Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abu Rachman
Abstrak :
Obat antidiabetes yang paling banyak diresepkan di Puskesmas Indonesia adalah metformin atau kombinasi metformin dan sulfonilurea. Studi tentang metformin telah menunjukkan berbagai dampak penurunan kognitif pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, sedangkan sulfonilurea telah terbukti mengurangi dampak ini. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dampak metformin dan metformin-sulfonilurea pada fungsi kognitif dan menentukan faktor apa yang mempengaruhinya. Studi potong lintang ini dilakukan di Puskesmas Pasar Minggu dengan melibatkan 142 pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengonsumsi metformin atau metformin-sulfonilurea selama >6 bulan dan usia >36 tahun. Fungsi kognitif dinilai menggunakan kuesioner Montreal Cognitive Assessment versi bahasa Indonesia. Efek dari metformin dan metformin-sulfonylurea pada penurunan kognitif tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, bahkan setelah mengontrol kovariat (aOR = 1,096; 95% CI =  13.008px;">0,523–2,297; nilai-p = 0,808). Analisis multivariat menunjukkan usia (OR = 4,131; 95% CI = 1,271–13,428; nilai-p = 0,018) dan pendidikan (OR = 2,746; 95% CI = 1.196–6.305; nilai-p = 0,017) mempengaruhi fungsi kognitif. Pendidikan yang lebih rendah dan usia yang lebih tua cenderung menyebabkan penurunan kognitif, tenaga kesehatan didorong untuk bekerja sama dengan ahli kesehatan masyarakat untuk mengatasi faktor risiko fungsi kognitif ini. ......The most prescribed antidiabetic drugs in Indonesian primary health care are metformin or a combination of metformin and sulfonylurea. Studies on metformin have shown various impacts on cognitive decline in patients with type 2 diabetes mellitus, whereas sulfonylurea has been shown to reduce this impact. This study aimed to compare the impacts of metformin and metformin-sulfonylurea on cognitive function and determine what factors affected it. This crosssectional study was conducted at Pasar Minggu Primary Health Care involving 142 type 2 diabetes mellitus patients taking metformin or metformin-sulfonylurea for >6 months and aged >36 years. Cognitive function was assessed using the validated Montreal Cognitive Assessment Indonesian version. The effects of metformin and metformin-sulfonylurea on cognitive decline showed no significant difference, even after controlling for covariates (aOR = 1.096; 95% CI = 0.523–2.297; p-value = 0.808). Multivariate analysis showed age (OR = 4.131; 95% CI = 1.271–13.428; p-value = 0.018) and education (OR = 2.746; 95% CI = 1.196–6.305; p-value = 0.017) affected cognitive function. Since a lower education and older age are likely to cause cognitive decline, health professionals are encouraged to work with public health experts to address these risk factors for cognitive function.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Finna Fitriana
Abstrak :
Latar belakang : Menurut European Occupational Disease Statistic pada tahun 2016, sebanyak 38,1 % dari Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah Musculoskeletal Disorders. Penelitian pada tahun 2013 pada industri perakitan elektrik di Thailand, penyebab terban- yak MDS ekstremitas atas adalah De quervain syndrome (DQS) dengan prevalensi 13.03%. Beberapa penelitian sebelumnya mengatakan bahwa faktor – faktor pekerjaan sangatlah penting sebagai faktor risiko terjadinya DQS, selain adanya faktor individu. Faktor tersebut disebabkan pemakaian otot yang berlebihan di sekitar jari hingga perge- langan tangan, gerakan yang berulang dalam periode waktu yang lama, gerakan dengan kekuatan, dan postur kerja statis dengan durasi waktu yang lama. Pada perusahaan man- ufaktur, proses produksi dilakukan dengan menggunakan alat-alat, mesin, dan juga tetap membutuhkan tenaga pekerja untuk aktivitas pekerjaan manual dan proses kerja yang tidak bisa digantikan oleh mesin. Karena aktivitas manual handling merupakan salah satu faktor risiko pekerjaan terhadap terjadinya DQS, perlu dilakukan studi DQS pada perusahaan manufaktur. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi DQS, mengiden- tifikasi, dan menganalisis hubungan faktor pekerjaan manual handling dan faktor undi- vidu terhadap temuan DQS . Metode : Metode penelitian ini cross section dengan menggunakan data sekunder berupa data hasil Medical Check Up (MCU) karyawan PT K tahun 2021. Sampel yang digunakan adalah seluruh data MCU karyawan dengan total 1244 sampel. Variabel bebas antara lain faktor pekerjaan manual handling dan faktor individu yaitu usia, jenis kelamin, dan masa kerja. Variabel terikat adalah De Quervain Syndrome. DQS ditentukan dengan hasil pemeriksaan tes Finkelstein pada saat MCU. Hasil : Total responden 1244, didapatkan prevalensi DQS 9%. Pada analisis hubungan faktor pekerjaan manual handling dan faktor individu usia, jenis kelamin, dan masa kerja menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan DQS pada pekerja PT K. Se- dangkan pada analisis multivariat juga menunjukkan bahwa tidak terdapat faktor-faktor yang paling dominan mempengaruhi DQS, dengan p>0.05 Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan signifikan antara faktor pekerjaan manual han- dling dan faktor individu terhadap DQS. ......Background: According to the European Occupational Disease Statistics in 2016, as much as 38.1% of Occupational Diseases are Musculoskeletal Disorders. Research in 2013 on the electrical assembly industry in Thailand showed that the most common cause of upper extremity MDS is Dequervain syndrome (DQS) with a prevalence of 13.03%. Occupational factors are very important as risk factors for DQS, in addition to individual factors. Manufacturing industry still need workers for manual activities and work processes that cannot be replaced by machines. Because manual handling is one of the occupational risk factors for DQS, it is necessary to study DQS in manufacturing indus- try. This study aims to determine the prevalence of DQS, identify, and analyze the relationship between manual handling and individual factors related to DQS. Method: This research method is a cross sectional using secondary data, PT K workers Medical Check-Up result in 2021. The samples was all workes’ MCU data with total 1244 samples. Independent variables are manual handling and individual factors, include age, gender, and years of service. The dependent variable is the DQS. The DQS was diagnosed with Finkelstein test. Results: A total of 1244 respondents were obtained, with the DQS prevalence 9%. In the analysis of the relationship between manual handling and individual factors (age, sex, and years of service) showed that no significant relationship with DQS in PT K workers. Multivariate analysis showed that there were no factors that most dominantly influenced DQS, with p>0.05. Conclusion: : There is no significant relationship between manual handling and individual factors with DQS.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandi Puspita
Abstrak :
Peningkatan jumlah lanjut usia di Indonesia sering diiringi dengan peningkatan gangguan kognitif. Leptin diketahui memiliki fungsi protektif terhadap fungsi kognitif pada lanjut usia, namun hingga saat ini hasil temuan peran leptin pada fungsi kognitif masih beragam, dan belum banyak dibahas di Indonesia. Selain itu peneliti melakukan analisis tambahan menggunakan Food Record dan penilaian antropometri pada subjek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar plasma leptin dengan fungsi kognitif pada lanjut usia di Jakarta. Penelitian ini merupkan penelitian analitik deskriptif potong lintang yang menggunakan purposive sampling sebagai metode pengambilan sampel. Subjek merupakan lanjut usia yang bertempat tinggal di Panti Sosial yang kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan instrumen MoCA-INA, kuesioner IADL, GPAQ, Food Record, plasma leptin, komposisi tubuh serta antropometri, yang dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat. Hasil dari penelitian, karakteristik subjek berusia 60-74 tahun, dengan mayoritas jenis kelamin wanita (69,1%), dengan status gizi normal (45,5%), massa lemak berkisar antara 18,10-57,10 %, massa otot berkisar antara 20,20-57,50 kg. Mayoritas tidak merokok, tingkat pendidikan rendah (≤ 12 tahun wajib belajar), aktifitas fisik sedang dengan keseluruhan kapasitas fungsional subjek mandiri. Sebesar (96,4%) lanjut usia mengalami gangguan fungsi kognitif, kadar leptin plasma memiliki nilai terendah 1,4 ng/mL, tertinggi 119,48 ng/m dengan median 6,2 ng/mL. Pada analisis bivariat ditemukan kadar leptin, IMT (Indeks Massa Tubuh), massa lemak, pendidikan, dan IADL memiliki hubungan bermakna dengan fungsi kognitif pada lanjut usia di Jakarta. Korelasi kadar leptin plasma dengan fungsi kognitif pada lanjut usia di Jakarta memiliki korelasi positif sedang dengan nilai r 0,52 dan signifikansi 0,000. ......The increasing of elderly population often accompanied by a rise in cognitive disorders. Leptin is known to have a protective function against cognitive decline in elderly. However, current finding regarding the role of leptin in cognitive function is vary, and has not been extensively discussed in Indonesia. Food record and anthropometric assessment is conducted as an additional analyses on subject. Aim of this study is to determine the relationship between plasma leptin levels and cognitive function in the elderly in Jakarta. This is a cross sectional descriptive analytical research using purposive sampling as the sampling method. Subject are elderly residing in social welfare home, and being assessed using MOCA-INA instrument, IADL and GPAQ questionnaire, plasma leptin, body composition, anthropometric and Food Record are measured. The data is analysed through univariate, bivariate and multivariate analysis. Result of this study are subject characteristic of age ranging from 60-74 years, with female as the majority (67.5%), normal nutritional status (46.2%), body fat ranging from 18.10 to 57.10 %, muscle mass 20.20 to 57.50 kg. Majority of subject do not smoke, have a low education level (≤ 12 year of education), engage in moderate physical activity, and having independent functional capacity. A total of 96.2% of the subject experience cognitive impairment. Plasma leptin levels ranging from 1.4 to 8.5 ng/mL, with median of 5.9 ng/mL. There is a significant relationship between leptin levels, body mass index, body weight, total body fat, education and IADL with cognitive function in the elderly in Jakarta. The correlation between plasma leptin levels and cognitive function in the elderly in Jakarta, shows a moderately positive correlation with r value of 0.47 and a significance of 0.000.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;Fakultas Teknik Universitas Indonesia;Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;Fakultas Teknik Universitas Indonesia;Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septiana Andri Wardana
Abstrak :
Latar Belakang. Prevalensi disabilitas pada pasien meningitis tuberkulosis (MTB) hampir setara dengan angka mortalitas mencapai 29-50%. Aspek luaran pasien MTB tidak cukup dinilai berdasarkan angka morbiditas dan mortalitasnya, namun mencakup kesehatan fisik, mental, dan sosial seperti yang didefinisikan oleh World Health Organization (WHO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup pasien MTB selesai obat anti-tuberkulosis (OAT) dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode. Studi potong lintang (cross sectional) dilakukan pada pasien MTB, termasuk tuberkuloma selesai OAT di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo periode Mei 2019-Juni 2023. Karakteristik demografis, klinis, diagnosis, tatalaksana pasien dinilai dari data rekam medis dan wawancara. Luaran kualitas hidup pasien dinilai menggunakan kuesioner SF (Short form)-36. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS versi 19.0, yaitu Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis untuk data kategorik, Spearman untuk data numerik. Hasil. Dari 53 subjek penelitian dengan median usia 30 (IQR 25,5-39) tahun, didapatkan median skor SF-36 yaitu, 86,5 (IQR 74,9-92,8). Median (IQR) skor pada aspek fisik (PCS) dan mental (MCS) kualitas hidup serupa, yaitu 85 (IQR 69,4-94,85) dan 88,1 (IQR 74,1-95,3). Faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien MTB selesai OAT antara lain penghasilan (p=0,033), kejang (p=0,028), kelemahan motorik (p=0,023), dan mRS saat pulang perawatan (p=0,007). Faktor yang berhubungan dengan skor PCS adalah pekerjaan (p=0,012), penghasilan (p=0,007), kelemahan motorik (p=0,024), dan mRS saat pulang perawatan (p=0,01). Faktor yang berhubungan dengan skor MCS adalah usia (p=0,006) dan kejang (p=0,025). Kesimpulan. Kualitas hidup pasien MTB selesai OAT berdasarkan skor SF-36, PCS, dan MCS tergolong baik. Faktor yang memengaruhi kualitas hidup lebih tinggi pada pasien MTB selesai OAT adalah berpenghasilan, tanpa klinis kejang atau kelemahan motorik, dan mRS saat pulang perawatan 0-2. Faktor yang memengaruhi aspek fisik lebih tinggi adalah pekerjaan, berpenghasilan, tanpa klinis kelemahan motorik, dan mRS saat pulang perawatan 0-2, sedangkan aspek mental lebih tinggi adalah usia ≥30 tahun dan tanpa klinis kejang. Kata kunci. Kualitas hidup, meningitis tuberkulosis, selesai OAT, SF-36< ......The prevalence of disabilities among tuberculous meningitis (TBM) patients almost similar with its mortality rate (29-50%). The comprehensive evaluation of long-term outcomes should encompass not only morbidity and mortality rates but also incorporate the dimensions of physical, mental, and social well-being as outlined by the World Health Organization (WHO). This study aimed to assess the quality of life (QoL) among patients with TBM following the completion of anti-tuberculosis treatment (ATT) and investigating the factors that have impacts on this particular aspect. Methods. Retrospective cross sectional study of TBM patients, including tuberculoma upon completion of ATT at dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital during May 2019-June 2023. Demographic, clinical, diagnostic, and treatment characteristics were conducted by medical records and interviews. The assessment of QoL in TBM patients was performed using Short form (SF)-36 questionnaire. Statistical analysis was performed with SPSS version 19.0 (Mann-Whitney and Kruskal-Wallis for categorical data, Spearman for numeric data). Result. The study involved 53 participants, with median of age 30 (IQR 25.5-39) years, demonstrated favorable median SF-36 score of 86.5 (IQR 74.9-92.8). Median of physical score (PCS) and mental score (MCS) almost similar, 85 (IQR 69.4-94.85) and 88.1 (IQR 74.1-95.3), respectively. The impact of various factors on QoL was assessed, revealing significant associations with monthly income (p=0.033), presence of seizure (p=0.028), motoric abnormalities (p=0.023), and mRS at discharge (p=0.007). Employment (p=0.012), monthly income (p=0.007), motoric abnormalities (p=0.024), and mRS at discharge (p=0.01) were identified as factors influencing the PCS score. Age (p=0.006) and presence of seizure (p=0.025) found to impact the MCS score. Conclusion. The evaluation of QoL in TBM patients after completing ATT utilizing SF-36 score, PCS, and MCS revealed favorable outcome. Several factors were found to significantly influence higher SF-36 score, including monthly income, absence of seizure and motoric abnormalities, and mRS at discharge of 0-2. Similarly, factors such as employment, monthly income, absence motoric abnormality, and mRS at discharge of 0-2 were associated with higher PCS scores. Furthermore, a higher MCS score was observed in patients aged 30 years or older and those without seizures. Keywords. Quality of life, QoL, tuberculous meningitis, completion ATT, SF-36
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sophie Yolanda
Abstrak :
Latar Belakang. Pada pasien penyakit Parkinson (PP), disfungsi otonom merupakan gejala PP yang menonjol, yang sangat memengaruhi kualitas hidup pasien PP. Identifikasi dan penilaian disfungsi otonom sangatlah penting dalam praktek klinis untuk menghindari komplikasi dan pemberian tatalaksana yang tepat, namun hingga saat ini gangguan otonom pada pasien PP masih underdiagnosed, antara lain karena ketidakcukupan metodologi objektif untuk mengukurnya. Penilaian gangguan otonom pada pasien PP dapat dinilai secara subjektif dengan kuesioner Scales for Outcomes in Parkinson’s Disease - Autonomic (SCOPA-AUT) dan secara objektif dengan sympathetic skin response (SSR) yang merepresentasikan fungsi termoregulasi, R-R interval (RRI) dan hipotensi ortostatik (HO) yang merepresentasikan fungsi kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan otonom termoregulasi dan kardiovaskular berdasarkan hasil pemeriksaan SSR, RRI, dan HO pada pasien PP di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode. Studi ini merupakan studi potong lintang deskriptif pada pasien PP yang dilakukan pemeriksaan menggunakan kuesioner SCOPA-AUT bahasa Indonesia, SSR, RRI, dan HO untuk mendiagnosis ada tidaknya gangguan otonom. Hasil pemeriksaan dianalisis dengan karakteristik demografis dan klinis pasien untuk menentukan faktor yang memengaruhi gangguan otonom pada pasien PP. Hasil. Sebanyak 25 subjek mengikuti penelitian dengan 11 pasien laki-laki dan 14 pasien perempuan. Rerata usia subjek penelitian adalah 56,52 (+14,72) tahun dengan median durasi PP 5 (1-20) tahun. Median skor MDS-UPDRS adalah 35 (4-122) dengan sebagian besar subjek berada di kelompok skala Hoehn & Yahr 1-2 (72%). Prevalensi gangguan otonom termoregulasi berdasarkan pemeriksaan SSR sebesar 48%. Prevalensi gangguan otonom kardiovaskular berdasarkan pemeriksaan RRI sebesar 82,5%, dan berdasarkan pemeriksaan HO sebesar 4,3%. Didapatkan korelasi negatif dengan kekuatan korelasi sedang antara usia dengan amplitudo SSR seluruh ekstremitas (manus kanan: rs -0,502, p 0,011; manus kiri: rs -0,544, p 0,005; pedis kanan: rs -0,539, p 0,005; pedis kiri: rs -0,533, p 0,006). Didapatkan hubungan yang bermakna antara stadium PP dengan RRI deep breathing (p 0,027). Didapatkan korelasi negatif dengan kekuatan korelasi sedang antara durasi PP dengan hasil pemeriksaan RRI ekspirasi minus inspirasi (E-I) deep breathing (rs -0,432, p 0,035). Didapatkan perbedaan selisih pengukuran tekanan darah (TD) sistolik yang lebih tinggi pada subjek yang memiliki komorbid stroke (4,55 (+8,43) vs 16,5 (+13,27), p 0,028) dan perbedaan selisih pengukuran TD diastolik yang lebih rendah pada subjek yang memiliki komorbid diabetes (7,5 (-19-0) vs -5 (-1-11), p 0,014). Didaptkan hubungan antara SCOPA-AUT INA domain termoregulasi dengan SSR pedis kanan (p 0,042) dan pedis kiri (p 0,03). Kesimpulan. Semakin tinggi usia pasien PP, semakin rendah nilai amplitudo SSR. Pasien PP dengan stadium Hoehn & Yahr 3-5 memiliki kemungkinan gangguan RRI saat napas dalam yang lebih tinggi. Semakin panjang durasi PP, semakin rendah hasil pemeriksaan RRI E-I saat napas dalam. Pasien PP dengan komorbid stroke memiliki selisih TD sistolik yang lebih tinggi dan pasien PP dengan komorbid diabetes memiliki selisih TD diastolik yang lebih rendah. Terdapat asosiasi antara nilai SCOPA-AUT INA domain termoregulasi dengan SSR pedis pasien PP. .....Background. In Parkinson's disease (PD) patients, autonomic dysfunction is a prominent symptom which greatly affects patients’ quality of life. Identification and assessment of autonomic dysfunction are very important in clinical practice to avoid complications and provide appropriate management, but to date autonomic disorders in PD patients are still underdiagnosed, partly due to the inadequacy of objective methodologies to measure them. Assessment of autonomic disorders in PD can be assessed subjectively with the Scales for Outcomes in Parkinson's Disease - Autonomic (SCOPA-AUT) questionnaire and objectively with the sympathetic skin response (SSR) which represents thermoregulatory function, R-R interval (RRI) and orthostatic hypotension (OH) which represents cardiovascular function. This study aims to determine the prevalence of autonomic thermoregulation and cardiovascular disorders based on the results of SSR, RRI, and HO examinations in PD patients at dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital and the factors influencing it. Method. This study is a descriptive cross-sectional study of PD patients who were examined using the Indonesian SCOPA-AUT questionnaire, SSR, RRI, and OH examinations to diagnose autonomic disorders. The examination results were analyzed with the patients’ demographic and clinical characteristics to determine factors influencing autonomic disorders in PD patients. Results. A total of 25 subjects took part in the study with 11 male and 14 female. The mean age of the subjects was 56.52 (+14.72) years with a median PD duration of 5 (1-20) years. The median MDS-UPDRS score was 35 (4-122) with most subjects being in the Hoehn & Yahr scale 1-2 (72%). The prevalence of autonomic thermoregulation disorder based on SSR examination was 48%. The prevalence of cardiovascular autonomic disorder based on RRI examination was 82.5%, and based on OH examination was 4.3%. There were negative correlations with moderate strength between age and SSR amplitude throughout the extremities (right manus: rs -0.502, p 0.011; left manus: rs -0.544, p 0.005; right pedis: rs -0.539, p 0.005; left pedis: rs - 0.533, p 0.006). A significant relationship was found between PD stage with RRI deep breathing (P 0.027). There was a negative correlation with moderate strength between PD duration and RRI expiration minus inspiration (E-I) deep breathing (rs -0.432, p 0.035). The difference in the systolic blood pressure (BP) in subjects with stroke comorbid was significantly higher (4.55 (+8.43) vs 16.5 (+13.27), p 0.028) and the difference in diastolic BP in subjects with diabetes comorbid was significantly lower (7.5 (-19-0) vs -5 (-1-11), p 0.014). There was an association between the SCOPA-AUT INA thermoregulation domain and both the right and left pedis SSR (p 0.042, p 0.03 respectively). Conclusion. The higher the age of the PD patient, the lower the SSR amplitude. PD patients with Hoehn & Yahr stage 3-5 have a higher likelihood of impaired RRI deep breathing. The longer the PD duration, the lower the RRI E-I deep breathing. PD patients with stroke comorbid had a higher difference in systolic BP and PD patients with diabetes comorbid had a lower difference in diastolic BP. There is an association between the SCOPA-AUT INA thermoregulation domain with pedis SSR of PD patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Allan Pascana
Abstrak :
Latar Belakang: Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan neurodevelopmental pada anak dan remaja. Prevalensi ADHD di seluruh dunia pada usia 3-12 tahun, mencapai 7,6%, di Indonesia mencapai 15,8 % pada anak usia 3-18 tahun, dan sebesar 15,5% di Jakarta. ADHD adalah peringkat pertama penyebab anak dibawa ke psikolog di Indonesia, yang terkait dengan gangguan fungsi kognitif hingga menyebabkan terganggunya prestasi akademis dan kualitas hidup anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik gangguan kognitif pada anak ADHD di Indonesia dan hubungannya dengan faktor demografis. Metode: Penelitian ini memiliki desain potong lintang yang dilakukan pada anak SD usia 7-12 tahun dengan menggunakan metode total sampling pada populasi terjangkau. Hasil: Subyek penelitian ini terdiri dari 34 anak dengan rata-rata usia subjek 9,68 (1,32) tahun, dengan 25 anak (73,5%) memiliki tipe inatensi. Delapan anak (23,5%) tipe kombinasi inatensi dan hiperaktivitas, dan 1 anak (2,9%) hiperaktif. Total skor rata-rata SYSTEMS-R yang diukur adalah 24,94 (8,21), 18 anak (52,9%) memiliki kemampuan kognitif normal, 16 anak (47,1%) defisit kognitif. Terdapat perbedaan bermakna pada domain atensi, kalkulasi, remote memory, bahasa, abstraksi dan visuospasial (p < 0,05) dengan abstraksi (91,2%), atensi (79,4%), kalkulasi (76,5%) dan bahasa (61,8%) adalah domain yang paling banyak memiliki angka di bawah rata-rata populasi umum. Faktor usia menunjukkan variasi signifikan (nilai p 0,024) berhubungan dengan skor total SYSTEMS-R pada anak ADHD. Tidak terdapat faktor demografis yang berhubungan secara statistik. Kesimpulan: Domain yang paling banyak memiliki nilai dibawah rata-rata populasi umum adalah domain atensi, domain yang termasuk dalam fungsi eksekutif yaitu abstraksi dan kalkulasi, Fungsi kognitif hanya berhubungan bermakna dengan faktor demografis usia dan subtipe ADHD. ......Background: Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) is a neurodevelopmental disorder in children and adolescents. The prevalence of ADHD worldwide in children aged 3-12 years 7.6%, while in Indonesia it reached 15.8%, and 15.5% in Jakarta. ADHD is the number one reason children are taken to psychologists in Indonesia, which is related to impaired cognitive function, causing disruption to children's academic performance and quality of life. The aim of this research is to determine the characteristics of cognitive disorders in ADHD children in Indonesia and their relationship with demographic factors. Method: This study had a cross-sectional design which was conducted on elementary school children aged 7-12 years using a total sampling method in an accessible population. Results: The subjects of this study consisted of 34 children with an average subject age of 9.68 (1.32) years, with 25 children (73.5%) having the inattention type. Eight children (23.5%) showed a combination of inattention and hyperactivity, and only 1 child (2.9%) as hyperactive. The total mean SYSTEMS-R score measured was 24.94 (8.21), 18 children (52.9%) has normal cognitive abilities, while 16 children (47.1%) has cognitive deficits. There is significant differences in attention, calculation, remote memory, language, abstraction dan visuospasial (p < 0,05) with the domains of abstraction (91.2%), attention (79.4%), calculation (76.5%) and language (61.8%) are the domains that have the most numbers below the general population average. The age factor is a demographic factor showing significant variation (p value 0.024) associated with the total SYSTEMS-R score in ADHD children. When associated with cognitive function deficits in ADHD children, there were no demographic factors that were statistically related. Conclusion: The domain that has the most scores below the general population average is the attention domain, a domain that is included in executive function, namely abstraction and calculation. as well as the language and visuospatial domains. Cognitive function was only significantly related to age in demographic factors and ADHD subtype.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cikariska Arifin
Abstrak :
Latar Belakang: Dosen, tenaga kependidikan, dan staf lainnya di perguruan tinggi seringkali menghadapi beban kerja yang besar dalam melaksanakan pekerjaannya. Beban kerja yang besar dapat mengarah ke pengabaian perilaku sehat seperti istirahat yang cukup, olahraga, makan teratur, dan pengelolaan stress. Kebiasaan kurang sehat tersebut dapat menyebabkan gangguan keseimbangan otonom sebagai regulator fungsi organ internal yang kemudian mengarah ke kondisi patologis seperti gangguan metabolik, salah satunya pada regulasi glukosa darah.  Studi ini mengeksplorasi hubungan antara status fungsional sistem saraf otonom berdasarkan Index of Regulation System Activity (IRSA) sebagai salah satu alat ukur status fungsional sistem saraf otonom yang praktis digunakan dan faktor-faktor lainnya terhadap glukosa darah puasa pada pegawai perguruan tinggi sehingga dapat menyajikan pendekatan baru dalam mendeteksi risiko gangguan metabolisme glukosa. Metode: Penelitian ini menggunakan desain observasional potong lintang pada karyawan Fakultas X, Universitas Y. Pengambilan data melibatkan pengukuran IRSA dan profil glukosa darah dari data sekunder pemeriksaan kesehatan tahun 2022. Analisis statistik menggunakan metode univariat, bivariat, dan multivariat untuk menilai hubungan antara variabel studi. Hasil: Hasil pemeriksaan IRSA didapatkan sebanyak 151 pegawai (67,4%) memiliki status fungsional kondisi prenosologis-premorbid, 48 pegawai (21,4%) pada status fungsional fisiologis normal, dan 25 pegawai (11,2%) pada status fungsional kegagalan adaptasi. Pada pemeriksaan glukosa darah puasa, didapatkan 36 pegawai (16,1%) memiliki glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL. Status fungsional kegagalan adaptasi (p=0,001; OR=26,43; 95% CI = 3,10-225,25) dan juga status fungsional prenosologis-premorbid (p=0,001 OR=9,78; 95% CI = 1,29-74,08) memiliki hubungan yang bermakna dengan glukosa darah puasa. Kesimpulan: Pekerja  dengan IRSA abnormal memiliki kecenderungan lebih besar memiliki glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL jika dibandingkan dengan pegawai dengan status fungsional IRSA fisiologis normal. Diperlukan tidak lanjut dari hasil pemeriksaan kesehatan secara berkesinambungan dan holistik baik untuk individu maupun kelompok yang disesuaikan dengan karakteristik dan resiko sasaran demi kesehatan serta produktivitas pekerja. ......Background: Faculty members, educational staff, and other university personnel often face significant workloads in performing their duties. Work overload can lead to unhealthy behaviors and stress which can disturb the autonomic balance. These unhealthy habits can disturb the autonomic balance leading to pathological conditions such as metabolic disorders, including blood glucose metabolism. This study aims to find the relationship between the functional status of the autonomic nervous system based on the Index of Regulation System Activity (IRSA) to fasting blood glucose (FBG) levels in university employees. Method: This observational cross-sectional study used the secondary data of university employees medical checkups (MCU) in 2022 with total sample of 242 people. Variables included were IRSA from Heart Rate Variability (HRV) examination, FBG level, and other sociodemographic profiles. The MCU was conducted in the university hospital. Results: The examination results of IRSA indicated that 151 employees (67.4%) had a prenosologic-premorbid functional status and 25 employees (11.2%) had a failure of adaptation functional status. FBG examination revealed that 36 employees (16.1%) had FBG levels of ≥ 100 mg/dl. Failure of adaptation functional status had a significant relationship with FBG (p=0.003; OR=26.43; 95% CI = 3.10-225.25), as well as prenosological-premorbid functional status (p=0.03; OR=9.78; 95% CI = 1.29-74.08). Conclusion: Employees with abnormal IRSA were more likely to have FBG levels ≥ 100 mg/dL compared to those with normal physiological functional status. Ongoing and holistic monitoring of health examination outcomes is essential, catered to the specific characteristics and risk profiles of both individual and group targets, aiming to maintain and enhance worker health and productivity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdi
Abstrak :
Latar belakang. Sebanyak 1 juta kasus baru dan 625.000 kematian terjadi di dunia setiap tahunnya akibat meningitis kriptokokus. Perbaikan dalam antiretroviral (ARV) telah dilaksanakan namun jumlah kasus meningitis kriptokokus masih tinggi. Mortalitas juga masih tinggi (30-40%) bahkan dengan terapi amfoterisin B. Dengan epidemiologi penyakit yang tersebar luas dan mortalitas yang substansial, penyakit ini perlu dipikirkan sebagai masalah kesehatan besar yang memerlukan perhatian global. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mortalitas meningitis kriptokokus di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan faktor yang berhubungan. Metode. Penelitian kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada subjek dengan meningitis kriptokokus dari tahun 2013-2023. Analisis dilakukan terhadap data dasar, klinis, pemeriksaan penunjang, dan tata laksana yang dihubungkan dengan mortalitas 2 minggu. Hasil. Dari 68 subjek yang melalui kriteria inklusi dan ekslusi, didapatkan mortalitas 2 minggu sebesar 26,5%. Subjek dengan HIV positif didapatkan sebesar 91% dengan riwayat penggunaan ARV sebesar 49% dan riwayat putus ARV sebesar 16%. Manifestasi klinis tersering adalah nyeri kepala (94%) dan muntah (60%). Komorbid tersering yang ditemukan adalah tuberkulosis paru (49%) dan pneumonia bakterialis (37%). Infeksi PCP berhubungan dengan mortalitas 2 minggu subjek (OR 14, IK 95% 1,5-135,6, p=0,02). Tinta India ditemukan positif pada 84% subjek (p=0,029) dan antigen LFA ditemukan positif pada 94% subjek. Infiltrat pada foto toraks berhubungan dengan mortalitas 2 minggu (OR 12, IK 95% 1,3-115,4, p=0,03). Frekuensi pungsi lumbal yang lebih jarang berhubungan dengan mortalitas 2 minggu (p=0,009). Antijamur yang diberikan sebagian besar adalah kombinasi amfoterisin B dan flukonazol (71%). Kesimpulan. Mortalitas 2 minggu meningitis kriptokokus sebesar 26,5%. Faktor yang berhubungan dengan mortalitas adalah infeksi PCP, tinta India positif, infiltrat pada foto toraks, dan pungsi lumbal yang jarang. Subjek meningitis kriptokokus dengan infeksi HIV mengalami imunosupresi berat yang ditandai dengan CD4 rendah, riwayat ARV yang rendah, dan angka putus ARV yang tinggi. Sebagian besar subjek meningitis kriptokokus memiliki kondisi klinis yang berat sehingga tata laksana seperti pungsi lumbal diperlukan sejak awal. ......Background. Approximately 1 million new cases and 625.000 deaths each year are caused by Cryptococcal meningitis. Improvement in antiretroviral (ARV) was done but number of Cryptococcal meningitis cases was still high. In spite of amphotericin B based regimen, the mortality was still high (30-40%). With worldspread epidemiology and substantial mortality, this disease is a major health issue which requires global attention. This research aimed to know Cryptococcal meningitis mortality in Cipto Mangunkusumo National General Hospital and its associated factors. Methods. Retrospective cohort research using medical records at Cipto Mangunkusumo National General Hospital was conducted for Cryptococcal meningitis from 2013 to 2023. Analysis was performed for baseline, clinical, ancillary test, and treatment data with 2 week mortality. Results. Of 68 subjects following inclusion and exclusion criteria, the 2 week mortality was 26,5%. The proportion of HIV positive was 91,2% with 38,5% subjects with history of ARV, and 16,2% subjects with history of default. Common clinical manifestations were headache (94%) and vomiting (60%). Common comorbids were pulmonary tuberculosis (49%) and bacterial pneumonia (36%). PCP was associated with mortality (OR 14, 95% CI 1,5-135,6, p=0,02). Positive India ink was found in 84,3% subjects (p=0,03) and positive LFA antigen was found in 94,2% subjectss. Infiltrate in chest x ray was associated with mortality (OR 12, 95% CI 1,3-115,4, p=0,03). Infrequent lumbal puncture was associated with mortality (p=0,009). Majority of antifungal regimen given was combination of amphotericin B and fluconazole (71%). Conclusions. The 2 week mortality of Cryptococcal meningitis was 26,5%. Associated factors were PCP, positive India ink, infiltrate in chest x ray and infrequent lumbal puncture. Cryptococcal meningitis subjects with HIV infection had severe immunosupression reflected by low CD4, low ARV usage, and high ARV defaulters. Majority of cryptococcal meningitis subjects had severe clinical conditions so optimal treatment like lumbal puncture was needed earlier.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Auliya
Abstrak :
Latar belakang: Meningioma memiliki kemampuan menyebabkan inflamasi seperti tumor lainnya. Adapun posisi meningioma yang diluar sawar darah otak menyebabkan gambaran inflamasi pada lingkungan mikro tumor lebih tergambarkan pada darah tepi dibandingkan tumor yang berada di intraparenkim. Hal ini dibuktikan dengan tinkat c-reactive protein yang lebih tinggi pada meningioma dibandingkan tumor intraaksial walaupun derajat meningioma lebih rendah. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivasi inflamasi perifer berdasarkan NLR dan MLR dengan gejala klinis, edema peritumoral, dan rekurensi meningioma. Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan studi kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan penanda inflamasi perifer terhadap gejala klinis, edema peritumoral, dan rekurensi meningioma di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari 2016-Desember 2019. Penanda inflamasi perifer diambil dari data hitung jenis, edema peritumoral dihitung langsung dari data radiologi, dan data lainnya diambil dari catatan rekam medis. Analisis data bivariat Chi Square dan Mann Whitney, dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik. Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 173 subjek dengan rata-rata usia 46,98±8,26 tahun. Meningioma didominasi derajat I (94,2%) dengan meningothelial merupakan histologi terbanyak. Nyeri kepala merupakan klinis terbanyak (64,7%) diikuti gangguan penglihatan (59%). Nilai titik potong NLR (neutrophil lymphocyte ratio) adalah 2,415 dan MLR (monocyte lymphocyte ratio) 0,295. Klinis yang berhubungan dengan NLR dan MLR yang lebih tinggi adalah nyeri kepala (p<0,001). NLR dan MLR tinggi juga berhubungan dengan gambaran peritumoral edema (p<0,001). Faktor-faktor yang memengaruhi rekurensi adalah edema peritumoral, NLR, MLR, dan derajat simpson. Dari faktor-faktor tersebut, yang berhubungan secara independent adalah MLR dengan aOR 12,647 (IK 95% 2,355-67,919); p: 0,003. Kesimpulan: NLR dan MLR sebagai faktor penanda inflamasi perifer memiliki median yang lebih tinggi pada pasien meningioma dengan nyeri kepala dan gambaran edema peritumoral. Inflamasi pada meningioma juga berhubungan dengan kejadian rekurensi. ......Background: Meningioma, like the other tumors, have the ability to cause inflammation like other tumors. It is located in areas without blood brain barrier and make the inflammation in this tumor microenvironment to be more depicted in peripheral blood than intraparenchymal tumors. This fact provable by the higher levels of c-reactive protein in meningiomas compared to intraaxial tumors even though the low grade of meningiomas. Therefore, this study aimed to determine the relationship between peripheral inflammatory activation based on NLR and MLR with clinical symptoms, peritumoral edema, and meningioma recurrence. Methods: This is retrospective cohort study to determine the relationship between peripheral inflammatory markers and clinical symptoms, peritumoral edema, and meningioma recurrence at Cipto Mangunkusumo General Hospital in January 2016-December 2019. Peripheral inflammatory markers were taken from type count data, peritumoral edema was calculated directly from radiological data. , and other data taken from medical records. Chi Square and Mann Whitney bivariate are used for data analysis, followed by multivariate logistic regression analysis Results: 173 subjects were obtained with an average age of 46.98 ± 8.26 years. Subject predominately grade I (94,1%) with meningothelial is the most common histology. Headache was the most clinical manifestation (64,7) followed by visual disturbances (59%). The cut-off point for the NLR is 2.415 and the MLR is 0.295. The clinical association with higher NLR and MLR was headache (p<0.001). High NLR and MLR were also associated with features of peritumoral edema (p<0.001). Factors for tumors recurrence were peritumoral edema, NLR, MLR, and Simpson's grade. Of these factors, which were independently related were MLR with an aOR of 12.647 (95% CI 2.355-67.919); p: 0.003. Conclusion: NLR and MLR as markers of peripheral inflammation had a higher median in meningioma patients with headache and peritumoral edema features. Inflammation in meningiomas is also associated with recurrence.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library