Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitorus, Pardamean Robby Andreas
"Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang bertujuan untuk menganalisis
korelasi antara cervical vertebral maturation dengan dimensi mandibula. Data berasal
dari 90 radiograf sefalometri lateral (49 perempuan, 41 laki-laki), anak usia 8-16 tahun di
Jakarta. Metode: menggunakan penilaian dan pengukuran visual radiograf sefalometri
lateral, dimensi mandibula diukur berdasarkan panjang total mandibula (jarak dari titik
condylon - gnathion), tinggi ramus mandibula (jarak dari titik condylon - gonion
intersection), dan panjang corpus mandibula (jarak dari titik gnathion - gonion
intersection), selama tahap maturasi skeletal vertebra servikalis (cervical stage 1 sampai
cervical stage 6) yang dinilai dari badan kedua sampai badan keempat tulang vertebra
servikalis. Korelasi antara cervical vertebral maturation dengan dimensi mandibula
dianalisis menggunakan uji Spearman. Hasil: terdapat korelasi yang kuat dan signifikan
(p < 0,05) antara cervical vertebral maturation tahap pubertas dengan panjang total
mandibula (r = 0,663), antara cervical vertebral maturation tahap pubertas dengan tinggi
ramus mandibula (r = 0,555), dan antara cervical vertebral maturation tahap pubertas
dengan panjang corpus mandibula (r = 0,510). Terdapat korelasi yang sedang dan
signifikan (p < 0,05) antara cervical vertebral maturation tahap prepubertas dengan
panjang total mandibula (r = 0,453), antara cervical vertebral maturation tahap
prepubertas dengan tinggi ramus mandibula (r = 0,395), dan antara cervical vertebral
maturation tahap pascapubertas dengan panjang corpus mandibula (r = 0,374).
Kesimpulan: terdapat korelasi antara cervical vertebral maturation dengan dimensi
mandibula terutama pada tahap pubertas. Maturasi skeletal dapat digunakan untuk
menilai pertumbuhan dan perkembangan mandibula, sebagai pertimbangan dalam
mengoptimalisasi waktu perawatan ortopedik maksilofasial.

This study is a cross-sectional and aims to analyze correlation between cervical vertebral
maturation and mandibular dimensions from 90 lateral cephalometric radiograph (49
girls, 41 boys), aged 8-16 years in Jakarta. Methods: The method uses visual
measurements of lateral cephalometric radiograph, mandibular dimensions were assessed
from total mandibular length (range of condylon - gnathion line), ramus mandibular
height (range of condylon - gonion intersection line), and corpus mandibular length
(range of gonion intersection – gnathion line), during maturity stages of the cervical
vertebral bone (cervical stage 1 to cervical stage 6) which assessed from second to fourth
branches. Correlation between cervical vertebral maturation and mandibular dimensions
were analyzed using Spearman method. Results: The results showed a significant (p <
0.05) and strong correlation between cervical vertebral maturation pubertal stage and total
mandibular length (r = 0.663), between cervical vertebral maturation pubertal stage and
ramus mandibular height (r = 0.555), and between cervical vertebral maturation pubertal
stage and corpus mandibular length (r = 0.510). The results showed a significant (p <
0.05) and medium correlation between cervical vertebral maturation prepubertal stage
and total mandibular length (r = 0.453), between cervical vertebral maturation prepubertal
stage and ramus mandibular height (r = 0.395), and between cervical vertebral maturation
post pubertal stage and corpus mandibular length (r = 0.374). Conclusion: The
Correlation between cervical vertebral maturation and mandibular dimension is seen
mainly in puberty stage. Skeletal maturity used to assess mandibular growth for
optimization maxillofacial orthopaedic treatment timing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Nur Adlina
"Latar Belakang: Protein merupakan komponen utama yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan jaringan tubuh. Protein terdiri dari protein hewani dan nabati. Protein hewani terdapat dalam ikan, daging, dan telur. Defisiensi protein hewani dapat menyebabkan karies akibat menurunnya sistem pertahanan tubuh, atropi kelenjar saliva, serta adanya risiko kelainan struktur email gigi. Gigi molar satu permanen merupakan gigi yang dapat digunakan untuk menilai status kesehatan gigi anak karena memiliki anatomi pit dan fissure yang dalam, dan gigi tersebut erupsi pada usia dimana anak sering mengkonsumsi makanan manis. Usia 8 – 9 tahun dipilih karena pada usia tersebut gigi molar satu permanen telah erupsi dan gigi tersebut telah terpapar selama 2- 3 tahun di dalam rongga mulut, serta pada usia tersebut membutuhkan asupan nutrisi yang baik untuk mendukung pertumbuhan.
Tujuan: Menganalisis hubungan tingkat konsumsi protein hewani dengan karies gigi molar satu permanen pada anak usia 8 – 9 tahun di Jakarta Pusat.
Metode: Desain studi cross sectional. Subjek penelitian berjumlah 109 orang, yang dipilih menggunakan purposive sampling. Variabel yang digunakan bertujuan untuk menganalisis korelasi antara frekuensi konsumsi protein hewani dengan karies gigi molar satu permanen. Kuesioner yang digunakan untuk mengukur frekuensi konsumsi protein hewani yaitu Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan pemeriksaan klinis karies gigi molar satu permanen menggunakan skor International Caries Detection and Assesment System (ICDAS).
Hasil: Hasil dari penelitian menunjukkan distribusi frekuensi karies pada gigi molar satu permanen anak usia 8-9 tahun adalah 1,8% bebas karies, 63,3% karies email, dan 34,9% karies dentin-pulpa. Hubungan frekuensi konsumsi protein hewani dengan karies menunjukkan hubungan tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Kesimpulan : Terdapat hubungan tidak bermakna antara frekuensi konsumsi protein hewani dengan karies gigi molar satu permanen pada anak usia 8 – 9 tahun di Jakarta Pusat.

Background : Protein is the main component that have a role in body tissue’s growth and development. Protein consists of animal protein and plant protein. Animal protein can be found in fish, meat and egg. Protein deficiency can increase caries risk because of decreased immune system, salivary gland atrophy, and abnormalities of enamel structure. First permanent molar is a teeth that can be used to assess children’s oral health because it is more susceptible to caries than any other teeth. This tooth is susceptible to caries because it has deep pit & fissure anatomy and erupts at the age where children consume sweet food more often. Children aged 8 – 9 years is chosen because the first permanent is exposed long enough to oral environment and needed good nutrition for growth.
Aim: To analyze the correlation between animal protein consumption frequency and first permanent molar caries on children aged 8 – 9 years in Central Jakarta.
Method: This study design is cross sectional. Total research subject is 109 people that is chosen by purposive sampling method. The variables that are used in this research aim to analyze the correlation between animal protein consumption frequency and first permanent molar caries. Questionnaire that is used to assess the consumption frequency is Food Frequency Questionnaire (FFQ) and clinical examination to assess severity of first permanent molar caries uses International Caries Detection and Assessment System (ICDAS) score.
Result: This research shows first permanent molar caries frequency as follows; 1,8% free caries, 63,3% enamel caries, and 34,9% dentin-pulp caries. The correlation between animal protein consumption frequency and caries does not show any significant correlation (p>0,05).
Conclusion: There is no significant correlation between animal protein consumption frequency and first permanent molar caries in children aged 8 – 9 tahun in Central Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tira Hamdillah Skripsa
"Periode gigi bercampur adalah suatu periode yang kritis karena terjadi perubahan-perubahan pada lengkung gigi anak. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh perubahan lebar intermolar dan interkaninus yang mempengaruhi perubahan lebar intergonion. Pengetahuan mengenai hubungan antara lebar intermolar dan interkaninus terhadap lebar intergonion dapat dipergunakan untuk memperkirakan lebar lengkung rahang sehingga dapat ditentukan rencana perawatan yang tepat.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara lebar intermolar dan interkaninus terhadap lebar intergonion pada anak usia 6-9 tahun.
Metode: Analitik dengan desain potong lintang. Subjek penelitian berupa 30 model studi dan foto radiograf panoramik pasien anak RSGMP FKG UI.
Hasil: Intermolar dan intergonion memiliki korelasi yang lemah dan tidak signifikan (r=0,277). Interkaninus dan Intergonion memiliki korelasi yang sangat lemah dan tidak signifikan (r=0,032). Sedangkan intermolar dan interkaninus memiliki hubungan yang kuat dan signifikan (r=0,580).

Mixed dentition is a critical period because the changes occur in children's dental arch. The changes can be caused by changes in intermolar and intercaninus width that can affect intergonion width. Theory of relationship between intermolar and intercaninus width against intergonion can be used to estimate the arch width, so the best treatment plan can be determined.
Objective: This study aimed to determine the relationship between intermolar and intercaninus against intergonion in children aged 6-9 years old.
Methods: Crosssectional analytic design. The subject of research were 30 study models and orthopantomograms of pediatric patients in RSGMP FKG UI.
Results: intermolar and intergonion had weak and not significant correlation (r=0,277). Intercaninus and intergonion had very weak and not significant correlation (r=0,032). Intermolar and intercaninus had strong and significant correlation (r=0,580).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almaulidah Ikaputri Septahapsari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Trauma gigi adalah masalah kesehatan yang perlu ditanggulangi.
Data epidemiologi trauma gigi di Indonesia belum ditemukan. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi trauma gigi permanen anterior pada
anak sekolah dasar. Metode: Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan desain
cross sectional yang dilakukan pada 500 anak usia 8-12 tahun. Hasil: Hasil penelitian
menunjukkan bahwa trauma gigi terjadi dua kali lebih sering pada anak laki-laki usia
9 tahun yang melibatkan gigi permanen insisif sentral maksila kanan dan biasanya
terjadi di lingkungan rumah akibat aktivitas fisik.

ABSTRACT
Background: Dental trauma is health problems that have to be solved. Epidemiology
data of dental trauma in Indonesia has not been determined. Aim: The aim of this
reseach was to determine the distribution frequency of traumatic permanent anterior
teeth on elementary school student. Method: The method of this research was
descriptive with cross sectional design, which has been done on 500 children aged 8-
12 years old. Result: Result showed that dental trauma in children is two times more
common in boys aged 9 years, involving the permanent maxillary right central incisor
and usually caused of physical activity around the house."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Tandean
"Kecemasan anak terhadap perawatan gigi dapat diatasi dengan teknik manajemen perilaku, seperti Tell-Show-Do dan modelling. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan tingkat kecemasan anak berdasarkan status sosial ekonomi setelah diberikan penayangan video ekstraksi. Penelitian ini dilakukan pada 142 anak berusia 6-9 tahun dengan menggunakan kuesioner MCDAS f yang telah dimodifikasi. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada anak dengan status sosial ekonomi tinggi dan rendah sebelum dan setelah diberikan penayangan video ekstraksi, namun pada anak dengan status sosial ekonomi tinggi, perbedaan tersebut tidak bermakna. Selain itu, tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan tingkat kecemasan terhadap perawatan gigi antara anak dengan status sosial ekonomi tinggi dan rendah sebelum dan setelah diberikan penayangan video ekstraksi.

Child dental anxiety can be managed by using behaviour management techniques, such as Tell Show Do and modelling. The purpose of this study was to determine the differences of child dental anxiety level based on social economic status after watching tooth extraction video. This study was conducted on 142 children aged 6 9 years using modified MCDAS f questionnaire. Statistical analysis was performed using Wilcoxon test.
The results showed that there are different dental anxiety levels in children with upper and lower social economic status before and after watching tooth extraction video, but in children with high social economic status, that difference is insignificant. In addition, there are no significant differences in dental anxiety level changes between children with higher and lower social economic status before and after watching tooth extraction video.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfistya Tri Noviany
"Latar Belakang: Salah satu tindakan perawatan gigi yang dapat menimbulkan kecemasan pada anak adalah tindakan ekstraksi gigi. Menurut beberapa penelitian, perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Kecemasan anak terhadap perawatan gigi dapat diatasi dengan manajemen perilaku anak seperti Tell-Show-Do. Metode ini dapat dilakukan dengan bantuan media, salah satunya adalah video.
Tujuan: Mengetahui perbedaan tingkat kecemasan anak terhadap perawatan gigi berdasarkan jenis kelamin setelah diberikan penayangan video ekstraksi gigi.
Metode: Kecemasan diukur menggunakan kuesioner MCDAS f yang telah dimodifikasi pada anak usia 6-9 tahun sejumlah 142 anak. Analisis statistik menggunakan uji Wilcoxon ? = 0,05 dan Mann Whitney U ? = 0,05.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada tingkat kecemasan anak laki-laki sebelum dan setelah penayangan video ekstraksi, tetapi pada anak perempuan, perbedaan tersebut tidak bermakna. Selain itu, juga tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan tingkat kecemasan anak laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan: Video animasi perawatan ekstraksi gigi dapat membantu menurunkan tingkat kecemasan anak terhadap perawatan gigi baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Diharapkan video ini dapat digunakan sebagai alternatif penanganan kecemasan anak terhadap perawatan gigi.

Background: Tooth extraction is one of dental treatments that can cause children's anxiety. According to some studies, females have higher anxiety level than males. Children's dental anxiety can be managed with behavior management techniques such as Tell Show Do. This method can be done with help of media, such as video.
Aims: To see the difference of children's dental anxiety level based on their gender after watching tooth extraction video.
Methods: The dental anxiety is measured by using modified MCDAS f questionnaire on 142 children aged 6 9 years old. Statistical analysis is performed using Wilcoxon and Mann Whitney U test 0,05.
Results: There are differences on children's dental anxiety level before and after watching the video, but on female children, it is not significant. Also, there is no significant difference on changes of children's dental anxiety between male and female children.
Conclusion: The tooth extraction video can help to decrease the dental anxiety levels of both male and female children. This video is suggested as an alternative treatment towards children 39 s dental anxiety.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Eka Nurcahya
"ABSTRAK
Latar Belakang: Sindroma Down SD merupa kan kelainan genetik yang disebabkan oleh trisomi kromosom nomor 21. Kelainan ini menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan dan perkembangan orokraniofasial. Tujuan: Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi frekuensi klasifikasi maloklusi Angle dan profil jaringan lunak wajah Subtelny pada penyandang Sindroma Down di Jakarta. Metode: Deskriptif potong lintang, partisipan penelitian adalah penyandang Sindroma Down yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa di Jakarta. Klasifikasi maloklusi Angle ditentukan melalui pemeriksaan klinis, profil jaringan lunak wajah ditentukan melalui pengukuran sudut nasion N, subnasal Sn dan pogonion Pog pada foto profil digital. Hasil: Penelitian melibatkan 40 penyandang Sindroma Down dengan rentang usia 14-41 tahun. Klasifikasi maloklusi Angle kelas I ditemukan pada 14 orang 35, maloklusi Angle kelas II ditemukan pada 3 orang 7,5 dan maloklusi Angle kelas III ditemukan pada 23 orang 57,5 . Profil jaringan lunak wajah datar ditemukan pada 13 orang 32,5, profil jaringan lunak wajah cembung ditemukan pada 3 orang 7,5 dan profil jaringan lunak wajah cekung ditemukan pada 24 orang 60. Kesimpulan: Mayoritas penyandang Sindroma Down memiliki klasifikasi maloklusi Angle kelas III dan profil jaringan lunak wajah cekung.

ABSTRACT
Background Down Syndrome is genetically abnormality on chromosome 21. Phenotipically the abnormality was characterized by the defect on orocraniofacial growth. Aim The aim of this research was to describe frequency distribution Angles malocclusion classification and soft tissue facial profile of Subtelny on people with Down Syndrome in Jakarta. Method Descriptive study with cross sectional design, people with Down Syndrome age 14 41 years old in Sekolah Luar Biasa Special Schools in Jakarta was used as participants for this study. Angles malocclusion classification was determined by clinical examination, soft tissue profile was by measuring angle of soft tissue nasion N, subnasal Sn and pogonion Pog rsquo on digital profile picture. Results Result showed that Angles malocclusion classification class I was found in 14 people 35, Angles malocclusion class II was found in 3 people 7,5 and Angle rsquo s malocclusion class III was found in 23 people 57,5. Flat soft tissue facial profile was found in 13 people 32,5, convex soft tissue facial profile was found in 3 people 7,5 and concave soft tissue facial profile was found in 24 people 60. Conclusion Predominantly people with Down Syndrome has class III Angles malocclusion and concave soft tissue facial profile."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Farhan Suhada
"Latar Belakang: Asupan makanan merupakan salah satu faktor penyebab karies gigi dengan prevalensi yang sangat tinggi di Indonesia terutama pada anak usia sekolah. Tingkat konsumsi sayur dan buah pada anak di Indonesia masih cukup rendah, padahal jenis makanan ini dikenal dapat merangsang aliran dan meningkatkan kemampuan makan anak. self-cleansing saliva yang penting dalam pencegahan karies. Tujuan: Menganalisis hubungan antara frekuensi konsumsi sayur dan buah dengan kejadian karies pada gigi geraham pertama permanen pada anak usia 8 sampai 9 tahun di Jakarta Pusat. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan kuesioner frekuensi makanan dan pemeriksaan klinis anak usia 8 sampai 9 tahun di Jakarta Pusat. 109 anak di Jakarta Pusat diperiksa karies dengan klasifikasi ICDAS. Hasil: Penelitian ini menemukan nilai median frekuensi konsumsi sayur per hari pada anak adalah 1,6 (0-8,14) dan 1,4 (0-5). Sebanyak 98,2% anak mengalami karies gigi dan 63,3% anak mengalami karies terbatas pada email. Hubungan antara frekuensi konsumsi sayur dan buah dengan karies ditemukan sangat lemah dan tidak signifikan. Kesimpulan: Tingkat frekuensi konsumsi sayur dan buah pada anak di Jakarta Pusat masih rendah, dan prevalensi karies cukup tinggi. Hubungan yang lemah dan tidak signifikan antara frekuensi konsumsi sayur dan buah dengan karies menunjukkan bahwa ada faktor lain penyebab karies yang harus dikendalikan.

Background: Food intake is one of the factors causing dental caries with a very high prevalence in Indonesia, especially in school-age children. The level of consumption of vegetables and fruit in children in Indonesia is still quite low, even though this type of food is known to stimulate flow and improve children's eating abilities. self-cleansing saliva which is important in caries prevention. Objective: To analyze the relationship between the frequency of consumption of vegetables and fruit with the incidence of caries in the permanent first molars in children aged 8 to 9 years in Central Jakarta. Methods: This study was a cross-sectional study using a food frequency questionnaire and clinical examination of children aged 8 to 9 years in Central Jakarta. 109 children in Central Jakarta were examined for caries with the ICDAS classification. Results: This study found the median frequency of vegetable consumption per day in children was 1.6 (0-8.14) and 1.4 (0-5). A total of 98.2% of children had dental caries and 63.3% of children had caries limited to enamel. The relationship between the frequency of consumption of vegetables and fruits with caries was found to be very weak and insignificant. Conclusion: The frequency of consumption of vegetables and fruit in children in Central Jakarta is still low, and the prevalence of caries is quite high. The weak and insignificant relationship between the frequency of consumption of vegetables and fruits with caries indicates that there are other factors that cause caries that must be controlled."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dahniar Syifaizza Hariyono
"Latar Belakang: Pandemi Covid-19 menyebabkan pembatasan seluruh aktivitas manusia. Di bidang pendidikan, penerapan moda pembelajaran teori IKGA menggunakan PBL yang biasanya tatap muka digantikan oleh pembelajaran daring selama pandemi Covid-19.
Tujuan: Menganalisis persepsi mahasiswa terhadap perubahan moda pembelajaran teori IKGA di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia selama masa pandemi Covid-19.
Metode: Penelitian cross-sectional pada mahasiswa FKG UI. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa FKG UI angkatan 2017 - 2019. Teknik pengambilan sampel secara random sampling dan pengumpulan data menggunakan kuesioner melalui Google Form.
Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan persepsi mahasiswa terhadap moda pembelajaran selama pandemi Covid-19 baik dan perbedaan bermakna antar tiga kelompok hanya pada persiapan mahasiswa menuju program profesi (P-value = 0,023) dan kepercayaan diri mahasiswa memasuki program profesi (P-value = 0,000).
Kesimpulan: Persiapan mahasiswa menuju program profesi dan kepercayaan diri mahasiswa memasuki program profesi lebih baik dalam pembelajaran luring daripada pembelajaran daring.

Background: The Covid-19 pandemic has led to resctriction all of human activities. In education, the application of theorical of pediatric dentistry using PBL that are usually face-to-face was replaced by online learning during Covid-19 pandemic.
Purpose: The aim of this study was to assess dental students perceptions towards theorical of pediatric dentistry learning mode during the Covid-19 pandemic in Faculty of Dentistry at the University of Indonesia.
Methods: This study used a cross-sectional analysis and conducted on dental students of Faculty of Dentistry Univeristy of Indonesia batch 2017 - 2019. The sampling technique was random sampling and data collection used a questionnaire via Google Form.
Results: From a total of 150 respondents, all student perception mostly good and there were significant differences between students in preparation for clinical programs (P-value = 0.023) and confidence in entering clinical programs (P-value = 0.000).
Conclusions: Dental students of Faculty of Dentistry University of Indonesia have good perception towards learning mode during COVID- 19 pandemic. Student preparation for clinical programs and confidence in entering clinical programs are way better in offline than online learning
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninda Putri Wahyuni
"Ukuran gigi merupakan informasi penting dalam bidang antropologi ragawi, forensik kedokteran gigi serta kedokteran gigi klinis. Ukuran mahkota gigi dapat diukur secara mesiodistal dan bukolingual. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi dan perbedaan ukuran mesiodistal dan bukolingual mahkota gigi molar satu sulung (dm1) dan molar dua sulung (dm2) rahang atas dan rahang bawah pada model studi anak laki-laki dan perempuan. Metode: Metode penelitian ini adalah deskriptif analitik pada 60 anak laki-laki dan 70 anak perempuan dengan teknik sampling menggunakan rumus analitik numerik tidak berpasangan, dengan uji t tidak berpasangan. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna pada ukuran mesiodistal gigi dm1 rahang atas dan pada ukuran bukolingual gigi dm2 rahang atas (p<0,05). Didapatkan variasi ukuran mahkota dm1 dan dm2 laki-laki dan perempuan dalam bentuk tabel presentil. Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ukuran mesiodistal dan bukolingual gigi anak laki-laki dan perempuan kecuali pada mesiodistal gigi dm1 rahang atas dan bukolingual gigi dm2 rahang atas. Variasi ukuran mesiodistal dan bukolingual gigi dm1 dan dm2 anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan yang ditampilkan dalam bentuk tabel persentil yang dapat menjadi referensi ukuran mahkota.

Dental size is important for physical anthropology, forensic dentistry and clinical dentistry. The size of the crown tooth can be measured in the dimension of mesiodistal and bucolingual. Aim: This study aims to determine the variation and difference of mesiodistal and bucolingual size of maxillary and mandibullary primary first molar and primary second molar of boys and girls’s study model. Method: The method of this study is descriptive analytic in 60 boys and 70 girls and above chosen with unpaired numerical analytic formula and analyzed using unpaired t-test. Results: The mesiodistal size of maxillary primary first molar and the buccolingual size of maxillary primary second molar was significantly different (p< 0.05). The variations of mesiodistal and buccolingual crown size of boys and girls organized by percentile table. Conclusions: There was no significant differences of mesiodistal and buccolingual crown size between boys and girls except the mesiodistal size of maxillary primary first molar and the buccolingual size of maxillary primary second molar. The mesiodistal and buccolingual variations of boys are greater than girls and organized by percentile table which can be use as a reference for dental crown size."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>