Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Titik Ratna Sudewi
Abstrak :
ABSTRAK
Ruang lingkup dan metodologi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi stresor kerja dengan hipertensi, dengan mempertimbangkan faktor faktor risiko lain (umur, genetik kolesierol, obesitas,rokok dll). Untuk itu, telah dilakukan satu penelitian kros-seksional pada 156 orang pejabat laki-laki eselon I,II,lll di satu instansi pemerintah di Jakarta yang telah diseleksi dengan kriteria inklusi. Untuk mengukur persepsi stresor kerja (yaitu ketaksaan peran, konflik peran, beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif, pengembangan karir, tanggung jawab terhadap orang lain) digunakan instrumen Diagnosis Sires. Sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang juga berhubungan dengan hipertensi digunakan satu kuesioner lain. Tekanan darah diukur dengan satu afar sfigmomanometer standar dan berat badan diukur dengan satu timbangan berat badan. Selain itu juga digunakan data pemeriksaan medis tahun 1999 untuk mengetahui kondisi kesehatan subyek yang diteliti dan hasil laboratorium seperti kadar kolesterol darah total, kadar gula darah.

Diagnosis hipertensi ditetapkan berdasarkan hipertensi sistolik menurut kriteria WHO, ISH 1993, JNCV-1992 dan sedang dalam pengobatan dengan obat anti hipertensi. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis univariat, bivariat dan multivariat secara uji kai kuadrat dan regresi logistik, dengan menggunakan program SPSS.

Hasil dan Kesimpulan Didapatkan prevalensi hipertensi 32.69% (lebih tinggi dibandingkan populasi umum). Tidak satupun di antara keenam persepsi stresor kerja mempunyai hubungan bermakna dengan hipertensi. Demikian juga untuk persepsi stresor kerja gabungan pada individu. Meskipun prevalensi derajat sedang paling banyak ditemukan pada populasi ini (67.95%), tetapi tidak ditemukan hubungan yang bermakna dengan hipertensi.

Sedangkan di antara faktor faktor risiko lain, hanya umur (OR = 2.06, 95%CI: 101 ; 4.18), lama kerja pada jabatan terakhir (OR = 0.48, 95%CL? 0.23 ; 0.99) dan minum kopi (OR = 0.45, 95%CI: 0.22 ; 0.93), yang mempunyai hubungan bermakna dengan hipertensi (p < 0.05). Secara umum penelitian ini menunjukkan bahwa tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara persepsi stresor kerja dengan hipertensi. Di antara faktor faktor risiko lain, faktor umur yang semakin tua mempunyai hubungan positif dengan risiko hipertensi, sedangkan faktor lama kerja yang lebih sedikit pada jabatan terakhir dan minum kopi mempunyai hubungan negatif, yaitu menurunkan risiko hipertensi.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menyertakan faktor faktor risiko lain yang berhubungan dengan hipertensi.
ABSTRACT
Analysis on the Relationship between Work Stressors Perception and Hypertension among the I, II, III Level of Echelon Male Officials of A Government Office in Jakarta, 1999Scope and Methodology

The objectives of this study are to know the relationship between work stressors perception and hypertension together with other risk factors of hypertension.: A cross-sectional study has been done on 156 subjects among the 1,11,111 level of echelon male officials of a government office in Jakarta who were selected by inclusion criteria. The instrument of Stress Diagnostic questionnaire was used to measure work stressors perception (i.e. role ambiguity, role conflict, over work load quantitative, over work load qualitative, career development, personal responsibility) and other questionnaires which include risk factors of hypertension and a standard of sphygmomanometer for measuring blood pressures and a bathroom scales for measuring weight. This study also used data of medical check--up in 1999 for knowing subjects health status and laboratory results like total blood cholesterol level and blood glucose level which indicate factors of hypertension risk Diagnosis of hypertension was conducted based on systolic hypertension that has been defined by WHO, ISH 1993, JNC V-1992 and/or on anti hypertensive treatment. Collected data was then analyzed by applying univariate, bivariate and multivariate analysis like chi-square and logistic regression by using SPSS.

Results and Conclusion It is obtained that the prevalence of hypertension is 32.69% (higher compared to most people). There are no significant relationships between the six work stressors perception and hypertension. As for those relationships the prevalence of individual combined work stressors perception which presents dominant moderate degree (67.95%), has no significant relationships with hypertension. Whereas among other risk factors, only age (OR = 2.06, 95%CI: 101; 4.18), work duration at last position (OR = 0.48, 95%Cl.- 0.23 ; 0.99) and coffee intake (OR = 0.45, 95%C::: 0.22 ; 0.93) indicate significant relationships with hypertension (p < 0.05). Generally the study shows that there are no significant relationships between work stressors perception and hypertension risk Among other risk factors, eider factor was positively related to hypertension risk, whereas shorter work duration factor and coffee consumption factor were negatively related to hypertension risk, meaning that both of them decreased hypertension risk

A further research will have to be conducted by including the other hypertension risk factors.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwadi
Abstrak :
ABSTRAK Ruang lingkup dan cara penelitian Latihan fisik (berat) dapat menyebabkan gangguan daur haid karena gangguan poros hipotalamus - hipofisis. Insiden gangguan daur haid ini akan berkurang jika latihan fisik dikurangi atau dihentikan sama sekali. Untuk mengetahui hubungan antara latihan fisik dengan gangguan daur haid pada siswa Semaba Polwan di Jakarta, telah dilakukan penelitian kuasi eksperimen one group pre test- post test design terhadap 82 orang (total sampel) siswa Semaba Polwan di Ciputat Jakarta. Pre tes dilakukan sebelum menjalani latihan fisik, post tes I setelah responden menjalani latihan fisik tingkat berat dan post tes II setelah responden menjalani latihan fisik tingkat sedang. Berat badan dan tinggi badan diukur dengan alat timbang badan dan pengukur tinggi badan. Tingkat latihan fisik ditetapkan melalui perkalian antara berat badan responden dengan energy expenditure aktivitas tersebut dengan rujukan tabel energy expenditure during various activities. Derajat stresor kerja ditentukan dengan kuesioner survai diagnostik stres yang telah disesuaikan dengan keadaan di Sepolwan, kuesioner symptom check list 90 (SCL 90) digunakan untuk mengukur adanya psikopatologi dan gangguan daur haid diketahui dari kartu catatan daur haid. Teknik analisis yang digunakan : uji chi square, penghitungan relative risk dengan confidence interval 95 %, uji korelasi, paired z-test dan analisis regresi logistik dari program SPSS. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa insiden gangguan daur haid sebelum latihan fisik 8,4 %, setelah latihan fisik berat selama tiga bulan 87,8 % dan setelah dosis latihan fisik diturunkan menjadi tingkat sedang 44,0 %. Proporsi gangguan daur haid saat post tes f dibanding saat pre tes menunjukan hasil yang bermakna (p 0,000; RR = 591,47 CI95 %174,43-2005,52) dan proporsi gangguan daur haid saat post tes I dibanding post tes II menunjukan hasil yang bermakna (p=0,000; RR = 4,54 C195 %2,18-9,53).Insiden gangguan daur haid yang terjadi berkurang dengan menurunnya tingkat latihan fisik. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa risiko untuk timbulnya gangguan daur haid pada siswa yang menjalani latihan fisik berat 18,12 kali dibandingkan siswa yang menjalani latihan fisik ringan. Stresor kerja dan perubahan berat badan tidak berhubungan dengan terjadinya gangguan daur haid. Kesimpulan : Secara umum dapat disimpulkan bahwa timbulnya gangguan daur haid pada siswa Semaba Polwan terutama berhubungan dengan latihan fisik. Gangguan daur haid ini tidak berhubungan dengan stresor kerja dan perubahan berat badan. Dari insiden gangguan daur haid tersebut berkurang dengan menurunnya tingkat latihan fisik.
Scope & Methodology : Heavy physical exercise has been recognized to cause menstrual dysfunction due to disturbance on the hypothalamic - pituitary axis. The incidence of menstrual dysfunction will decrease, if the burden of physical exercise is decreased or stopped. To study the relationship between physical exercise and menstrual dysfunction among female police cadets in Jakarta; a one group pre & post test design experiment study was conducted on 82 subjects (total sample) female police cadets from Ciputat, Jakarta. The pre test was conducted before the physical exercise program started, the first post test after 3 months heavy physical exercise and second post test after moderate physical exercise. The body weight and high was measured, physical exercise was classified by multiplying body weight energy expenditure in activity using was measured using Stress Diagnostic Questionnaire adjusted for this population, the Symptom Check List 90 (SCL 90), while menstrual dysfunction was diagnosed by using a menstrual recording chart. Statistical analyses used were Chi - square test, relative risk with 95%, test of association, paired z-test and logistic regression functions.

Result & Conclusions : The incidence of menstrual dysfunction before a physical exercise program was 8,4 %, after 3 months exposed to a heavy physical exercise it was 87,8 % and after a moderate physical exercise it decreased to 44,0 %. Also were reported that significant differences found between the pre test and first post test (p=0,000; RR= 591,47 CI 95 % 174,43 - 2005,52) and also between the first and the second post test (p=0,000; RR=4,54 CI 95 % 2,18 - 9,53). Further analysis showed that the risk of heaving menstrual dysfunction among cadet during heavy physical exercise was 18,12 times compared to light physical exercise. Psychological stress and the changes in body weight showed no relation with menstrual dysfunction. Generally the study showed that the occurrence of menstrual dysfunction among the cadets was related to the physical exercise. The occurrence of menstrual dysfunction showed no relation with psychological stress and changes in body weight. The incidence of menstrual dysfunction decreased with the decrease of physical exercise.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ingkiriwang, Elly
Abstrak :
Latar Belakang: Karsinoma leher rahim (KLR) menduduki urutan pertama di antara semua penyakit kanker terbanyak di Indonesia. KLR menjadi penyebab mortalitas terbanyak akibat kanker pada wanita. Kemoradioterapi dalam pengobatan kanker, mempunyai efek samping yang bermakna. Penatalaksanaan yang efektif untuk kanker termasuk bertambahnya perhatian pada faktor psikologis dengan penilaian depresi yang tepat, dapat meningkatkan angka kesembuhan dan harapan hidup. Obyektif: Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh kemoradioterapi terhadap peningkatan frekuensi dan derajat gangguan depresi pada pasien KLR yang menjalani kemoradioterapi, serta faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya gangguan depresi. Penelitian dilaksanakan di RS Dr. Ciptomangunkusumo, antara bulan Desember 2005 - Juli 2006. Metode: Penelitian merupakan studi the one group pretest-posttest design. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Instrumen yang digunakan SCID-1 (Structured Clinical Interview for DSM--IV Axis 1 disorders) versi bahasa Indonesia dan Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D). Analisis data statistik menggunakan program SPSS versi 11,5. Hasil: Derajat depresi dari rerata HRS-D 18,68 sebelum kemoradioterapi, meningkat menjadi rerata HRS-D 22,69 sesudah kemoradioterapi. Subyek yang bekerja mempunyai peluang menderita depresi 0,17 kali dibandingkan yang tidak bekerja pada saat sebelum kemoradioterapi. Gangguan depresi sebelum kemoradioterapi ditemukan pada 26 subyek (65%). Sesudah kemoradioterapi, subyek yang menderita gangguan depresi ada 26 subyek terdiri dari 19 subyek yang sebelumnya depresi dan 7 orang yang sebelumnya tidak depresi sedangkan 7 orang yang sebelumnya depresi menjadi tidak ditemukan depresi lagi. Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan peningkatan derajat gangguan depresi pada pasien karsinoma leher rahim yang sebelum kemoradioterapi telah menderita gangguan depresi. Hal menarik yang didapatkan dalam penelitian ini adalah ditemukannya 7 subyek yang menjadi tidak depresi setelah dilakukan kemoradioterapi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui respons tubuh subyek terhadap kemoradioterapi yang telah dilakukan. Diperlukan penelitian tentang dampak psikologis untuk pasien yang menjalani kemoradioterapi. Sampel yang lebih bervariasi dalam pendidikan dan penghasilan perlu dipertimbangkan.
Background: Cervical cancer is the most common cancer in Indonesia. Cervical cancer is the most frequent cause of cancer mortality in women. Chemo radiotherapy of cancer treatment has significant adverse effect. Effective cancer management, including enhanced attention on psychological factors through appropriate evaluation of depression, may increase patients' cure and survival rate. Objectives: The objectives of this study are to know the effect of chemo radiotherapy on Increased depression frequency and severity in patients with cervical cancer who have been treated by chemo radiotherapy, and factors related to depression disorder. This study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period of December 2005 - July 2006. Methods: This study used one group pretest posttest design. The samples were taken by consecutive sampling. Instrument utilized was SCID-1 (Structured Clinical Interview for DSM 1V Axis 1 disorders) in Indonesian language version and Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D). Analysis of statistic data was using SPSS program version 11.5. Results: Depression severity of HRS-D mean value was 18.68 before chemo radiotherapy, increased to HAS-D 22.69 after chemo radiotherapy. The working subjects have 0.17 times possibility to have depression compared to the non-working subjects before chemo radiotherapy period. Depression disorders before chemo radiotherapy were found in 26 subjects (65%). After chemo radiotherapy, there were 26 subjects with depression disorder, i.e. 19 subjects who had previous depression, and 7 subjects without any previous depression. There were 7 subjects who had previous depression and turned to have no depression anymore. Conclusions: Based on the result of this study, there is increased depression severity in patients with cervical cancer who already had depression disorder before chemo radiotherapy. It is interesting that in this study, there is 7 subjects who have not carried out depression after their chemo radiotherapy treatment. We need further study to recognize the subject's response to chemo radiotherapy and further study on psychological impact in patients who undertake chemo radiotherapy. Further sample with more variation in education and income should be considered.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Halim
Abstrak :
Latar belakang Dispepsia fungsional merupakan kumpulan gejala GIT dengan berbagai faktor penyebab. Depresi merupakan salah satu faktor yang berperan panting pada penderita dispepsia fungsional. Depresi sering dijumpai pada penderita dispepsia fungsional dalam menghadapi kehidupannya dan sering terabaikan dalam penatalaksanaannya. Anggota TNI AD merupakan populasi pilihan dan diharapkan mempunyai ketahanan mental dan frsik yang lebih baik. Dalam menghadapi tugas dan kehidupannya, bagaimana peranan depresi pada anggota TNI AD yang menderita dispepsia fungsional Metodologi Sampel didapatkan secara konsekutif sebanyak 95 anggota TNI AD yang menderita dispepsia fungsional di RSPAD Gatot Soebroto, periode Oktober 2005 sampai Juli 2006 dan dilakukan wawancara terstruktur dengan instrumen SLID I untuk diagnosis gangguan depresi berdasarkan DSM IV. Hasil Prevalensi depresi pada anggota TNI AD yang menderita dispepsia fungsional adalah sebesar 54,7 %. Faktor-faktor seperti umur (diatas 40 tahun), pangkat (Perwira), tempat tugas (di Staf, di daerah operasi militer, waktu tugas di daerah operasi militer), tempat tinggal (rumah sendiri) dan pemikahan menunjukkan kecenderungan mengalami depresi. Simpulan Kejadian depresi pada anggota TNI AD yang menderita dispepsia fungsional tidak jauh berbeda dengan populasi umum.
Background Functional dyspepsia is a syndrome of GIT symptoms with multifactor etiologies. Depression is one of the important factors that influence on functional dyspepsia patient Depression is often found on functional Dyspepsia patient in facing their life event and is often ignored in the treatment. The Indonesian army forces were selected population and are expected to have better mental and physical endurance. In facing the military duty and life event, how is the relation of depression in the army patient with functional dyspepsia. Method 95 Samples were obtained consecutively from the army patient with functional dyspepsia in RSPAD Gatot Soebroto between October 2005 and July 2006 by using structured interview with SCID-1 instrument for the diagnosis of depression disorders according to DSM IV Result The prevalence of depression of Indonesian army with functional dyspepsia was 54.7%. Factor such as age (above 40 years), official rank, staff assignment, military operation and point of military operation time, living in own residence and the marriage are shown to have depression tendency. Conclusion The prevalence of depression of Indonesian army with functional dyspepsia was found to be almost equally comparable with general population.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18183
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Sri Nurtantri
Abstrak :
Latar belakang: Penelitian ini merupakan penelitian penentuan validitas dan realibilitas instrumen Family Questionnaire (FQ) agar dapat digunakan dalam menilai kualitas dan kuantitas ekspresi emosi pada keluarga penderita skizofrenia di Indonesia. Tujuan: Untuk mendapatkan instrumen Family Questionnaire (FQ) dalam bahasa Indonesia yang sahib dan mengetahui apakah FQ tersebut stabil dan terpercaya untuk digunakan dalam penilaian ekspresi emosi yang dialami oleh keluarga yang merawat penderita skizofrenia di Indonesia. Metode: Pengambilan sampel keluarga yang merawat penderita skizofrenia sejumlah 97 orang (N = 97) dan sampel pada keluarga yang merawat penderita reumatoid artritis sebagai kontrol sejumlah 94 orang (N = 94). Memenuhi kriteria inklusi dengan metode consecutive yang dilaksanakan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Pengisian kuesioner dilakukan secara self report. Hasil pengisian kuesioner dianalisis secara statistik dengan alat bantu SPSS versi 13, untuk mendapatkan validitas diskriminan, validitas konstruksi, reliabilitas test retest, reliabilitas interobserver, dan reliabilitas konsistensi internal dari instrumen FQ. Hasil: Hasil analisis diskriminan menunjukkan kemampuan diskriminasi yang baik dari instrumen FQ. Dari pengujian didapatkan sensitivitas (95,5%), spesifisitas (93,8%) dan akurasi FQ (94,3%). Pada pengujian analisis faktor didapatkan koefisien korelasi antara butir dalam domain yang sama menunjukkan angka yang iebih tinggi dibanding domain yang berbeda. Hasil dari analisis faktor menunjukkan 2 underlying construct yaitu Emotional Over Involvement (EO1} dan komponen Critical Comments (CC). Hasil pengujian reliabilitas memperlihatkan skor Cronbach alpha sebesar 0,896, tidak terdapat perbedaan bermakna pada sebagian besar reliabilitas test-retest (p >0,05) dan reliabilitas interobserver (p >0,05). Kesimpulan: Pada penelitian ini terbukti bahwa instrumen FQ versi bahasa Indonesia memiliki validitas dan reliabilitas yang baik dan dapat digunakan untuk menilai ekspresi emosi yang dialami oleh keluarga penderita skizofrenia, namun ada beberapa pertanyaan yang perlu diperbaiki, terutama pada tatabahasa agar mudah dipahami.
Background: This study is a research of validity and realibility of the Family Questionnaire (FQ) for evaluating quality and quantity of emotional expression of schizophrenia caregivers. Objective: To obtain the Family Questionnaire (FQ) in Bahasa and to explore the stability and reliability of the FQ in Bahasa for evaluating emotional expression experienced by family members and relatives as caregivers of schizophrenia patients. Method: Participants were caregiver of the schizophrenia patients (N = 97) and caregiver of arthritis rheumatoid patients (N = 94) and were recruited consecutively from Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. The data was analyzed systematically with the SPSS 13 version instrument, to obtain discriminant validity, construct validity, test retest reliability, inter-observer reliability and internal consistency reliability of the family questionnaire. Result: The FQ has good validity. The sensitivity is 95.5%, specificity is 93.8% and accuracy of the FQ is 94.3%. In the test of the analysis factor it was obtained correlation coefficient between items in the similar domain showed higher figures compared to the dfferent domain. The result of the analysis factor showed 2 underlying construct, (1) emotional over involvement (EOI) and (2) critical commence (CC). The reliability test produced score of the Cronbach 's alpha 0.896, there was no significant difference in most of the test retest reliability (p >0.05) and inter-observer (p >0.05). Conclusion: The Family Questionnaire in Bahasa has good validity and reliability and can be used to evaluate emotional expression experienced by the relatives/Family members of schizophrenia patients, there are several items have to be reviewed to make the questions more comprehensible for Indonesians.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonny Chandra
Abstrak :
Obyektif : Untuk menilai adanya psikopatologi pada remaja obesitas digunakan instrumen Symtom Check list-90 (SCL-90), yang terdiri dari 90 pertanyaan. Merupakan pengembangan dari Hopkins Symtom Check List (HSCL) berbentuk self rating/self report, dipergunakan untuk menilai psikopatologi secara umum, mengukur derajat gejala secara kuantitatif serta menilai psikopatologi secara deskriptif. Cut off scorenya adalah 61. Skor penilaian adalah skor total (kondisi mental secara umum) atau skor dari masing-masing dimensi gejala, yaitu skala depresi, anksietas, obsesif-kompulsif, fobia, somatisasi, sensitifitas interpersonal, hostilitas, paranoid, psikotik dan skala tambahan. Sedangkan untuk menentukan obesitas digunakan Indeks masa tubuh (IMT). Dikatakan obesitas jika IMT Iebih dari 27 kg/m. Tujuan penelitian ini untuk mencari hubungan antara obesitas dengan psikopatologi pada remaja. Metode : Subyek adalah siswa-siswa SMU obesitas dan tidak obesitas yang memenuhi kriteria inklusi di wilayah Jakarta Selatan. Untuk menentukan jumlah sekolah yang akan diikut sertakan dalam penelitian ini digunakan teknik cluster sampling dua tahap dan untuk menentukan sekolah-sekolah yang akan mewakili setiap kecamatan digunakan teknik Random. Selanjutnya untuk pemilihan siswa dilakukan dengan teknik Purposif. Kemudian data dianalisis dengan uji statistik Chi square dan uji statistik Fisher, untuk melihat apakah terdapat hubungan antara obesitas dengan psikopatologi pada remaja. Hasil : Penelitian ini melibatkan 54 siswa (27 obesitas dan 27 tidak obesitas). Dari 27 siswa obesitas, yang memiliki psikopatologi sebanyak 15 orang (55,6%), sedangkan yang tidak memiliki psikopatologi sebanyak 12 orang (44,4%). Dari 27 siswa tidak obesitas yang memiliki psikopatologi sebanyak 17 orang (63,0%), sedangkan yang tidak memiliki psikopatologi sebanyak 10 orang (37,0%). Kemudian data tersebut dianalisis dengan uji statistik Chi square dengan nilai p=0,58, CI 95% (0,25-2,19) dan QR=0,74 (tidak bermakna). Simpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara obesitas dengan terjadinya psikopatologi.
Objective : Psychopathology in obese adolescents is assessed with Symptom Check List-90 (SCL-90), which contain 90 question. SCL-90 is a modification of Hopkins Symptoms Check List (HSCL). It is a self rating/self report, use to assess psychopathology in general, the degree of quantitative symptom a descriptive psychopathology. Cut off score is 61. SCL-90 has a total score, which assess a general mental condition and a score for each symptom dimension (depression, anxiety, obsessive compulsive, phobia, somatisation, interpersonal sensitivity, hostility, paranoid, psychotic and addition scale). For the measurement of obesity, we use Body Mass Index (BMI), if the BMI score is >27 we categorized the subject as having the obesity problem. The purpose of this study is to find out the relationship between obesity and the psychopathology in adolescents. Method : This is an analytic cross sectional study. Subjects are obese and non obese high school students in South Jakarta. We use two step cluster sampling method to determine the amount of schools and we use random method to choose schools of each region, and then we use purposive method to choose the students. The data is analyzed with Chi square and Fisher statistic test to assess the relationship between obesity and psychopathology in adolescents. Result : Of 54 students (27 students are obese and 27 students are non obese). From 27 obese students, 15 students (55.6%) showed psychopathology and 12 students (44.4%) showed no psychopathology. From 27 non obese students, 17 students (63.0%) showed psychopathology and 10 students (37.0%) showed no psychopathology. These data was analyzed with Chi square statistic test, p = 0.58, CI 95% (0.25 - 2.19) and OR = 0.74 (non significant). Conclusion : The result of this study showed there is no relationship between obesity and psychopathology in adolescent.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozi Yuliandi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Perbaikan fungsi sosial adalah salah satu tujuan tatalaksana skizofrenia. Beberapa studi menunjukkan fungsi sosial dipengaruhi oleh gejala positif, gejala negatif, dan gangguan neurokognitif. Tatalaksana secara farmakologis memiliki manfaat yang efektif untuk mengatasi gejala positif seperti halusinasi dan waham, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap fungsi sosial. Demikian juga, rehabilitasi kognitif memiliki manfaat terbatas untuk meningkatkan fungsi sosial. Studi terbaru menunjukkan bahwa kognisi sosial menjadi salah satu faktor yang memengaruhi fungsi sosial. Pada pasien skizofrenia, terjadi penurunan beberada domain kognisi sosial. Terdapat berbagai metode untuk meningkatkan kognisi sosial, salah satunya adalah Social Cognition and Interaction Training (SCIT). Modul SCIT menargetkan tiga domain kognisi sosial pada skizofrenia, yaitu : emotional processing, theory of mind, dan bias atribusi. Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menilai keandalan antar penilai Modul SCIT untuk skizofrenia versi Indonesia.

Metode. Studi ini merupakan uji keandalan antar penilai modul SCIT untuk skizofrenia versi Indonesia terhadap implementasi aktivitas dalam setiap sesi yang dilakukan oleh peneliti di modul SCIT pada kelompok sehat. Besar sampel ditetapkan berdasarkan jumlah orang dalam satu kelompok berdasarkan ketentuan dari modul yaitu 7 orang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Intraclass Correlation Cofficient (ICC) dengan total nilai tiap sesi modul dibandingkan antar penilai.

Hasil. Keandalan antar penilai pada modul SCIT versi Indonesia ini sangat baik, dengan nilai Intraclass Correlation Cofficient (ICC) sebesar 0.985.

Kesimpulan. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi modul SCIT versi Indonesia memperlihatkan bahwa konsistensi antar penilai yang sangat baik. Modul pelatihan ini bisa diterapkan dengan menyesuaikan situasi dan budaya di Indonesia.
ABSTRACT
Background. One of the goals of schizophrenia treatment is to improve the patient`s social functioning. Some studies show social function is influenced by positive symptoms, negative symptoms and neurocognitive disorders. Pharmacological treatment has effective benefits for dealing with positive symptoms such as hallucinations and delusions, but does not have a significant effect on social functioning. Likewise, cognitive rehabilitation has limited benefits for improving social functioning. Recent studies have shown that social cognition is one of the factors that influence social functioning. In schizophrenia patients, there are decrease some domain of social cognition. There are various methods to improve social cognition, one of which is Social Cognition and Interaction Training (SCIT). The SCIT module targets three domains of social cognition in schizophrenia, emotional processing, theory of mind, and attribution bias. This research is a preliminary study to assess the inter-rater reliability of SCIT module for schizophrenia in Indonesian version.

Method. This study is an inter-rater reliability of SCIT module for schizophrenia in Indonesian version on the implementation of activities in each session conducted by researcher in SCIT module in healthy groups. The sample size is determined based on the number of people in one group based on the provisions of the module which is 7 people. Measurements were made using the Intraclass Correlation Cofficient (ICC) with the total value of each module session compared between raters.

Results. The inter-rater reliability of SCIT module for schizophrenia in Indonesian version is very good, with the Intraclass Correlation Cofficient (ICC) value is 0.985.

Conclusion. In this study, can be concluded that the implementation of the Indonesian version of SCIT module shows that the consistency among raters is very good. So that this training module can be implemented by adjusting to the situation and culture in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Sejahtera
Abstrak :
S03tu studi cross - sectional terhadap gangguan skizofrenia dengan simptom negatif telah dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Jakarta, Indonesia. Telah dilakukan pemeriksaan terhadap 50 pasien yang menderita gangguan skizofrenia dengan simptom negatif, terdiri atas 34 pasien laki - laki dan 16 pasien perempuan, yang meliputi wawancara psikiatri, pengisian kuesioner-kuesioner yang berhubungan dengan fungsi kognitif ( Mini Mental State Examination ), indeks komposit PANSS ( Positive and NegatzJ Symptom Scale) dan derajat disabilitas so sial (Disability Assesment Scale I DAS). Basil pcnclitian mcnWljukkan bahwa tcrdapat korclasi yang bermakna secara statistik antara variabel pcndidikan dan fungsi kognitif dengan derajat disabilitas so sial yang berhubWlgan dengan overall behaviour, social role performance, ward behaviour and nurse's opinion. Dengan uji regresl temyata hanya fungsi kognitif yang merupakan prediktor yang kuat. Hubungan antara fungsi kognitif dengan DAS dalam hal overall behaviour ( p = 0,00081 ), social role performance ( p = 0,01012), ward behaviour ( p = 0,00004 ), dan nurse's opinion (p = 0,02895).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T59017
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kereh, Maria Ruth
Abstrak :
ABSTRAK
Fungsi eksekutif merupakan fungsi kognitif yang melibatkan pikiran dan perilaku yang kompleks. Defisit fungsi eksekutif menyebabkan terganggunya kemampuan untuk merencanakan, melakukan serta mengontrol tindakan. Wisconsin Card Sorting Test WCST merupakan tes neuropsikologi yang memiliki sejarah yang panjang sebagai pemeriksaan fungsi eksekutif. Penelitian ini bertujuan mendapatkan instrumen untuk menilai fungsi eksekutif yaitu WCST versi Bahasa Indonesia dan melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen tersebut. Penelitian dilakukan di Unit Rawat Jalan Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tanggal 27 Maret sampai 5 April 2018 terhadap 31 orang pasien skizofrenia dan 30 orang sehat, berusia 18 sampai 59 tahun dengan pendidikan minimum SMP, dengan sampling konsekutif setelah melalui tahap seleksi menggunakan Structured Clinical Inrterview and Diagnosis DSM IV SCID , tes Ishihara, tes Rosenbaum, uji pendengaran 5 kata, Wechsler Test of Adult Reading WTAR , PANSS Remisi, melakukan penerjemahan yang disesuaikan dengan Bahasa Indonesia, penerjemahan balik, uji validitas konstruksi, reliabilitas inter-rater dan reliabilitas internal instrumen WCST versi Bahasa Indonesia. Uji validitas konstruksi menggunakan analisis faktor mendapati adanya kesamaan hasil dengan uji validitas yang dilakukan oleh Bell dkk 1997 dan Sullivan dkk 1993 dengan meneliti 14 variabel dari WCST. Uji reliabilitas inter-rater menggunakan Interclass Correlation Coefficient ICC pada variabel respons perseveratif, kesalahan perseveratif, dan kesalahan nonperseveratif didapatkan nilai kesepakatan masing-masing 0.989, 0.984, 0.973; dan nilai konsistensi masing-masing 0.995, 0.993, 0.990 yang berarti hasil nilai ICC yang sangat baik. Uji reliabilitas konsistensi internal menunjukkan hasil Cronbach rsquo;s Alpha sebesar 0,730 pada kelompok pasien dan 0,819 pada kelompok sehat. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel dalam penilaian WCST memiliki reliabilitas yang baik. Instrumen WCST versi Bahasa Indonesia terbukti sahih dan andal. Pada studi selanjutnya sebaiknya dikumpulkan juga data mengenai usia pertama kali mendapatkan pengobatan psikofarmaka yang digunakan sehingga dalam analisis dapat diperoleh data yang lebih komprehensif.
ABSTRACT
The executive function is a part of cognitive function involving complex thoughts and behaviors. The deficit of executive function leads to disruption of the ability to plan, perform, and control actions. Wisconsin Card Sorting Test WCST is a neuropsychological test that has a long history in the examination of executive function. This study aims to test the validity and reliability of WCST Indonesian version as an instrument to assess the executive function. The study was conducted at the Cipto Mangunkusumo National Hospital in Psychiatric Outpatient Unit from March to April 2018 on 31 schizophrenic and 30 healthy sample, age 18 to 59-year-old with a minimum of junior high school education, by means of consecutive sampling after using Structured Clinical Interview and Diagnosis DSM-IV Disorder SCID , Ishihara test, Rosenbaum test, 5-word hearing test, Wechsler Test of Adult Reading WTAR , PANSS Remission. The WCST Indonesian version has undergone translation and back-translation as well as construction validity test, inter-rater reliability test, and and internal reliability test. Test of construction validity by using factor analysis found a similar result to test conducted by Bell et al 1997 and Sullivan et al 1993 by examining 14 variables from WCST. Inter-rater reliability with Interclass Correlation Coefficient ICC on perseveration response, perseveration mistake, and nonperseveration mistake variables were 0.989, 0.984, and 0.973 consecutively; and consistency value was 0.995, 0.993 and 0.990 consecutively, which means the ICC was very good. The internal consistency reliability test showed Cronbach 39;s Alpha results of 0.730 in the patient group and 0.819 in the healthy group. This shows that the variables in the WCST assessment have good reliability. The Indonesian version of WCST Instrument is valid and reliable in measuring executive functions both in healthy groups and in schizophrenic patients. On following studies, it is recommended to include all data about the age at first treatment and the medication status so in analysis can obtain more comprehensive data.
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvana Evawani
Abstrak :
Gangguan fungsi kognitif pada gangguan afektif bipolar timbul bersamaan dengan gejala episode mood dan diharapkan dapat pulih seiring remisi gejala episode mood. Penelitian-penelitian menemukan fungsi kognitif yang menetap pada fase remisi gejala dan diduga dapat memengaruhi fungsi psikososial. Salah satu fungsi kognitif yang terganggu selama fase remisi adalah memori verbal. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan hubungan antara fungsi memori verbal dengan fungsi psikososial pada pasien dengan gangguan afektif bipolar fase remisi dan nonremisi. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Poli Psikiatri Dewasa RSCM. Subyek yag digunakan sebanyak 64 orang, terdiri atas 32 pasien fase remisi dan 32 pasien fase nonremisi. Memori verbal diukur dengan Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT), fungsi psikososial diukur dengan The World Health Organization Disability Assessment Schedule 2.0 (WHODAS 2.0). Kedua kelompok tidak memerlihatkan perbedaan performa fungsi memori verbal, kecuali pada performa fungsi pemanggilan kembali segera (p 0,046). Tidak didapatkan hubungan yang signifikan secara statistik antara memori verbal dengan fungsi psikososial pada pasien dengan gangguan afektif bipolar fase remisi dan nonremisi. Performa memori verbal yang sama antara kelompok pasien remisi dan nonremisi menunjukkan bahwa memori verbal pada gangguan afektif bipolar dapat terganggu meskipun gejala mood sudah remisi. Fungsi psikososial dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor selain fungsi memori verbal yang perlu diteliti lebih lanjut. ......Cognitive impairment in bipolar affective disorders happens during mood epsisode symptoms and are expected to recover within remission of mood episode symptoms. Studies have found cognitive functions that settled during remission phase of symptoms and are thought to affect psychosocial function. One of the impaired cognitive functions during the remission phase is verbal memory. The purpose of this study was to prove the relationship between verbal memory and psychosocial function is patients with bipolar disorder currently in remission and nonremission ones. This study was a cross-sectional study conducted at Adult Psychiatry Policlinics at Ciptomangunkusumo Hospital. The subjects were 64 patients, consisting of 32 remitted patients, and 32 nonremitted patients. Verbal memory is measured using Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT). Psychosocial functions were measured by the World Health Organization Disability Assessment Schedule 2.0 (WHODAS 2.0). The two groups showed no differences in the performance of verbal memory, eccet for immediate recall function (p 0,046). There was no statistically significant relationship between verbal memory and psychosocial function in both groups. Verbal memory performnace may still impaired bipolar disorder during remission. Psychosocial functions can be influenced by various factors other than verbal memory fucntion and need to be investigated further.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>