Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pohan, Fathy Zuandi
"ABSTRAK
Latar belakang. Penggunaan antikonvulsan jangka panjang, terutama golongan
penginduksi enzim, berkaitan dengan penurunan kadar 25-hidroksivitamin D
(25[OH]D) dan peningkatan prevalens defisiensi vitamin D. Namun demikian,
hasil yang tidak konsisten ditunjukkan pada penggunaan antikonvulsan nonpenginduksi
enzim seperti asam valproat. Sampai saat ini belum ada penelitian di
Indonesia yang melihat hubungan penggunaan antikonvulsan jangka panjang
dengan kadar 25(OH)D.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25(OH)D dan prevalens
defisiensi/insufisiensi vitamin D pada anak epilepsi yang menggunakan
antikonvulsan jangka panjang serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode. Penelitian potong lintang di dua poliklinik neurologi anak di Jakarta
pada bulan Maret hingga Juni 2013 pada anak epilepsi usia 6 – 11 tahun yang
menggunakan asam valproat, karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, atau
okskarbazepin, baik tunggal maupun kombinasi, selama 1 tahun atau lebih.
Penelitian menggunakan kontrol matching usia dan jenis kelamin. Pemeriksaan
kadar 25(OH)D menggunakan metode enzyme immunoassay.
Hasil. Terdapat 31 subjek epilepsi dan 31 kontrol dengan rerata usia 9,1 (SD 1,8)
tahun. Sebagian besar subjek menggunakan asam valproat (25/31) dan diberikan
monoterapi (21/31). Rerata lama pemakaian antikonvulsan adalah 41,9 (SD 20)
bulan. Rerata kadar 25(OH)D subjek epilepsi adalah 41,1 (SD 16) ng/mL, lebih
rendah dibanding kontrol dengan selisih 9,7 ng/mL (IK95% 1,6 sampai 17,9).
Tidak ditemukan defisiensi vitamin D pada kedua kelompok. Prevalens
insufisiensi vitamin D pada subjek epilepsi lebih besar dibanding kontrol (12/31
vs 4/31; p=0,020). Berdasarkan analisis multivariat, tidak ada faktor yang
memengaruhi penurunan kadar 25(OH)D pada anak epilepsi yang menggunakan
antikonvulsan jangka panjang.
Simpulan. Kadar vitamin D pada anak epilepsi yang menggunakan antikonvulsan
jangka panjang lebih rendah dibanding dengan kontrol namun tidak sampai
menyebabkan defisiensi vitamin D.

ABSTRACT
Background. Long-term anticonvulsants therapy, especially the enzyme inducer,
are associated with low level of 25-hidroxyvitamin D (25[OH]D) and high
prevalence of vitamin D deficiency. However, studies had showed inconsistent
results on long-term usage of non-enzyme inducer anticonvulsant such as valproic
acid. Until now, there is no study ever conducted in Indonesia to evaluate the
association between long-term usage of anticonvulsant with 25(OH)D level.
Objectives. To investigate 25(OH)D level and the prevalence of vitamin D
deficiency/insufficiency in epileptic children who are using long-term
anticonvulsant and to describe the associated factors.
Method. This was a cross-sectional study conducted at two pediatric outpatient
neurology clinics in Jakarta, between March to June 2013. Subjects were epileptic
children, aged 6 – 11 years old who had been using valproic acid, carbamazepine,
phenobarbital, phenytoin, or oxcarbazepine, as single or combination therapy, for
1 year or more. We performed a matched control for age and sex. The 25(OH)D
level was measured with enzyme immunoassay method.
Results. There were 31 epileptic children and 31 controls. The mean age was 9,1
(SD 1.8) years old. Most of the subjects were treated with valproic acid (25/31)
and administered as monotherapy (21/31). The mean duration of anticonvulsant
consumption was 41.9 (SD 20) months. The mean 25(OH)D level of epileptic
children was 41.1 (SD 16) ng/mL, lower than control with difference 9.7 ng/mL
(95% CI 1.6 to 17.9). There was no vitamin D deficiency found in this study. The
prevalence of vitamin D insufficiency in epileptic children was higher than control
(12/31 vs 4/31; p=0,020). Based on the multivariate analysis, no identified risk
factors were associated with low level of 25(OH)D in epileptic children with longterm
anticonvulsant therapy.
Conclusion. Vitamin D level in epileptic children with long-term anticonvulsant
therapy is lower than control but none have vitamin D deficiency."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmatuz Zulfia
"Penyakit ginjal kronis pada anak merupakan kondisi kerusakan ginjal yang permanen pada struktur atau fungsi ginjal anak. Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal sebagai jembatan sebelum tindakan transplantasi ginjal dilakukan, untuk dapat meningkatkan kondisi klinis anak. Penerimaan diri terhadap penyakit merupakan fase penting yang akan menentukan keberhasilan program terapi. Tujuan penulisan karya ilmiah ini untuk melakukan analisis terhadap penerapan teori kenyamanan Kolcaba dalam asuhan keperawatan anak dengan penyakit ginjal kronis tahap akhir yang menjalani hemodialisis. Penulis melakukan analisis terhadap lima kasus anak yang menjalani hemodialisis dan telah diberikan asuhan keperawatan menggunakan pendekatan teori kenyamanan Kolcaba. Aplikasi teori kenyamanan Kolcaba terbukti efektif memberikan kenyamanan pada anak yang menjalani hemodialisis. Acceptance of Illness Scale (AIS) berbasis sistem informasi yang digunakan dalam penilaian penerimaan penyakit terbukti valid dan reliabel. Proyek inovasi menggunakan AIS berbasis sistem informasi pada anak dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis efektif dilakukan untuk menilai penerimaan penyakit anak. Edukasi suportif yang diberikan juga terbukti berpengaruh pada peningkatan penerimaan penyakit anak.

Chronic disease in children is a condition of permanent kidney damage to the structure or function of the child's kidneys. Hemodialysis is one of the renal replacement therapies as a bridge before a kidney transplant is carried out, to improve the clinical condition of children. Self-acceptance of the disease is an important phase that will determine the success of program therapy. The purpose of writing this scientific paper is to analyze the application of Kolcaba's theory of comfort in the care of children with end-stage chronic diseases undergoing hemodialysis. The author conducted an analysis of five cases of children who underwent hemodialysis and were given nursing care using the Kolcaba comfort approach. The application of Kolcaba's theory of comfort has proven to be effective in providing comfort to children undergoing hemodialysis. The Information System-based Disease Acceptance Scale (AIS) used in the assessment of disease acceptance has been proven to be valid and reliable. An innovation project using AIS based on an information system in children with chronic diseases undergoing effective hemodialysis was carried out to assess the acceptance of children's disease. The supportive education provided has also been shown to have an effect on increasing the acceptance of children's illnesses."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Wina Karinasari
"Latar belakang: Pneumonia rumah sakit adalah infeksi paru yang didiagnosis setelah rawat >48 jam setelah masuk rawat dan tanpa adanya tanda infeksi paru pada saat awal perawatan atau pneumonia yang didiagnosis pada saat awal masuk perawatan dengan riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya dengan jarak antar rawat inap 10-14 hari. Pneumonia rumah sakit merupakan salah satu infeksi nosokomial yang sering terjadi pada perawatan pasien anak di rumah sakit. Kasus pneumonia rumah sakit dapat berakibat meningkatkan angka kesakitan dan kematian, memperpanjang lama rawat inap serta biaya yang dikeluarkan. Tujuan: mengetahui karakteristik dan proporsi mortalitas pneumonia rumah sakit pada anak. Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap subyek usia >1 bulan dan ≤18 tahun di RSCM selama 2015-2018 melalui telusur rekam medis. Hasil: Sebanyak 86 subyek didapatkan dengan karakteristik subyek dengan pneumonia rumah sakit terbanyak pada penelitian ini adalah usia 1-24 bulan, memiliki lebih dari satu komorbiditas status nutrisi gizi baik dan memiliki awitan lambat. Simpulan: Subyek dengan pneumonia rumah sakit terbanyak pada penelitian ini mempunyai karakteristik usia 1-24 bulan, memiliki lebih dari satu komorbiditas, status nutrisi gizi baik, memiliki lama rawat 8-14 hari, dan berawitan lambat. Proporsi mortalitas subyek dengan pneumonia rumah sakit pada penelitian ini sebesar 24,4%. Karakteristik mortalitas juga dapat dipengaruhi oleh status nutrisi yaitu gizi buruk, kelompok usia, jenis komorbiditas, lama rawat dan jenis awitan.

Background: Hospital-acquired pneumonia (HAP) is defined as a pulmonary infection that occurs >48 hours after admission to hospital or within 10-14 days after discharge. It is the most common hospital-acquired infection in children. Its occurrence represents increase hospital stay, additional cost, morbidity and mortality. Objective: To investigate the characteristic and mortality of hospital-acquired pneumonia in children Methods: It is a retrospective cohort study involving 86 subjects through medical records, inclusive to >1 months old - ≤18 years old patients, in RSCM Jakarta within 2015-2018. Results: There are 86 subjects with characteristic of HAP in this study are age 1-24 months old, has more than one comorbidity, good nutritional status and late onset. Conclusion: General characteristic of HAP in this study are, age 1-24 months old, has more than one comorbidity, good nutritional status, length of stay 8-14 days and late onset. The mortality proportion of HAP in this study is 24.4%. The mortality characteristic was influenced by nutritional status (severe malnutrition), comorbidities, age, length of hospital stay and onset of the disease. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia3, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahreza Aditya Neldy
"Nilai titik potong lingkar lengan atas (LiLA) untuk diagnosis gizi buruk berdasarkan WHO adalah 11,5 cm. Nilai titik potong ini dinilai kurang sensitif dalam menjaring kasus gizi buruk pada balita. Berbagai nilai titik potong LiLA baru diusulkan dengan nilai diagnostik yang lebih baik namun memiliki interval yang lebar, 12 cm-14,1 cm. Saat penelitian ini dilakukan belum ada data mengenai evaluasi nilai titik potong LiLA 11,5 cm dalam diagnosis gizi buruk pada balita di Indonesia. Diperlukan penelitian untuk mengevaluasi nilai diagnostik LiLA dalam diagnosis gizi buruk dan mencari titik potong yang paling optimal pada balita Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik LiLA dibandingkan dengan indeks BB/TB dalam diagnosis gizi buruk pada balita, mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif nilai titik potong LiLA < 11,5 cm dalam diagnosis gizi buruk dan mencari rekomendasi nilai titik potong LiLA yang memiliki nilai diagnostik yang lebih baik untuk skrining balita dengan gizi buruk. Pengambilan subyek penelitian pada studi diagnostik ini dilakukan secara konsekutif pada bulan Januari-Februari 2020 di RSCM dan Puskesmas Cengkareng Jakarta Barat. Penelitian ini melibatkan 421 subyek. Data dasar, jenis kelamin, usia didapatkan melalui wawancara singkat. Pengukuran antropometri berupa berat badan, tinggi badan/panjang badan dan lingkar lengan atas dilakukan oleh peneliti/asisten peneliti yang memiliki realibilitas pengukuran yang baik. LiLA memiliki nilai diagnostik yang tinggi ditandai dengan AUC 0,939 (CI95% 0,903-0,974). Nilai diagnostik LiLA dengan titik potong 11,5 cm memiliki sensitivitas yang rendah. Nilai diagnostik LiLA dengan nilai titik potong 11,5 cm: Se 21% Sp 99,7% NDP 80%, NDN 96%, IY 0,2. Nilai titik potong LiLA 13,3 cm memberikan hasil terbaik dalam identifikasi gizi buruk dengan Se 89%, Sp 87%, NDP 25%, NDN 99% dan IY 0,76. Nilai titik potong LiLA 11,5 cm untuk kasus gizi buruk memiliki sensitivitas yang rendah dan sebaiknya tidak digunakan dalam upaya skrining kasus gizi buruk di masyarakat. Nilai titik potong LiLA 13,3 cm memberikan nilai diagnostik yang lebih baik dalam upaya skrining gizi buruk pada balita usia 6-59 bulan.

World Health Organization recommends 11,5 cm as cut off value of mid-upper arm circumference (MUAC) to diagnose severe acute malnutrition (SAM) in under-five. Many studies indicate that the recommended cut off value is not sensitive to screen severe acute malnutrition cases. Various new cut off values have been proposed with very wide interval, 12-14.1 cm. When this study started there was no available data regarding diagnostic value of MUAC in diagnosing severe acute malnutrition in under-five in Indonesia. Aims of this study are to evaluate diagnostic value of MUAC in diagnosing SAM compare to WHZ index, to evaluate sensitivity, specificity, positive prediction value, negative prediction value of MUAC with 11,5 cm as standard cut off in diagnosing SAM and to find alternative cut off value that may offer better diagnostic performance. This diagnostic study recruits subjects consecutively in January-February 2020 in Cipto Mangunkusumo hospital and Puskesmas Cengkareng. We collected 421 subjects. Demographic data was obtained by using brief conversation. Physical examination and anthropometric measurement were performed by researcher and research assistant that had been trained, evaluated and proven to have excellence reliability. In general, MUAC has excellent diagnostic value to assess SAM in under-five with AUC 0,939 (CI95% 0,903-0,974). The recommended cut off value has low sensitivity. Proportion SAM using WHZ index and MUAC < 11,5 cm are 4,5% and 1,2%. Diagnostic values MUAC using cut off 11,5 cm are Se 21%, Sp 99,7%, PPV 80%, NPV 96% and YI 0,2. By using 13.3 cm as new cut off value, MUAC will have Se 89%, Sp 87%, PPV 25%, NPV 99% and YI 0,76. We conclude that MUAC using 11,5 cm has low sensitivity to detect SAM cases in population, therefore should not be implemented in the community for screening SAM cases. The new cut of value 13,3 cm has better diagnostic value to screen SAM cases in under-fives."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Wina Karinasari
"Latar belakang: Pneumonia rumah sakit adalah infeksi paru yang didiagnosis setelah rawat >48 jam setelah masuk rawat dan tanpa adanya tanda infeksi paru pada saat awal perawatan atau pneumonia yang didiagnosis pada saat awal masuk perawatan dengan riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya dengan jarak antar rawat inap 10-14 hari. Pneumonia rumah sakit merupakan salah satu infeksi nosokomial yang sering terjadi pada perawatan pasien anak di rumah sakit. Kasus pneumonia rumah sakit dapat berakibat meningkatkan angka kesakitan dan kematian, memperpanjang lama rawat inap serta biaya yang dikeluarkan. Tujuan: mengetahui karakteristik dan proporsi mortalitas pneumonia rumah sakit pada anak. Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap subyek usia >1 bulan dan ≤18 tahun di RSCM selama 2015-2018 melalui telusur rekam medis. Hasil: Sebanyak 86 subyek didapatkan dengan karakteristik subyek dengan pneumonia rumah sakit terbanyak pada penelitian ini adalah usia 1-24 bulan, memiliki lebih dari satu komorbiditas status nutrisi gizi baik dan memiliki awitan lambat. Simpulan: Subyek dengan pneumonia rumah sakit terbanyak pada penelitian ini mempunyai karakteristik usia 1-24 bulan, memiliki lebih dari satu komorbiditas, status nutrisi gizi baik, memiliki lama rawat 8-14 hari, dan berawitan lambat. Proporsi mortalitas subyek dengan pneumonia rumah sakit pada penelitian ini sebesar 24,4%. Karakteristik mortalitas juga dapat dipengaruhi oleh status nutrisi yaitu gizi buruk, kelompok usia, jenis komorbiditas, lama rawat dan jenis awitan.

Background: Hospital-acquired pneumonia (HAP) is defined as a pulmonary infection that occurs >48 hours after admission to hospital or within 10-14 days after discharge. It is the most common hospital-acquired infection in children. Its occurrence represents increase hospital stay, additional cost, morbidity and mortality. Objective: To investigate the characteristic and mortality of hospital-acquired pneumonia in children Methods: It is a retrospective cohort study involving 86 subjects through medical records, inclusive to >1 months old - ≤18 years old patients, in RSCM Jakarta within 2015-2018. Results: There are 86 subjects with characteristic of HAP in this study are age 1-24 months old, has more than one comorbidity, good nutritional status and late onset. Conclusion: General characteristic of HAP in this study are, age 1-24 months old, has more than one comorbidity, good nutritional status, length of stay 8-14 days and late onset. The mortality proportion of HAP in this study is 24.4%. The mortality characteristic was influenced by nutritional status (severe malnutrition), comorbidities, age, length of hospital stay and onset of the disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Widyapuri
"ABSTRAK
Latar Belakang: Glukokortikoid berperan penting dalam pengobatan leukemia limfoblastik akut (LLA), namun dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HHA). Penekanan aksis HHA menyebabkan respons kortisol terhadap stres berkurang sehingga merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas LLA pada anak.
Tujuan: Mengetahui fungsi kelenjar adrenal pada anak dengan LLA setelah kemoterapi fase induksi dengan glukokortikoid dosis tinggi.
Metode: Penelitian bersifat before and after dengan menilai fungsi kelenjar adrenal pada pasien LLA baru sebelum kemoterapi fase induksi yang mendapatkan prednison atau deksametason oral selama 6 minggu dan setelah tapering off glukokortikoid selama 1 minggu. Sebanyak 20 subjek dari 4 rumah sakit di Jakarta direkrut dan dianalisis. Penilaian fungsi kelenjar adrenal dilakukan dengan uji stimulasi ACTH dosis standar (250 μg).
Hasil: Dari 20 subjek, terdapat 14 subjek yang mengalami insufisiensi adrenal pasca-kemoterapi fase induksi berdasarkan kriteria peningkatan kortisol pasca-uji <18 μg/dL. Nilai median kadar kortisol pra-uji dan pasca-uji sebelum kemoterapi berturut-turut adalah 14,72 μg/dL (2,01 – 46,1 μg/dL) dan 29,29 μg/dL (21,65 – 55,15 μg/dL), dan kadar kortisol pra-uji dan pasca-uji sesudah kemoterapi berturut-turut adalah 5,87 μg/dL (0,2 – 20,53 μg/dL) dan 10,49 μg/dL (0,33 – 28,69 μg/dL). Gejala klinis tidak berbeda bermakna antara subjek yang mengalami insufisiensi adrenal dengan yang mereka tidak mengalami insufisiensi adrenal.
Simpulan: Sebanyak 14 dari 20 subjek mengalami insufisiensi adrenal setelah mendapatkan glukokortikoid dosis tinggi selama kemoterapi fase induksi walaupun telah tapering off selama 1 minggu. Tidak ada gejala klinis yang spesifik ditemukan berkaitan dengan insufisiensi adrenal.

ABSTRACT
Background: Glucocorticoids play an important role in the treatment of acute lymphoblastic leukemia (ALL), but can cause side effects such as suppression of the hypothalamic-pituitary-adrenal (HHA) axis. Suppression of the HHA axis causes adrenal insufficiency and disturb cortisol response to stress and may be a cause of morbidity and mortality in children ALL.
Objective: To evaluate adrenal function in children with ALL after induction chemotherapy with high dose glucocorticoids.
Methods: Twenty children with ALL were evaluated using standard dose (250 μg) adrenocorticotropin hormone (ACTH) test before and after their treatment with prednisone or dexamethasone for 6 weeks of induction phase followed by 1 week tapering off.
Results: Adrenal insufficiency was found in 14 of 20 subjects after induction phase followed by 1-week tapering off based on cortisol post-stimulation <18 μg/dL. The median of cortisol pre- and post-stimulation before induction phase are 14,72 μg/dL (2,01 – 46,1 μg/dL) and 29,29 μg/dL (21,65 – 55,15 μg/dL), dan cortisol pre- and post-stimulation after induction phase are 5,87 μg/dL (0,2 – 20,53 μg/dL) dan 10,49 μg/dL (0,33 – 28,69 μg/dL). Clinical signs and symptoms did not differ between those who had adrenal insufficiency with those who did not have adrenal insufficiency.
Conclusions: Fourteen out of 20 children with ALL developed adrenal insufficiency after a 6-week induction therapy with glucocorticoids and 1-week tapering off. No specific clinical signs and symptoms were related to adrenal insufficiency."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emilda
"ABSTRAK
Latar Belakang. Penyakit jantung bawaan (PJB) asianotik pirau kiri ke kanan
merupakan kelompok PJB yang sering ditemukan. Aliran pirau yang terjadi
memengaruhi sistem respiratori, sehingga terjadi ventilasi perfusi mismatch dan
menurunkan compliance paru yang memudahkan pasien untuk mengalami infeksi
respiratori akut (IRA) berulang.
Tujuan. Mengetahui kekerapan IRA pada anak dengan PJB asianotik pirau kiri ke
kanan.
Metode. Penelitian ini merupakan kohort prospektif yang dilakukan di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) dan Pelayanan Jantung Terpadu (PJT)
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), selama bulan September 2012
hingga April 2013. Kelompok PJB adalah pasien PJB asianotik pirau kiri ke kanan
berusia 3 bulan-5 tahun. Kelompok kontrol adalah anak yang tidak menderita PJB
asianotik pirau kiri ke kanan yang diambil secara matching umur dan jenis
kelamin. Data penelitian dianalisis dengan uji Kai kuadrat, t tidak berpasangan,
dan Mann-Whitney menggunakan SPSS versi 19.
Hasil. Penelitian dilakukan pada 100 subjek, 6 subjek mengalami drop out.
Insidens IRA pada kelompok PJB asianotik pirau kiri ke kanan adalah 40-60%,
kelompok kontrol 20-30% (P=0,027). Risiko relatif pasien PJB mengalami IRA
adalah 2,3 kali (IK 95% 1,2-4,3) dibanding kelompok kontrol (P=0,006). Jenis
IRA terbanyak pada kelompok PJB dan kontrol adalah IRA atas (118 dan 66
kasus), IRA bawah pada kelompok PJB berjumlah 26 kasus, sementara kelompok
kontrol 3 kasus. Rerata episode IRA pada kelompok PJB adalah 3 (SD 1,1),
kelompok kontrol 1,5 (SD 0,9) dengan P<0,0001. Kejadian IRA berulang pada
kelompok PJB lebih sering dibanding kelompok kontrol (P<0,0001). Median lama
IRA pada kelompok PJB adalah 7 hari (4-14 hari), sementara kelompok kontrol 5
hari (2-12 hari) P<0,0001.
Simpulan. Kejadian IRA berulang pada kelompok PJB asianotik pirau kiri ke
kanan lebih sering dibandingkan kelompok kontrol.

ABSTRACT
Background. Acyanotic left-to-right shunt congenital heart disease (CHD) is the
most frequent CHD. The flow of the shunt may affect the respiratory tract,
resulting in ventilation perfusion mismatch and decrease the lung compliance.
This, in return, will cause patient suffer from recurrent acute respiratory tract
infection (ARI).
Objective. To describe the frequency of ARI in children with acyanotic left-toright
shunt CHD
Method. This was a prospective cohort study, done in Department of Child
Health and Integrated Heart Service of Cipto Mangunkusumo Hospital from
September 2012 to April 2013. Subjects were acyanotic left-to-right shunt CHD
with consist of children age 3 month?5 years old. Control group was children with
no CHD that was matched with age and sex. Data was analyzed using chi square,
unpaired t test, and Mann-Whitney test.
Result. Study was performed in 100 subjects, 6 subjects were dropped out. The
incidence of ARI on the CHD group was 40-60%, whereas in the control group
only 20-30% (P=0.027). The relative risk of CHD patients to have ARI is 2.3
(95% CI 1.2-4.3) compared to control group (P=0.006). The most frequent ARI in
CHD and control groups were upper ARI (118 and 66 cases), followed by lower
ARI (26 and 3 cases). The mean frequency of ARI episode in the CHD group was
3 (SD 1.1), whereas in the control group 1.5 (SD 0.9) (P<0.0001). The recurrent
of ARI cases were also more frequently found in the CHD group compared to
control group (P<0.0001). The median of ARI duration in the CHD group was 7
days (4-14 days), while in the control group was 5 days (2-12 days) (P<0.0001).
Conclusion. Recurrent of ARI is more frequent in the acyanotic left-to-right shunt
CHD children compared to the control group."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhyno Febriyanto
"Latar belakang: Remaja merupakan kelompok risiko tinggi defisiensi besi. Adanya obesitas pada remaja meningkatkan risiko defisiensi besi disebabkan perbedaan pola asupan dan inflamasi kronis derajat rendah.
Tujuan: Mengetahui status besi remaja usia 15 -17 tahun dengan obesitas.
Desain penelitian: Penelitian potong lintang pada remaja usia 15 ? 17 tahun di dua SMU Jakarta Pusat pada bulan September ? November 2015. Subjek dibagi 2 kelompok berdasar indeks massa tubuh (IMT). Subjek obes bila IMT≥P95 dan non-obes bila IMT ≥P5 -
Hasil penelitian: Diperoleh 100 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) diperoleh 52 subjek obes dan 48 subjek non-obes. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik proporsi defisiensi besi dan anemia defisiensi besi pada kelompok obes dan non-obes (9,6% vs 16,7%; p=0,295). Tidak terdapat perbedaan bermakna asupan besi total kelompok obes dan non-obes ( 8 (2,6 ? 95,9) mg/hari vs 10 (1,8 ? 83,4) mg/hari; p=0,188). Persentase asupan besi heme kelompok obes lebih tinggi dibandingkan kelompok non-obes ( 31 (0,0 ? 95,6)% vs 20 (15,2 ? 100,0)%; p=0,029).
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik proporsi defisiensi besi dan anemia defisiensi besi remaja usia 15 ? 17 tahun dengan obes dan non-obes. Tidak terdapat perbedaan rerata asupan besi remaja usia 15 - 17 tahun dengan obes dan non obes.

Background. Adolescent period is high risk group of iron deficiency. Obesity can increase the risk of iron deficiency. It was caused by low iron intake and low grade chronic inflammation.
Objective. To assess whether obese adolescents, who often have poor dietary habits, are at increased risk of iron deficiency.
Methods: Cross-sectional study on adolescence 15 to 17 years old in Senior High School in Central Jakarta between September to November 2015. Subject was divided into 2 groups based on body mas index (BMI). Obese group if BMI ≥P95 and non-obese group if BMI ≥P5 -
Results. There are 100 subjects that meet the inclusion and exclusion criteria. There was no significance difference proportion of iron deficiency and iron deficiency anemia between obese and non-obese group (9,6% vs 16,7%; p=0,295). Both groups did not significantly differ in total iron intake ( 8 (2,6 ? 95,9) mg/day vs 10 (1,8 ? 83,4) mg/ day; p=0,188). Obese groups have higher heme iron intake than non-obese groups ( 31 (0,0 ? 95,6)% vs 20 (15,2 ? 100,0)%; p=0,029).
Conclusion. Proportions of iron deficiency and iron deficiency anemia were same in both adolescence group. There was no difference in iron intake in obese and non-obese adolescence."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jenni Kim Dahliana
"Latar belakang. Gangguan perkembangan koordinasi GPK berdampak pada tumbuh kembang anak, dan saat ini belum ada penelitiannya di Indonesia.
Tujuan. Mencari prevalens GPK, tersangka GPK, faktor risiko, serta dampak GPK terhadap tumbuh kembang anak usia sekolah.
Metode. Potong lintang, deskriptif analitik di 4 sekolah dasar: SD Tiara Kasih, SDN 03 Menteng, SDN 01 Menteng di Jakarta dan SD Bina Pratama di Tangerang, pada Nopember 2015 - Nopember 2016. Menggunakan modifikasi terjemahan DCDQ untuk mencari prevalens, dan analisis statistik untuk menilai faktor risiko GPK. Potong lintang perbandingan untuk meneliti dampak GPK terhadap status gizi dengan IMT, perilaku menggunakan SDQ bahasa Indonesia, dan prestasi akademik nilai rapor sekolah. Didapat 27 anak GPK, terjaring dari tersangka GPK, dan dilakukan pemeriksaan BOTMP serta dipasangkan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tingkat kelas dengan 54 kontrol.
Hasil. Dari 861 subyek terdapat 104 12 [IK95 9,92-14,28] anak tersangka GPK, dan 27 3,14 [Ik 95 1,98-4,30] anak GPK. Faktor risiko tersangka GPK adalah riwayat keluarga GPK dan keterlambatan perkembangan. Faktor risiko GPK adalah riwayat keluarga GPK. Anak GPK mempunyai kemungkinan peningkatan risiko untuk menjadi obesitas OR 8,31 IK 95 2,54-18,54, gangguan perilaku OR 13,43 IK 95 3,85 ndash;49,53, prestasi akademik lebih rendah OR 39,88 IK 95 6,30 ndash;253,46 dibandingkan kontrol.
Kesimpulan. Prevalens tersangka GPK cukup tinggi dan GPK mempunyai dampak terhadap obesitas, gangguan perilaku, dan prestasi akademik yang rendah pada anak usia sekolah.

Background. Developmental coordination disorder DCD is highly correlated to child 39 s growth and development, however there rsquo s no DCD data available in Indonesia.
Objective. To explore the prevalence and the risk factor of DCD at school age children and its impact on their growth and development.
Methods. Cross sectional descriptive analytic study, data were available from three elementary schools located in Jakarta Tiara Kasih, 03 Menteng, 01 Menteng and one elementary school located in Tangerang Bina Pratama. The Study was conducted between November 2015 and November 2016, to calculate the prevalence of probable DCD by using modified DCDQ Indonesian version. Cross sectional comparative study was also performed to explore the association between DCD and other factors nutritional status using IMT, behavior difficulties, and academic achievement at school age children. Behavior difficulties and academic achievement were assessed using SDQ Indonesian version and teacher reports respectively. Twenty seven children with confirmed DCD were retrieved from probable cases using BOTMP measurement. The confirmed DCD were paired with 54 controls based on gender, age and school grade.
Results. There were 104 probable DCD found from 861 children 12 95 CI 9,92 14,28, whereas only 27 confirmed cases were found 3,14 95 CI 1,98 4,3. The risk factors for probable DCD were delayed development and history of DCD in family, while for confirmed case only history of DCD in family. Children with confirmed DCD had significant increased risk for obesity OR 8,31 95 CI 2,54 18,54, behavior difficulties OR 13,43 95 CI 3,85 49,53, and poorer scores on academic achievement OR 39,88 95 CI 6,30 253,46 if compared to normal children.
Conclusion. The prevalence of DCD is quite high in school age children, and it has impact on their nutritional status, behavior difficulties, and academic achievement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Intan Fitriana
"Latar belakang: Prevalens late steroid resistance (LSR) makin meningkat pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Fungsi ginjal yang menurun dapat memperburuk prognosis LSR. Penelitian terkait mengenai faktor risiko LSR pada anak (SNI) masih terbatas, padahal pengenalan terhadap faktor risiko ini diperlukan untuk deteksi dini dan mengotimalkan terapi.
Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik anak yang didiagnosis SNI awitan inisial seperti jenis kelamin, usia awitan SNI, hipertensi, kadar hemoglobin, albumin, ureum, laju filtrasi glomerulus, hematuria mikroskopik dan jangka waktu sejak dinyatakan remisi dan telah menyelesaikan pengobatan inisial terhadap terjadi relaps pertama kali dapat menjadi faktor risiko LSR pada anak dengan SNI.
Metode penelitian: Penelitian kasus-kontrol dengan penelusuran retrospektif yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak di FKUI-RSCM, RSUP. Fatmawati dan RSUP. Dr. Mohammad Hoesin periode Maret-Mei 2018 yang terbagi menjadi kelompok LSR dan SNSS. Pengambilan rekam medis anak dengan diagnosis SNI yang melakukan kunjungan pengobatan di poli nefrologi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian: Dilakukan analisis pada 100 anak dengan LSR dan 100 anak dengan SNSS. Anak laki-laki didapatkan lebih banyak daripada anak perempuan pada dua kelompok dengan median usia 4,12 (1,0-17,40) tahun. Faktor yang secara bermakna berpengaruh terhadap kejadian LSR pada anak dengan SNI pada analisis bivariat adalah: kadar ureum ≥ 40mg/dL (OR 1,68; IK 95% 1,45-4,53) dan adanya hematuria mikroskopik (OR 2,45; IK 95% 1,35-4,47).
Simpulan: Faktor risiko yang berperan terhadap kejadian LSR pada anak dengan SNI adalah kadar ureum ≥ 40 mg/dL dan terdapat hematuria mikroskopik.

Background: Prevalence of late steroid resistance (LSR) tends to be increased in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). Renal function deterioration may worsen the prognosis. Previous studies about the risk factors for LSR in children with INS were still limited, while early detection is the most important thing to do proper treatment.
Objectives: to determine whether age of onset, sex, hypertension, hemoglobin level, albumin, ureum, filtration glomerular rate, microscopic hematuria, and first relaps may influence the occurrence of LSR in children with INS. Methods. Case control study with restrospective medical record investigation was performed in INS children who visited to dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Fatmawati and dr. Mohammad Hoesin General Hospital, during March-May 2018. Case and control group was children with LSR and sensitive steroid. Bivariate and multivariate analysis to identify significant risk factors.
Results: There were each 100 children with LSR and steroid sensitive. No different of sex ratio in each group with median of age 4,12 (1,0-17,40) years old. Factors which associated significantly with LSR on bivariate analysis were ureum level ≥ 40mg/dL (OR 1,68; IK 95% 1,45-4,53), microscopic hematuria (OR 2,45; IK 95% 1,35-4,47), and glomerular filtration rate (OR 1,43 IK 95% 0,79-2,57). Factors which associated significantly with LSR on multivariate analysis include ureum level ≥ 40mg/dL (OR 2,199; IK 95% 1,19-4,04), microscopic hematuria (OR 2,05; IK 95% 1,08-3,88).
Simpulan: Risk factors associated with LSR in INS are ureum level ≥ 40 mg/dL and microscopic hematuria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>