandangan tersebut tidak sampai memecah ASEAN secara organisasi. ASEAN bahkan tetap berjuang bersama di sidang-sidang PBB untuk membahas penyelesaian masalah Kamboja secepatnya dan meminta perhatian internasional terhadap masalah tersebut. Berkat perjuangan diplomatik terus-menerus dan pencarian dukungan kepada negara-negara anggota PBB lainnya, ASEAN berhasil mendorong dilahirkannya resolusi tentang pelaksanaan International Conference on Kampuchea yang dilaksanakan di New York pada tahun 1981. Usaha-usaha lewat ICK ternyata kurang membawa dampak pada sikap Vietnam, oleh karena itu ASEAN menempuh strategi diplomatik yang lain dengan mendukung pembentukan koalisi antara kelompok-kelompok anti PRK-Vietnam yang terdiri dari Funcinpec, KPNLF, dan Khmer Merah. Pembentukan Coalition Government of Democratic Kampuchea tersebut bahkan mengambil tempat di negara-negara ASEAN. Dukungan ASEAN berkembang menjadi dukungan internasional saat ASEAN berhasil memperjuangkan sebuah resolusi yang mengakui CGDK sebagai perwakilan dari Kamboja di PBB. Berdasarkan kekhawatiran bahwa Kamboja tetap akan dikuasai Vietnam, diplomat-diplomat ASEAN merumuskan kembali berbagai strategi diplomatik dalam bentuk beberapa proposal perdamaian. Malaysia menggjukan proposal Proximity Talks yang akan mempertemukan negara-negara Indocina dengan negara-negara ASEAN. Namun proposal ini ditolak karena ketidaksetujuan anggota ASEAN yang dekat dengan Cina, Thailand dan Singapura. Pada saat yang berdamaan, Indonesia menjalankan kebijakan dual track diplomacy yang berarti mendekatkan diri ke Vietnam dan sekaligus memperjuangkan proposal-proposal yang disetujui ASEAN. Di pertengahan dekade 1980-an, Menlu Mochtar melontarkan ide diselenggarakannya sebuah cocktail party untuk memudahkan semua pihak yang bertikai untuk membicarakan masa depan Kamboja secara informal tanpa label politik apapun. Sebagai kelanjutan dari perwujudan ide tersebut, Menlu Mochtar ditunjuk oleh ASEAN sebagai interlocutor dalam mengadakan negosiasi dengan Vietnam . Berbagai pertemuan dan pembicaraan dilakukan Menlu Mochtar dalam menjalankan fungsinya tersebut. Dalam kunjungannya ke Vietnam, Menlu Mochtar dan Menlu Nguyen CO Thach akhimya melahirkan kesepakatan yang disebut Ho Chi Minh City Understanding yang menjadi landasan dasar dari pelaksanaan cocktail party yang kemudian disebut JIM (Jakarta Informal Meeting). Bagi kepentingan nasional, keberhasilan peran Indonesia ini merupakan implementasi dari kebijakan bebas-aktif yang juga menegaskan bahwa sikap non-interference (tidak campur tangan) bukan berarti non-involvement (tidak turut serta). Keberhasilan Indonesia ini membawa Indonesia sebagai kekuatan yang dominan di Asia Tenggara sesuai dengan keinginan baik Sukarno maupun Suharto. Dominasi Indonesia di Asia Tenggara kemudian didukung dengan terciptanya stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara yang memperlancar proses pembangunan di tiap-tiap negara Asia Tenggara dan jauh dari campur tangan kekuatan asing di luar kawasan. Bagi ASEAN hal tersebut merupakan keberhasilan penerapan konsep ZOPFAN sekaligus memperlihatkan bahwa organisasi ini lebih mengutamakan kerukunan diatas perbedaan pendapat yang kemungkinan dapat memecah para anggotanya. Indonesia sebagai salah satu pendiri dan penggagas ASEAN merasakan dampak yang sangat positif dari keberhasilan diplomasi tersebut. Indonesia kembali berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu negara terpandang di dunia intemasional bukan dengan politik mercusuarnya dan keberpihakan terhadap blok tertentu, namun dengan upaya menyelesaikan masalah di kawasan oleh negara-negara di kawasan itu sendiri. Keberhasilan terbesar Indonesia ialah mengangkat masalah Kamboja menjadi agenda internasional yang harus dipecahkan oleh seluruh masyarakat dunia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12596
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrinda
Abstrak :
Etnis Cina adalah salah satu dari beragam etnis yang ada di Singapura pada mass kolonialisme Inggris. Kedatangan imigran-imigran Cina ke Singapura adalah untuk menetap sementara mencari kemakmuran, sehingga aspek-aspek sosial seperti pendidikan tidak diperhatikan. Pada perkembangan kemudian, dengan semakin stabilnya komunitas imigran Cina di Singapura, beberapa tokoh komunitas Cina di Singapura mulai mengangkat masalah pendidikan. Di antara tokoh-tokoh tersebut terdapat nama Tan Kah Kee, seorang pengusaha sukses di Singapura yang berasal dari Fujian. Keterlibatan Tan Kah Kee pada pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor yang terdapat di Singapura dan di Cina. Selain faktor-faktor intern dan ekstern tersebut, motivasi Tan Kah Kee sendiri juga mempengaruhi keterlibatannya dalam masalah pendidikan etnis Cina di Singapura. Motivasi yang melatarbelakangi tindakan Tan Kah Kee tersebut perlu diperhatikan karena menyebabkan Tan Kah Kee, yang sebelumnya adalah pengusaha, menjadi seorang yang sangat memperhatikan masalah pendidikan sehingga seakan-akan mengabaikan bisnisnya. Pendidikan berbahasa Cina di Singapura sendiri sebelumnya merupakan pendidikan yang kurikulumnya masih berdasarkan kurikulum tradisional Dinasti Qing. Lama kelamaan kurikulum tersebut mengalami modernisasi dan pelajaran-pelajaran yang masih berdasarkan kurikulum tradisional dihilangkan sama sekali. Selain itu, kurikulum sekolah berbahasa Cina di Singapura juga mendapat penyesuaian dengan kondisi domisili di Singapura.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12100
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lieke Kusumaida
Abstrak :
Mikhail Nu'aimah adalah salah satu dari penyair Mahjar yang memelopori pembaharuan dalam puisi Arab Modern. la termasuk ke dalam penyair yang berhasil membuat inovasi dalam puisi Arab Klasik dengan efek musikal yang mengagumkan. Karya-karyanya penuh dengan corak ekspresionisme dan simbolisme. Di antara karyanya adalah tiga puisi berikut: at-Tuma'ninah 'Ketegaran Hati_, Akhi 'Saudaraku', dan al An 'Sekarang'. Analisis tiga puisi tersebut menggunakan analisis struktural-semiotik. Analisis struktural-semiotik adalah analisis puisi ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak kemudian mencari sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan puisi itu memiliki makna. Berdasarkan analisis struktural-semiotik, bentuk puisi at-Tuma'ninah 'Ketegaran Hati', Akhi 'Saudaraku', dan al An 'Sekarang', merupakan kombinasi antara pengaruh bentuk puisi Arab Klasik dan inovasi yang dilakukan oleh Michail Nu'aimah. Makna puisi at-Tuma'ninah adalah metafora sebuah upaya manusia menjaga kebersihan dan ketegaran hatinya dari berbagai godaan dan cobaan hidup. Puisi Akhi bermakna kematian lebih baik daripada hidup yang menanggung malu dan hina. Makna Puisi al-An adalah metafora perjalanan perjuangan hidup manusia untuk mencapai takdirnya yang penuh rintangan dan hambatan. Tema puisi at-Tuma'ninah adalah ketegaran hati manusia. Puisi Akhi bertemakan penderitaan bangsa Arab setelah kekalahan dalam perang. Tema puisi al An adalah kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S15871
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susilawati
Abstrak :
Pada periode pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1946 terjadi gejolak di Bandung. Peningkatan perjuangan terjadi akibat kedatangan pasukan Sekutu ke kota Bandung. Suhu politik di kota Bandung semakin memanas karena ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan Inggris. Puncak kejadian tersebut adalah peristiwa Bandung Lautan Api. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa perang kemerdekaan yang terbesar di Jawa Barat, karena semua instansi pemerintahan baik sipil maupun militer harus keluar dari kota Bandung. Peristiwa pembumihangusan kota Bandung oleh pemuda dan laskar rakyat mengakibatkan perpindahan Pemerintahan Propinsi Jawa Barat ke Tasikmalaya. Pemilihan wilayah Tasikmalaya berdasarkan tiga faktor pendukung yaitu letak geografis yang strategis, stabilitas keamanan yang mendukung, dan dinamika masyarakat Tasikmalaya yang dinamis. Pemerintahan Propinsi Jawa Barat akhirnya dijalankan dari Tasikmalaya dengan beberapa kali pergantian Gubernur. Jalannya roda pemerintahan lebih dititikberatkan pada perjuangan kemerdekaan, walau pun bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan tetap mendapat perhatian. Namun porsi untuk ketiga bidang tersebut belum dilaksanakan secara optimal. Dampak yang terjadi bagi Tasikmalaya dengan adanya Pemerintahan Propinsi Jawa Barat adalah pembentukan Negara Pasundan dan peningkatan perjuangan di wilayah Tasikmalaya. Pembentukan Negara Pasundan tak lepas dari peran Van Moak dalam rangka menciptakan negara-negara serikat yang ada di Indonesia. Sementara itu pengerahan pasukan Belanda ke Tasikmalaya semakin gencar dilakukan oleh pasukan Belanda dengan tujuan menjepit kekuatan Pemerintahan Propinsi Jawa Barat di Tasikmalaya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S12657
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wawolangi, F.X.
Abstrak :
Skripsi membahas perjuangan diplomasi Indonesia pada masa konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1963-1966. Permasalahan akan difokuskan kepada tiga hal. Pertama, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konfrontasi Indonesia dan Malaysia. Kedua, kegiatan diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia di forum Internasional pada masa konfrontasi Malaysia. Ketiga, hasil yang dicapai dari diplomasi Indonesia pada masa konfrontasi dengan Malaysia. Pecahnya konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1963 terkait dengan beberapa faktor. Pertama adalah faktor dalam negeri Indonesia, di mana dijelaskan pada bab II mengenai kebijakan luar negeri Indonesia yang diambil oleh Pemerintah Indonesia. Faktor kedua adalah, faktor pembentukan Federasi Malaysia yang melibatkan pihak Malaya dan Inggris. Kedua faktor tersebut akhirnya bertemu dengan pemicu peristiwa pemberontakan Brunei oleh Azahari pada tahun 1962. Kegiatan diplomasi Indonesia pada masa konfrontasi dengan Malaysia, bertujuan untuk mengisolasi Federasi Malaysia dari dunia internasional. Langkah awal yang diambil oleh Pemerintah Indonesia pada saat itu adalah mengikuti konferensi Manila untuk membuktikan pada dunia internasional bahwa pembentukan Federasi Malaysia tidak berdasarkan prinsip self determination. Selanjutnya Indonesia melakukan usaha diplomasinya di forum PBB, Konferensi GNB II di Kairo pada tahun 1964 dan Konferensi AA II di Aljazair pada tahun 1965. Usaha diplomasi Indonesia dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia temyata gagal meraih simpati internasional. Kegagalan ini dapat terlihat dari diakuinya Federasi Malaysia oleh dunia internasional. Puncak dari kegagalan diplomasi Indonesia terwujud dalam peristiwa keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB. Keluamya Indonesia dari PBB menyebabkan Indonesia terisolasi dari panggung internasional. Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian yang bermanfaat bagi Sejarah Diplomasi Indonesia. Peranan Pemerintah R.I. sebagai pemegang kebijakan luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penentu sukses atau tidaknya diplomasi. Penelitian ini memberi sumber informasi berbentuk sejarah yang dapat dijadikan referensi bagi Pemerintah Indonesia dalam menentukan arah kebijakan luar negeri.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S12552
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumondang, Natasia
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang upaya ASEAN dalam menciptakan kestabilan regional pada masa Perang Dingin (1967-1991) yang ditunjukkan melalui kemunculan konsep ZOPFAN dan keterlibatan organisasi ini dalam pencarian solusi untuk menyelesaikan Konflik Kamboja. Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah dan ditulis secara eksplanatif-deskriptif. Skripsi ini menyimpulkan bahwa ASEAN berhasil memberikan penyelesaian kepada Konflik Kamboja sebagai upaya untuk menciptakan kestabilan regional Asia Tenggara. ......Regional order is needed in order to achieve a regional stability. According to Michael Leifer, in general terms, regional order means the existence of a stable structure of an inter-governmental relationship informed by common assumption about the bases of inter-state conduct. In other words, regional order refers to a condition of security obtaining between regional states which is upheld by their deferring to a formal or informal set of rules. As a region that is known for its instability, South East Asia after the end of The Second World War have had a few attempts to develop the region and also to create regional stability such as Association of Southeast Asia (ASA) and Maphilindo. But none of these works well until in 1967 when a new regional organization takes a shape in what is known as Association of Southeast Asia Nation (ASEAN). This organization shows its efforts to create regional stability through the emergence of ZOPFAN concept and how to implement this concept in South East Asia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45322
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diemas Syahputra
Abstrak :
Dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Skripsi ini membahas tentang kondisi Negeri Perak yang termasuk salah satu dari negeri-negeri Melayu di Semenanjung Malaya pada abad ke-19. Penulis mengambil periode tersebut karena pada saat itu, kebijakan kolonial Inggris terhadap wilayah tersebut mengalami perubahan dari non-intervensi ke intervensi. Hal tersebut dikarenakan situasi yang tidak stabil akibat berbagai masalah internal negeri Perak. Melalui Perjanjian Pangkor yang disepakati antara Inggris dan Raja Abdullah dan para pembesar Perak, dimulailah penerapan Sistem Residensial Inggris pertama disana yang telah membawa perubahan besar terutama terhadap peran serta kedudukan Sultan dan para pembesar negeri. Fokus utama ialah perubahan pada aspek ekonomi dan politik yang membawa Sistem Pemerintahan Kesultanan Perak ke arah modernisasi bergaya Barat. Perjanjian pangkor dinilai penting karena telah menjadi model bagi perjanjian-perjanjian Inggris ke negeri-negeri Melayu lainnya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45262
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Martin
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang diplomasi Indonesia dalam sengketa Irian Barat sejak penetapan Demokrasi Terpimpin. Sistem Demokrasi Terpimpin menjadi jawaban atas kegagalan Indonesia memperjuangkan Irian Barat pada masa Demokrasi Parlementer. Diplomasi Indonesia selanjutnya diimplementasikan dengan cara konfrontatif untuk menekan Belanda. Perubahan kebijakan diplomasi Indonesia dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, sistem Demokrasi Terpimpin memungkinkan Presiden Sukarno mengonsolidasikan unsur-unsur dalam negeri untuk mendukung pemerintah dalam perjuangan Irian Barat. Kedua, situasi Perang Dingin memberikan peluang bagi Indonesia untuk menarik dukungan dari dua adikuasa, Uni Soviet dan AS. Diplomasi ini terbukti berhasil ketika Irian Barat masuk kedalam kekuasaan Republik Indonesia lewat mediasi AS dan PBB.
This thesis describes Indonesian diplomacy during the West New Guinea dispute since the confirmation of the Guided Democracy. This system became a worthwhile respond toward the failure of Indonesia in struggling for the West New Guinea handling in Parliamentary Democracy. Furthermore, Indonesian diplomacy was implemented with confrontation way to make Dutch in under pressure. The changing of those manner was affected by two factors. Firstly, Guided Democracy enabled President Sukarno consolidated whole internal substances to maintain the government in West New Guinea struggling. Secondly, the cold war gave opportunity to Indonesia in dwell some supports from superpower countries, Soviet Union and United States of America. This diplomacy was proved right when West New Guinea integrated into Indonesia sovereignty through United States and United Nations mediation.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S58275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Pradana
Abstrak :
Skripsi ini membahas peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia terhadap pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum tahun 1984 dalam sistem dan buku daras Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI). Hasil penelitian mendapati bahwa keterlibatan Dewan Dakwah dalam sistem IDI ini dapat dibagi menjadi tiga hal, yaitu peran Mohammad Natsir dalam bentuk pengaruh ideologi pendidikan integralistik, peran kader-kader Natsir di kampus-kampus umum, dan peran yayasan Dewan Dakwah sendiri.
This research discusses role of Indonesian Supreme Council for Da'wah Islamiyah (DDII) on Islamic education in common university on 1984, especially in system and text book Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI). The writer found that DDII have much role in this system that can be divided on three things, the role of Mohammad Natsir on influence of ideology education integralystik, the role of Natsir cadres in common university's, and the role of DDII itself.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S61427
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prisca Prima Widya
Abstrak :
Penelitian mengenai Proses Rekonsiliasi Kamboja pada tahun 1982?1991 ini ditujukan untuk melengkapi penulisan tentang sejarah Asia Tenggara, khususnya mengenai konflik Kamboja. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan sumber-sumber tertulis, karena penggunaan sumber lisan tidak memungkinkan untuk dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengeran Norodom Sihanouk memberikan kontribusi positif dalam penyelesaian politik konflik Kamboja. Peranan Norodom Sihanouk dimulai pada tahun 1981, ketika dia akhirnya memutuskan membentuk CGDK. Berkat pendekatan-pendekatan yang ia lakukan terhadap Son Sann dan Khieu Samphan, akhirnya CGDK dapat terbentuk pada tahun 1982. Tujuan dari pembentukan CGDK adalah untuk memaksa Vietnam keluar dari Kamboja dan mencari penyelesaian politik dalam konflik antarfaksi Kamboja. Dalam proses rekonsiliasi, Sihanouk dalam tubuh CGDK telah banyak menyumbangkan pemikiran-pemikiran untuk penyelesaian politik Kamboja. Di antaranya adalah mengenai pemerintahan koalisi empat faksi dan perlunya peranan PBB dalam proses damai Kamboja. Usul-usul yang dikemukakan Sihanouk kemudian disempurnakan oleh PBB yang akhirnya membuat UNTAC sebagai penjaga perdamaian di Kamboja. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Sihanouk mempunyai andil besar dalam proses penyelesaian konflik Kamboja.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S12757
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>