Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khaira Utia Yusrie
Abstrak :
Latar Belakang: Keganasan saluran cerna bagian atas terutama esofagus dan gaster merupakan penyebab kematian akibat kanker keenam dan ketiga di dunia. Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien pada pasien keganasan esofagus, gaster dan duodenum dalam studi yang terpisah telah banyak dilakukan, namun saat ini belum diketahui sepenuhnya faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kematian pasien keganasan saluran cerna bagian atas di Indonesia dengan pengembangan model prognostik. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prognostik kematian 1 tahun pada pasien keganasan saluran cerna bagian atas di Indonesia. Metode: Studi kohort retrospektif berbasis data rekam medis pasien keganasan saluran cerna bagian atas di RSUPN Cipto Mangunkusumo (2015-2019). Analisis bivariat dan multivariat dengan uji statistik Cox Proportional Hazards Regression Model dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor independen yang mempengaruhi kematian pasien keganasan saluran cerna bagian atas. Sistem skor dikembangkan berdasarkan identifikasi faktor-faktor tersebut. Hasil: 184 pasien dianalisis, sebagian besar laki-laki (58,7%), dengan rata rata usia 54,5 tahun. Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kematian 1 tahun pasien keganasan saluran cerna bagian adalah usia > 60 tahun dengan HR 1,93 (IK95% 1,30-2,88), indeks massa tubuh < 20 dengan HR 2,04 (IK95% 1,25- 3,33), riwayat merokok dengan HR 1,77 (IK95%1,20-2,61), performa status ECOG > 2 dengan HR 3,37 (IK95% 2,11-5,37), stadium tumor dengan stadium 4 dengan HR 9,42 (IK95% 1,27-69,98) dan stadium 3 HR 9,78 (IK95% 1,31-72,69), dan derajat diferensiasi tumor dengan HR 2,30 (IK95% 1,48-3,58) Kesintasan 1 tahun adalah 39,7% dengan median survival 9 bulan. Skor prognotik kematian keganasn saluran cerna bagian atas yang dikembangkan memiliki nilai AUC yang baik 0,918 Kesimpulan: Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kematian 1 tahun pasien keganasan saluran cerna bagian atas adalah usia, indeks masa tubuh, riwayat merokok, performa status, stadium tumor, derajat diferensiasi tumor dan keterlambatan intervensi. Kesintasan 1 tahun pasien keganasan saluran cerna bagian atas adalah 39,7%. Telah dibuat sistem skor prediksi probabilitas kematian keganasan saluran cerna bagian atas ......Background: Upper gastrointestinal malignancy especially esophageal and gastric cancer is the sixth and third leading cause of cancer-related deaths worldwide. Some studies have been done separately to investigate factors which associated with survival in patients with upper gastrointestinal malignancy, but not fully evaluated which factors associated with mortality patients with upper gastrointestinal malignancy regarding variables and prognostic score model. Objective: To assess prognostic factors for one-year mortality in patients with upper gastrointestinal malignancy in Indonesia Methods: Retrospective cohort study using the hospital database of patients with upper gastrointestinal malignancy at Cipto Mangunkusumo Hospital (2015-2019). Bivariate and multivariate cox proportional hazards regression analysis were performed to identify independent factors associated with mortality upper gastrointestinal malignancy. Scoring system were developed based on the identified factors. Results: 184 patients were analyzed, mostly male (58,7%) with average ages 54,5 years old. Independent factors associated with one-year mortality were age > 60 years with HR 1,93 (95%CI 1,30-2,88), body mass index < 20 with HR 2,04 (95%CI 1,25-3,33), smoking history with HR 1,77 (95%CI 1,20-2,61), performance status ECOG > 2 with HR 3,37 (95%CI 2,11-5,37), clinical stage which is 4th stage HR 9,42 (95%CI 1,27-69,98) and 3rd stage HR 9,78 (95%CI 1,31-72,69), and cellular differentiation grade with HR 2,30 (95%CI 1,48-3,58). One-year survival rate was 39,7% with median survival was 9 months. The scoring system for predicting mortality had AUC values of 0,918 respectively. Conclusion: The independent factors associated with one-year mortality were age, body mass index, smoking history, performance status, clinical stage of tumor, cellular differentiation grade, and delay for start treatment. 1-year survival rate was 39,7%. The mortality probability prediction scoring system has been developed for upper gastrointestinal malignancy
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andita Dwiputeri Erwidodo
Abstrak :
Latar belakang: Microscopic Ear Surgery (MES) memiliki kelebihan berupa stereoskopis dan operator dapat menggunakan kedua tangan untuk memegang alat. Mikroskop memiliki karakteristik penglihatan sudut pandang lurus dan terbatas, sehingga mulai diperkenalkan Endoscopic Ear Surgery (EES) memiliki sudut pandang luas dan panoramik. Korda timpani berisiko mengalami cedera iatrogenik selama operasi yang mengakibatkan dysgeusia (sensasi logam, pahit, asin, perih, mulut kering atau lidah mati rasa). Penggunaan endoskop memungkinkan visualisasi nervus korda timpani lebih jelas, menghindari reseksi korda dan manipulasi. Tujuan: Mengetahui perbedaan prevalensi dysgeusia pasca-timpanoplasti pada kelompok endoskop dibandingkan dengan mikroskop, serta membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran dan durasi operasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan endoskop. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif, melibatkan pasien yang merupakan pasien otitis media supuratif kronik dan sudah menjalani timpanoplasti transkanal, dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang teKelompok terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok 1 menggunakan alat mikroskop dan kelompok 2 menggunakan alat endoskop. Pengambilan data berdasarkan rekam medis. Data bersifat dysgeusia subjektif berdasarkan keluhan pasien, diambil pada minggu 1, 2, 4, dan 6. Hasil: Pada penelitian ini didaptkan total subjek penelitian 62 pasien, terdiri atas 35 pasien kelompok 1 dan 27 pasien kelompok 2. Rerata usia pada masing-masing kelompok yaitu, 31,26±9,43 tahun pada kelompok 1 dan 33,81±9,17 tahun pada kelompok 2. Tidak terdapat perbedaan bermakna prevalensi komplikasi dysgeusia pasca-timpanoplasti transkanal pada kelompok endoskop dibandingkan dengan kelompok mikroskop. Total 21 pasien mengalami dysgeusia pada minggu pertama, p=0,94 (RR=1; 95% CI=0,64-1,61). Terdapat penurunan pada minggu ke 2,4 dan 6. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran, dan durasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan kelompok endoskop. Kesimpulan: Penggunaan alat operasi endoskop dapat menjadi alternatif mikroskop. Dysgeusia akibat cedera nervus korda timpani inta-operasi bukanlah suatu kejadian yang mengancam nyawa dan tidak bersifat permanen, namun hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. ......Background: Microscopic Ear Surgery (MES) has the advantage of being stereoscopic, and the operator can use both hands to hold the instrument. However, microscopes have the characteristics of a straight and limited viewing angle. This limitation led to Endoscopic Ear Surgery (EES), which offers a comprehensive and panoramic viewing angle. An endoscope allows for more precise visualization of the chorda tympany nerve, potentially avoiding cord resection and manipulation. Objective: To determine the difference in the prevalence of post-tympanoplasty dysgeusia in the endoscope group compared with the microscope and to prove that there is no difference between graft completion, improvement in hearing function, and duration of surgery in the microscope group compared with the endoscope. Methods: This study is a retrospective cohort study involving chronic suppurative otitis media patients who have undergone transcanal tympanoplasty, inclusion and exclusion criteria divided into two groups: group 1 using a microscope and group 2 using an endoscope. Data collection is based on medical records. Data are subjective dysgeusia based on patient complaints taken at weeks 1, 2, 4, and 6. Results: Study, 62 research subjects were obtained, consisting of 35 patients in group 1 and 27 in group 2. The average age for each group was 31.26 ± 9.43 years in group 1 and 33.81 ± 9.17 years in group 2. The prevalence of dysgeusia of post-transcanal tympanoplasty in the endoscopy group was no different compared to the microscope group. A total of 21 patients experienced dysgeusia in the first week, p=0.94 (RR=1; 95% CI=0.64-1.61). There was a decrease at weeks 2, 4 and 6. There were no differences between graft success, improvement in hearing function, and duration in the microscope group compared to the endoscope group. Conclusion: Using an endoscope operating tool can be an alternative to a microscope, offering potential patient outcomes and quality of life benefits. Dysgeusia due to injury to the chorda tympanic nerve during surgery is not a life-threatening event and is not permanent, but it can affect the patient's quality of life.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Lukmana
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran tomografi komputer (CT Scan) tulang temporal dalam mengevaluasi adanya kolesteatoma dan erosi tulang pada kasus-kasus OMSK tipe bahaya serta mendapatkan informasi-informasi yang bermanfaat sehubungan dengan tindakan operasi yang akan dilakukan. Metode Penelitian cross-sectional dengan data prospektif ini menganalisis temuan pemeriksaan tomografi komputerpreoperatif pada 21 pasien OMSK tipe bahaya yang telah didiagnosis secara klinis dan kemudian dinilai kesesuaiannya dengan temuan intraoperatifnya . Data diambil dari Mei 2012 sampai Agustus 2012. Menggunakan tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT), tanpa kontras dan potongan yang digunakan aksial dan koronal. Rekonstruksi dilakukan pada irisan 0,6 mm dan 1 mm. Penilaian preoperatif dan intraoperatif meliputi adanya temuan kolesteatoma, erosi pada skutum, osikel, tegmen timpani, kanalis fasialis (pars timpani dan pars mastoid), dinding posterior kavum timpani serta sinus sigmoid. Uji statistik untuk mengetahui kesesuaian antara temuan preoperatif dan temuan intraoperatif menggunakan uji McNemar dan perhitungan nilai Kappa. Hasil dan diskusi Kolesteatoma merupakan kelainan yang paling banyak terdeteksi baik dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm, masing-masing didapatkan pada 19 dari 22 sampel telinga dan 18 dari 22 sampel. Urutan kelainan berikutnya yang ditemukan adalah erosi skutum, osikel, dinding posterior kavum timpani, kanalis fasialis, tegmen timpani dan sinus sigmoid. Uji kesesuaian seluruh pemeriksaan preoperatif memakai tomografi komputer dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm dengan temuan intraoperatif memiliki nilai Mc Nemar > 0,05 dan nilai kappa > 0,4. Menandakan adanya kesesuaian yang signifikan antara temuan preoperatif dan intraoperatif. Kesimpulan Terdapat kesesuaian antara temuan erosi tulang dan kolesteatom pada tomografi komputer preoperatif dengan temuan operasi otitis media supuratif kronik tipe bahaya. Tingkat kesesuaian antara temuan pemeriksaan preoperatif baik dengan irisan 0,6 mm atau 1 mm dan temuan intraoperatif dinilai tergolong dalam kategori yang cukup baik dan signifikan.
ABSTRACT
Objectives To determine the role of temporal bone CT scan in evaluation cholesteatom and bone erosions in malignant CSOM patients and getting the important informations associated to surgery planning. Methods It’s a cross-sectional study, data taken prospectively, analyzed preoperative CT scan findings in 21 patients with malignant CSOM diagnosed clinically and planned for surgery. Data was taken from Mei 2012 until Agust 2012. Using High Resolution Computed Tomography (HRCT) without contrast with axial and coronal planes. Reconstructed by 0,6 mm and 1 mm slices. Preoperatif CT scan and intraoperative appraisal consist of cholesteatom, scutum erosions, ossicles, tegmen tympani, facialis canal (tympani and mastoid segment), posterior wall of tympanic cavity and sigmoid sinus findings. Statistical test for determining the suitability between preoperative and intraoperative findings calculated with McNemar and Kappa test. Results and Discussion Cholesteatom is the most finding either with 0,6 mm or 1 mm slices, consecutive 19 0f 22 and 18 0f 22. The next sequence pathologic findings are scutum erosion, ossicles, posterior wall of tympanic cavity, fascial canal, tegmen tympani and sigmoid sinus. All suitability test preoperative and intraoperative findings had McNemar value test > 0.05 with the Kappa value test > 0.4. This results indicate the preoperative and intraoperative findings are suitable and significant. Conclusions There is a significant suitability between preoperative CT scan and intraoperative findings in malignant CSOM patients. The suitability level of preoperative CT scan using 0.6 mm or 1 mm slices classified in that category quite good and significantly.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Lukmana
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran tomografi komputer (CT Scan) tulang temporal dalam mengevaluasi adanya kolesteatoma dan erosi tulang pada kasus-kasus OMSK tipe bahaya serta mendapatkan informasi-informasi yang bermanfaat sehubungan dengan tindakan operasi yang akan dilakukan. Metode Penelitian cross-sectional dengan data prospektif ini menganalisis temuan pemeriksaan tomografi komputerpreoperatif pada 21 pasien OMSK tipe bahaya yang telah didiagnosis secara klinis dan kemudian dinilai kesesuaiannya dengan temuan intraoperatifnya . Data diambil dari Mei 2012 sampai Agustus 2012. Menggunakan tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT), tanpa kontras dan potongan yang digunakan aksial dan koronal. Rekonstruksi dilakukan pada irisan 0,6 mm dan 1 mm. Penilaian preoperatif dan intraoperatif meliputi adanya temuan kolesteatoma, erosi pada skutum, osikel, tegmen timpani, kanalis fasialis (pars timpani dan pars mastoid), dinding posterior kavum timpani serta sinus sigmoid. Uji statistik untuk mengetahui kesesuaian antara temuan preoperatif dan temuan intraoperatif menggunakan uji McNemar dan perhitungan nilai Kappa. Hasil dan diskusi Kolesteatoma merupakan kelainan yang paling banyak terdeteksi baik dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm, masing-masing didapatkan pada 19 dari 22 sampel telinga dan 18 dari 22 sampel. Urutan kelainan berikutnya yang ditemukan adalah erosi skutum, osikel, dinding posterior kavum timpani, kanalis fasialis, tegmen timpani dan sinus sigmoid. Uji kesesuaian seluruh pemeriksaan preoperatif memakai tomografi komputer dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm dengan temuan intraoperatif memiliki nilai Mc Nemar > 0,05 dan nilai kappa > 0,4. Menandakan adanya kesesuaian yang signifikan antara temuan preoperatif dan intraoperatif. Kesimpulan Terdapat kesesuaian antara temuan erosi tulang dan kolesteatom pada tomografi komputer preoperatif dengan temuan operasi otitis media supuratif kronik tipe bahaya. Tingkat kesesuaian antara temuan pemeriksaan preoperatif baik dengan irisan 0,6 mm atau 1 mm dan temuan intraoperatif dinilai tergolong dalam kategori yang cukup baik dan signifikan.
ABSTRACT Objectives To determine the role of temporal bone CT scan in evaluation cholesteatom and bone erosions in malignant CSOM patients and getting the important informations associated to surgery planning. Methods It?s a cross-sectional study, data taken prospectively, analyzed preoperative CT scan findings in 21 patients with malignant CSOM diagnosed clinically and planned for surgery. Data was taken from Mei 2012 until Agust 2012. Using High Resolution Computed Tomography (HRCT) without contrast with axial and coronal planes. Reconstructed by 0,6 mm and 1 mm slices. Preoperatif CT scan and intraoperative appraisal consist of cholesteatom, scutum erosions, ossicles, tegmen tympani, facialis canal (tympani and mastoid segment), posterior wall of tympanic cavity and sigmoid sinus findings. Statistical test for determining the suitability between preoperative and intraoperative findings calculated with McNemar and Kappa test. Results and Discussion Cholesteatom is the most finding either with 0,6 mm or 1 mm slices, consecutive 19 0f 22 and 18 0f 22. The next sequence pathologic findings are scutum erosion, ossicles, posterior wall of tympanic cavity, fascial canal, tegmen tympani and sigmoid sinus. All suitability test preoperative and intraoperative findings had McNemar value test > 0.05 with the Kappa value test > 0.4. This results indicate the preoperative and intraoperative findings are suitable and significant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31953
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
Abstrak :
Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring. Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak. Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring. Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01). Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.
Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux. Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME. Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not. Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01). Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Astria Sriyana
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko, salah satunya yang diduga adalah peran dari refluks laringofaring. Refluks laringofaring (RLF) merupakan naiknya cairan lambung yang mengenai daerah laring dan faring. Penelitian mengenai refluks pada pasien OMSK dewasa belum banyak diteliti sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peranan RLF dalam patofisiologi OMSK. Tujuan: Meningkatkan pengetahuan mengenai peran RLF sebagai salah satu faktor risiko OMSK. Metode: Penelitian potong lintang analitik untuk mengetahui refluks laringofaring sebagai faktor risiko OMSK berdasarkan hubungan reflux symptom index (RSI), reflux finding score (RFS) terhadap kadar pepsin. Hasil: Proporsi subjek OMSK dengan pepsin positif pada sekret telinga tengah sebesar 59,5%. Rerata kadar pepsin sekret telinga tengah lebih tinggi secara bermakna pada kelompok OMSK dengan RFS positif dibandingkan kelompok RFS negatif (P<0,05). RFS positif mempunyai risiko 5,13x terdapat pepsin positif pada telinga tengah (CI 95% = 1,095-24,073). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara nilai RSI dengan kadar pepsin telinga tengah. Kesimpulan: Penilaian RFS perlu dilakukan pada pasien OMSK untuk mengetahui adanya RLF yang dapat meningkatkan risiko terdapatnya pepsin di telinga tengah dan kemungkinan berperan dalam inflamasi kronis OMSK. RLF perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui hubungannya sebagai faktor risiko OMSK. Kata kunci: Refluks laringofaring, pepsin, OMSK
ABSTRACT
Background: Laryngopharyngeal reflux is suspected to be the one of risk factor that contributes in chronic suppurative otitis media. Laryngopharyngeal reflux is defined as the reflux of gastric content into larynx and pharynx. This study purpose is to know the role of laryngopharyngeal reflux in the pathophysiology of CSOM. Objective: To increase the knowledge about the role of LPR as a risk factor CSOM. Methods: This study is a cross-sectional analytic research to study LPR as a risk factor CSOM based on RSI and RFS relationship with pepsin level in the middle ear. Results: This study found 59.5% CSOM subjects having positive pepsin in the middle ear. Mean middle ear pepsin levels were significantly higher in the group of CSOM with positive RFS than negative group (p<0.05). RFS positive increase the risk by 5.13 times the presence of positive pepsin in the middle ear (95% CI = 1.095 to 24.073). There are no significant relationship between RSI with pepsin levels in the middle ear. Conclusion: Positive RFS increase the risk of the presence of pepsin in the middle ear and may have role in chronic inflamation. LPR should be investigated further to determine its relationship as a CSOM risk factor Keywords: Laryngopharyngeal reflux, Pepsin, CSOM
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ivana Supit
Abstrak :
Latar belakang: Botol susu saat ini sudah rutin digunakan, terutama pada ibu yang aktif dan bekerja. Penggunaan botol susu secara global mencapai 56%, sedangkan di Indonesia mencapai 37,9%. Penggunaan botol susu yang tidak tepat dapat mengakibatkan locking phenomenonkarena peningkatan tekanan negatif secara berlebih pada rongga nasofaring, yang berujung pada kejadian disfungsi tuba Eustachius. Penelitian ini menilai faktor yang berkaitan dan pengaruhnya terhadap disfungsi tuba Eustachius pada anak-anak yang menggunakan botol susu.Tujuan : mengetahui pengaruh dan hubungan faktor yang dapat menyebabkan disfungsi tuba Eustachius pada penggunaan botol susu. Metode :Penelitian ini melibatkan 160 subjek berusia 24 – 48 bulan yang menggunakan botol susu. Fungsi tuba Eustachius setiap subjek dievaluasi menggunakan alat sonotubometer untuk menentukan ada tidaknya disfungsi tuba Eustachius. Pengolahan data dilakukan dengan uji chi square, menggunakan Pvalue <0,25 untuk melihat hubungan antar faktor dengan kejadian disfungsi tuba Eustachius. Faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian disfungsi tuba Eustachius dianalisis dengan uji regresi logistik untuk menentukan faktor determinan terhadap kejadian disfungsi tuba Eustachius.Hasil : Penelitian ini mendapatkan gambaran penggunaan botol susu yang baik dapat mencegah kejadian disfungsi TE hingga 6,8 kali. Hipertrofi adenoid memiliki pengaruh terhadap kejadian disfungsi TE hingga 10,5 kali. Jenis susu memiliki pengaruh terhadap kejadian disfungsi TE 4,1 kali. Kesimpulan : Cara penggunaan botol susu, hipertrofi adenoid dan jenis susu sebagai faktor determinan terhadap disfungsi tuba Eustachius. ......Backgroud: Bottle feeding has been considered normal and widely used, preferably by active and working mother. Numbers of bottle feeding globally reach 56% of total population, while the Indonesian use of bottle feeding up to 37,9%. Improper use of bottle feeding may lead to locking phenomenon due to excessive pressure changes in nasopharynx area. This study aims to evaluate factors and their contribution in the development of Eustachian tube dysfunction in bottle feeding children. Aims : to evaluate factors and their contribution in the development of Eustachian tube dysfunction in bottle feeding children. Methods : This study involved 160 subjects 24 – 48 months old children with bottle feeding. We evaluated their Eustachian tube using a sonotubometer to determine the presence of Eustachian tube dysfunction. Data analysis was done using chi square method to determine the significant factors with Pvalue<0,25. Significant factors then analyzed by logistic regretion in order to determine determinan factors. Result : This study found that proper used of bottle feeding protect children from Eustachian tube dysfunction up to 6,8 times. Adenoid hypertrophy 10,5 times effected the Eustachian Tube, Type of milk consumed contributed up 4,1 times toward Eustachian tube dysfunction.Conclusion : Proper used of bottle feeding, adenoid hypertrophy and milk type are the determinant factors on Eustachian tube dysfunction.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yadita Wira Pasra
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang : Hampir seluruh penduduk dunia pernah mengeluhkan masalah di telinga. Salah satu kelainan pada telinga adalah akibat penyakit infeksi telinga Otitis media supuratif kronik (OMSK). Data yang digunakan di Indonesia pada saat ini sudah sangat lama sehingga diperlukan data epidemiologi baru untuk menentukan strategi pencegahan dan pola tatalaksana yang tepat sesuai dengan karaktersitik penyakit dan penderita di masyarakat Indonesia saat ini. Metode: Penelitian ini bersifat survei deskriptif potong lintang, sebagai bagian dari penelitian ?Profil Otitis Media? untuk mengetahui prevalensi dan hubungannya dengan faktor risiko OMSK, di Jakarta. Hasil : Prevalensi OMSK di Jakarta tahun 2012 berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap populasi penduduk Kotamadya Jakarta Timur adalah 3,4%. Faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMSK adalah usia (p=0,047), tingkat pendapatan keluarga (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) dan pajanan rokok (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Faktor risiko yang secara statistik tidak bermakna terhadap kejadian OMSK adalah rinitis alergi (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), jenis kelamin (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) dan status gizi (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)). Berdasarkan penelitian ini, didapatkan dua dari tiga subyek penderita OMSK di bawah lima tahun, memiliki riwayat pemberian ASI. Diskusi: Prevalensi OMSK pada penelitian ini sebesar 3,4%, angka ini menurut WHO digolongkan sebagai negara dengan prevalensi OMSK yang tinggi (2-4%). Strategi penatalaksanaan komprehensif diperlukan untuk menurunkan prevalensi OMSK.
ABSTRACT Introduction: Almost all of world populations complain of ear disturbance once in their life. Chronic supurative otitis media (CSOM) is one of chronic infection of middle ear. The data use in Indonesia is out of date, new data is needed to make new policy of treatment and preventive strategy. Method: This is cross sectional survey study, as one of ?Profil Otitis Media? study. The aims of this study are to describe prevalence and risk factor of CSOM in Jakarta. Result: The prevalence of CSOM in Jakarta in year 2012 based on this study is 3.4%. Risk factor that significantly correlated to CSOM are age (p=0.047), family economical status (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) and smoke (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Allergic rhinitis (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), sex (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) and nutritional state (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)) are not significantly correlate with CSOM. Based on this study 2 of 3 children with CSOM below 5 years age, are given breast feeding. Discussion: CSOM prevalence based on this study is 3.4%, according to WHO recommendation this is high CSOM prevalence (2-4%). Comprehensive treatment strategy needed to decrease CSOM prevalent in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hably Warganegara
Abstrak :
ABSTRAK Tindakan operasi timpanomastoidektomi pada pasien otitis media supuratif kronis (OMSK) perlu dipahami struktur tiga dimensi intraoperatif, yaitu diantaranya adalah jarak dinding superior liang telinga ke tegmen, jarak dinding posterior liang telinga ke sinus sigmoid dan besar sudut sinodura. Salah satu struktur yang juga berperan pada penyakit OMSK adalah aditus ad antrum. Aditus ad antrum merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan sel-sel udara mastoid yang berfungsi sebagai penyimpan udara. Struktur-struktur tersebut dapat dievaluasi pada pemeriksaan tomografi komputer. Saat ini belum didapatkan variasi jarak struktur anatomi tersebut pada pasien OMSK dan bukan OMSK, serta kajian introperatif pada pasien OMSK di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini adalah studi analisis potong lintang yang terdiri dari 2 penelitian pendahuluan. Penelitian pertama adalah penelitian variasi jarak struktur anatomi tulang temporal menggunakan pengukuran TK tulang temporal pada pasien OMSK dan bukan OMSK, masing-masing terdiri dari 30 TK tulang temporal yang dikumpulkan secara konsekutif. Penelitian kedua adalah penelitian kesesuaian variasi jarak struktur anatomi tulang temporal antara pengukuran TK tulang temporal dengan intraoperatif pada 5 pasien OMSK yang dikumpulkan secara konsekutif total sampling selama 9 bulan. Pada penelitian 30 TK tulang temporal OMSK dan 30 bukan OMSK didapatkan perbedaan ukuran yang lebih kecil pecontoh yang OMSK, yaitu pada jarak dinding superior liang telinga ke tegmen 2 (irisan tegmen sejajar spina henle), jarak dinding superior liang telinga ke tegmen 3 (irisan tengah tegmen antara skutum dan spina henle), besar sudut sinodura dan luas aditus ad antrum. Pada penelitian 5 pasien OMSK didapatkan kesesuaian yang sangat kuat antara pemeriksaan TK tulang temporal dengan intraoperatif pada jarak dinding posterior liang telinga ke sinus sigmoid.
ABSTRACT In performing timpanomastoidectomy procedure for chronic suppurative otitis media, it is important to understand about the three dimensional structure intraoperative. Some of the important structure in the temporal bone are the distance from superior part of canalis acouticus externus to the tegmen, distance from posterior part of canalis acousticus externus to the sigmoid sinus and sinodural angle. One of another important structure related to chronic suppurative otitis media is aditus ad antrum. Aditus ad antrum is a canal which connect the tympanic cavity with mastoid air cells that functioned as air reservoir. Those structure can be evaluated in computed tomography examination. In dr. Cipto Mangunkusumo hospital, we still have no data about the variation of temporal bone anatomic structure distance in chronic suppurative otitis media and non chronic suppurative otitis media also about evaluation of chronic supurative otitis media patients intraoperative. This research is a cross sectional study that consist of 2 preeliminary study. The first research was evaluating the variation of temporal bone anatomic structure distance using computed tomography examination from chronic suppurative otitis media and non chronic suppurative otitis media, each consist of 30 computed tomography recruited consecutively. The second research was evaluating the correlation of variation temporal bone anatomic structure distance using computed tomography examination and intraoperative from 5 chronic suppurative otitis media patient recruited consecutively total sampling for 9 months. From the measurement of each 30 computed tomography from chronic suppurative otitis media and non chronic suppurative otitis media patients, there was a smaller measurement in CSOM patients in the distance from superior part of canalis acousticus externus to tegmen 2, distance from superior part of canalis acousticus exterrnus to tegmen 3, sinodural angle and the width of aditus ad antrum. From the evaluation of 5 CSOM patients there was a very strong correlation between computed tomography examination and intraoperative findings in the distance of posterior part of canalis acousticus externus to sigmoid sinus.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>