Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Agus Aulia
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang : Cedera Kepala masih menjadi masalah medis sekaligus masalah sosial-ekonomi di Indonesia. Angka mortalitas dan morbiditasnya enderung meningkat. Proses Neuroinflamasi dan Stres Oksidatif berperan dalam proses cedera kepala sekunder setelah trauma. Iskemia otak menjadi pencetus proses ini yang berujung pada kematian sel saraf.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara proses neuroinflamasi dan stres oksidatif dengan prognosis pasien cedera kepala dan hubungannya dengan prosedur bedah saraf dengan neuroinflamasi dan stres oksidatif.

Metode: Desain Studi penelitian ini adalah prospektif terhadap 40 pasien cedera kepala yang dilakukan tindakan bedah saraf. Dilakukan pemeriksaan serum antibodi terhadap NR2A dan serum glutahion (GSH) sebelum dan satu hari paska operasi pada pasien cedera kepala, kenudian dinilai hubungannya dengan parameter kesaddaran (GCS) dan fungsi (GOS) serta kaitannya dengan tindakan bedah saraf.

Antibodi terhadap NR2A diukur dengan metode ELISA. Sementara kadar Glutathion (GSH) serum diukur bekerjasama dengan departemen biokimia dan moekuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hasil : Dari 40 sampel, sebagian besar adalah lelaki (77,5%) dengan rerata usia 30,78 tahun. Pasien dengan GCS>8 sebanyak 57,5 % sementara dengan GCS < 8 sebanyak 4,7 %. Terdapat peningkatan GCS pada hari ke-7 paska operasi. Diketahui pula terdapat peningkatan GOS pada bulan ke-3 dibandingkan bulan-1 paska operasi.

Kadar serum antibodi NR2A menunjukkan kecenderungan penurunan dibandingkan kadar preoperasi (perbedaan median -1,34 ng/dl).

Tidak terdapat kaitan ntara antibodi NR2A dan GSH serum dengan GCS,GOS dan tindakan bedah saraf.

Kesimpulan : Pemeiksaan kadar antibodi NR2A serum sebaiknay dilakukan secara serial. Kadar antibodi NR2A masih mungkin memiliki nilai prognostik pada pasien cedera kepala.
ABSTRACT
Background: Head Injury still a medical and socioeconomic problem in Indonesia. Mortality and morbidity rate tends to increase. Neuroinflamation dan oxidative stress play role in secondary brain damage after head trauma. Brain ischemia causing this process into happenand leads to neuronal death. This study aims to determine the association between neuroinflamation and oxydative stress with prognosis of brain injury patients and the association between neurosurgical procedure with neuroinflamation and oxydative stress.

Method: The Study design is a prospective observation of 40 brain-injured patients who underwent surgery. NR2A antibodies and GSH (glutathione )level of pre- and 1 day post operation on brain injury patients were measured, and their association with GCS, GOS and neurosurgical proedures were analyzed.

NR2A antibodies serum level were measured by ELISA. GSH (glutathione) serum level were measured in collaboration with department of Biochemistry and molecular Bioloy, Faculty of Medicine, University of Indonesia.

Result: From 40 patients most are male (77,5%) with mean age 30,78 years. Patient present with favorable GCS (GCS>8) was 57,5 %, while unfavorable GCS (GCS<8) was 42,7%. There was an increase of GCS on day-7 post operation. There was also an increase on patients' GOS on month 3 compared to month-1 post operation.

The postoperative NR2A antibody serum level showed a downward trend compared to preoperative value ( median difference -1,34 ng/dl). There is no significant association of NR2A antibody and GSH serum level with GCS, GOS and neurosurgical procedure.

Conclusion : Serial postoperative NR2A antibody serum level need to be measured in serial manner. NR2A antibody serum may have prognostic values in brain -injured patient.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan Kamal
Abstrak :
Nyeri punggung bawah acute merupakan keluhan terbanyak kelima di fasilitas pelayanan kesehatan di Amerika Serikat, dan 30% berkembang menjadi nyeri kronis. Sebesar 60-90% penduduk Amerika Serikat mempunyai keluhan nyeri punggung bawah, dan 50% diantaranya mengeluhkan nyeri yang berulang dalam satu tahun. Nyeri punggung bawah memiliki efek psikologis dan sosial terhadap pasien. Secara ekonomi nyeri punggung bawah ini membebani negara terkait biaya yang harus dikeluarkan dalam penanganan nyeri punggung bawah. Penilaian derajat nyeri penting dilakukan pada setiap pasien dengan keluhan nyeri punggung bawah dan American Pain Society menetapkan menyertakan nyeri sebagai tanda vital kelima dalam pemeriksaan terhadap nyeri punggung bawah sejak tahun 1990. Penilaian terhadap nyeri memberikan informasi yang lebih baik terhadap efek terapi, atau keberhasilan dari terapi nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil evaluasi derajat nyeri dengan Numeric Rating Scale (NRS) pada kasus nyeri punggung bagian bawah (low back pain) yang mendapat intervensi nyeri di Departemen Bedah Saraf RS Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012 -2014. Penelitian dilakukan menggunakan desain Cross Sectional Analitik, terhadap data sekunder berupa data rekam medis pasien dengan kasus nyeri punggung bawah yang berkunjung ke poliklinik Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Responden dalam penelitian ini berusia 17 tahun ke atas. Analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat. Dari hasil analisis data diperoleh 57,2% pasien nyeri punggung bawah yang mendapat intervensi nyeri berusia 40 - 59 tahun, dan 52,4% diantaranya berjenis kelamin perempuan. Dari hasil pemeriksaan MRI didapatkan 66,7% dengan gambaran protrusion diskus dengan penekanan. Sebesar 71,4% pasien mendapatkan terapi kombinasi LESI dan MBN dan 95,2% pasien yang mendapatkan intervensi nyeri mengalami perbaikan skala nyeri dan dapat bertahan sampai dengan 1 tahun. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa Tidak terdapat hubungan bermakna antara gambaran MRI dengan prosedur intervensi nyeri dan jenis nyeri, tapi terdapat hubungan bermakna antara jenis nyeri dengan prosedur intervensi nyeri.
Acute lower back pain is the fifth most complaints in health care facilities in the United States, and 30% develop into chronic pain. Amounting to 60-90% of the US population has low back pain, and 50% of them complained of recurring pain in one year. Lower back pain has psychological and social effects on patients. Economically lower back pain is related to the state burdening costs to be incurred in the treatment of lower back pain. Assessment of the degree of pain is important in any patient with low back pain and the American Pain Society set to include pain as the fifth vital sign in the examination of lower back pain since 1990. Assessment of pain provide better information to the therapeutic effect, or the success of therapy pain. This study aims to know the results of the evaluation of the degree of pain with Numeric Rating Scale (NRS) in the case of lower back pain (low back pain) who received the intervention of pain in the Department of Neurosurgery Cipto Mangunkusumo in 2012 -2014. The study was conducted using Analytical cross sectional design, due to the secondary data from medical records of patients with low back pain who visited the clinic Neurosurgery Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta, in the period of 2012 to 2014. The respondents in this study aged 17 above. Analysis of data using univariate and bivariate analyzes. From the analysis of the data obtained 57.2% of patients with low back pain who received the intervention pain aged 40-59 years, and 52.4% of them were female. From the results obtained 66.7% of MRI examinations with a disc protrusion with 71.4% of patients receive combination therapy LESI and MBN and 95.2% of patients who received the pain intervention experienced decreasing scale of pain scale and last up to 1 year. Multivariate analysis showed that there is no significant relationship between MRI image with pain interventional procedures and types of pain, but there is a significant relationship between the type of pain with pain interventional procedures.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Hadi Sihabudin
Abstrak :
ABSTRAK
Latar BelakangNyeri merupakan penanda penyakit degenerasi tulang belakang, dan menjadi pendorong utama pasien untuk mencari pengobatan.1,2 Kualitas nyeri akan berpengaruh pada aktivitas sehari-hari penderita, tingkat aktivitas pasien yang terkait nyeri ini tergambar pada ODI.3,4 Oleh karena itu ODI digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan operasi.4 Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara derajat nyeri sebelum operasi dengan perubahan skor ODI.MetodePenelitian retrospektif dilakukan terhadap pasien DSD yang telah menjalani operasi di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2014-2016. Data demografi, VAS pre operasi, dan ODI 3 bulan pasca operasi dicatat berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik pasien RSCM dan data registrasi pasien di divisi spine departemen bedah saraf. VAS dikelompokan menjadi le; 4 dan >4, sedangkan ODI 3 bulan dinilai peningkatan atau penurunan skor.Perubahan ODI dianggap bermakna bila perubahannya lebih dari 10 4.HasilJumlah kasus 50 pasien; rerata umur 52,8 SD tahun; jumlah lelaki dan perempuan sama; Segmen cervikal 19 , torakal 4 , lumbar 58 , VAS pre operasi le; 4 44 , VAS pre operasi > 4 56 , LOS < 8 78 , LOS ge; 8 22 , pekerjaan: non load bearing 80 dan load bearing 20 . Rerata skor ODI pra-operasi adalah 51 , sedangkan rata-rata ODI skor 3 bulan pasca operasi adalah 27 . Pasien VAS pra operasi le; 4 yang mengalami penurunan skor ODI setelah 3 bulan adalah 100 ; VAS pre operasi > 4 yang mengalami penurunan skor ODI setelah 3 bulan adalah 82 dan yang mengalami peningkatan 18 ; dengan rata-rata LOS adalah 7,04 hari.KesimpulanKualitas nyeri pra operasi tidak berhubungan dengan hasil operasi yang diukur dengan ODI.
ABSTRACT
Background Pain is one of signs for degenerative spinal disease and became a main reason for patients looking for treatment.1,2 Quality of pain will affect daily activities as reflected in ODI functional score.3,4 Therefore ODI used as one of indicator for outcome patient after surgery.4 This study aims to assess the relationship between the degree of pain before surgery with changes the ODI score. MethodsThis study is a retrospective study of DSD patients who underwent surgery in Department of Neurosurgery Hospital Cipto Mangunkusumo in 2014 2016. The demographic data, preoperative VAS and ODI 3 months postoperatively were determined based on data obtained from patient medical records and registration data in spine division department of neurosurgery. VAS was grouped into le 4 and 4, while the 3 month ODI was rated increase and decrease. ODI score changes are defined to be significant if there were changes more than 10 percents4.ResultThe number of cases are 50 patients mean age of 52.8 years old the number of men and women are equal Segment cervical 19 , thoracic 4 , lumbar 58 , VAS preoperative le 4 44 , VAS preoperative 4 56 , LOS 4 ODI changes was 82 decreased and 18 was increased with an average LOS was 7.04 days.ConclusionQuality of pain pre operatively have no corelation with surgical outcome as reflected by ODI.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surahman Hadi
Abstrak :
Membandingkan secara klinis, radiologis dan komplikasi antara penggunaan antara graft iliak dan implant metal pada prosedur fusi dengan Teknik anterior korpektomi (ACCF) dengan analisa kohort retrospektif. 41 pasien yang menjalani operasi ACCF, 20 pasien dengan graft iliac dan 21 pasien dengan implan metal. Dilakukan evaluasi mulai dari 1,3,6,12 hingga 24 bulan pasca operasi. Studi ini membandingkan tingkat perbaikan klinis dan kualitas hidup sebelum dan setelah operasi menggunakan skor fungsional (VAS, Nurick, JOA dan KPS), radiologis dengan sudut cobb C2-C7, dan karakteristik demografi pasien (Obesitas, ASA, tingkat cedera jaringan, lama rawat (LOS)). Tidak ada perbedaan signifikan antara kedua kelompok yang ditemukan berdasarkan demografi, perbaikan klinis, radiologi dan komplikasi pasca operasi. Tingkat perbaikan klinis pada skor fungsional penggunaan graft iliak menunjukkan persentase lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan metal terutama pada bulan 1, 3 dan 6 bulan, stabil pada follow up 12 bulan ke atas. Sudut Cobb C2-C7 pada kelompok graft iliak memberikan perubahan sudut rata-rata 13,3 (94%), kelompok metal rata-rata 14,8 (83%). Komplikasi graft iliak berupa nyeri pada daerah donor (regio iliak) 10% yang tidak ditemukan pada graft metal. Komplikasi lain seperti disfonia, disfagia, malposisi atau migrasi dari graft itu sendiri. Tingkat perbaikan klinis pasien yang telah dilakukan prosedur ACCF menunjukkan perbaikan klinis terutama dimulai pada 1-6 bulan pascaoperasi. Penggunaan graft iliaka dan metal memiliki hasil klinis dan radiologis yang sama. Namun penggunaan graft iliak dapat dijadikan pilihan utama dalam prosedur ini terkait dengan tingkat efisiensi terutama di negara berkembang. ......To compare cohort retrospectively to clinical, radiological and complications between the use of iliac graft and implant metal in anterior cervical corpectomy fusion (ACCF) procedures. 41 patients who had ACCF surgery, 20 patients with iliac graft and 21 patients with metal implants. Follow-up is done from 1,3,6,12 to 24 months post-surgery. The authors compared clinical improvement rates and quality of life using functional scores (VAS, Nurick, JOA and KPS), radiological with cobb angles C2-C7, complications, and characteristic demographics of patients (Obesity, ASA, tissue injury rates, length of stay (LOS)) at pre and postoperative. No significant differences between the two groups were found based on demographics, clinical improvement, radiology and postoperative complications. The percentage rate of clinical improvement of functional scores on the iliac graft showed a faster percentage of improvement compared to metal use especially in the months 1, 3 and 6 months, plateau at follow-up 12 months and above. Cobb C2-C7 angles in the iliac graft group provided an average angular change of 13.3 (94%), the metal group averaged 14.8 (83%). Complications of iliac graft in the form of pain in the donor site (reg. iliac) 10% that is not found in graft metal. Other complications such as dysphonia, dysphagia, malposition of the cervical plate or migration from the graft itself. The level of clinical improvement of patients who have performed the ACCF procedure shows clinical improvement primarily starting in the 1-6 months postoperatively. The use of iliac dan metal have similar clinical and radiological outcome. The use of iliac graft can be used as the main choice in this procedure related to the level of efficiency especially in developing countries
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasan
Abstrak :
[ABSTRACT
Background : Spontaneous intracerebral hemorrhage is responsible for 10-15 % of stroke cases and associates with higher mortality rate compared to ischemic stroke or subarachnoid hemorrhage. The causative in 70-80% cases is caused by hypertension or amyloid angiopathy cerebral. With mortality rate up to 40-50%, identification of risk factor that can be modified is crucial. Hypertension posed as a modifiable risk factor and contribute as the highest caused for spontaneous intracerebral hemorrhage. With the better control of the blood pressure we can lowering the risk of spontaneous intracerebral hemorrhage. In geriatric patients the risk can be lowered up to 50% if we could control the systolic blood pressure. Overall the relative risk of hypertensive patients compared to normotensive patients is about 3.9 ? 13.3. Men are more prone to intracerebral hemorrhage than women. Clinical evaluation and diagnosis of spontaneous cerebral hemorrhage are based on clinical examination and other additional examination. The clinical exam is depend on the location and volume of hematome. For the additional exam, computed tomography scan can be done to detect the hemmorhage. Based on it?s location, spontaneous intracerebral hemorrhage can be classified into lobar, ganglia basal, thalamic, pons and cerebellar. Methods : This is a descriptive study with cross-sectional approach. The data in this study are gotten from the medical record unit of Cipto Mangunkusumo National Hospital. The population in this study are all of the spontaneous intracerebral hemorrhage patients which being consulted to the Neurosurgery Departement of Cipto Mangunkusumo National Hospital during January 2013 until August 2014 periods. The method for getting the sample in this study is using consecutive sampling. The inclusion criteria in this study is spontaneous intracerebral hemorrhage cases which proven using CT scan and consulted to the Neurosurgery Departement of Cipto Mangunkusumo National Hospital during January 2013 until August 2014 periods. The exclusion criteria in this study is the patient that does not have complete data in the medical record. Results : In this study, there are 29 cases in male (63%) and 17 cases in female (37%) that diagnosed with the spontaneus intracerebral hemorrhage. For the location of hemorrhage, there are 19 cases located on basal ganglia (41,3%), 21 cases located on lobar (45,7%), 5 cases located on thalamus (10,9%) and 1 case located on cerebellum (2,1%). From the bivariate analysis, we found that there is correlation between operative procedure to length of stay (p=0,012). But there are not any correlation between operative procedure to glasgow outcome scale (GOS) (p=0,708) and to the mortality outcome (p=0,472). There are not any correlation between the onset of PISS to the mortality outcome (p=0,09) and history of hipertension with mortality outcome (p=1,00). We found that there is correlation between glasgow coma scale (GCS) and mortality outcome (p=0,013). Based on the hemorrhage location, there is not any correlation between the location and the mortality outcome. (p=0,370). Conclusions :The conclusion of this study are, the spontaneous intracerebral hemorrhage is often occured in male with age 40-60 years old. Mostly, the location of intracerebral hemorrhage is on the basal ganglia. GCS is a parameter that has correlation with the spontaneous intracerebral hemorrhage, but history of hypertension does not have correlation with the outcome (mortality). Operative procedure will make longer length of stay of the patient and does not influence the GOS.
ABSTRAK
Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati. Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita. Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo ? Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap. Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%). Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi.;Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati. Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita. Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap. Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%). Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi., Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati. Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita. Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap. Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%). Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi.]
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library