Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Theola Ramadhani
"Dalam perjanjian tukar-menukar tanah dan bangunan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan wajib membuat akta sesuai dengan perbuatan hukum yang disepakati para pihak. PPAT juga wajib membaca, menjelaskan, dan memastikan akta PPAT yang dibuat telah sesuai isinya dengan apa yang dikehendaki para pihak, sebelum akta tersebut disampaikan ke kantor pertanahan guna pendaftaran peralihan hak atas tanah. Hal tersebut bertujuan agar akta yang dibuat PPAT terhindar dari unsur penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak, yang menyebabkan cacat kehendak tersebut merugikan pihak lawan. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu mengenai peran dan upaya pencegahan PPAT terhadap penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan akta terkait tukar-menukar tanah dan bangunan berdasarkan Putusan Nomor 3145 K/Pdt/2020; dan mengenai akibat hukum atas akta jual beli yang dibuat atas dasar penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian tukar-menukar tanah dan bangunan berdasarkan Putusan Nomor 3145 K/Pdt/2020. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah diatas adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian bersifat eksplanatoris. Hasil analisis dari penelitian ini adalah PPAT yang bersangkutan membuat akta jual beli dikarenakan atas dasar penyalahgunaan keadaan salah satu pihak dalam perjanjian tukar-menukar tanah dan bangunan. PPAT seharusnya dapat melakukan upaya pencegahan terjadinya penyalahgunaan keadaan dengan membaca dan menjelaskan isi akta kepada para pihak terlebih dahulu sebelum akta tersebut ditandatangani. Akta yang seharusnya PPAT tersebut buat adalah akta tukar-menukar, mengingat akta PPAT yang dibuat harus sesuai dengan perbuatan hukum yang disepakati para pihak dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Adapun akibat hukum terhadap akta jual beli yang dibuat PPAT akibat penyalahgunaan keadaan salah satu pihak tetap mengikat dan sah sehingga dapat didaftarkan guna pendaftaran peralihan hak atas tanah. Namun jika pihak lawan mengajukan pembatalan terhadap perbuatan hukum dalam akta tersebut, maka akta jual beli tersebut dapat dibatalkan dengan dasar adanya bukti seperti putusan pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru.

In the land and building exchange agreement, the concerned Land Deed Maker (PPAT) is obliged to make a deed in accordance with the legal actions agreed by the parties. The PPAT is also obliged to read, explain, and ensure that the PPAT deed made is in accordance with what the parties want, before the deed is submitted to the land office for registration of the transfer of land rights. This is intended so that the deed made by PPAT is protected from the element of undue influences from one party, which causes the defect of the will to be detrimental to the opposing party. The problems discussed in this study are regarding the PPAT's role and prevention efforts against Undue Influence in making deed related to the exchange of land and buildings based on Decision Number 3145 K/Pdt/2020; and regarding the legal consequences of the deed of sale and purchase made on the basis of Undue Influence in the land and building exchange agreement based on Decision Number 3145 K/Pdt/2020. The research method used to answer the problem formulation above is normative juridical with an explanatory research typology. The results of the analysis of this study are the PPAT concerned made a deed of sale and purchase due to the undue influences of one of the parties in the land and building swap agreement. The PPAT should be able to make efforts to Undue Influence by reading and explaining the contents of the deed to the parties before the deed is signed. The deed that PPAT should have made is a deed of exchange, considering that the PPAT deed made must be in accordance with legal actions agreed upon by the parties and regulated in Government Regulation Number 24 of 1997. The legal consequences of the sale and purchase deed made by PPAT due to Undue Influence because one party remains binding and legal so that it can be registered for registration of the transfer of land rights. However, if the opposing party submits the cancellation of the legal action in the deed, the sale and purchase deed can be canceled on the basis of evidence such as a court decision or PPAT deed regarding a new legal act."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Rijan
"Dalam pelaksanaan perjanjian pembangunan sering terjadi perbuatan wanprestasi dari kontraktor yang mengakibatkan timbulnya sengketa. Permasalahan pertama penelitian tesis ini adalah mengenai konsekuensi hukum dari surety bond setelah adanya putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang menyatakan principal telah wanprestasi dan sahnya pemutusan perjanjian pokok. Permasalahan kedua mengenai tanggung jawab surety company atas surety bond setelah adanya Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang menyatakan principal telah melakukan tindakan wanprestasi. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsekuensi hukum dari surety bond setelah adanya putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang menyatakan principal telah wanprestasi dan sahnya pemutusan perjanjian pokok adalah tiba saatnya surety bond untuk dicairkan oleh surety company kepada obligee. Surety company tetap bertanggungjawab untuk melaksanakan pembayaran klaim kepada pihak obligee dan tidak adanya persetujuan klaim dari principal tidak dapat dijadikan alasan surety company untuk menolak mencairkan klaim, sebab sudah ada Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang menyatakan principal wanprestasi. Penulis menyarankan apabila telah terbukti adanya perbuatan wanprestasi, maka sebaiknya surety company melaksanakan pencairan klaim kepada obligee. Manakala surety company tidak bersedia mencairkan klaim, obligee dapat mengajukan gugatan wanprestasi terhadap surety company melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK) atau pengadilan sesuai dengan klausul penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam perjanjian pokok dan atau sertifikat/polis surety bond.

In the implementation of development agreements, there are often acts of default from contractors which result in disputes. The first problem of this thesis research is about the legal consequences of a surety bond after the decision of the Indonesian National Arbitration Board which states that the principal has defaulted and the validity of the termination of the principal agreement. The second issue concerns the surety company's liability for surety bonds after the Indonesian National Arbitration Board Decision which stated the principal had committed an act of default. The writing method used in this study is juridical normative using secondary data. Data analysis in this study is descriptive qualitative. The results of this study show that the legal consequences of surety bonds after the decision of the Indonesian National Arbitration Board which states that the principal has defaulted and the validity of termination of the principal agreement is that the time has come for surety bonds to be disbursed by the surety company to the obligee.  The surety company remains responsible for carrying out claim payments to the obligee and the absence of claim approval from the principal cannot be used as a reason for the surety company to refuse to disburse claims, because there has been a decision by the Indonesian National Arbitration Board stating the principal default. The author suggests that if there has been proven to be an act of default, then the surety company should disburse claims to the obligee. If the surety company is not willing to disburse the claim, the obligee may file a default lawsuit against the surety company through the Financial Services Sector Alternative Dispute Resolution Institution (LAPS-SJK) or the court by the dispute resolution clauses specified in the principal agreement and/or surety bond certificate/policy."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delia Astrid Zahara
"
Akta Keterangan Ahli Waris sebagai akta autentik yang dibuat di hadapan notaris
seharusnya mengandung pernyataan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya oleh
ahli waris dan saksi fakta. Namun dalam kenyataannya terdapat keterangan palsu di dalam Akta
Keterangan Ahli Waris yang disampaikan oleh ahli waris dan dibenarkan oleh saksi fakta
sebagaimana ditemukan di dalam Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 44/PDT/2022/PT
SBY. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini adalah tentang
urgensi peran saksi fakta di dalam Akta Keterangan Ahli Waris dan tanggung jawab saksi fakta
di dalam Akta Keterangan Ahli Waris dengan keterangan palsu. Untuk dapat menjawab
permasalahan tersebut dilakukan penelitian doktrinal menggunakan data sekunder berupa
bahan-bahan hukum yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan, yang dianalisis secara
kualitatif. Dari hasil analisis dijelaskan bahwa urgensi peran saksi fakta di dalam Akta
Keterangan Ahli Waris sangat penting karena mendukung pernyataan ahli waris selaku
penghadap terkait riwayat hidup pewaris dan kebenaran dari dokumen-dokumen yang
diperlukan dalam pembuatan Akta Keterangan Ahli Waris. Saksi fakta tidak sama dengan saksi
akta karena saksi fakta merupakan penghadap yang mengetahui kebenaran materiil dari sebuah
Akta Keterangan Ahli Waris, sedangkan saksi akta hanya mengetahui kebenaran formil dari
akta. Kehadiran saksi fakta dalam pembuatan Akta Keterangan Ahli Waris tidak wajib namun
dalam perkembangan praktik kenotariatan, keberadaan saksi fakta untuk menegaskan
kebenaran riwayat hidup pewaris menjadi penting. Keberadaan saksi fakta belum mendapatkan
kepastian hukum karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur
kedudukan, syarat, dan perannya. Adapun terkait tanggung jawab dapat dijelaskan bahwa
sebagai penghadap yang turut memberikan keterangan palsu di dalam Akta Keterangan Ahli
Waris, saksi fakta dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata atas Perbuatan Melawan
Hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan
pidana atas tindakan penyertaan pemalsuan akta autentik yang dirumuskan pada Pasal 55 ayat
(1) KUHP jo. Pasal 264 ayat (1).

Deed of Acknowledgment of Inheritance, which is an authentic deed made by a notary,
should contain statements whose truth can be confirmed by the heirs and the witness of fact.
However, in reality there is a false information in a Deed of Acknowledgment of Inheritance
made by the heirs and confirmed by the witness of fact as found in the case of Surabaya High
Court Decision No. 44/PDT/2022/PT SBY. Therefore, the problem raised in this research is
the urgency of the role of the witness of fact in the Deed of Acknowledgment of Inheritance.
Furthermore, regarding the responsibilities of the witness of fact in the Deed of
Acknowledgment of Inheritance that contains false information is also analyzed in this
research. To answer this problem, doctrinal research was carried out, using secondary data
in the form of legal materials collected through literature study, which was analyzed
qualitatively. The result of this research explained that the urgency of the role of fact witness
in the Deed of Acknowledgment of Inheritance is very important because they support the
statement that is delivered by the the heir and the veracity of the documents required in the
making of the Deed of Acknowledgment of Inheritance. Fact witnesses are often mistakenly
equated with deed witnesses in the making of authentic deeds. In fact, a witness of fact is not
the same as a deed witness because a witness of fact is a person who knows the material truth
of a Deed of Acknowledgment of Inheritance, which is different from a deed witness who is a
witness in the making of an authentic deed that only knows the formal truth of the deed. Thus
far, the presence of fact witnesses in the making of the Deed of Acknowledgement of Inheritance
is not mandatory, but in the development of notarial practice, the presence of fact witnesses to
confirm the truth of the testator’s life history has become important. Recognition of the
existence of fact witnesses in general has not received legal certainty because by far there are
no statutory regulations that explicitly regulate the standing, requirements and role of fact
witnesses. As for the responsibilities of fact witnesses, it can be explained that as persons who
provide false information in the Deed of Acknowledgment of Inheritance, fact witnesses can be
held civilly responsible, namely responsibility for Unlawful Acts as regulated in Article 1365
of the Civil Code and criminal charges for partaking in a criminal act as formulated in Article
55 paragraph (1) jo. Article 264 paragraph (1) of the Criminal Code.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Solagratia Moza Tessalonika
"Pembagian harta waris berdasarkan Hukum Waris Adat Batak Toba yang dipilih oleh pewaris sebelum meninggal dunia dan dituangkan dalam Akta Wasiat, seharusnya dipertimbangkan oleh hakim ketika memutuskan penyelesaian sengketa pembagian harta waris. Hal tersebut tentu diperlukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat Hukum Adat yang menghendaki pembagian harta waris mereka didasarkan pada norma Hukum Adat setempat. Dalam kenyataannya, sengketa pembagian harta waris diputuskan hakim dengan mempertimbangkan norma di luar Hukum Adat Batak Toba sehingga Akta Wasiat dibatalkan, sebagaimana ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 909 PK/Pdt/2019. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis akibat hukum Putusan a quo terhadap pembagian harta waris menurut Hukum Adat Batak Toba dan peran notaris dalam pembuatan Akta Wasiat yang memuat kehendak penghadap untuk membagi waris berdasarkan Hukum Adat Batak Toba. Penelitian doktrinal ini menggunakan data sekunder berupa bahan-bahan hukum yang relevan dengan tujuan penelitian. Data tersebut dikumpulkan melalui studi dokumen, dan didukung dengan wawancara terhadap beberapa informan dan narasumber. Selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa akibat hukum Putusan a quo terhadap pembagian harta waris berdasarkan Hukum Adat Batak Toba adalah Akta Wasiat dinyatakan sebagai cacat dan batal demi hukum. Selain itu dapat dinyatakan bahwa telah terjadi pergeseran dalam pembagian harta waris pada sebagian Masyarakat Adat Batak Toba yang semula memegang teguh norma hukum yang patrilineal menjadi mulai mengakomodasi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam kaitannya dengan peran notaris dalam pembuatan Akta Wasiat berdasarkan Hukum Adat Batak Toba dapat dikemukakan bahwa penyuluhan hukum tentang pembagian harta waris harus disampaikan sebelum pembuatan akta agar penghadap memahami ketentuan hukum yang dipilihnya untuk dijadikan dasar dalam pembagian waris. Kemudian, notaris dapat meminta Berita Acara dari penghadap mengenai pewarisan secara Hukum Adat dan membuat klausula dalam Akta Wasiat untuk mengklarifikasi maksud yang terkandung dalam akta, terutama dalam konteks pembagian harta waris berdasarkan kehendak terakhir pewaris.

The distribution of inheritance based on the Toba Batak Customary Inheritance Law, which was chosen by the testator before he or she died and stated in the Deed of Will, should be considered by the judge when deciding on the resolution of disputes over the distribution of inheritance. This is certainly necessary to fulfill the sense of justice of the Customary Law community who wants the distribution of their inheritance to be based on local Customary Law norms. In reality, disputes over the division of inheritance were decided by judges taking into account norms outside the Toba Batak Customary Law so that the Deed of Will was cancelled, as found in Supreme Court Decision Number 909 PK/Pdt/2019. The aim of this research is to analyze the legal consequences of the a quo decision on the distribution of inheritance according to Toba Batak Customary Law and the role of the notary in making a Deed of Will which contains the wishes of the party to divide inheritance based on Toba Batak Customary Law. This doctrinal research uses secondary data in the form of legal materials that are relevant to the research objectives. This data was collected through document study, and supported by interviews with several informants and sources. Next, a qualitative analysis was carried out. From the results of the analysis it can be explained that the legal consequence of the a quo decision regarding the distribution of inheritance based on Toba Batak Customary Law is that the Deed of Will is declared defective and null and void. Apart from that, it can be stated that there has been a shift in the distribution of inheritance among some of the Toba Batak Indigenous Peoples who previously adhered to patrilineal legal norms and have begun to accommodate equal rights between men and women. In relation to the role of a notary in making a Deed of Will based on Toba Batak Customary Law, it can be stated that legal counseling regarding the distribution of inheritance must be provided before making the deed so that the person who submits it understands the legal provisions he or she has chosen to use as a basis for the distribution of inheritance. Then, the notary can request an official report from the applicant regarding the distribution of inheritance according to customary law and make clauses in the Deed of Will to clarify the meaning contained in the deed, especially in the context of the distribution of inheritance based on the last will of the testator."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maena Vianny
"Perbuatan hukum dengan tujuan peralihan hak atas tanah salah satunya dapat dilakukan melalui jual beli yang kemudian dibuatkan akta autentik oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang untuk dilakukan peralihan kepada pemegang hak baru sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam kenyataannya, terdapat Akta Jual Beli (AJB) dengan tujuan peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh pihak yang tidak berwenang sebagaimana ditemukan dalam kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1869K/PDT/2022. Permasalahan utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dalam proses pembuatan AJB dengan tujuan peralihan hak atas tanah yang kemudian dilakukan peralihan kepada pemegang hak baru. Untuk dapat memberikan penjelasan ekstensif terkait permasalahan utama tersebut maka dilakukan analisis tentang akibat hukum terhadap AJB peralihan hak atas tanah yang dibuat secara melawan hukum. Selain itu juga mengenai tanggung jawab PPAT yang melakukan pelanggaran terhadap prosedur dalam pembuatan AJB peralihan hak atas tanah. Data sekunder yang didapatkan melalui studi dokumen pada penelitian doktrinal ini adalah berupa bahan-bahan hukum yang diperkuat dengan wawancara kepada narasumber dan kemudian dilakukan analisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa meskipun terdapat perbedaan akibat hukum dari AJB yang diteliti seharusnya kedua AJB tersebut tidak dapat dilakukan peralihan kepada pemegang hak baru karena tidak memenuhi persyaratan formil pembuatan AJB yakni dilakukan di hadapan PPAT yang berwenang dan PPAT yang melakukan pelanggaran terhadap prosedur pembuatan AJB hak atas tanah diberikan sanksi baik secara administratif dengan pemberhentian secara tidak hormat, perdata dengan gugatan ganti rugi dan bahkan berpotensi diberikan sanksi pidana apabila memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 264 dan 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

One of the legal actions to transfer land rights can be carried out through sale and purchase, which is then made an authentic deed by a Land Deed Official (PPAT) authorized to transfer to the new right holder by the Government Regulation Number 24 of 1997 regarding Land Registration. However, in reality, there are Land Title Deeds made by unauthorized parties as found in the case of Supreme Court Decision Number 1869K/PDT/2022. The main problem discussed in this thesis is related to the tort of law in the process of making AJB in order to transfer land rights to new rights holders. To be able to provide an extensive explanation related to the main problem, an analysis is carried out on the legal consequencesof the Land Title Deed for the transfer of land rights made against the law In addition, it is also about the responsibility of the PPAT who violates the procedure in making AJB for the transfer of land rights. Secondary data obtained through document studies in this doctrinal research is in the form of legal materials reinforced by interviews with sources and then analyzed qualitatively. From the results of the research, it can be explained that although there are differences in the legal consequences of the AJBs studied, the two AJBs should not be transferred to the new right holder because they do not fulfill the formal requirements for making AJBs, which are carried out in the presence of an authorized PPAT and PPATs who violate the procedures for making AJBs of land rights are given sanctions both administratively with dishonorable dismissal, civil with compensation claims and even potentially criminal sanctions if they meet the elements in Articles 264 and 266 of the Criminal Code.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yopi Pebri
"Dalam rangka mendorong investasi di berbagai kegiatan pembangunan yang sedang gencar dilakukan, kepastian akan perlindungan hukum terhadap investor yang menanamkan modalnya di Indonesia, penting untuk diwujudkan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan kepastian akan perlindungan hukum bagi investor yang hendak menanamkan modalnya adalah melalui pembuatan akta autentik di hadapan notaris. Namun dalam kenyataannya ditemukan akta autentik (dalam hal ini adalah Akta Pengakuan Utang) yang memuat unsur tindak pidana penipuan, sebagaimana yang terjadi di Kota Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur. Kasus yang berkaitan dengan Akta Pengakuan Utang yang memuat unsur tindak pidana penipuan ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 395K/Pid.Sus/2018. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis akibat hukum dari Akta Pengakuan Utang yang memuat unsur tindak pidana penipuan. Selain itu juga menganalisis peran notaris guna meminimalisir risiko adanya tindak pidana penipuan dalam pembuatan akta. Penelitian doktrinal ini mengumpulkan data sekunder melalui studi dokumen yang berupa bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif terhadap data tersebut. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa akibat hukum dari Akta Pengakuan Utang yang memuat unsur tindak pidana penipuan adalah aktanya tetap sah sehingga dapat digunakan dalam pembuktian, meskipun pembuatan akta diawali dengan perjanjian investasi, bukan dengan perjanjian utang piutang murni. Namun semestinya Akta Pengakuan Utang dibuat khusus untuk utang piutang karena apabila dibuat selain utang piutang murni rentan disalahgunakan. Adapun terkait peran notaris guna meminimalisir risiko adanya tindak pidana penipuan dalam pembuatan aktanya adalah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, menerapkan standar pelayanan prosedur operasional tersendiri dalam pembuatan akta dan ikut serta secara aktif dalam Ikatan Notaris Indonesia (INI). Keterlibatan notaris dalam organisasi profesi sangat diperlukan karena keikutsertaannya dapat memberikan kesempatan yang lebih besar kepada notaris untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang ketentuan perundang- undangan di bidang kenotariatan, selain juga mendapatkan advokasi, pada saat diperlukan.

In order to encourage investment in various development activities that are being intensively carried out, certainty of legal protection for investors who invest in Indonesia is important to be realized. One of the efforts made to realize the certainty of legal protection for investors who want to invest their capital is through the making of authentic deeds before a notary. However, in reality, there is an authentic deed (in this case is Deed of Acknowledgment of Debt) which contains elements of criminal offense of fraud, as happened in Balikpapan City, East Kalimantan Province. The case related to Deed of Acknowledgment of Debt containing elements of criminal offense of fraud is found in Supreme Court Decision Number 395K/Pid.Sus/2018. The purpose of this research is to analyze the legal consequences of Deed of Acknowledgment of Debt containing elements of criminal act of fraud. In addition, it also analyzes the role of notaries to minimize the risk of criminal fraud in making deeds. This doctrinal research collects secondary data through document studies in the form of legal materials relevant to the research problem. Furthermore, qualitative analysis of the data is carried out. From the results of the analysis, it can be explained that the legal consequences of a Deed of Acknowledgment of Debt containing elements of criminal fraud are that the deed remains valid so that it can be used in evidence, even though the making of the deed begins with an investment agreement, not with a pure debt and credit agreement. However, the Deed of Acknowledgment of Debt should be made specifically for debt and credit because if it is made other than pure debt and credit, it is vulnerable to misuse. As for the role of notaries in minimizing the risk of criminal acts of fraud in the making of deeds, it is by applying the principle of prudence, implementing its own operational procedure service standards in making deeds and of course actively participating in the Indonesian Notary Association (Ikatan Notaris Indonesia/INI). The involvement of notaries in professional organizations is very necessary because their participation can provide greater opportunities for notaries to get a correct understanding of the statutory provisions in the field of notarial affairs, as well as getting advocacy, when needed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcel Eka Surya
"Tulisan ini menganalisis bagaimana Hukum Perlindungan Data Pribadi diterapkan di dalam ketentuan dokumentasi pemasaran yang diatur Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/SEOJK.05/2022 tentang Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam hal data pribadi, perlindungan data pribadi harus dilindungi oleh hukum / oleh pemerintah, yang merupakan hak asasi warga negara yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, perlindungan data pribadi di tingkat implementasi merupakan hal yang sangat mendesak dalam dunia perekonomian. Hal ini terkait dengan perlindungan data pribadi konsumen dan kewajiban badan perusahaan yang mengelola data pribadi. Oleh karena itu, perusahan wajib mematuhi peraturan mengenai perlindungan data pribadi konsumen, seperti UU PDP dari UU Perlinkos. Dalam Analisa ketentuan pemasaran seperti halnya jual beli produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi pada penelitian ini, pihak Perusahaan asuransi menurut UU PDP berkedudukan sebagai pengendali data dan prosesor data, yang oleh karena dokumentasi dilakukan demi kepentingan pemasaran produk asuransi, maka pihak Perusahaan asuransi harus tunduk dan patuh terhadap UU PDP dalam pertanggungjawaban perlindungan data pribadi dalam dokumentasi yang mereka kumpulkan.
This paper analyzes how Personal Data Protection Law is applied in the provisions of marketing documentation stipulated in Circular Letter of the Financial Services Authority Number 5/SEOJK.05/2022 concerning Insurance Products Linked to Investment. This paper is prepared using doctrinal research method. In terms of personal data, the protection of personal data must be protected by law / by the government, which is the human right of citizens enshrined in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. In addition, the protection of personal data at the implementation level is a very urgent matter in the economic world. This is related to the protection of consumers' personal data and obligations of corporate bodies that manage personal data. Therefore, companies must comply with regulations regarding the protection of consumer personal data, such as the PDP Law of the Perlinkos Law. In the analysis of marketing provisions such as the sale and purchase of insurance products linked to the investment in this study, the insurance company according to the PDP Law is in the position of data controller and data processor, which because the documentation is carried out for the sake of marketing insurance products, the insurance company must comply with the PDP Law in the responsibility of protecting personal data in the documentation they collect."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Khodijah Damayanti
"Tesis ini menganalisis tanggung jawab terhadap APHTyang dipalsukan dan pelindungan hukum terhadap kreditur akibat APHT dipalsukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Magelang Nomor 56/Pid.B/2022/PN.Mgg. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan melakukan studi kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder yang selanjutnya dianalisis dan dipaparkansecara eksplanatoris analisis. Hail Penelitian ini menunjukkan bahwa seorang yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat terhadap suatu akta autentik yaitu akta pemberian hak tanggungan bertanggungjawab atas perbuatannya sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 264 KUHP. Tanggung jawab tersebut dengan cara menghukum secara pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana pemalsuan. Adapun berkenaan dengan pelindungan hukum terhadap kreditur akibat APHT yang dipalsukan berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata pelindungannya yaitu debitur harus melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur dengan cara kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. APHT yang merupakan akta autentik seharusnya dibuat dengan jujur dan tidak melanggar peraturan yang ada sehingga APHT yang dibuat dengan cara jujur tersebut tidak merugikan orang lain
Abstrak Berbahasa Inggris:
This thesis analyzes the liability for forged APHT and the legal protection for creditors due to forged APHT in the Magelang District Court Decision Number 56/Pid.B/2022/PN.Mgg. This study employs a doctrinal research method by conducting a literature review to collect secondary data, which is then analyzed and presented in an explanatory manner. The results of this research indicate that an individual who commits the criminal act of document forgery regarding an authentic deed, specifically a deed of mortgage grant, is liable for their actions as regulated in Article 264 of the Indonesian Criminal Code. This liability is enforced by criminally punishing the individual who has committed the forgery. Regarding the legal protection for creditors affected by forged APHT, based on Article 1131 of the Indonesian Civil Code, the protection stipulates that the debtor must settle their debts to the creditor through the assets that are subject to the debt, whether movable or immovable, existing or future, becoming collateral for all personal obligations. APHT, an authentic deed, should be made honestly and not in violation of existing regulations so that an honestly made APHT does not harm others."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fiola Ramadhanti
"Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki kewenangan dalam membuat akta autentik, selain juga berkewajiban untuk berperilaku jujur dan amanah ketika melaksanakan jabatannya. Dalam menjalankan tugasnya, notaris kerap mendapatkan titipan Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dari kliennya. Namun dalam kasus yang ditemukan pada Putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor 05/B/MPPN/IX2023, terdapat pelanggaran kewajiban dari notaris dengan tidak disetorkannya BPHTB yang dititipkan kepada notaris tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prosedur pemberhentian dengan tidak hormat terhadap notaris dan pelaksanaan prosedur pemberhentian dengan tidak hormat tersebut berdasarkan kewenangan Majelis Pengawas Notaris (MPN) dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Penelitian doktrinal ini mengumpulkan data sekunder melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara kepada narasumber yang relevan. Selanjutnya data tersebut dianalisis secara kualitatif. Dapat dijelaskan dari hasil analisis tersebut adalah: (1) Terkait prosedur pemberhentian dengan tidak hormat terhadap notaris yang melanggar kewajiban, terdapat perbedaan makna unsur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) dalam hal pemberian sanksi pemberhentian dengan tidak hormat. Ketentuan UUJN menjelaskan bahwa sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dijatuhkan apabila terdapat unsur pelanggaran berat berupa pelanggaran kewajiban dan larangan notaris. Sedangkan dalam Permenkumham, penjatuhan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat adalah didasarkan pada pelanggaran perilaku dan pelaksanaan jabatan; (2) Terkait pelaksanaan prosedur pemberhentian dengan tidak hormat dalam kasus pada Putusan a quo, Notaris MI yang tidak membayarkan BPHTB kliennya dinyatakan oleh Majelis Pengawas Pusat telah melakukan pelanggaran perilaku dan pelaksanaan jabatan sehingga selanjutnya Menkumham memberikan persetujuan tentang pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Notaris MI dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (SK Menkumham) Nomor AHU.57.AH.02.04 Tahun 2023.

The Notary as a public official has the authority to create authentic deeds and is also obligated to act honestly and responsibly while performing their duties. In their role, notaries often receive entrusted funds for the Bea Perolehaan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) from their clients. However, as observed in the decision of the Putusan Majelis Pengawas Pusat No. 05/B/MPPN/IX/2023, there was a violation of this obligation when a notary failed to remit the entrusted BPHTB. This study aims to analyze the procedure for dishonorable dismissal of notaries and the implementation of such dismissal procedures based on the authority of the Majelis Pengaawas Notaris (MPN) and Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). This doctrinal research collects secondary data through literature studies, supported by interviews with relevant sources. The data is then analyzed qualitatively. The analysis reveals the following: (1) Regarding the procedure for dishonorable dismissal of notaries who violate their obligations, there is a difference in the interpretation of the elements between the Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) and Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) concerning the imposition of dishonorable dismissal sanctions. The UUJN stipulates that such sanctions are imposed if there are serious violations of obligations and prohibitions applicable to notaries. Meanwhile, the Permenkumham states that dishonorable dismissal sanctions are based on behavioral violations and the execution of duties; (2) Regarding the implementation of dishonorable dismissal procedures in the case under the aforementioned decision, Notary MI, who failed to remit their client’s BPHTB, was deemed by the Majelis Pengawas Pusat to have committed violations in behavior and execution of duties. Consequently, Menkumham approved the dishonorable dismissal of Notary MI by issuing the Ministerial Decree No. AHU.57.AH.02.04 of 2023."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laras Hafizhah Suristyo
"Perjanjian Jual beli tanah adalah salah satu perjanjian yang tidak dapat dilakukan cukup dengan dibawah tangan. Kepastian hukum dalam perjanjian jual beli tanah mengakibatkan perlu  adanya kekuatan hukum pada pembuktian dalam perjanjian jual beli dengan objek hak atas tanah. Umumnya perjanjian jual beli tanah dilakukan dihadapan Pejabat yang berwenang  yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun yang terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 586/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Utr perjanjian jual beli tanah dibawah tangan ini di sahkan  oleh pengadilan, yakni para pihak Penjual dan Pembeli melakukan perbuatan hukum perjanjian jual beli tanah tidak dihadapan pejabat yang berwenang. Untuk itu, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai kekuatan hukum perjanjian jual beli tanah dibawah tangan terhadap peralihan hak atas tanah yang terjadi serta penyelesaian pada peralihan hak atas tanah. Berdasarkan Putusan Hakim  pembeli mendapatkan  perlindungan hukum sebagai pembeli yang beritikad baik, namun  kepastian hukum pembeli atas tanah yang seharusnya menjadi kepemilikan nya tidak tercapai. Dari hasil studi, dapat dijelaskan bahwa dalam perjanjian jual beli dibawah tangan  yang dinyatakan sah tidak dapat memberikan kepastian hukum terhadap pembeli sebagai dasar peralihan hak atas tanah. Selain itu penyelesaian eksekusi terhadap tanah tersebut tidak  dapat dilakukan.  Penelitian hukum doktrinal ini mengkaji bahan-bahan hukum sekunder melalui studi kepustakaan yanhg didukung dengan wawancara, selanjutnya penelitian ini mengenai Kekuatan Hukum perjanjian jual beli tanah dibawah tangan  terhadap peralihan hak atas tanah  dan penyelesaian pada putusan yang telah disahkan pengadilan di analisi secara kualitatif. 

Land sale and purchase agreement is one of the agreements that cannot be done simply under the hand. Legal certainty in the land sale and purchase agreement results in the need for legal force in proof in the sale and purchase agreement with the object of land rights.  Generally, land sale and purchase agreements are made before an authorized official, namely the Land Deed Official (PPAT). However, what happened in the North Jakarta District Court Decision Number 586/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Utr was that this underhand land sale and purchase agreement was legalized by the court, namely the Seller and Buyer parties carried out the legal action of the land sale and purchase agreement not before an authorized official. For this reason, the issues raised in this research are regarding the legal force of the land sale and purchase agreement under the hands of the transfer of land rights that occur and the settlement of the transfer of land rights.Based on the Judge's Decision, the buyer gets legal protection as a good faith buyer, but the buyer's legal certainty over the land that should be his ownership is not achieved.  From the results of the study, it can be explained that the underhand sale and purchase agreement which is declared valid cannot provide legal certainty to the buyer as the basis for transferring land rights. In addition, the settlement of execution against the land cannot be done.  This doctrinal legal research examines secondary legal materials through literature studies which are supported by interviews, then this research on the Legal Power of land sale and purchase agreements under the hands of the transfer of land rights and the settlement of court-approved decisions is analyzed qualitatively. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>