Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohamad Mohan Pebriansyah
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa akar atau mekanisme generatif yang memproduksi peristiwa terorisme Bom Bali 1. Penelitian ini didasarkan karena kebanyakan para filsuf dan ilmuwan ketika menganalisis fenomena terorisme hanya menganalisis sebab-sebab pada tataran kenyataan empiris atau domain aktual semata, padahal untuk mencegah peristiwa teror yang serupa terjadi lagi, kita perlu mengetahui penyebab dasar atau domain real dari suatu peristiwa terorisme. Oleh karena itulah penulis dalam penelitian ini berusaha menganalisis ontologi dari fenomena terorisme Bom Bali 1 melalui pendekatan realisme ontologi Roy Bhaskar, hal ini dilakukan dalam rangka untuk mencari struktur dasar yang memproduksi realitas teror Bom Bali 1, sehingga di masa depan kita dapat menghindari peristiwa yang serupa terjadi lagi. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah struktur dasar atau mekanisme generatif yang memproduksi peristiwa terorisme Bom Bali 1 adalah kejijikan moral konkret (concrete moral disgust). Kejijikan moral konkret disini dibedakan dari kejijikan moral yang menjadi basis dari adanya sense moralitas kita. Kejijikan moral konkret adalah kejijikan moral yang sudah terkonkretisasi oleh budaya, dimana rasa jijik tersebut muncul di saat sense moralitas kita sudah dipengaruhi oleh berbagai nilai-nilai budaya tertentu, sehingga antara satu individu dengan individu lain bisa timbul rasa jijik moral yang berbeda karena masing-masing punya konkretisasi moral budaya yang berbeda. ......The purspose of this reaserch is to find out what are the generative roots or mechanism that produce the Bali Bombing 1 terorist incident. Writer doing this research is because when most philosopher and scientist analyze the phenomenon of terrorism, they only analyze the cause at the level of empirical reality or the actual domain, whereas to prevent similar terror events from happening again, we need to know the basic cause or real domain of terrorist incident. Thats why author in this study try to analyze the ontology of the Bali Bombing 1 terrorist phenomenon through Roy Bhaskar ontology realism, this is done to find the basic structure that produces the reality of the Bali Bombing 1 terror, so that in the future we can avoid similar events it happen again. The conclusion drawn from this research is that basic structure or generative mechanism that produced the Bali Bombing 1 terrorism is concrete moral disgust. The concrete moral disgust here is distinguished from the moral disgust that has been concretized by culture where this disgust appears when our sense of morality has been influenced by centainly culture values, so that between one individual and another individual a different  sense of moral disgust can arise because each have different cultural moral concretions.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fandy Achmad Fathoni
Abstrak :
Artikel ini merupakan interpretasi kritis feminisme terhadap ketidakadilan reproduksi dalam program kontrasepsi. Program kontrasepsi dianggap sebagai alat untuk membebaskan perempuan dari beban peran keibuan. Akan tetapi, dari program kontrasepsi muncul masalah pengekangan berupa pemaksaan sterilisasi serta berbagai perilaku diskrimiatif lainnya yang didorong oleh pemahaman eugenisme, rasisme, klasisme, dan sejenisnya. Berdasarkan penelusuran pustaka yang ada ditemukan bahwa perempuan yang berasal dari kelompok marjinal lebih rentan mengalami pemaksaan sterilisasi serta perilaku diskriminatif lainnya dibandingkan perempuan yang berasal dari kelompok privilese. Politik diskriminasi yang dipertahankan membuat perempuan kelompok marjinal jadi kesulitan mengakses hak-hak reproduksinya; memperoleh otonominya. Konsep hak reproduksi yang memperjuangkan ketersediaan haknya berbasis pada advokasi legal terbukti tidak mampu mengakomodasi pengalaman perempuan yang beragam. Oleh karena itu, pendekatan reproduksi berkeadilan dengan lensa interseksionalitas menjadi penting untuk digunakan dalam upaya mengatasi ketidakadilan reproduksi perempuan, khususnya perempuan kelompok marjinal. Menggunakan metode pendekatan kritik feminis yang berbasis pada metode cultural and standpoint feminist, tulisan ini mengolah temuan dari berbagai penelusuran pustaka terkait pengekangan reproduksi perempuan. Temuan tersebut kemudian dianalisis menggunakan kerangka reproduksi berkeadilan dengan lensa interseksionalitas. Tulisan ini hendak menyatakan bahwa pengakuan terhadap pengalaman reproduksi yang berbeda diperlukan dalam upaya mengatasi ketidakadilan reproduksi yang dialaminya. ......This article critically interprets feminism in the context of reproductive injustice within contraception programs. The contraceptive program is often regarded as a means to liberate women from the burdens of motherhood. However, issues of restraint have emerged within the contraceptive program, manifesting as forced sterilization and various other discriminatory behaviors driven by eugenics, racism, classism, and similar beliefs. Extensive literature indicates that women from marginalized groups are more susceptible to forced sterilization and other forms of discrimination compared to women from privileged groups. The perpetuation of discriminatory politics makes it challenging for women in marginalized groups to access their reproductive rights and achieve autonomy. The concept of reproductive rights, which advocates for the availability of these rights through legal means, has proven insufficient in accommodating the diverse experiences of women. Therefore, adopting an approach to reproductive justice that incorporates an intersectional lens becomes crucial in addressing reproductive injustices faced by women, particularly those in marginalized groups. This paper employs a feminist critical approach utilizing cultural and standpoint feminist methods to analyze findings from various literature searches pertaining to the constraints on women's reproduction. These findings are further examined through the lens of intersectionality within a reproductive justice framework. The paper asserts that acknowledging the different reproductive experiences is vital in the pursuit of overcoming the reproductive injustices women encounter.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Maharani
Abstrak :
Balet identik dengan gerakan tubuh yang terlihat indah, magis, surgawi, ringan, dan tanpa usaha. Namun, bagi para penari balet, keindahan tersebut dilakukan oleh tubuh yang juga merasakan sakit dan menyimpan memori, serta kode sosial dari strukturnya. Keterlibatan aktif tubuh membuat penari mengembangkan suatu habitus yang terus menaturalisasi rasa sakit sebagai bagian dari proses “menjadi”-nya. Bagi penari balet perempuan, rasa sakit begitu melekat dengan penggunaan pointe shoes. Sejatinya, pointe shoes dibuat untuk meneguhkan keindahan perempuan bak peri atau malaikat dalam dongeng. Pertemuannya dengan rasa sakit kemudian meminggirkan dan mengabjeksi penari ke dalam ruang semiotik chora-nya. Melalui pembangunan lapisan teori antara Angela Pickard dan Julia Kristeva (1941-), tulisan ini mengeksplorasi pengalaman penari balet perempuan atas rasa sakit dan abjeksi, yang ditandai oleh penggunaan pointe shoes. Studi dan tinjauan literatur, serta wawancara, diolah dengan metode kinesemiotik Arianna Maiorani (1970-) untuk mengangkat pemaknaan personal penari dari ruang semiotik ke ruang simbolik, yang ditandai melalui gerak tubuh dalam interaksinya dengan ruang. Pertemuan tanda-tanda pada pointe shoes, menghasilkan suatu pemaknaan yang holistik yaitu estetika rasa sakit yang menyublim. ......Ballet is notable for its beautiful, mystical, celestial, weightless, and effortless movements. However, for ballet dancers, these beautiful movements are all done by a body in pain, a body that embeds memories and social codes of its structure. The active involvement of the body enables a ballet dancer to develop a habitus that constantly naturalizes pain as part of the process of its “Being.” For the female, pain is embodied in pointe shoes. Initially, pointe shoes were meant to enhance the female’s beauty, like fairies or angels in fairy tales. The encounter with pain, then, marginalizes and abjects the dancer into her semiotic chora. Through the layering of theories of Angela Pickard and Julia Kristeva (1940-), this paper explores female ballet dancers’ lived experiences of pain and abjection, represented through pointe shoes. Literature research and reviews, as well as interviews, were analyzed with Arianna Maiorani’s (1970-) kinesemiotics method to put a rise to the dancer’s personal meanings, from the semiotics to symbolics, marked through body movements in interaction with space. The confluence of signs represented in pointe shoes creates a holistic meaning, namely the aesthetics of sublimated pain.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ranavindra Akbar Putra
Abstrak :
The stock market has price movements that are reflected and can be analyzed through chart patterns. This study aims to analyze what factors make the chart pattern used as one of the considerations of potential buyers or sellers of shares before making a transaction decision. This research becomes important for philosophical discourse because chart patterns are accepted as knowledge that is a consideration of transactions. Based on the idea of Thomas Reid, there is an agreement based on the meaning of a sign based on the experience of an individual, in which in this study the variable of the experience forms a sensitivity to the meaning behind a sign. The research method is carried out by the method of empiricism in forming knowledge of a sign and semiotics to see how the pattern of the stock market chart is a sign. Referring to the research conducted, a new understanding of how stock chart patterns are formed is a sign that is collectively agreed upon by individuals who are active in the stock market and has a certain meaning due to the presence of agreements, sensitivities and connections formed through experience. ......Pasar saham memiliki pergerakan harga yang direfleksikan dan dapat dianalisis melalui pola grafik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor apa yang membuat pola grafik tersebut digunakan sebagai salah satu pertimbangan calon pembeli atau penjual saham sebelum membuat keputusan transaksi. Penelitian ini menjadi penting untuk diskursus filsafat karena pola grafik diterima sebagai pengetahuan yang menjadi pertimbangan transaksi. Berdasarkan gagasan Thomas Reid, adanya kesepakatan yang didasarkan pada pemaknaan terhadap suatu tanda dilatari oleh pengalaman suatu individu, yang mana di dalam penelitian ini variabel pengalaman tersebut membentuk suatu sensitivitas terhadap makna dibalik suatu tanda. Metode penelitian dilakukan dengan metode empirisme dalam membentuk pengetahuan terhadap suatu tanda dan semiotika untuk melihat bagaimana pola grafik pasar saham merupakan suatu tanda. Mengacu pada penelitian yang dilakukan, terbentuk suatu pemahaman baru tentang bagaimana pola grafik saham merupakan tanda yang disepakati secara kolektif oleh individu yang aktif di pasar saham dan memiliki makna tertentu karena adanya kesepakatan, sensitivitas dan koneksi yang terbentuk melalui pengalaman.
Depok: 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Dwi Harsono
Abstrak :
Penelitian ini berupaya memberikan penjelasan tentang bagaimana ekonomi dalam konteks upaya atau metode untuk memenuhi kebutuhan, melekat pada perilaku kelompok-kelompok teroris di Indonesia disandarkan pada komitment terhadap kekerasan yang bersembunyi dibalik dogma ideologi religius. Keterlekatan ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Karl Polanyi, mendefinisikan ekonomi sebagai produk dari relasi sosial berbasis pada nilai-nilai kebijaksanaan dan relasi timbal balik yang saling mencukupi antar individu dan kelompok dibawah naungan kearifan lokal. Ternyata ada atribut lain yang melekat pada eksistensi keterlekatan (embedded) ekonomi selain dari nilai-nilai etika, yaitu komitment kelompok sosial pada jalan kekerasan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif bersifat analisa secara kritis mengenai permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya modus ekonomi dalam gerakan kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) di Indonesia. Adapun hasil penelitian ditemukan bahwa motif ekonomi berperan dalam tindakan yang dilakukan oleh kelompok terorisme, dalam konteks JI, mata uang sosial digunakan dalam pertukaran ekonomi. Pemerintah Indonesia telah menerapkan prinsip redistribusi dengan pendekatan multidimensi dalam penanggulangan terorisme, salah satunya adalah pendekatan Keterlekatan Ekonomi Karl Polanyi yang melibatkan redistribusi sumber daya dan integrasi kelompok teroris ke dalam masyarakat yang lebih luas, serta pemutusan pendanaan terorisme. ......This research seeks to provide an explanation of how economics, in the context of efforts or methods to meet needs, is embedded in the behavior of terrorist groups in Indonesia based on a commitment to violence that hides behind the dogma of religious ideology. As Karl Polanyi proposed, economic embeddedness defines the economy as a product of social relations based on wisdom values and mutually sufficient mutual relations between individuals and groups under the auspices of local wisdom. It turns out that other attributes are attached to embedded economics apart from ethical values, namely the commitment of social groups to the path of violence. This research uses a qualitative approach that is a critical analysis of actual problems occurring in society, namely the existence of an economic mode in the movement of the terrorist group Jemaah Islamiyah (JI) in Indonesia. The research results found that economic motives play a role in the actions carried out by terrorist groups, in the context of JI, social currency is used in economic exchange. The Indonesian government has implemented the principle of redistribution with a multidimensional approach in dealing with terrorism, one of which is Karl Polanyi's Economic Embeddedness approach which involves the redistribution of resources and integration of terrorist groups into wider society, as well as the termination of terrorism funding.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisyanto Wibisono
Abstrak :
Artikel ini akan membawa topik tentang retrospeksi dan restrukturisasi imigrasi untuk dibawa ke dalam relasi yang berhubungan dengan etika terapan, kosmopolitanisme, dan aspek ekonomi-sosial-politik-budaya, dalam kerangka filosofis dan perspektif etika terapan. Selanjutnya, artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana kebijakan imigrasi berkorelasi dengan isu etika terapan dan kosmopolitan. Isu mengenai imigrasi, etika terapan, dan kosmopolitan saling berkaitan, kendati demikian, sampai dengan titik ini, eksplorasi teoritis yang dilakukansecara sinkronis cenderung menghadirkan model analisis non-filosofis dalam menyusuri isu imigrasi serta implikasinya, termasuk isu kebijakan yang dilakukan oleh negara terhadap para imigran. Eksplorasi yang saya lakukan terhadap isu imigrasi pada artikel ini akan bergerak lebih jauh dan tidak akan berkutat pada dinamika sosial-politik- ekonomi, akan tetapi mencoba untuk menganalisis isu imigrasi secara filosofis melalui perspektif etika terapan dan kosmopolitanisme. Pada akhirnya, artikel berikut akan mengeksplanasikan analisis filosofis dari kebijakan imigrasi serta korelasinya dengan aspek politis. ......This article will bring the topic of retrospection and immigration restructuring to be brought into relations related to applied ethics, cosmopolitanism, and economic-socio-political-cultural aspects, within a philosophical framework and an applied ethical perspective. Furthermore, this article will explore how moral policy correlates with applied and cosmopolitan ethical issues. Issues concerning morality, applied ethics, and cosmopolitan are interrelated, however, up to this point, theoretical explorations carried out synchronously tend to present a non- philosophical analysis model in managing festive issues and impressively, including the issue of policies carried out by the state against immigrants. My exploration of immigration issues in this article will move further and will not dwell on socio-political-economic dynamics, but will try to analyze immigration issues philosophically through the perspective of applied ethics and cosmopolitanism. Finally, the following article will explain the philosophical analysis of festive policies and their correlation with political aspects.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Richardo Torang Manahan
Abstrak :
Penelitian ini mengkritik sikap tanpa pamrih (konsep besar estetika modern) yang ternyata masih punya kelemahan. Penulis mencoba melihat kelemahan sikap tanpa pamrih melalui telah pada Self Portrait, Model and Wife: sebuah karya seni voyeuristik dari Helmut Newton. Dalam seni voyeuristik keindahan sering ditujukan dengan objek tubuh manusia yang ditampilkan dengan bentuk telanjang dan mengandung unsur seksualitas atau keintiman. Karya tersebut disebut mengandung unsur voyeuristik yang sering menimbulkan persepsi atau pandangan negatif bahkan penyimpangan perilaku. Penulis berusaha menjelaskan lebih dulu deskripsi dari voyeuristik dalam suatu karya contoh karya Newton yang bersifat voyeuristik. Setelah itu mengemukakan pandangan kritis terhadap penggunaan disinterestedness attitude untuk menafsir karya voyeuristik. Disinterestedness seperti mendorong para penafsir nuntuk membuat pribadi impersonal untuk menangkap nilai “estetika” dari sebuah karya dengan menangkap sisi lain dari ketelanjangan. Penulis memilih metodologi penelitian seni yang berguna untuk mengkaji seni dan pendidikan seni sebagai sasaran kajiannya, metodologi ini hampir sejalan dengan metodologi penelitian kualitatif. Dari hasil telaah tersebut, maka dalam menafsir seni voyeuristik benar-benar tanpa pamrih adalah hal yang mustahil dilakukan. ......This study criticizes the attitude of selflessness (a big concept of modern aesthetics) which in fact still has weaknesses. The author tries to see the weakness of selfless attitude through his research on Self Portrait, Model and Wife: a voyeuristic work of art by Helmut Newton. In voyeuristic art, beauty is often referred to as human body objects that are displayed naked and contain elements of sexuality or intimacy. The work is said to contain voyeuristic elements which often lead to negative perceptions or views and even behavioral deviations. The author tries to explain first the description of voyeuristic in a voyeuristic example of Newton's work. After that, he put forward a critical view of the use of the disinterestedness attitude to interpret voyeuristic works. Disinterestedness seems to encourage interpreters to create impersonal personalities in order to capture the "aesthetic" value of a work by capturing the other side of nudity. The author chose an arts research methodology that is useful for studying arts and arts education as the target of his study, this methodology is almost in line with qualitative research methodologies. From the results of this study, it is impossible to interpret voyeuristic art without strings attached.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Zahraini Athirah
Abstrak :
Artikel ini mengangkat mengenai kegagalan relasi intersubjektif pada isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada dasarnya, persoalan KDRT tidak dapat dipisahkan dari persoalan relasi. Pendefinisian terhadap KDRT dilihat berdasarkan hubungan antara pelaku dan korban dalam relasi keluarga. Dalam konteks KDRT, persoalan terkait relasi menjadi begitu penting. Pasalnya, seseorang yang gagal untuk diakui sebagai subjek yang independen dalam suatu relasi akan menjadikan individu tersebut rentan didominasi. Hal ini terjadi akibat dari minimnya empati ketika berelasi, sehingga subjektivitas orang lain sulit untuk direkognisi. Persoalan kegagalan relasi inilah yang mendasari penelusuran filosofis. Artikel ini menggunakan pendekatan analisis riset feminis dan memoing berdasarkan pengumpulan data mengenai relasi dan KDRT dari berbagai sumber. Data yang terkumpul dianalisis secara filosofis dengan pendekatan intersubjektivitas Jessica Benjamin untuk menunjukkan motif dan bagaimana KDRT bekerja. Hasil yang ditemukan menunjukkan bahwa KDRT merupakan bentuk dari kegagalan manusia dalam berelasi. ......This article discusses the failure in intersubjective relation with regards to domestic violence cases (KDRT). Generally, the problem of domestic violence is inseparable with relationship issues. The definition of domestic violence is based on the relationship between the abuser and the victim within family relations. In the context of domestic violence, issues regarding relation is crucial. The reason is, someone who is failed to be recognized as an independent subject within a relationship will turn them to be susceptible for being dominated. This phenomenon occurs due to the lack of empathy during relationship therefore subjectivity towards others is difficult to be recognized. This problem of relational failure underlies philosophical inquiry. This article applies the analytical approach of feminism research as well as memoing that is based on data collection regarding relationships and domestic violence from various sources. The collected data was analyzed philosophically using Jessica Benjamin intersubjectivity approach aiming to show the motives of how domestic violence works. The findings indicated that domestic violence is a form of individuals’ failure to relate.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ajanti Trijanuary
Abstrak :
Tren cancel culture saat ini telah menjadi topik yang mengundang banyak perdebatan di media sosial. Yang dimaksud dari tren cancel culture adalah sebuah konsep bahwa seorang individu atau kelompok dapat “dibatalkan” atau “disingkirkan” akibat memiliki perilaku bermasalah yang tidak dapat diterima oleh publik (Mayasari, 2022). Pada topik penelitian ini, penulis mengakarkan permasalahan pada pertanyaan mengapa dominasi pandangan subjektif dapat mengindikasikan bahwa tren cancel culture termasuk ke dalam satu bentuk baru dari budaya perundungan. Subjektivitas pada tren cancel culture ini nyatanya berperan besar pada asumsi bahwa cancel culture merupakan satu bentuk baru dari budaya perundungan. Hal tersebut menyatakan bahwa dominasi pandangan subjektif individu tidak seharusnya menjadi upaya untuk menghasilkan output yang objektif sebab dapat mengesampingkan aspek logis dalam menilai individu lain dan mengindikasikan hadirnya hasrat kebencian di dalam pandangan subjektif tersebut. Banyak dijumpai masyarakat yang didapati memiliki intensi kebencian (dalam konteks rasial ataupun non-rasial) kepada korban dari tren cancel culture dan hal tersebut dianggap inheren dengan budaya perundungan. Seperti pada beberapa kasus cancel culture yang diterapkan kepada beberapa tokoh publik seperti Gofar Hilman, Kim Seon Ho, dan Johnny Depp yang sama-sama memiliki pola kejadian serupa. Maka dari itu, penelitian ini berupaya untuk melahirkan kesadaran akan dominasi keberadaan subjektivitas yang nyatanya menghasilkan kepercayaan objektif yang buruk dengan hadirnya tren cancel culture sebagai sebuah bentuk budaya perundungan yang baru. Penulis menjadikan teori ketidakadilan epistemik atau epistemic injustice yang digagas oleh Miranda Fricker (1966), seorang filsuf Inggris, yang menegaskan pemikirannya pada ketidakadilan epistemik yang bersumber dari konsep ketidakadilan yang dilakukan agen penahu terhadap seseorang. Dominasi subjektivitas yang terdapat pada tren cancel culture ini membawa penulis pada analisis mengenai adanya ketidakadilan epistemik yang terdapat dalam subjektivitas tersebut. ......The current cancel culture trend has become a topic that invites a lot of debate on social media. What is meant by the cancel culture trend is a concept that an individual or group can be “canceled” or “removed” due to having problematic behavior that is unacceptable to the public (Mayasari, 2022). On this research topic, the authors root the problem on the question why the dominance of subjective views can indicate that the cancel culture trend is included in a new form of bullying culture. The subjectivity of the cancel culture trend actually plays a major role in the assumption that cancel culture is a new form of bullying culture. This states that the domination of individual subjective views should not be an effort to produce objective outputs because it can override the logical aspect of judging other individuals and indicates the presence of a desire for hatred in that subjective view. There are many people who are found to have hateful intentions (in a racial or non-racial context) towards victims of the cancel culture trend and this is considered to be inherent in a culture of bullying. As in several cases of cancel culture which was applied to several public figures such as Gofar Hilman, Kim Seon Ho, and Johnny Depp who both had a similar pattern of incidents. Therefore, this research seeks to raise awareness of the domination of subjectivity which in fact produces bad objective beliefs with the presence of the cancel culture trend as a new cultural form of bullying. The author makes the theory of epistemic injustice initiated by Miranda Fricker (1966), a British philosopher, who emphasizes her thoughts on epistemic injustice originating from the concept of injustice perpetrated by a knowledge agent against someone. The dominance of subjectivity in the cancel culture trend brings the author to an analysis of the existence of epistemic injustice in that subjectivity.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Alfano Fadil Juyendra
Abstrak :
Pemikiran Kuhn bergantung pada konsep paradigma untuk revolusi ilmiahnya. Pergeseran paradigma bergerak seperti siklus yang bermula pada sains normal, anomali, krisis, dan revolusi ilmiah, lalu kembali menjadi sains normal. Akan tetapi, terdapat ambivalensi dalam konsep paradigma itu sendiri. Tentunya hal itu berdampak juga terhadap revolusi ilmiah yang digagas oleh Kuhn. Selain itu, hierarki dari konsep paradigmanya ini menimbulkan bias. Kuhn terlalu menekankan posisi sains normal yang hanya bergeser oleh fakta anomali dan krisis. Ambivalensi bahasa dalam konsep paradigma mengakibatkan inkonsistensi dalam merumuskan revolusi ilmiah. Penelitian ini akan berusaha untuk menelaah implikasi ambivalensi konsep pergeseran paradigma Thomas Kuhn dan relevansinya terhadap revolusi ilmiahnya. Pembuktian akan dianalisis menggunakan konsep dekonstruksi Jacques Derrida. Kemudian, menelaah kembali konsistensi struktur revolusi ilmiah Kuhn. Setelah itu, konsep paradigma yang ambivalen menyebabkan kerusakan konsep pergeseran paradigma yang menyebabkan paradigma terjadi tanpa krisis karena paradigma terjadi disebabkan terdapat titik balik. Ini membuat struktur dari revolusi ilmiah berubah yang tadinya normal-anomali-krisis-luar biasa menjadi normal-titik balik-luar biasa. ......Kuhn's thinking relies on the concept of paradigm for his theory of scientific revolution. This paradigm shift moves in a cycle starting with normal science, anomalies, crises, and scientific revolution, then returning to normal science. However, there is ambivalence within the concept of paradigm itself. This inevitably affects the scientific revolution proposed by Kuhn. Furthermore, the hierarchy of his paradigm concept introduces bias. Kuhn places excessive emphasis on the position of normal science, which is only shifted by anomalies and crises. The ambivalence of language within the concept of paradigm leads to inconsistencies in formulating the scientific revolution. This study aims to examine the implications of the ambivalence of Thomas Kuhn's paradigm shift concept and its relevance to his theory of scientific revolution. The analysis will employ Jacques Derrida's concept of deconstruction. The consistency of Kuhn's structure of scientific revolution will be re-evaluated. Subsequently, the ambivalent concept of Paradigm causes inconsistency to the concept of paradigm shift, leading to paradigm shifts occurring without crises as they are triggered by turning points. This results in a change in the structure of scientific revolution, transforming it from normal-anomaly-crisis-extraordinary to normal-turning point-extraordinary.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>