Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pramita Kencana Putri
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S24985
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Endruw Samasta
"Investasi yang ada di dalam suatu negara dapat menjadi indikator pertumbuhan ekonomi. Untuk itu pemerintah membentuk peraturan perundang-undangan untuk mengatur kegiatan investasi agar terarah dan terdapat kepastian hukum. Pada skripsi ini akan membahas bagaimana ide pajak lingkungan menjadi bagian dari kewajiban pada perusahaan baik penanaman modal asing maupun dalam negeri. Sebagaimana kita ketahui dampak negatif dari kegiatan investasi adalah adanya ancaman terhadap kerusakan lingkungan hidup (biaya eksternal). Sebagai perbandingan, digunakan dana reboisasi dalam bidang kehutanan sebagai analisis pajak lingkungan. Analisis terhadap dana reboisasi, menghasilkan bahwa terjadi penyalahgunaan fungsi dana reboisasi, untuk itu disarankan menggunakan pajak lingkungan sebagai pengganti mekanisme pencegahan kerusakan hutan.

Existing investments in one country can be an indicator of economic growth. Therefore government establishing a legislation to regulate investment activities to be directed and there is legal certainty. In this mini-thesis (skripsi) will discuss how the idea of environmental taxes to be part of the obligation on investment companies both foreign and domestic. As we know the negative impact of the investment activity is a threat to damage the environment (external costs). As comparison, the use of reforestation funds in forestry as the analysis of environmental taxes. Analysis of the reforestation fund, generating functions that occur misuse of reforestation funds, it is advisable to use environmental taxes as a substitute mechanism of prevention of forest damage.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S470
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Maya Sari
"Skripsi ini membahas tentang pengaturan hukum tentang pertanggungjawaban perdata dan pembebanannya dalam hal terjadi pencemaran laut yang bersumber dari pembuangan (dumping) limbah minyak dari kapal tanker ke laut, yang ditinjau dari berbagai instrumen hukum yang terkait baik konvensi internasional dan protokol turunannya maupun produk hukum nasional. Skripsi ini melalui penelitian yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif, mengkaji sebuah kasus pencemaran laut yang terjadi di Balikpapan pada tahun 2004 silam yang bersumber dari pembuangan limbah minyak berupa oil sludge dari Kapal Tanker MT Panos G ke Teluk Balikpapan yang ditinjau dari Protocol 1992 of Civil Liability Convention 1969 for Oil Pollution Damage dan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait, diantaranya UU No.23 Tahun 1997 dan UU No.32 Tahun 2009. Selain itu, skripsi ini juga menganalisis putusan sela yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Balikpapan atas gugatan Pemkot Balikpapan dalam kasus pencemaran tersebut serta mengidentifikasi sistem channelling liability sebagaimana yang diatur dalam regime CLC 1969/Protocol 1992 yang dianut oleh beberapa instrumen hukum nasional. Hasil dari penelitian ini menyarankan agar dibuatnya sebuah pengaturan khusus dan komprehensif mengenai dumping ke laut yang dapat mengikuti regime Protocol 1996 London Dumping Convention, diciptakannya harmonisasi pengaturan hukum mengenai pembebanan tanggung jawab perdata (channelling liability) yang dapat mencakup semua ruang lingkup pencemaran laut yang bersumber dari minyak dan limbahnya, dilakukannya amandemen Protocol 1992 CLC dengan memperluas ruang lingkup (definisi) minyak agar mencakup juga residual oil.

This thesis discusses the regulation concerning civil liability and its imposition in a marine pollution originating from disposal (dumping) of oil waste from the tanker into the sea, reviewed by various relevant legal instruments, both conventions and their derivative protocols and also national legislations. This thesis, through a juridical normative research by qualitative analysis method, examines a case of marine pollution occured in Balikpapan in 2004 which was resulted from oil sludge dumping from the MT Panos G oil tanker into The Balikpapan Bay, reviewed by Protocol 1992 of Civil Liability 1969 for Oil Pollution Damage and various relevant legislations, including Law Number 23 of 1997 Concerning Environmental Management and Law Number 32 of 2009 Concerning Protection and Management of Environment. In addition, this thesis analyzes the interlocutory decision issued by District Court of Balikpapan for the lawsuit of Balikpapan Government in that case, and also identifies the channelling liability system as regulated in CLC 1969/Protocol 1992 which was adopted by some national legal instruments.The results of this thesis suggest that a special and comprehensive enactment is needed concerning dumping into the sea which can adopt the regime of Protocol 1996 London Dumping Covention, a unification of regulations concerning the channelling liability covering the entire scope of marine pollutions originated from oil and its wastes, an ammendment to Protocol 1992 CLC by extending the scope (definition) of oil in order to include residual oil.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46334
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Giovanno
"Sebagai salah satu negara yang menandatangani Paris Agreement dan meratifikasinya, tentu pelaksanaan transisi energi yang berkeadilan bagi tenaga kerja yang rentan merupakan bagian kewajiban konstitusional negara, mengingat hal tersebut merupakan hak dari warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pekerjaan yang layak. Mengingat tingginya risiko sosial dan ekonomi dalam pelaksanaan transisi energi, maka penting untuk melakukan perencanaan mitigasi risiko. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan transisi energi, dalam hal ini penghapusan penggunaan batu bara, yang sudah ditetapkan dan bagaimana kebijakan tersebut dapat berkontribusi bagi upaya terwujudnya transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

As one of the countries that signed the Paris Agreement and ratified it, of course implementing a just energy transition for vulnerable workers is part of the state's constitutional obligations, bearing in mind that this is the right of citizens to get a good and healthy environment and decent work. Given the high social and economic risks in implementing the energy transition, it is important to carry out risk mitigation planning. This research is intended to find out the implementation of energy transition policies, in this case the coal phasing-out, which has been stipulated and how these policies can contribute to efforts to achieve an energy transition that is just and fair in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariza Muthia
"Plastik saat ini telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Di sisi lain, penggunaan plastik sekali pakai secara masif telah menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup. Untuk mengatasi permasalahan ini, beberapa negara di dunia telah menerapkan berbagai regulasi berkaitan dengan pengendalian sampah plastik mulai dari instrumen kebijakan dengan fokus pada pengendalian konsumsi seperti kantong plastik berbayar, sampai kepada instrumen kebijakan dengan fokus pada pengendalian pada tahap produksi serta distribusi plastik sekali pakai, seperti pelarangan plastik dan plastic phase-out. Skripsi ini bertujuan untuk mengukur posibilitas Indonesia untuk menerapkan instrumen kebijakan pengendalian produksi plastik sekali pakai sebagai salah satu strategi pengurangan timbulan sampah yang diakibatkan oleh plastik sekali pakai. Dengan menganalisa peraturan dan instrumen-instrumen yang saat ini telah diterapkan di Indonesia dan peraturan pengendalian produksi plastik lainnya yang diterapkan di berbagai negara, antara lain Peraturan Pelarangan Kantong Plastik Polyethene (Polyethene Bag Ban) di Rwanda, Environmental Protection Product Charge Hungaria, Waste Control Act di Korea Selatan, serta rancangan Single Use Plastic Directive yang akan diterapkan di Uni Eropa, skripsi ini akan memanfaatkan teori Smart Regulation yang dikemukakan oleh Gunningham dan Sinclair dalam mencari bentuk instrumen kebijakan yang dapat diterapkan oleh Indonesia untuk mengatasi permasalahan timbulan sampah yang diakibatkan oleh sampah plastik sekali pakai.

Plastic has become an integral part of human life. At the other hand, the use of single-use-plastic (SUP) on a massive scale is proven to have a negative impact on the environment. In addressing this dilemma, many countries have implemented various types of regulation, ranging from instrument focusing on the minimization of the consumption of SUP, such as retail plastic bag charge, to instrument focusing on controlling the production and distribution of plastic bag, such as plastic ban and plastic phase-out. This thesis aims to measure the possibility for Indonesia to implement a regulatory instrument controlling the production of SUP as a strategy to overcome the negative environmental impact of SUP. By further analysing existing instruments in Indonesia regarding the control of SUP production and also various regulation focusing on controlling the production of SUP implemented in other countries such as Rwanda’s Polyethene Bag Ban, Hungary’s Act on Environmental Protection Product Charges, South Korean’s Waste Control Act, and European Union Single Use Plastic Directive Draft that has yet to be implemented, this thesis will utilize Gunningham and Sinclair’s Smart Regulation theory to come up with a viable regulatory instrument model focusing on controlling the production of SUP as a strategy to overcome the negative environmental impact of the use of SUP."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Zamzami
"Perubahan iklim dirunut menjadi penyebab bagi para pihak atas kerugian yang mereka hadapi. Meningkatnya emisi karbon dioksida, melelehnya es glasial, munculnya banjir, dan banyak efek dari perubahan iklim lainnya diklaim sebagai penyebab rusaknya properti pribadi para pihak, sehingga mereka tidak dapat menikmati hak mereka atas properti pribadi tersebut. Keadaan ini mendorong banyak pihak, baik pemerintah, individu, maupun kelompok, untuk menggugat korporasi atas kontribusi mereka terhadap perubahan iklim. Walaupun secara garis besar para penggugat meminta ganti rugi menggunakan hukum perdata, mereka mengklaim argumentasi yang berbeda-beda mengenai mengapa korporasi harus membayar ganti rugi pada mereka. Klaim yang paling banyak diajukan adalah klaim atas nuisance, negligence, producer liability, civil conspiracy, dan unjust enrichment. Di sisi lain, tidak semua gugatan perdata meminta ganti rugi. Beberapa di antaranya meminta injunction berupa perintah pengadilan agar korporasi mengurangi emisi gas rumah kaca mereka di masa depan untuk memenuhi target Paris Agreement. Dari sekian kasus litigasi iklim yang tersebar di berbagai negara, beberapa kasus menandai argumentasi-argumentasi yang menggarisbawahi bagaimana pengadilan di berbagai negara melihat perubahan iklim serta bagaimana korporasi berperan atau tidak berperan dalam menyebabkan kerugian penggugat. Penelitian akan membahas mengenai sejarah litigasi iklim dan masalah hukum yang muncul dalam gugatan iklim. Setelah itu, dibahas pula gambaran umum argumentasi popular dari penggugat serta contoh-contoh landmark cases yang diseleksi dengan beberapa pertimbangan. Penelitian akan menganalisis alasan ditolak dan dikabulkannya gugatan iklim, memberikan kontekstualisasi peranan majelis hakim terhadap putusan, dan aplikasi analisis tersebut terhadap gugatan iklim di Indonesia. Berdasarkan penelitian normatif yang dilakukan, ditemukan bahwa permintaan ganti rugi dan pembuktian kausalitas adalah dua rintangan utama bagi penggugat untuk memenangkan gugatan. Selain itu, Indonesia juga memiliki skema ganti rugi yang cukup unik dibandingkan dengan negara lain dalam kasus kebakaran hutan. Sebagai penutup, penelitian menyertakan saran bagi para pihak yang ingin mengajukan gugatan iklim.

Climate change is traced to be the cause for the losses that certain parties face. Increased carbon dioxide emissions, melting of glacial ice, the emergence of floods, and many other effects of climate change are claimed to be the cause of damage to the parties’ private property, rendering them unable to enjoy their rights to their private property. This situation has prompted many parties, be it governments, individuals, or groups, to sue corporations for their contribution to climate change. Although in general the plaintiffs seek compensation using tort law, they claim different arguments as to why the corporation should pay compensation to them. The most frequently submitted claims are claims for nuisance, negligence, producer liability, civil conspiracy, and unjust enrichment. On the other hand, not all civil lawsuits seek compensation. Some of them asked for an injunction in the form of a court order for corporations to reduce their greenhouse gas emissions in the future to meet the Paris Agreement targets. Of the many climate litigation cases across various countries, several cases highlight arguments that underline how courts in various countries view climate change and whether corporations play or do not play a role in causing the plaintiff's losses. The research will discuss the history of climate litigation and the legal issues that arise in climate lawsuits. After that, an overview of the popular arguments of the plaintiffs and examples of landmark cases, which were selected with several considerations, are also discussed. The study will analyze the reasons for the rejection and granting of climate lawsuits, provide contextualization of the role of the panel of judges in the decision, and the application of the analysis to climate lawsuits in Indonesia. Based on the normative research conducted, it was found that the request for compensation and the proof of causality were the two main obstacles for the plaintiff to win the lawsuit. In addition, Indonesia also has a compensation scheme that is quite unique compared to other countries in the case of forest fires. In closing, the research includes suggestions for parties wishing to file a climate lawsuit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Endah Puspitasari
"Pada tahun 2017, COP CBD menetapkan 4 kawasan laut Indonesia sebagai Kawasan Ecologically or Biologically Significant Marine Areas (EBSAs) yaitu Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion, Raja Ampat and Northern Bird’s Head, Southern Straits of Malacca, dan Upwelling Zone of the Sumatra-Java Coast. Tujuan dari diadopsinya EBSAs adalah untuk berfokus pada upaya pengeloaan dan konservasi ekosistem laut. Penetapan Kawasan EBSAs ini seharusnya disambut baik oleh Pemerintah Indonesia terutama karena komitmennya dalam mensinergikan pengelolaan kawasan laut dengan mengedepankan aspek lingkungan hidup. Namun, pembangunan PLTU di Teluk Sepang yang merupakan kawasan EBSA Upwelling Zone of the Sumatra-Java Coast mendapatkan ijin sehingga terdapat gugatan Warga Teluk Sepang Bengkulu terhadap Gubernur Bengkulu atas pembangunan tersebut. Penelitian dengan metode yuridis normatif ini berkesimpulan bahwa pengelolaan kawasan laut Indonesia yang ditetapkan sebagai kawasan EBSAs diatur melalui PP 32 Tahun 2019 dan PP Nomor 21 Tahun 2021, namun pengaturan pengelolaan kawasan EBSAs tersebut belum memadai. Hingga saat penelitian ini dilakukan, hanya Kawasan EBSA Raja Ampat yang telah memiliki kepastian hukum sebagai kawasan konservasi. Penerapan Kebijakan pengelolaan kawasan laut Indonesia yang ditetapkan sebagai Kawasan EBSAs masih lemah. Putusan Hakim hanya menyandarkan pada kerugian faktual sebagai syarat adanya kepentingan sehingga hakim belum menilai pokok perkara. Apabila hakim mempertimbangkan sampai pada pokok perkara, penelitian ini menyarankan hakim untuk mempertimbangkan EBSA sebagai soft law sebagai dasar pertimbangan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap Kawasan EBSA tersebut.

In 2017, COP CBD designated 4 Indonesian marine areas as Ecologically or Biologically Significant Marine Areas (EBSAs) namely Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion, Raja Ampat and Northern Bird's Head, Southern Straits of Malacca, and Upwelling Zone of the Sumatra-Java Coast. The adoption of EBSAs is to focus on efforts to manage and conserve marine ecosystems. The determination of the EBSAs area should be welcomed by the Government of Indonesia, especially because of Indonesia’s commitment to synergize the management of marine areas by prioritizing environmental aspects. However, the construction of the PLTU in Sepang Bay, which is in the EBSA Upwelling Zone of the Sumatra-Java Coast area, received a permit so there was a lawsuit from the Bengkulu residents of Sepang Bay against the Bengkulu Governor for the development. By using the normative juridical method, this study concludes that the management of Indonesian marine areas designated as EBSAs was regulated through Government Regulation Number 32 of 2019 and Government Regulation Number 21 of 2021. Management of the EBSAs area through those regulations was not adequate. At the time this study was conducted, only the Raja Ampat EBSA Area had legal certainty as a conservation area. The implementation of policies for managing Indonesian marine areas designated as EBSAs was still weak. The judge's decision only relied on factual losses as a condition of interest so the judge had not assessed the subject matter of the case. This study suggests the judge consider EBSA as a soft law as the basis for legal considerations in providing protection for the EBSA Area when the judge considers getting to the point of the case"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miskah Banafsaj
"Tulisan ini mengkaji urgensi pengaturan Environmental, Social, and Governance ESG) di Indonesia sebagai respons terhadap perubahan iklim global dengan menganalisis acuan instrumen hukum untuk implementasi ESG di Indonesia dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Tulisan ini menyoroti perlunya standar nasional guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan ESG yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Dengan berbagai standar yang telah ada dan terus berkembang dari lembaga-lembaga pihak ketiga dalam penilaian ESG, pemerintah Indonesia harus menetapkan standar yang tegas untuk mencapai kepastian dan menghindari permasalahan yang tidak diinginkan. Meskipun pelaporan ESG di Indonesia bersifat sukarela, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah proaktif untuk mengatasi berbagai permasalahan, mulai dari penetapan pengaturan, kebijakan, hingga pengawasan. Penempatan ESG sebagai instrumen sukarela membutuhkan pengaturan dan kebijakan yang ketat dari pemerintah untuk memastikan implementasi ESG yang optimal. Tulisan ini menekankan bahwa keberhasilan pelaksanaan ESG di Indonesia memerlukan keterlibatan aktif pemerintah dalam menetapkan standar, regulasi, dan pengawasan yang tepat guna memastikan transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan dalam praktik bisnis perusahaan untuk mengatasi perubahan iklim.

This paper examines the urgency of regulating Environmental, Social, and Governance (ESG) in Indonesia in response to global climate change by analyzing legal instruments for ESG implementation in Indonesia using doctrinal research methods. The paper highlights the need for national standards to enhance transparency and accountability in ESG reporting by companies in Indonesia. With various existing and continuously developing standards from third-party institutions in ESG assessments, the Indonesian government must establish clear standards to ensure certainty and avoid unwanted issues. While ESG reporting in Indonesia is voluntary, the government needs to take proactive steps to address various problems, from setting regulations and policies to overseeing their implementation. The placement of ESG as a voluntary instrument requires strict regulation and policy from the government to ensure optimal ESG implementation. This paper emphasizes that the success of ESG implementation in Indonesia requires active involvement from the government in setting standards, regulations, and oversight to ensure transparency, accountability, and sustainability in corporate business practices to address climate change."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilda Swandani Prastiti
"Setelah mengalami masa puncak produksi minyak bumi yang ke dua di Tahun 1998, produksi minyak bumi perlahan mulai menurun hingga saat ini. Pertambahan populasi penduduk dan berkembangnya kegiatan ekonomi membawa dampak peningkatan kebutuhan kebutuhan akan energi. Berdasarkan bauran energi Indonesia, pemanfaatan energi baru terbarukan hingga saat ini masih sangat sedikit, sehingga pemenuhan kebutuhan energi masih sangat tergantung pada energi tak terbarukan termasuk minyak bumi. Di sisi lain, energi fosil dianggap sebagai penyumbang emisi Gas Rumah Kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Letak geografis Indonesia menjadikan negara ini sangat rentan dengan dampak perubahan iklim yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai bencana hidrometeorologi. Indonesia sebagai pihak dalam Perjanjian Paris memiliki target penurunan emisi sebagaimana telah disampaikan dalam Nationally Determined Contribution melalui usaha sendiri dan  sebesar 41% apabila terdapat bantuan internasional pada Tahun 2030. Menyinergikan peningkatan produksi dengan pengurangan emisi melalui pemanfaatan CO2 yang dihasilkan dari berbagai aktifitas industri maupun dari proses produksi minyak dan gas bumi  menjadi harapan besar bisa menjadi salah satu solusi dalam  upaya peningkatan produksi minyak bumi dan sekaligus langkah pengurangan emisi. Pemerintah tengah mendorong agar CO2-Enhanced Oil Recovery dapat menjadi wujud sinergi tersebut. Namun demikian beberapa isu masih menjadi hambatan penerapan metode tersebut terutama dari sisi regulasi. Hasil penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif menunjukkan CO2-Enhanced Oil Recovery dapat menjadi solusi peningkatan produksi dan sekaligus upaya pengurangan emisi namun diperlukan dukungan regulasi dan kebijakan yang tepat harus disusun Pemerintah dengan tetap memperhatikan tujuan untuk  sebesar-besar kemakmuran rakyat.

After the second peak of oil production in 1998, oil production slowly began to decline until now. The increase of population and the development of economic activities have the impact on increasing the need for energy. Indonesia's energy mix shows that the utilization of renewable energy is still very limited, so that the fulfillment of energy needs is still highly dependent on non-renewable energy including oil. On the other hand, fossil energy is considered as the contributor to greenhouse gas emissions that cause climate change. Indonesia's geographical location makes this country very vulnerable to the impacts of climate change which might result in various hydrometeorological disasters. Indonesia as a party to the Paris Agreement has an emission reduction target as stated in the Nationally Determined Contribution to reduce greenhouse gas emissions by 29% through its own efforts and by 41% with international assistance in 2030. Synergizing oil production increase with emissions reduction through the use of CO2 generated from various industrial activities as well as from the production process of oil and gas is a great hope that it can be one of the solutions in efforts to increase oil production and at the same time reduce emissions. The government is strongly supporting CO2-Enhanced Oil Recovery to be a form of this synergy. However, some issues still become the obsctacle, especially from a regulatory perspective. The result of the research using the normative juridical method shows that CO2-Enhanced Oil Recovery can be a solution to increase production and at the same time reduce emissions, but it is necessary to support the regulations and policies that the Government must prepare while taking into account the goal for the greatest prosperity of the people. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Fahmi Rizaldy
"Tulisan ini akan melihat tiga konflik terkait dengan penambangan semen di Pegunungan Kendeng. Konflik-konflik tersebut memunculkan berbagai dinamika baik secara sosial, politik maupun hukum. Hal itu tidak terlepas dari banyaknya sudut pandang yang terbentuk dari konflik tersebut yang begitu beragam dan kompleks. dinamika sosial politik dan hukum mengenai perizinan pertambangan pada wilayah Pegunungan Kendeng sangat kompleks dan padat. Konflik sosial yang terjadi memiliki dampak implementasi pada proses pelaksanaan penerbitan izin maupun eksekusi pembangunan di lapangan, hal tersebut terjadi karena ada perbedaan antara pihak pro yang terhadap tambang dan kontra. Sedangkan pada sisi politik hukum kebijakan/izin akan ditemukan beberapa kemungkinan seperti pengaruh politik. Faktor-faktor yang menyebabkan konflik sosial antara masyarakat Pegunungan Kendeng dengan korporasi yaitu perbedaan kepentingan, faktor lingkungan, keadilan sosial dan kesejahteraan, faktor hukum. Ada perbedaan kepentingan antara yang mendukung dan yang menentang pembangunan pabrik semen. Penyebaran tersebut termasuk penolakan membangun pabrik semen karena akan menimbulkan kerugian seperti kehilangan air dan terhentinya perlindungan hutan. Pada saat yang sama, penentang percaya bahwa, misalnya, memiliki pabrik semen akan membuat ekonomi lebih baik. Alasan tersebut di atas menyebabkan hilangnya diskriminasi dan keragaman dalam masyarakat.Dalam politik hukum analisa yang dituju menyasar pada arah dan kebijakan Gubernur Jawa Tengah yang memiliki prefensi kepentingan peningkatan pendapatan daerah dari investor. Kebijakan penerbitan izin baru dari Gubernur setelah diputuskan oleh MA mengenai pembatalan izin sebelumnya menandakan keberpihakan dan mengarah pada kepentingan PT Semen Indonesia, dengan kata lain, unsur pokok penafsiran unntuk alasan ini, pendekatan eksternal ilmu politik cenderung lebih dominan bagi pembuat kebijakan dengan tingkat akurasi yang tinggi.

This paper will look at three conflicts related to cement mining in the Kendeng Mountains. . These conflicts give rise to various dynamics both socially, politically and legally. This can not be separated from the many points of view formed from the conflict which are so diverse and complex. Socio-political and legal dynamics regarding mining permits in the Kendeng Mountains area are very complex and dense. The social conflicts that occur have an implementation impact on the process of implementing the issuance of permits and execution of development in the field, this happens because there are differences between the pros and cons of mining. While on the political side of the policy/license law, several possibilities will be found, such as political influence. The factors that cause social conflict between the Kendeng Mountains community and corporations are differences in interests, environmental factors, social justice and welfare, legal factors. There is a difference of interest between those who support and those who oppose the construction of a cement factory. The spread includes the refusal to build a cement factory because it will cause losses such as loss of water and cessation of forest protection. At the same time, opponents believe that, for example, owning a cement factory will make the economy better. The reasons mentioned above cause the loss of discrimination and diversity in society. In legal politics, the analysis aimed at the direction and policies of the Governor of Central Java who has a preference for increasing regional income from investors. The policy of issuing a new permit from the Governor after being decided by the Supreme Court regarding the cancellation of the previous permit indicates partiality and leads to the interests of PT Semen Indonesia, in other words, the main element of interpretation for this reason, the external approach of political science tends to be more dominant for policy makers with a high level of accuracy. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>