Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aqilah Shafa Tsabitah
"TikTok adalah salah satu platform media sosial paling populer yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari manusia dan berkembang pesat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Studi korelasional ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara pengunaan TikTok dengan harga diri dan kepuasan citra tubuh penggunanya, dua variabel yang memiliki keterkaitan kuat dengan penggunaan TikTok. Studi ini merekrut 381 peserta berusia 17 hingga 78 tahun melalui convenience sampling dari komunitas melalui survei daring dan menggunakan kuesioner korelasional untuk pengumpulan data. Hasil dari studi kami menunjukkan bahwa penggunaan TikTok yang tinggi secara signifikan terkait dengan tingkat harga diri dan kepuasan citra tubuh yang lebih rendah. Studi ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut yang bertujuan untuk memahami lebih komprehensif tentang dampak TikTok terhadap well-being penggunanya, yang dapat berkontribusi dalam mengembangkan rencana intervensi untuk meminimalkan dampak negatif dari pengunaan TikTok.

TikTok is one of the most popular social media platforms that has become an integral part of humans’ daily lives that has been developing rapidly to fulfill people’s needs. This present correlational study aims to investigate the relationship of TikTok consumption with its users’ self-esteem and body image satisfaction, two variables that are found strongly associated with TikTok consumption. This study recruited 381 participants aged 17 to 78 through convenience sampling from the community via online survey dissemination and used a correlational questionnaire for data collection. The results indicated that high consumption of TikTok is significantly associated with lower levels of self-esteem and body image satisfaction. This study can serve as a foundation for further research that aims for a more comprehensive understanding of the nature of TikTok’s effects on users’ well-being, which may be contributive in developing intervention plans to minimize the negative implications of TikTok consumption."
Depok: Fakultas Fakultas Psikologi Universitas ndonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Yani
"Adanya perubahan sistem pendidikan menjadi inklusif, menuntut guru untuk mengajar siswa dengan berbagai kebutuhan. Perubahan tersebut memungkinkan munculnya burnout karena kelebihan beban kerja, perubahan tugas guru, dan sarana dan prasarana tidak mendukung. Bila kondisi ini dibiarkan maka akan mengganggu proses school adjustment khususnya anak berkebutuhan khusus yang berada di kelas 1 dan kelas 2 karena mereka membutuhkan hubungan yang baik dengan guru. Penelitian ini hanya akan meminta guru memberikan penilaian terhadap kondisi burnout yang dialaminya, maupun memberikan rating school adjustment terhadap anak berkebutuhan khusus secara umum. penelitian ini melibatkan 46 responden guru sekolah dasar inklusif di wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Depok. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ketiga dimensi burnout dengan perceived school adjustment dengan nilai korelasi r= -0.296 hingga -0.388.

Change in the education system to be inclusive, requires teacher to teach students with various needs. The change are likely to lead burnout due to work overload, changes in the teacher assignments, and then facilities and infrastructure does not support. If this condition is left it will interfere with the process of school adjustment children especially childen with special needs who are in grade 1 and grade 2 because they need a good relationship with teacher. This research only ask the teacher gives an assessment of the conditions they experienced burnout, as well as providing rating of school adjustment children with special need in general. This study involved 46 respondents inclusive primary school teacher in East Jakarta, South Jakarta, and Depok. The result indicate t there is a significan relationship between three dimensions of burnout with perceived school adjustment. Value of correlation two variabels are 0.296 to -0.388"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S47015
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madinatul Munawaroh
"Karakteristik khusus dari anak dengan autistic spectrum disorder (ASD) umumnya membuat para orang tua khususnya ibu sebagai caregiver utama dari anak-anak ASD memiliki well-being yang rendah. Belum lagi kebutuhan akan pendidikan untuk anak yang mulai memasuki usia sekolah membuat beban dan stres ibu semakin bertambah. Perceived social support diasumsikan mampu menjadi penahan dalam menghadapi situasi yang menekan (stressful). Perceived social support yang dimaksud berasal dari tiga jenis sumber, yaitu keluarga, teman, dan significant other. Penelitian ini melibatkan 32 responden yaitu para ibu dari anak dengan ASD di sekolah inklusif di kota Jakarta Timur dan Depok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara ketiga jenis sumber dari perceived social support dan psychological well-being (r= .446). Jenis sumber keluarga dan significant other berkorelasi positif dan signifikan dengan psychological well-being (r= .360 dan r=.575). Tidak ada perbedaan signifikan antara usia ibu, jenis pekerjaan ibu, status pernikahan ibu, tingkat pendidikan, jumlah anak, pengeluaran per bulan, jenis kelamin anak, jenis ASD anak, dan urutan kelahiran anak dengan ASD.

In general, unique characteristic from chidren with autistic spectrum disorder (ASD) bring negative results for parent’s mental health, especially for mothers who are role as a primary caregiver from children with ASD. Moreover, education need for their school-aged children increase high-level on negative symptoms. Perceived social support assumed as a buffer against stressful events by reducing stress level. Perceived social support which are included from family, friends, and significant other. This research involved 32 mothers of children with ASD.
The results showed that there is a significant and positive relationship between perceived social support and psychological well-being (r= .446). In addition, subtes family and significant other significantly correlated with psychological well-being (r= .360 and r=.575).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46960
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margareta Avenia Dinda Ardani
"Memasuki dunia perkuliahan bukanlah hal yang mudah yang harus dialami oleh remaja. Banyak perubahan dan tantangan yang harus dialami, seperti tantangan akan akademis, lingkungan sosial dan attachment terhadap pilihan jurusan. Untuk dapat bertahan dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan yang terjadi, mahasiswa baru perlu melakukan penyesuaian atau biasa disebut college adjustment. Salah satu adjustment yang penting di universitas adalah academic adjustment. Dari berbagai faktor yang dapat mempengaruhi academic adjustment, faktor keluarga dinilai sebagai faktor yang penting. Faktor keluarga yang akan diteliti adalah family functioning atau keberfungsian keluarga mengenai cara keluarga menjalankan fungsi-fungsinya.
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin melihat apakah terdapat hubungan antara family functioning dengan academic adjustment pada mahasiswa baru Universitas Indonesia. Partisipan penelitian ini terdiri dari 315 mahasiswa Universitas Indonesia yang tersebar dalam 13 fakultas dan program vokasi. Family functioning diukur dengan mengunakan Family Adaptability and Cohesion Evaluation Scale (FACES) yang dibuat oleh Olson, Bell, dan Joyce tahun 1978 dan Family Communication Scale (FCS) yang dibuat oleh Olson dan Barnes tahun 1982, sedangkan academic adjustment akan diukur dengan Student Adaptation to College Questionnaire oleh Baker dan Siryk.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara family functioning dan academic adjustment pada mahasiswa baru Universitas Indonesia. Hal ini dikarenakan ada faktor-faktor lain yang mungkin lebih memiliki hubungan dengan academic adjustment mahasiswa baru seperti motivasi internal dan peran peer.

Starting a new life in college is never an easy thing for adolescents. A lot of changes and challenges must be experienced, whether it is academic matter, social environment, or attachment to the chosen major. In order to survive, new college students need to do some adjustments which is usually called college adjustment. One of the important adjustments in college is academic adjustment. From various factors that might influence academic adjustment, family has an important role.
The purpose of this research is to identify relationships between family functioning and academic adjustment among the freshmen students in University of Indonesia. The participants are 315 freshmen from 13 faculties and Vokasi program. Family functioning is measured by Family Adaptability and Cohesion Evaluation Scale (FACES), made by Olson, Bell, and Joyce in 1978 and Family Communication Scale, made by Olson and Barnes in 1982. Academic adjustment is measured by Student Adaptation to College Questionnaire, made by Baker and Siryk.
The result of this research showed that there is no significant relationship between family functioning and academic adjustment among freshmen students in Universitas Indonesia. This is caused by other factors which might have stronger corelation and need further examination such as internal motivation and peer.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S58001
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karisa Elisabeth Lokita
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji validitas dan reliabilitas dari alat ukur Academic Grit Scale AGS yang baru dikonstruksi untuk mengukur academic grit. Validitas kriteria dan validitas konvergen digunakan dengan mengkorelasikan AGS dengan conscientiousness pada Big-Five Personality, Short Grit Scale Grit-s , dan indeks prestasi akademik IPK . Partisipan pada penelitian ini merupakan 155 orang mahasiswa jurusan psikologi di University of Queensland. Ditemukan bahwa AGS valid untuk mengukur academic grit. Hal ini dibuktikan dengan adanya korelasi yang positif antara AGS dengan conscientiousness, Grit-S, dan IPK. Reliabilitas dari AGS juga memiliki nilai yang baik =0,76 . Meskipun begitu, diperlukan perbaikan pada satu buah item dengan indeks diskriminasi item yang rendah. Item-item lainnya memiliki indeks diskriminasi item yang berkisar antara 0,28-0,69. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa AGS merupakan alat ukur yang valid dan reliabel untuk mengukur academic grit. Selanjutnya, alat ukur ini masih dapat dikembangkan dengan memperbaiki indeks diskriminasi item dan mengurangi jumlah item. Penggunaan AGS dapat membantu merancang intervensi untuk meningkatkan academic grit pada siswa yang nantinya akan membantu meningkatkan performa akademik mereka.

This study aimed to evaluate the validity and reliability of the newly constructed Academic Grit Scale AGS , measuring academic grit. Criterion and convergent validities were tested by correlating AGS with Big-Five conscientiousness, Short Grit Scale Grit-s , and grade point average GPA . Study was conducted to 155 psychology students at University of Queensland. AGS was found to be a valid measure of academic grit, where its results correlated positively with conscientiousness, Grit-S, and GPA. Reliability of the scale was also good a = .76 . However, one item had poor item discrimination index that needed to be improved. Other items had item discrimination indices from the range of .28-.69. In conclusion, AGS was a valid and reliable measure of academic grit. The scale could still be improved, by improving the items rsquo; item discrimination indices and decreasing the number of items. Future use of AGS could support creation of intervention to increase students rsquo; academic grit, which will consequently help their academic performance.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Amino Military Remedika
"TikTok adalah platform tempat pengguna dapat menunjukkan kreativitas mereka, terhubung dengan orang lain, dan menikmati konten yang menghibur dan informatif. Penelitian ini mengeksplorasi potensi hubungan antara penggunaan TikTok, kepuasan pada tubuh, dan harga diri. Kami menggunakan survei yang didistribusikan secara luas di lingkungan keluarga dan sosial kepada mahasiswa universitas. Survei ini melibatkan 381 peserta, termasuk 217 perempuan, 152 laki-laki, sepuluh individu non-biner, dan dua lainnya. Peserta akan ditanya tentang penggunaan TikTok, kepuasan pada tubuh, dan harga diri mereka. Penggunaan TikTok diukur menggunakan Media and Technology Usage and Attitudes Scale yang dikembangkan oleh Rosen et al. Body Image Satisfaction Scale yang dikembangkan Alsaker digunakan untuk menilai kepuasan pada tubuh, sedangkan harga diri dinilai menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale. Hasil penemuan menunjukkan bahwa penggunaan TikTok berhubungan dengan penurunan kepuasan pada tubuh dan tingkat harga diri. Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan TikTokdapat memengaruhi citra tubuh dan harga diri, namun diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami sepenuhnya hubungan antara variabel-variabel tersebut.

TikTok is a platform where users can showcase their creativity, connect with others, and enjoy entertaining and informative content. This study explored the potential link between TikTok, body satisfaction, and self-esteem. We used a survey distributed widely within the university cohort’s familial and social circles. This survey included 381 participants, including 217 females, 152 males, 10 non-binary individuals, and two others. Participants were asked about their TikTok use, body satisfaction, and self-esteem. TikTok consumption was gauged using the Media and Technology Usage and Attitudes Scale developed by Rosen et al. Alsaker’s Body Image Satisfaction Scale was used to assess body satisfaction, while self-esteem was measured using the Rosenberg Self-Esteem Scale. Results indicate that TikTok use is connected to lower body satisfaction and self-esteem levels. These findings suggest that TikTok use may impact body image and self-esteem, but more research is needed to understand the relationship between these variables fully."
Depok: Fakultas Ilmu Psikologi Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gavin Caesario
"Quiet quitting merupakan suatu fenomena dimana seseorang melakukan usaha minimum di pekerjaan mereka. Sebelumnya, studi mengenai fenomena quiet quitting hanya menelusuri prevalensi fenomena tersebut di suatu populasi, seperti sensus atau survey data, tetapi tidak menulusuri mengapa quiet quitting terjadi, atau apa yang meningkatkan atau menuruni ada quiet quitting. Skripsi ini akan berusaha untuk menulusuri hubungan antara keaman pekerjaan dan stres dengan quiet quitting. Pengambilan data dilakukan melalui survei dan partisipan dipilih melalui convenience sampling. Data di analisa menggunakan desain korelasional dan analisis power. Hasil penelitian ini menemukan bahwa keaman pekerjaan mempunyai korelasi negatif yang signifikan dengan quiet qutting dan stres mempunyai korelasi positif yang signifikan dengan quiet quitting. Dari penemuan tersebut, ada suatu argumen yang bisa dibuat untuk menjembatani kepentingan pekerja dan pemimpin.

Quiet quitting is a phenomenon where employees decide to do the bare minimum in they day-to-day workload. Previous studies on quiet quitting focus on the prevalence of quiet quitting but very few examine the relationship between quiet quitting and variables that are typically found in the working world. This study aims to research the relationship job security and stress have with quiet quitting. This study selected (N = 363) participants selected through convenience sampling and collected the data through a larger survey consisting of other potential psychological measure correlates. The data was analysed using a correlational design and a power analysis. The results found that job security had a significant negative correlation with quiet quitting while stress had a significant positive correlation with quiet quitting. These findings could imply a possible reconciliation between employer and employee interests."
Depok: Fakultas PsikologiKomputer Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Javiera Mannuella
"Memahami korelasi psikologis dari perilaku penyimpangan dalam organisasi sangat penting untuk mencegah masalah yang lebih besar yang disebabkan oleh perilaku penyimpangan dalam organisasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengucilan dan perilaku penyimpangan dalam organisasi serta antara keletihan mental dan perilaku penyimpangan dalam organisasi. Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang melibatkan 349 peserta yang mengikuti survei online. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara pengucilan dan perilaku penyimpangan dalam organisasi. Selain itu, keletihan mental juga memiliki hubungan positif yang signifikan dengan perilaku penyimpangan dalam organisasi. Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa organisasi perlu memberikan perhatian lebih kepada karyawan yang mengalami pengucilan dan keletihan mental, karena mereka lebih mungkin melakukan perilaku penyimpangan dalam organisasi.

Understanding the psychological correlates of organisational deviance, is vital to prevent further damage that is caused by organisational deviance. The aim of this study is to explore the relationship between ostracism and organisational deviance and burnout and organisational deviance. The study is a correlational study that involves 349 participants who participated in an online survey. Results shows that there is a significant positive correlation between ostracism and organisational deviance. Also, burnout positively correlates with organisational deviance. The implication of this study is that organisation need to pay more attention to employee who are ostracised and burnout because they are more likely to perform organisational deviance that have negative consequences for the organisation."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Meinaldy
"Penelitian korelasional ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara attributional feedback yang diberikan guru dan creative selfefficacy pada pelajar sekolah menengah pertama. Attributional feedback didefinisikan sebagai umpan balik yang menghubungkan kesuksesan atau kegagalan dengan satu atau lebih penyebab (Schunk, 1987), sedangkan creative self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan yang bersifat sementara pada individu mengenai kemampuannya untuk melakukan tugas spesifik yang membutuhkan produksi solusi-solusi baru, orisinal, dan sesuai (Abbott, 2010). Pengukuran teacher attributional feedback dilakukan dengan alat ukur Teacher Feedback Scale (Burnett, 2002) dan pengukuran creative self-efficacy dilakukan dengan alat ukur Revised Model CTSE & CPSE II (Abbott, 2010). Data didapat dari 154 orang partisipan pelajar sekolah menengah pertama di Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif signifikan antara teacher effort feedback (r = 0,549) maupun teacher ability feedback (r = 0,542) dan creative thinking self-efficacy serta antara teacher effort feedback (r = 0,495) maupun teacher ability feedback (r = 0,489) dan creative performance self-efficacy, seluruhnya pada L.o.S. 0,01. Berdasar pada hasil penelitian, peneliti menyarankan pihak guru dan sekolah untuk berupaya memberikan attributional feedback yang tepat dan sesuai kepada pelajar sekolah menengah pertama dalam rangka mengembangkan creative self-efficacy pelajar untuk menghasilkan lulusan yang kreatif.

This correlational research was conducter to find the correlation between teacher attributional feedback and creative self-efficacy on junior high school students. Attributional feedback is defined as feedback which links students’ successes and failures with one or more causes (Schunk, 1987). Creative self-efficacy is defined as individual’s state-like belief in his or her own ability to perform specific tasks required to produce novel, original, or appropriate solutions (Abbott, 2010). Teacher attributional feedback was measured using Teacher Feedback Scale (Burnett, 2002) and creative self-efficacy was measured using Revised Model CTSE & CPSE II (Abbott, 2010). Data was collected from 154 junior high school students in Jakarta.
The main result shows that there are significant positive correlations between teacher effort attributional feedback and creative thinking self-efficacy (r = 0,549), between teacher ability attributional feedback and creative thinking self-efficacy (r = 0,542), between teacher effort attributional feedback and creative performance self-efficacy (r = 0,495), and also between teacher ability attributional feedbackand creative performance self-efficacy (r = 0,489) at L.o.S 0,01. Based on this result, it is suggested for teachers and schools to provide proper attributional feedbacks for the students in order to improve students’ creative self-efficacy and students’ creativity as well.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S58359
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdha Novha Nur Hassanah
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara dimensi metakognisi dan dimensi creative self-efficacy (CSE) pada guru sekolah dasar (SD). Metakognisi didefinisikan sebagai kesadaran individu terhadap proses kognitif dan afektif yang terjadi pada dirinya, serta kemampuan individu dalam meregulasi setiap proses tersebut untuk mencapai sebuah tujuan tertentu (Flavell, 1979). CSE merupakan keyakinan terhadap keadaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk melakukan tugas spesifik, yang membutuhkan produksi solusi-solusi baru, orisinal, dan sesuai (Abbott, 2010). Penelitian ini memiliki hipotesis bahwa metakognisi memiliki korelasi yang signifikan terhadap CSE. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian terhadap 93 guru sekolah dasar (SD). Alat ukur metakognisi yang digunakan adalah Metacognitive Awareness Inventory for Teacher (MAIT) (Balcikanli, 2011), sedangkan alat ukur CSE yang adalah Revised Model Creative Thinking Self-Efficacy (CTSE) II & Creative Performance Self-Efficacy (CPSE) II Inventories (Abbott, 2010). Melalui teknik statistik Pearson Correlation, ditemukan hubungan yang positif dan signifikan antara masing-masing dimensi dari metakognisi, yaitu metacognitive knowledge dan metacognitive regulation dengan dimensi dari CSE, yaitu CTSE dan CPSE. Berdasarkan hasil temuan tersebut, peneliti menyarankan kepada para guru untuk memerhatikan kemampuan metakognisi yang terjadi saat mengajar di dalam kelas, juga bagi pihak sekolah untuk memberikan pelatihan kepada para guru mengenai strategi pembelajaran tertentu guna meningkatkan keyakinan diri dalam mengekspresikan kreativitas di kelas.

This research was conducted to find the relationship between dimension metacognition and dimension creative self-efficacy (CSE) among elementary teacher. Metacognition is defined as awareness of one’s knowledge, concerning one’s own cognitive processes and affective states, and the ability to consciously deliberately monitor and regulates on which they bear, usually in the service of some concrete goals or objectives (Flavell, 1979). Meanwhile, CSE is an individual’s state-like belief in his or her own ability to perform the specific tasks required to produce novel, original, and appropriate solutions (Abbott, 2010). This study hypothesized that metacognition correlates significantly with CSE. There are 103 elementary teacher participated in this study. Metacognition is measured with Metacognitive Awareness Inventory for Teacher (MAIT) (Balcikanli, 2011), and CSE is measured with Revised Model Creative Thinking Self-Efficacy (CTSE) II & Creative Performance Self-Efficacy (CPSE) II Inventories (Abbott, 2010). The Pearson Correlation indicates that each dimension of metacognition, consist of metacognitive knowledge and metacognitive regulation is correlates positively and significantly with each dimension of CSE: CTSE and CPSE. Therefore, it is suggested that elementary teachers should know more about their own metacognition, specifically while they’re teaching in a class. In the other side, The Elementary school ought to held an intervention such a training to improve teachers skill of metacognition.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S58640
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>