Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Ulfah Tidar
"Pajak merupakan salah satu hal yang fundamental dalam menjalankan sebuah negara. Di Indonesia, hak negara melakukan pemungutan pajak diatur dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Salah satu jenis pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang merupakan jenis pajak konsumsi. Sebelum pajak pertambahan nilai berlaku di Indonesia, pajak atas konsumsi yang berlaku di Indonesia adalah pajak penjualan. Dalam rangka program reformasi sistem perpajakan nasional, pada tahun 1983 pajak penjualan kemudian diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai. Perubahan itu dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Perubahan tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa peraturan perundang-undangan perpajakan pada saat itu masih merupakan warisan Belanda sehingga dirasakan tidak memperhatikan azas dan aspek pemerataan, keadilan, kepastian hukum, dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu dalam pemungutan pajak penjualan menimbulkan efek pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak. Undang-Undang Pajak Penjualan juga mengandung dualisme sistem pemungutan pajak dimana terdapat dua sistem pemungutan pajak yaitu untuk pengusaha tertentu diterapkan self assessment system, sedangkan untuk kelompok pengusaha lainnya digunakan official assessment system. Perubahan itu tentu berdampak terhadap hukum dan pembangunan ekonomi. Melalui pajak pertambahan nilai, pemerintah memperluas objek pajak pertambahan nilai untuk meningkatkan penerimaan negara. Selain itu pemberlakuan pajak pertambahan nilai ini juga menghapus efek pajak berganda yang timbul dalam pajak penjualan. Pajak pertambahan nilai dapat dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur produksi dan distribusi, namun hanya pada pertambahan nilai yang timbul pada setiap jalur yang dilalui barang dan jasa. Dalam hal ini, pemerintah menggunakan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah.

Tax is one of the fundamental things in running a country. In Indonesia, the state's right to collect taxes is regulated in Article 23A of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which reads that taxes and other levies that are coercive for state needs are regulated by law. One type of tax is Value Added Tax (VAT), which is a type of consumption tax. Before the value added tax came into effect in Indonesia, the consumption tax that applied in Indonesia was a sales tax. In the context of the national taxation system reform program, in 1983 the sales tax was replaced by Value Added Tax. This change is stated in Law Number 8 of 1983 concerning Value Added Tax on Goods and Services and Sales Tax on Luxury Goods. This change was motivated by the fact that the tax legislation at that time was still a Dutch heritage, so it was felt that it did not pay attention to the principles and aspects of equity, justice, legal certainty and economic growth. In addition, the collection of sales tax creates a double tax effect or the imposition of taxes on taxes. The Sales Tax Law also contains a dual system of tax collection where there are two tax collection systems, namely a self-assessment system for certain entrepreneurs, while for other groups of entrepreneurs an official assessment system is used. This change certainly has an impact on law and economic development. Through value added tax, the government expands the object of value added tax to increase state revenue. In addition, the implementation of this value added tax also removes the double tax effect that arises in the sales tax. Value added tax can be collected several times in various links in the production and distribution chain, but only on value added that arises in each route through which goods and services pass. In this case, the government uses law as a means of renewing society and achieving the goals to be achieved by the government."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Ayu Subagta Tolinggar
"Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) melalui Surat Keputusan (SK) oleh Kantor Pertanahan yang diikuti dengan pendaftaran HGB untuk memperoleh sertipikat hak atas tanah dalam rangka jaminan kepastian hukum, pada kenyataannya dapat memunculkan sengketa sebagaimana kasus dalam Putusan MA No. 35/K/TUN/2021. Kasus a quo berkaitan cacat administrasi pada proses pemberian HGB beserta penerbitan sertipikatnya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini tentang jaminan kepastian hukum dalam pemberian HGB berikut penerbitan sertipikatnya dan upaya hukum yang dilakukan apabila terjadi pencabutan atas keduanya. Untuk menjawab permasalahan digunakan metode penelitian yuridis normatif melalui studi dokumen dari data sekunder, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari analisis yang dilakukan, dapat dinyatakan UU No.5/1960 beserta peraturan pelaksanaannya (PP 24/1997) tidak secara tegas memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemberian HGB yang telah terbit sertipikatnya. Begitu pula PP 40/1996 jo. Permen ATR/BPN 18/2021 jo. PP 18/2021, tidak secara jelas memberikan jaminan. Tindakan Menteri ATR/BPN mencabut pemberian HGB serta membatalkan sertipikat HGB ditemukan cacat administrasi merupakan salah satu bukti ketiadaan jaminan akan kepastian hukum. Adapun upaya hukum dengan adanya pencabutan pemberian HGB dan pembatalan sertipikat HGB dengan menaati amar putusan melalui Pengadilan Negeri untuk membuktikan hak keperdataan, selain menempuh mekanisme non-litigasi seperti mediasi, adjudikasi, negosiasi dan arbitrase.

The granting of Building Use Rights (HGB) through a Decree (SK) by the Land Office followed by the registration of HGB to obtain a certificate of land rights in the context of guaranteeing legal certainty, in fact lead to disputes as is the case in Supreme Court Decision No. 35/K/TUN/2021. The case relates to administrative defects in the process of granting HGB and the issuance of the certificate. The problems raised in this research are guarantee of legal certainty in the granting of HGB along with the issuance of the certificate and the legal remedies taken in the event of revocation of both. To answer the problem, a normative juridical research method was used through document study from secondary data, which was then analyzed qualitatively. From the analysis conducted, it can be stated that Law No. 5/1960 and its implementing regulations (PP 24/1997) do not explicitly guarantee legal certainty for the issuance of HGB certificates. Likewise PP 40/1996 jo. Permen ATR/BPN 18/2021 jo. PP 18/2021, does not clearly provide a guarantee. The actions of the Minister of ATR/BPN to revoke the grant of HGB and cancel HGB certificate found administrative defects are evidence of the absence of guarantees for legal certainty. The legal remedies include HGB revocation award and HGB cancellation certificate by complying with the decision through the District Court to prove civil rights, in addition to taking non-litigation mechanisms such as mediation, adjudication, negotiation and arbitration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hany Areta Athayalia
"Pelindungan konsumen pada sektor perbankan merupakan salah satu hal yang fundamental. Pelaksanaan kegiatan pokok usaha perbankan tersebut pastinya akan menghasilkan interaksi yang menimbulkan atau berpotensi memunculkan berbagai isu yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak nasabah. Salah satu kegiatan usaha bank adalah pemberian fasilitas kartu kredit. Penggunaan kartu kredit tidak hanya memberikan kemudahan tetapi juga menimbulkan masalah bagi nasabah salah satunya dengan adanya pendebetan sepihak untuk pembayaran tagihan kartu kredit. Pendebetan sepihak merupakan pengganti pelaksana pembayaran secara otomatis apabila nasabah belum memenuhi prestasinya untuk membayar tagihan. Pelaksanaan kartu kredit dengan adanya pendebetan sepihak ini didasarkan pada perjanjian baku yang tidak ternama. Hal ini berpengaruh pada ketiadaan posisi tawar bagi nasabah mengingat penggunaan kartu kredit ini didasari atas asas kepercayaan. Pada penelitian ini penulis ingin menelaah dan menganalisis bagaimana bentuk pelindungan konsumen pengguna kartu kredit atas pendebetan sepihak untuk pembayaran tagihan kartu kredit dan bagaimana kedudukan klausula tersebut ditinjau dari hukum pelindungan konsumen dan hukum perbankan. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil menunjukkan bahwa peraturan pelindungan konsumen sektor perbankan telah cukup memadai memberikan pelindungan atas hak-hak konsumen hanya perlu ditingkatkan pengawasannya. Autodebet atas kuasa nasabah untuk pembayaran tagihan tertentu berbeda dengan pendebetan sepihak untuk pembayaran tagihan kartu kredit. Kedudukan klausula pemberian kuasa kepada bank melakukan pendebetan sepihak tersebut pada dasarnya belum sesuai dengan asas itikad baik.

Consumer protection in the banking sector is one of the fundamental things. The implementation of the main banking activity will certainly emerge interactions that raise or have potential to raise issues regarding violation of customer rights. One of the banking activities is credit card facilitation. The use of credit cards not only provides convenience but also causes problems, for example the charge of unilateral debits to the customers for their credit card bills. Unilateral debit is a substitute for automatic payments that occurs when a customer has not successfully paid their bills. The implementation of unilateral debits in credit cards is based on unreputable written agreements. This causes the absence of a bargaining position for customers, considering that the use of credit cards is based on the principle of trust. This research aims to examine and analyze how consumer protection for customers charged with unilateral debits for credit card bills is performed and how the position of the clause is reviewed by consumer protection law and banking law. This research uses normative juridical method with a descriptive analysis research type. The findings show that consumer protection regulations in the banking sector are sufficient enough to protect consumer rights; only the supervision needs to be improved. Autodebits on the customer’s behalf for payment of certain bills is different from unilateral debits for payment of credit card bills. The position of the power of attorney clause to banks charging unilateral debits is not yet in accordance with the principle of good faith."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shalsa Anugerah Deri Putri
"Notaris merupakan salah satu pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk membuat akta autentik sebagai salah satu alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Dalam memangku jabatannya sebagai pejabat umum, Notaris harus berpegang teguh kepada Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), Kode Etik Notaris, dan sumpah jabatan Notaris. Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) telah memberikan pengaturan yang jelas mengenai kewajiban dan larangan Notaris. Akan tetapi, hingga saat ini, masih terdapat Notaris yang melanggar ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan Kode Etik Notaris. Hal ini dapat ditemukan di dalam Putusan Nomor 15/Pdt.G/2021/PN Snt dimana dalam hal ini Notaris telah bertindak secara tidak saksama dalam menjalankan jabatannya yang menimbulkan kerugian pada para pihak dalam akta. Notaris dalam hal ini telah menyerahkan Sertipikat Hak Milik (SHM) milik penggugat kepada tergugat tanpa persetujuan dan seizin penggugat. Dengan berpindah tangannya sertipikat tersebut mengakibatkan timbulnya cidera janji oleh tergugat kepada penggugat dimana tergugat sebagai pihak terhutag tidak menepati janjinya untuk melunasi pembayaran atas jual beli yang telah disepakati. Oleh karenanya, permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah mengenai tanggung jawab Notaris terhadap tindakannya yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Penelitian ini berbentuk yuridis- normatif dengan tipologi penelitian deskriptif- analitis. Selanjutnya, pada penelitian ini digunakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang diperoleh dari studi kepustakaan. Dalam penelitian ini, Notaris sebagai salah satu pihak yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain dan juga telah melanggar kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) seharusnya dikenai sanksi dikarenakan telah melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan Kode Etik karena telah bertindak secara tidak saksama sehingga menimbulkan kerugian terhadap pihak lainnya.  Sanksi yang dapat dikenakan kepada Notaris tersebut dapat berupa sanksi perdata, sanksi administratif, dan/atau sanksi Kode Etik. Pemberian sanksi tersebut ditujukan agar dalam menjalankan jabatannya, Notaris harus mengemban tugas dan tanggung jawab sebagaimana yang sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), Kode Etik, dan sumpah jabatan.

The notary is one of the public officials who are given the authority by law to make authentic deeds as a means of proof that has perfect evidentiary power. In holding his position as a public official, a Notary must adhere to the Law on Notary Office (UUJN), the Notary Code of Ethics, and the Notary's oath of office. The Notary Office Law (UUJN) has provided clear arrangements regarding the obligations and prohibitions of a Notary. However, until now, there are still Notaries who violate the provisions contained in the Notary Office Act (UUJN) and the Notary Code of Ethics. This can be found in Decision Number 15/Pdt.G/2021/PN Snt where in this case the Notary has acted inaccurately in carrying out his position which has caused losses to the parties to the deed. The notary, in this case, has handed over the plaintiff's Certificate of Ownership (SHM) to the defendant without the plaintiff's approval and permission. By changing hands, the certificate resulted in a breach of promise by the defendant to the plaintiff where the defendant as the debtor did not keep his promise to pay off the payment for the agreed sale and purchase. Therefore, the issue raised in this thesis is regarding the notary's responsibility for actions that are not by the Law on Notary Office (UUJN). This research is in the form of juridical-normative with a descriptive-analytical research typology. Furthermore, this study used secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained from literature studies. In this study, a notary as a party that causes harm to other parties and has also violated the obligations as stipulated in the Notary Office Act (UUJN) should be subject to sanctions because they have violated the provisions of the Notary Office Act (UUJN) and the Code of Ethics. because it has acted inaccurately causing harm to other parties. Sanctions that can be imposed on the Notary can be in the form of civil sanctions, administrative sanctions, and/or Code of Ethics sanctions. The imposition of sanctions is intended so that in carrying out his position, a Notary must carry out the duties and responsibilities by the Notary Office Act (UUJN), the Code of Ethics, and the oath of office."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frianidzah Aridzma
"Kegiatan transaksi jual beli merupakan merupakan kegiatan sehari-hari untuk memenuhi
keperluan hidup. Seiring berkembangnya zaman, transaksi jual beli mengalami
perkembangan, salah satunya transaksi jual beli game capit. Sebagai inovasi transaksi jual beli elektronik yang memanfaatkan e-commerce Tiktok memiliki payung hukum yang
mengatur secara umum antara lain KUHPerdata, Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturaan Pemerintah tentang Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik (PP PMSE), dan peraturan tertulis lainnya. Sebagai metode transaksi
jual beli eletronik yang meliputi konsumen dan pelaku usaha juga perlu ditinjau dalam
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengenai keabsahan sistem
transaksi, keabsahan barang yang dijual, serta tanggung jawab para pihak apabila terjadi kerugian. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, skripsi ini akan menganalisis mengenai keabsahan metode transaksi jual beli game capit, keabsahan
barang yang diperjualbelikan dalam praktik jual beli game capit, dan tanggung jawab para pihak apabila terjadi kerugian.

Commercial transaction activities are daily activities to fulfil daily needs. Nowadays, buy-sell transaction develops into new method everytime, for example game capit transaction. As an inovation of electronic commercial method, game capit transaction method is regulated under Indonesia Civil Code, Information and Electronic Transaction Law (Act Number 11 of 2008), Government Regulation Number 80 of 2019 on Trade Through Electronic Systems, and other written regulations. As electronic commercial activities that includes consumer and seller needs to be reviewed from Consumer Protection Law (Act Number 8 of 1999) about the validity of the system, the validity of the goods that been traded, and responsibility of the parties of any loss. Method used in
this research is normative juridical and will analyze through the validity of the system, the validity of the goods that been traded, and responsibility of the parties of any loss.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Patricia Rajagukguk
"Penelitian ini bertujuan menganalisis penerapan penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan akta. Pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana menentukan kondisi penyalahgunaan keadaan dalam suatu pembuatan akta jual beli di hadapan notaris serta bagaimana pertimbangan hakim dalam membuktikan unsur adanya penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan akta jual beli yang di dasari oleh perjanjian hutang piutang di hadapan notaris putusan pengadilan no. 535/PDT/2020/PT MDN. Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa meskipun di dalam sistem hukum Keperdataan Indonesia belum mengatur secara jelas mengenai apa kriteria, batasan-batasan, serta klasifikasi suatu perbuatan hukum atau keadaan hukum yang mengandung penyalahgunaan keadaan, namun syarat yang ada pada Pasal 44 ayat (1) NBW dapat dijadikan pedoman untuk menilai suatu unsur penyalahgunaan keadaan. Pertimbangan hakim dalam membuktikan unsur adanya penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan akta pada putusan pengadilan no. 535/PDT/2020/PT MDN adalah dengan melihat fakta yang terungkap dalam persidangan yang mana terlihat adanya posisi dominan secara ekonomi sehingga perjanjian-perjanjian yang dibuat antara para pihak tidak mencerminkan keseimbangan, keadilan serta kepatutan, melainkan memaksakan kehendak dan menguntungkan sepihak.

This study aims to analyze the use of undue influence as one of the reasons for the termination of a deed. The main problem in this paper is how to determine the conditions of undue influence in creating a deed of sale and purchase in the presence of a notary and how the courts prove the elements of undue influence in the case of Court Decision No. 535/PDT/2020/PT MDN. The approach used in this paper is of a normative juridical approach. Based on the results of this study, it can be concluded that although the Indonesian civil law system has not clearly regulated the criteria, limits, and classification of a legal act or legal situation that contains undue influence, the requirements in Article 44 paragraph (1) NBW can be used as a guide to assess the element of undue influence. The judge's consideration in proving the element of undue influence in the case of Court Decision No. 535/PDT/2020/PT MDN is to look at the facts revealed in the trial which indicates that there is an economically-dominant position so that the agreements made between the parties do not reflect balance, justice and propriety, rather suppression and prejudice.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myriam Husna Syahkarim
"Penelitian ini memfokuskan pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen menurut hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia, Inggris, dan Belanda. Dalam hal Konsumen menderita kerugian yang disebabkan oleh produk yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka berdasarkan product liability, Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab kepada Konsumen. Atas dasar kerugian yang dialami Konsumen akibat produk cacat yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab atas kerugian tersebut, namun tulisan ini tidak akan membahas mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun pengadilan, melainkan tulisan ini akan berfokus pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhadap Konsumen. Pada dasarnya, hukum Indonesia, dan hukum Inggris dan Belanda sebagai pembanding memiliki pengaturan yang berbeda-beda terkait product liability dan pengaturan tentang batasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Indonesia tidak menganut prinsip strict liability secara sempurna, dimana prinsip strict liability dalam UU Perlindungan Konsumen mensyaratkan adanya unsur kesalahan, yang mana hal ini berbeda dengan hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda. Selain itu, mengacu pada Product Liability Directive yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, hukum Inggris dan Belanda melarang adanya ketentuan pembatasan pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen untuk hal-hal tertentu, sebagaimana yang tercermin pada masing-masing peraturan perundang-undangannya (CPA 1987 (Inggris), CRA 2015 (Inggris), NBW (Belanda)) (dan yurisprudensi). Hal ini berbeda dengan hukum Indonesia, yang mana UU Perlindungan Konsumen sama sekali tidak mengatur ketentuan larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Sebagai kesimpulan, UU Perlindungan Konsumen dapat mengadopsi ketentuan hukum perlidungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda, yang mana pada hukum tersebut telah diatur ketentuan definisi “produk cacat” yang merupakan pilar dalam menentukan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen, pengaturan dan implementasi strict liability yang jelas, dan pengaturan yang jelas mengenai larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen.

This study focuses on the analysis of the liability of Business Actors to Consumers according to consumer protection laws in force in Indonesia, England and the Netherlands. In the event that the Consumer suffers a loss caused by the product produced and/or distributed by the Business Actor, then based on product liability, the Business Actor is responsible to the Consumer. On the basis of losses suffered by consumers as a result of defective products produced and/or distributed by Business Actors, Business Actors are obliged to be responsible for these losses, however this study will not discuss the dispute resolution mechanism either through the Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) or the courts, but this study will focus on the analysis of the accountability of Business Actor to Consumer. Fundementally, Indonesian law, and English and the Netherlands law as comparisons have different regulations regarding product liability and limits of liability of Business Actos to Consumers. Indonesia does not adhere the strict liability principle perfectly to its regulations, in which the strict liability principle in the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) requires an element of fault, where such regulation is different from the prevailing consumer protection laws of England and the Netherlands. In addition, referring to the Product Liability Directive issued by the European Union (EU), English and Dutch laws prohibit provisions limiting the liability of Business Actors to Consumers for certain matters, as reflected in their respective laws and regulations (CPA 1987 (England) , CRA 2015 (England), NBW (the Netherlands)) (including jurisprudence). This is different from Indonesian law, where the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) does not regulate prohibition to limit the responsibility of Business Actor to Consumers. In conclusion, the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) shall adopt the provisions of consumer protection law of English and Dutch Law, where these laws have regulated the definition of "defective product" which is a pillar in determining the responsibility of Business Actor to Consumers, clear and definite regulation regarding the implementation of strict liability and the prohibition Business Actor responsibility to Consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tifany Dwi Aprima
"Bukti kepemilikan dari suatu Hak Atas Tanah yang dimiliki oleh Badan Perorangan maupun Badan Hukum umumnya berupa sertipikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (Badan Pertanahan Nasional) setempat. Sertipikat merupakan bukti kepemilikan suatu hak atas tanah yang sah yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Sebagaimana tercantum dalam penjelasan dari Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. selain sertipikat, terdapat juga bentuk alat bukti lain yang menyatakan bahwa seseorang menguasai serta memiliki suatu hak atas tanah yaitu Surat Keterangan Ganti Rugi. Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) merupakan alas hak yang banyak dipergunakan di Provinsi Riau di berbagai daerah terdapat istilah yang berbeda. SKGR ini termasuk dalam bentuk alat pembuktian tertulis. Namun kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh SKGR ini hanya berupa surat keterangan saja yang mana memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana kekuatan pembuktiannya apabila di Provinsi Riau SKGR ini dapat dijadikan syarat penerbitan sertipikat. Penelitian in menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif serta didukung dengan hasil wawancara dengan narasumber dan informan. Setelah seluruh data diolah dan dianalisis, maka ditarik kesimpulan secara deduktif. Data hasil penelitian ini akan dikemukakan dan akhirnya yang kan menjawab pokok permasalahan serta memberikan Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor 591 K/PDT/2021 mengenai jual beli dengan Surat Keterangan Ganti Rugi. Upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi alas hak dibawah tangan ini yang merupakan dasar dari diterbitkan suatu sertipikat maka diperlukannya ketelitian dan registrasi yang baik dari aparat yang berwenang dalam hal ini kecamatan maupun kelurahan sehingga meminimalisir terjadinya alas hak yang tumpang tindih.

Proof of ownership of a Land Right is generally in the form of a certificate issued by the local National Land Agency (Badan Pertanahan Nasional). A certificate is proof of ownership of a valid land right that has perfect evidentiary power. As stated in the elucidation of Article 24 of Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration. Apart from certificates, there are also other forms of evidence stating that a person controls and has a right to land, namely a Certificate of Compensation. Certificate of Compensation (SKGR) is a basis for rights that is widely used in Riau Province in various regions, there are different terms. SKGR is included in the form of written evidence. However, the strength of proof possessed by SKGR is only in the form of a statement which has the power of proof as an underhanded alias, so it raises the question of how the strength of proof is if in Riau Province this SKGR can be used as a condition for issuing certificates. This research uses a normative juridical research form and is supported by the results of interviews with informants and informants. After all the data has been processed and analyzed, a deductive conclusion is drawn. The data from this research will be presented and finally it will answer the main problem and provide an Analysis of the Supreme Court Court Decision Number 591 K/PDT/2021 regarding buying and selling with a Certificate of Compensation. Efforts must be made to overcome these underhanded rights which are the basis for issuing a certificate, it requires good accuracy and registration from the authorized apparatus, in this case the sub-district and sub-district, so as to minimize the occurrence of tumpang tindih rights."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandira Vinzka Cahyagita
"Penelitian ini membahas dan menganalisis mengenai kekuatan hukum kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah. Permasalahan dalam penelitian mengenai kekuatan hukum kuasa mutlak serta bagaimana tanggung jawab Notaris/PPAT terhadap akta jual beli yang dibuat berdasarkan kuasa mutlak tersebut. PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya. PPAT seharusnya lebih cermat dan teliti dalam memeriksa dokumen sebelum pembuatan akta tersebut. Pokok permasalahan dalam penelitian ini bahwa PPAT membuat akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dikarenakan perbuatan tersebut merupakan penyelundupan hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan menganalisis dan menelaah norma hukum yang relevan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui akta jual beli yang dibuat berdasarkan kuasa mutlak menjadi batal demi hukum dan Notaris/PPAT harus bertanggung jawab dengan sanksi yang dapat diberikan.

This study discusses and analyzes the legal power of absolute power in the transfer of land rights. Problems in research regarding the legal power of absolute power of attorney and how is the responsibility of the Notary/PPAT regarding the sale and purchase deed made based on this absolute power of attorney. PPAT is a public official who is authorized to make authentic deeds regarding certain legal actions regarding land rights or apartment ownership rights, or to make evidence regarding certain legal actions regarding land rights that will be used as the basis for registration. PPAT should be more careful and thorough in checking documents before making the deed. The main problem in this study is that the PPAT makes a sale and purchase deed based on absolute power of attorney so that the act is a prohibited act because the act is legal smuggling. The research method used in this research is normative juridical which is carried out by analyzing and examining relevant legal norms. The results of this study indicate that the transfer of land rights through a sale and purchase deed made based on absolute power of attorney is null and void and the Notary/PPAT must be responsible for the sanctions that can be given."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okta Auliazahara
"Notaris wajib bertanggungjawab dalam menjalankan jabatannya. Dalam kewenangannya membuat Akta Autentik, Notaris harus dapat memberikan penyuluhan kepada para pihak yang hendak melakukan suatu perjanjian bahwa suatu perjanjian jual beli tidak boleh mengandung klausul hak membeli kembali karena berakibat batal demi hukum. Meskipun begitu masih terdapat Notaris yang mengeluarkan akta tersebut dan sah mengikat bagi para pihak. Putusan Mahkamah Agung Nomor 574/K/Pdt/2020 merupakan salah satu putusan yang mengesahkan Akta Perikatan Jual Beli yang di dalamnya memuat klausul hak membeli kembali. Berangkat dari hal tersebut maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai alasan mengapa Akta Perikatan Jual Beli dan Kuasa Nomor 06 yang di dalamnya merupakan perjanjian semu dan menyelundupkan hukum serta bagaimana tanggung jawab Notaris dan akibat hukum dibuatnya Akta Perikatan Jual Beli yang memuat klausul hak membeli kembali. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan bentuk metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa Akta Perikatan Jual Beli dan Kuasa Nomor 06 memenuhi unsur-unsur perjanjian semu dan penyelundupan hukum sehingga dapat dikatakan akta tersebut merupakan perjanjian semu dan menyelundupkan hukum. Hal tersebut memberikan akibat batal demi hukum bagi akta tersebut serta Notaris yang membuat akta tersebut dapat dikenakan sanksi perdata maupun administratif. Oleh karenanya untuk mencegah permasalahan serupa terjadi kembali diharapkan adanya pengaturan khusus mengenai PPJB serta penggunaan klausul hak membeli kembali dalam jual beli tanah.

Notaries have to be responsible while carrying out their positions. In operating their authority to make an Authentic Deed, Notaries must be able to provide counseling to the parties who want to make an agreement so that a sale and purchase agreement may not contain a buyback right clause because it results in null and void. Even so, there is still a Notary who issues the deed and is legally binding for the parties. The Supreme Court's decision Number 574/K/Pdt/2020 is one of the decisions that ratify the Sale and Purchase Agreement Deed which contains a repurchase right clause. Departing from this, the problems raised in this study are about the reasons why the Sale and Purchase Agreement Deed and Power of Attorney Number 06 in which is a pretended contract and smuggle the law and how the Notary's responsibilities and legal consequences are made of the Sale and Purchase Agreement Deed which contains a clause the right to repurchase. To answer this problem, a normative juridical legal research method is used with an explanatory research typology. The results of the research analysis show that the Deed of Sale and Purchase Agreement and Power of Attorney Number 06 fulfills the elements of a pretended contract and legal smuggling so that it can be said that the deed is a pretended contract and smuggles in law. This results in null and void for the deed and the Notary who made the deed may be subject to civil and administrative sanctions. Therefore, to prevent similar problems from happening again, it is hoped that there will be special arrangements regarding PPJB and the use of a buy-back right clause in the sale and purchase of land."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>