Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 329 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heyer, Georgette
"Rich, handsome, darling of the ton, the hope of ambitious mothers and despair of his sisters - the Marquis of Alverstoke sees no reason to put himself out for anyone. Until a distant connection, ignorant of his selfishness, applies to him for help. Plunged headlong into one drama after another by the large and irrepressible Merriville family, Alverstoke is surprised to find himself far from bored. The lovely Charis may be as hen-witted as she is beautiful but Jessamy is an interesting boy, and Felix an engaging scamp. And, most intriguing of all, their strong-minded sister Frederica, who seems more concerned with her family's welfare than his own distinguished attentions"
Jakarta: Noura Books, 2016
823.92 HEY f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tatang Iskarna
"Tesis ini akan menyajikan representasi atau gambaran jati diri perempuan dunia ketiga, khususnya perempuan kulit hitam Afrika, dari sudut pandang perempuan dunia ketiga itu sendiri dalam novel Second Class Citizen (1974) karya Buchi Emecheta, seorang pengarang perempuan Nigeria. Sebelum kaum perempuan dunia ketiga mulai berani menulis pada tahun 1970-an, karya-karya sastra didominasi oleh pengarang kolonial kulit putih dan pengarang laki-laki kulit berwarna. Perempuan Afrika sering direpresentasikan dari sudut pandang orang kulit putih atau kaum laki-laki Afrika sebagai sosok yang belum beradab, lemah dan bergantung pada laki-laki, menyerah terhadap ketertindasan, atau hanya terkait dengan urusan domestik.
Ketika gelombang feminisme mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia dan gerakan nasionalisme dunia ketiga dengan gencar memberikan perlawanan terhadap dominasi Barat, para perempuan Afrika mulai berani berbicara mengenai siapa dirinya, apa yang mereka alami, rasakan, dan inginkan, serta bagaimana mereka menyikapi dominasi kaum laki-laki serta penindasan yang dilakukan oleh kaum kolonial. Semua hal di atas dapat digali melalui seorang perempuan yang bernama Adah, tokoh utama perempuan dalam novel Second Class Citizen. Dalam novel ini Buchi Emecheta mendekonstruksi representasi perempuan Afrika yang selama ini diberikan oleh kaum laki-laki Afrika maupun orang kulit putih.
Untuk menunjukkan adanya perbedaan dalam merepresentasikan perempuan Afrika, dalam tesis ini pula disajikan representasi perempuan Afrika yang dilakukan oleh pengarang kulit putih dan laki-laki Afrika. Karya-karya yang diambil adalah "No Witchcraft for Sale" (1960) karya novelis Inggris, Dorris Lessing, "Girls at War" (1972) karya sastrawan Nigeria, Chinua Achebe, dan "Song of Ocol" (1967) karya penyair Uganda Okot p'Bitek. Di sini perempuan Afrika direpresentasikan sebagai "the other" atau sosok lain yang berlawanan dengan orang kulit putih yang beradab dan "the marginal" atau kaum yang dipinggirkan oleh masyarakatnya karena konstruksi gender.
Dalam karya-karya di atas, para pengarang memang memberikan simpati kepada kaum perempuan. Namun demikian, simpati yang ditunjukkan tidak disertai dengan ditampilkannya kaum perempuan Afrika sebagai kaum yang memberikan perlawanan terhadap dominasi kaum laki-laki dan kaum kolonial.
Dalam novel Second Class Citizen, perempuan Afrika direpresentasikan sebagai perempuan yang memang berada dalam ketertindasan ganda atau "doubly colonized", baik oleh orang kulit putih dari segi ras maupun kaum laki-laki Afrika dari segi gender. Namun demikian, kaum perempuan Afrika gigih dalam memberikan perlawanannya terhadap dominasi laki-laki Afrika serta diskriminasi orang kulit putih. Perempuan Afrika direpresentasikan sebagai "the feminist" karena mereka benar-benar melawan setiap usaha kaum laki-laki Afrika untuk menempatkan perempuan pads posisi inferior dan marginal. Dalam novel ini pula Emecheta merepresntasikan perempuan Afrika sebagai sosok yang memiliki posisi tawar yang tinggi dalam melakukan negosiasi identitas dalam himpitan diskriminasi ras yang dilakukan oleh orang kulit putih inggris. Di samping itu, perempuan Afrika direpresentasikan sebagai "the diasporic", yaitu sosok yang sadar dan memiliki kekuatan dalam menentukan identitas budayanya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T3041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Essy Syam
"Representasi perempuan Aborijin yang diciptakan oleh masyarakat dominan Australia, masyarakat Anglo-keltik, melalui berbagai bentuk wacana menempatkan perempuan Aborijin pada posisi yang rendah dengan label-label dan stereotip-stereotip negatif. Representasi popular wacana dominan Anglo-keltik ini mengetengahkan masyarakat Aborijin sebagai orang-orang yang malas, primitif, tergantung pada orang lain (dependent), savage dan stereotip-stereotip negatif lainnya. Selanjutnya perempuan Aborijin direpresentasikan sebagai objek seksual laki-laki, orang berada di dapur sebagai pelayan dan sebagai seconday sex.
Stereotip negatif yang diciptakan masyarakat dominan Anglo-keltik dalam merepresenatsi orang-orang Aborijin secara negatif ini mendorong orang-orang Aborijin, khususnya perempuan Aborijin untuk melakukan perlawanan dan resistensi dengan menciptakan representasi tandingan. Itulah yang dilakukan oleh Women of the Sun.
Women of the Sun ditulis sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki citra perempuan Aborijin yang telah terbentuk sekian lama. Karena itu kontribusi Women of the Sun dalam penciptaan wacana baru itu sangat signifikan. Penciptaan wacana baru yang dilakukan Women of the Sun dilakukan dengan 2 cara: Pertama, Women of the Sun menampilkan perempuan-perempuan Aborijin yang menolak representasi perempuan Aborijin dalam wacana dominan Anglo-keltik. Kedua, Women of the Sun menampilkan perempuan Aborijin sebagai orang-orang yang mampu memberdayakan diri mereka.
Jadi, dengan melihat bagaimana Women of the Sun membongkar representasi masyarakat dominan Anglo-keltik terlihat pertarungan antara kedua wacana."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T7134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriel Fajar Sasmita Aji
"Tesis ini menyajikan fenomena munculnya sekelompok masyarakat imigran yang muncul sebagai "masyarakat baru" dalam kategori masyarakat pascakolonial. Pada umumnya masyarakat pascakolonial merupakan representasi dari Dunia Ketiga, namun VS. Naipaul lewat karya-karyanya mengungkapkan bahwa telah muncul pula kelompok masyarakat pascakolonial yang masuk dalam kategori Dunia Kelima. Pemisahan kategori ini terjadi karena identitas yang mereka sandang memang berbeda, bahkan dalam representasinya masyarakat imigran menunjukkan upaya resistensi justru terhadap identitas kultural nenek moyang, yang merupakan masyarakat dari kategori Dunia Ketiga. Di samping upaya resistensi, masyarakat baru ini pun merepresentasikan diri pula lewat upaya rekonstruksi demi berdiri sejajar dengan mereka yang ada dalam kelompok bangsa kolonial. Lewat dua karya VS Naipaul, An Area Of Darkness dan A Way In The World, tesis ini mengkaji upaya-upaya resistensi dan rekonstruksi yang telah dijalani masyarakat imigran tersebut untuk muncul sebagai "masyarakat baru".
Bahwa figur sang pengarang sendiri, VS Naipaul, sebagai seorang imigran keturunan India menjadikan kajian persoalan masyarakat imigran dilihat dalam perspektif "suara imigran" daripada perspektif mengenai imigran. Novel pertama, An Area Of Darkness, merupakan kampus guna mengkaji secara mendalam upaya masyarakat keturunan imigran dalam berproses menuju suatu hibriditas bagi identitasnya. Di sini sang pengarang mencoba mengetengahkan suatu realitas yang terjadi pada masyarakat imigran yang telah tercerabut dari tanah leluhurnya, teristimewa secara kultural.
Ketercerabutan ini telah menciptakan kondisi teralienasi baik dengan budaya nenek moyang maupun dengan orang-orang yang masih memiliki budaya tersebut sebagai identitas kulturalnya. Kondisi teralienasi ini hanya salah satu aspek saja yang mengantar mereka pada sikap penolakan atau resistensi terhadap budaya nenek moyangnya. Aspek yang lain ialah stereotip masyarakat Timur (East) yang merupakan representasi akan keterbelakangan dan "masa lampau". Aspek kedua ini sangat penting bagi masyarakat imigran untuk melakukan upaya resistensi pula terhadap dominasi kolonial, sehingga mereka tidak lagi berada dalam bayang-bayang masyarakat yang dikuasai oleh kolonial.
Dalam novel kedua, A Way In The World, VS Naipaul kembali menegaskan pentingnya upaya rekonstruksi sebagai proses untuk bangkit dan melepaskan diri dari inferioritas karena dominasi kolonial. Rekonstruksi ini dapat diamati lewat beberapa proses, misalnya proses memutus hubungan dengan "nenek moyang", proses membuat sejarah sendiri bersama-sama dengan kelompok imigran dari etnik lain, dan juga proses memperluas wawasan dengan dunia luar dalam kerangka melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik demi masa depan bangsa. Upaya rekonstruksi ini memang melampaui proses yang panjang dan waktu yang juga lama karena tujuan utamanya ialah melahirkan bagi mereka suatu identitas yang pasti. Bahwa identitas yang mereka bentuk merupakan proses dialog baik dengan identitas kultural nenek moyang maupun kolonial membuktikan upaya mereka untuk memiliki posisi mereka sendiri, khususnya dalam merepresentasikan diri di tengah-tengah bangsa yang lain.
Muncul pula berbagai kecurigaan tentang fenomena ini, karena seolah-olah masyarakat ini merupakan bentukan masyarakat kolonial yang bermaksud melestarikan hegemoninya setelah dekade dekolonialisme. Namun demikian, identitas yang dilahirkan oleh masyarakat imigran ini, yakni suatu hibriditas, dapat menunjukkan salah satu kelebihannya dalam menghadapi budaya kolonial.
Budaya kolonial bukanlah "hantu" yang harus ditakuti, karena sikap yang demikian justru bakal melanggengkan hegemoninya. Budaya kolonial bukanlah musuh, melainkan sesama untuk bersama-sama melakukan dialog bagi kemajuan masa depan. Hibriditas identitas merupakan upaya untuk menihilkan superioritas kolonialisme. Maka, demikianlah mereka lahir sebagai fenomena baru dalam kajian masyarakat pascakolonial."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11240
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desvalini Anwar
"Penelitian ini mencoba menganalisis perubahan representasi Asia dalam enam buah wacana Anglo-Keltik semenjak tahun 70-an hingga tahun 2000 yakni; drama The Floating World karya John Romeril (1973), buku sejarah All For Australia karya Geoffrey Blainey (1984), pidato Paul Keating (1992), cerpen Beggars dalam antologi perjalanan Hotel Asia karya Bob Gerster (1995), pidato Pauline Hanson (1997) dan teks media stasiun televisi ABC dari kamp pengungsi Woomera (2003).
Sebelum tahun 70-an, khususnya semenjak masa emas (Gold Rush) hingga berakhirnya kebijakan Australia Putih, wacana-wacana dominan Anglo-Keltik dipenuhi oleh berbagai persepsi negatif tentang Asia. Asia digeneralisasi sebagai sumber ancaman yang harus diwaspadai Australia seperti; Asia sebagai ancaman terhadap kemurnian tradisi Anglo-Keltik, Asia sebagai ancaman yang dapat menurunkan taraf kehidupan masyarakat dominan Anglo-Keltik yang tinggi, dan bahkan Asia sebagai ancaman yang ingin menginvasi wilayah Australia. Namun memasuki periode 70-an, masyarakat dominan Anglo-Keltik mulai menunjukkan perubahan sikap terhadap Asia. Program migrasi besar-besaran Australia pasca perang dunia ke dua serta kelahiran kebijakan multikultural pada tahun 1973 telah mengubah populasi Australia yang monokultur menjadi multikultur. Wacana-wacana dominan Anglo-Keltik setelah tahun 70-an ke atas tidak lagi sepenuhnya merepresentasikan Asia secara homogen dengan kata lain, Asia tidak lagi dilihat sebagai yang mewakili satu entitas. Di luar representasi Asia sebagai ancaman atau problem, berkembang pula representasi-representasi yang positif tentang Asia, seperti; Asia sebagai wilayah yang aman, Asia sebagai bangsa maju dan bahkan Asia sebagai mitra Australia dalam menciptakan kemajuan ekonomi, khususnya di wilayah Asia Pasifik. Namun memasuki tahun 2000-an representasi yang cukup positif tentang Asia digantikan oleh representasi Asia sebagai ancaman teroris bagi Australia.
Terjadinya perubahan representasi Asia dari waktu ke waktu seperti tercermin lewat wacana-wacana dominan Anglo-Keltik di atas menunjukkan bahwa representasi Asia di mata bangsa Australia sangatlah kontektual ideologis. Walaupun terdapat representasi yang bervariasi positif dan negatif tentang Asia semenjak tahun 70-an hingga tahun 2000, namun secara umum representasi-representasi yang beredar tersebut tetap mengukuhkan representasi Asia sebagai Yang Lain atau yang inferior dan sebaliknya semakin rnengukuhkan representasi Australia sebagai bangsa yang superior.
This thesis tries to analyze the changing representation of Asia in various kinds of Anglo-Celtic discourses since the 70's until the 2000 's, namely; The Floating World, a drama by John Romeril (1973), All For Australia, a history hook by Geoffrey Blainey (1954), Paul Keating's Speech " Australia and Asia: Knowing no We Are" (1992), a short story " Beggars" in Hotel Asia, a travel anthology by Bob Gerster (1995), Pauline Hanson 's Speech at the launch of One Nation Party (1997) and a media text of ABC TV Station from Woomera Detention Center (2003).
Before the 70's, particularly since the Gold Rush until the end of Australia White Policy, Anglo-Celtic discourses were filled with negative perceptions of Asia. Asia was not seen as many diverse countries but as one and as a generalized source of threat for Australia, for example: Asia as a threat for the purity of Anglo-Celtic tradition, Asia as a threat that could lower the high living standard of the Anglo-Celtic society, and even Asia as a threat that was ambitious to take over or invade Australia However, entering the year 70's the Anglo-Celtic society started to show different attitudes towards Asia. The large scale of Australia's post war migration and the establishment of multicultural policy in 1973 have changed the Australia mono cultural population into a multicultural one. As the result, the Anglo-Celtic discourses after the 70's no longer see Asia as a representation of a single entity. Apart from the representation of Asia as a threat or problem for Australia, the Anglo-Celtic discourses also represent Asia more positively--Asia as a safe and developed nation and even Asia as the Australian's partner in creating prosperity, particularly in the Asia-Pacific region. However, entering the year 2000, Asia is also represented as a source of terrorism.
The changing representation of Asia in Anglo-Celtic discourses above shows us that the representation of Asia is very political. Although the representation of Asia in Anglo-Celtic discourses since the 70's until the 2000's vary from negative to positive ones, but as a whole, it still holds on the old representation of Asia as "the Other" or the inferior" which on the other hand, will strengthen the representation of Australia as "the superior one".
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedeh Haryati
"Tesis ini membahas tentang Penggunaan Hak Budget DPR-RI Periode 2001-2004 (Studi Kasus Penetapan APBN Pada Masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputeri). Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana DPR-RI menjalankan Fungsi Anggaran yaitu dalam hal penggunaan hak budget yang dimilikinya, khususnya dalam rangka penetapan APBN pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputeri. Penelitian ini mambahas tentang faktor eksternal yaitu perubahan politik dan faktor internal yaitu kelompok kepentingan yang mans sangat mempengaruhi dalam penggunaan hak budget DPR-RI khususnya dalam proses penetapan APBN di Panitia Anggaran DPR RI.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa adanya perubahan kekuasaan dalam penggunaan hak budget khususnya pada periode 2001-2004 dengan masa pemerintahan sebelumnya, dimana hak budget DPR Ri dapat digunakan sesuai dengan aturan konstitusi negara, yaitu sejak adanya amandemen pertama dan kedua dalam 'IUD 1945 walau belum sepenuhnya optimal.
Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif-analistis, yaitu suatu tipe penelitian yang berusaha melukiskan realitas sosial yang kompleks melalui penyederhanaan dan klasifikasi dengan memanfaatkan konsep-konsep yang bisa menjelaskan suatu gejala sosial secara analistis. Untuk menganalisa masalah menggunakan pendekatan komprehensif integralistik sedangkan mekanisme pembahasannya dilakukan secara terbuka, serta pengambilan keputusan dengan menggunakan voting secara musyawarah/mufakat dan lobby apabila tidak mencapai titik temu yang diinginkan.
Dengan gambaran umum hasil penelitian penulis, mudah-mudahan dapat menjadi bahan pemikiran bagi kita dan juga sebagai bahan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang akan datang agar dimaksudkan DPR dapat melakukan pembenahan khususnya di bidang hak budget dan anggaran merupakan salah satu dasar pembenahan dari parlemen Indonesia. Sehingga dengan mengadakan pembenahan menyeluruh akan didapatkan parlemen yang benar-benar menjalankan amanat kedaulatan rakyat.

Usage Of Rights Of Budget DPR-RI Period 2001-2004 (Case Study Stipulating Of APBN At A Period Of Governance Of Serious Condition of Soekarnoputeri)This thesis study about Usage Of Rights of Budget DPR-RI Period 2001-2004 ( Case Study Stipulating Of APBN A Period of Governance of Megawati of Soekarnoputeri). This Research is meant to explain how DPR-RI run Function Budget that is in the case of usage of rights of budget owned it, specially in order to stipulating of APBN at a period of governance of Megawati of Soekarnoputeri. This Research study about factor of external that is change of internal factor and politics that is which importance group very influencing in usage of rights of budget DPR-RI specially in course of stipulating of APBN in Committee Budget of DPR RI.
Result of from this research indicate that the existence of change of power in usage of rights of budget specially at period 2001-2004 with a period of previous governance, where rights of budget DPR-RI can be used as according to state constitution order, that is since existence of first amendment and second in UUD 1945 although not yet optimal fully.
This research is conducted with method of deskriptif-analistis, that is a research type trying to portray complex social reality through classification and moderation by exploiting concepts which can explain a social symptom by analistis. To analyze problem use comprehensive approach of integralistik while its solution mechanism is conducted openly, and also decision making by using voting deliberationly / general consensus and of lobby if do not reach wanted meeting dot.
With public picture result of research of writer, hopefully can become food for thought for us as well as upon which evaluate management of governance to come so that meant by DPR can do correction specially in rights area of budget and represent one of the correction base of Indonesia parliament. So that by performing a correction totally will be got by really running parliament of democracy commendation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13340
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Koentarti
"Undang-undang pada dasarnya adalah aktualisasi dari kebijakan publik keputusannya akan mengikat dan berpengaruh terhadap masyarakat. Tesis ini membahas Partisipasi Publik Dalam Pengesahan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan Usul Inisiatif DPR RI. Penelitian ini membahas tentang Konteks Politiks sebagai faktor eksternal dan Kinerja Panitia Kerja (PANDA) DPR RI yang mempengaruhi Partisipasi Publik Dalam Pengesahan UU Sisdiknas.
Teori yang digunakan adalah teori Transisi Politik (Guillermo O'Donnell), Teori Sistem (David Easton), Teori Kebijakan Publik (Charles Lindblom), Civil Society (Adam Ferguson), Teori Partisipasi (Gabriel Almond) dan Teori Konflik (Paul Conn). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan dokumentasi. Di dalam menganalisa menggunakan analisis data secara induktif agar dapat menemukan pengaruh hubungan nilai-nilai eksplisit sebagai struktur analistik.
Hasli penelitian memperlihatkan bahwa dalam pembahasan RUU Sisdiknas terjadi suatu polarisasi antara Fraksi-fraksi di DPR RI yaitu 7 Fraksi mendukung disahkannya RUU menjadi UU Sisdiknas (F.PG, F.PPP, F.KB, F. Reformasi, F.TNI/POLRI, F. PBB, F.PDU) ditambah 1 orang Non Fraksi, sedangkan 2 Fraksi yang menolak dan menunda pengesahan RUU Sisdiknas (F.PDIP dan F.KKI). Fraksi PDIP tidak hadir dalam Rapat Paripurna Pengambilan Keputusan RUU Sisdiknas 2003 menjadi UU. Keanggotaan Panja RUU Sisdiknas didasarkan pada perimbangan fraksi-fraksi dan wakil dari Pemerintah.
Dalam mekanisme proses pembahasan dilakukan secara terbuka dengan mengakomodir masukan-masukan dari stakeholders dan masyarakat , sementara pengambilan keputusan menggunakan musyawarah dengan suara terbanyak berdasarkan Tatib DPR, lobi antar Pimpinan Fraksi apabila tidak ada titik temu.
Ada dua kelompok kepentingan dalam pengesahan RUU Sisdiknas antara lain kelompok yang mendukung RUU Sisdiknas menjadi UU adalah masyarakat dan Fraksi-fraksi di DPR yang berbasis Islam dan nasionalis, sementara kelompok yang menolak berbasis agama Kristen/Katolik dan nasionalis.
Berdasarkan kepentingan usulan perubahan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas sudah tidak relevan lagi, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia dalam menghadapi era globalisasi yang semakin pesat. Oleh sebab itu DPR RI mengajukan Hak Usul Inisiatif tentang Perubahan UU No. 2 tahun 1989, yang sudah disahkan melalui forum tertinggi DPR yaitu Rapat Paripurna pada tanggal 11 Juni 2003 menjadi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Law basically is an articulation of public policy. Its decision will be binding and has Influences to society. This thesis discusses public participation in legalization of the Law No. 20 year 2003 on The National Education System which is the Indonesian Parliament's initiative proposal. This research discusses about political context as external factors and achievement of the Working Committee (PANJA) of the Indonesian Parliament (DPR RI) as an internal factor that influences public participation in legalization of laws on The National Education System.
This research uses political transition theory (Guillermo O'Donnell), theory of system (David Easton), public policy theory (Charles Lindblom), civil society theory (Adam Ferguson), participation and interest group theory (Gabriel Almond) and conflict theory (Paul Conn). This research uses a qualitative research theory with technique of data collecting that's interview and documentation. In analyzing, it's used inductive data in order to be able to find out the influence of the relation of explicit values as an analytic structure.
The result of the research shows that the discussion of the bill on the National Education System has happened a polarization between factions in the DPR RI that's 7 factions supported the legalization of the Bill on The National Education System (FPG, FPPP, F Reformasi, F TNI/POLRI, F PBB, FPDU) plus one non-faction. Meanwhile 2 factions refused and adjourned the legalization the Bill on The National Education System that's FPDIP and FKKI. FPDIP did not attend in the Plenary Session in making the decision of the bill on The National Education System year 2003 became a law. The membership of the Working Committee of the Bill on The National Education System is based on the balancing of factions that became the members of the Commission IV and the representatives of the government.
The mechanism of discussion process was done openly by accommodating the inputs from the stakeholders and society. While the decision making uses deliberation/discussion with a majority vote based on the Rules of Conduct of The DPR RI and lobbies between the leaders of faction whenever there is no agreement.
There were two interest groups in legalization of the Bill on The National Education System among others the group that supported the bill to be legalized to be a law that's the society and factions in the DPR RI that has an Islamic Base and national. Whereas the groups that refused the bill are the group of society and factions that are based on Christian/Catholic and national.
Based on interest of the proposal of amendment of the Bill No. 2 Year 1989 on The National Education System has been not relevant anymore in improving the quality of human resources of the nation of Indonesia in facing the globalization era that is getting fast. Therefore the DPR RI proposes the Initiative Proposal Right on the amendment of the Law No. 2 Year 1989 which has been legalized by the highest forum of the DPR RI that's Plenary Session on June 11th, 2003 became Law No. 20 year 2003 on the National Education System.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Rahmat
"Tesis ini membahas gerakan sosial baru yang terjadi di Papua. Bagaimana sikap penolakan masyarakat Papua terhadap integerasi dengan Indonesia sejak tahun 1969 lewat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dengan bergerilya bersenjata kemudian berubah menjadi cara-cara damai dengan berpolitik dan membangun basis kekuatan massa bukan saja di hutan tetapi sampai didalam kota (konsep masyarakat modern).
Dengan menghadirkan organisasi perjuangan yang bernama Presidium Dewan Papua (PDP) sikap menolak integrasi. Sehingga yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana bentuk organisasi PDP dan perannya dalam melahirkan gerakan sosial baru di Papua ?. Eksplorasi metode pada penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, karena peristiwa ini relatif masih baru maka sumber paling baik adalah pengumpulan dokumen dari hasil Musyawarah Besar (MUBES), Kongres Rakyat Papua Ke II dan dokumen penting PDP dan yang terpenting mewawancarai tokoh-tokoh gerakan sosial baru ini. Untuk memperkuat penelitian ini maka penulis menggunakan teori-teori gerakan sosial baru yang paling relevan dan tepat . Dengan melihat kunci kekuatan teori tersebut dimana lahirnya organisasi perlawanan rakyat, tokoh / pimpinan, adanya kesempatan politik, partisipasi masyarakat akar rumput dan tanggapan pihak yang berkuasa (pemerintah), sehingga lahir mobilisasi massa dan mobilisasi politik, karena adanya suatu kepercayaan (belief) sebagai sumber penyatu.
Temuan penelitian ini benar-benar menunjukkan realitas di Papua sebagai fenomena gerakan sosial baru yaitu, organisasi PDP yang laior berhasil merubah pola gerakan yang sebelumnya dengan cara gerilya bersenjata menjadi cara damai dan pola itu menjadi tema pokok perjuangan rakyat, selain ini representatif rakyat dengan melibatkan komponen perjuangan masa lalu seperti TPN / OPM, Tapoll Napol , perempuan, intelektual, dan lain-lain menunjukkan proses demokrasi yang jalan pada tingkat bawah. Cara-cara ini mendapat perhatian yang luar biasa bukan saja dari pemerintah Indonesia bahkan dunia luar.
Sekali lagi fenomena ini menjadi sangat menarik dan dapat di tarik bebarapa kesimpulan penting seperti ; ada satu perubahan dimana rakyat dapat memposisikan dirinya dalam konstalasi politik dan bernegara menjadi objek yang sangat berperan, kemudian rakyat tidak lagi semata-mata dijadikan objek keputusan pemerintah. Terjadi interplay of power antara institusi resmi dan kekuatan non formal massa. Akhirnya peran-peran oposisi sangat efektif dalam menciptakan perubahan yang cukup signifikan dalam bentuk kebijakan untuk menampung aspirasi rakyat yang timbul.

New Social Movement The Papuan Presidium Council And The New Social Movement In Papua After The Fall Of The New Order Regime In 1998This thesis discusses a developing New Social Movement In Papua. The nature of rejection of the Papuan community against integration with Indonesia, initially resulted from the so called Act Of Free Choice in 1969 was shown at the very beginning in guerrilla warfare. Recently, in spite of ongoing counter-tenor and intimidating human right violations the struggle has totally changed its course by the adoption of more peaceful and humane means for the restoration of Papuan sovereignty through the establishment of mass political power at the grass-root level, which exists not only in jungles but has widely spread into urban areas (a civic/modem society concept).
The presence of The Papuan Presidium Council (locally known as Presidium Dewan Papua or the PDP), play an important role in voicing people's rejection on integration with Indonesia. The new struggle concept has put a challenging strain on PDP, namely, how to organizationally activate this new form of Social Movement in Papua to keep up the struggle ? The exploration of this research fully adopt qualitative research method. As the case is a new, most of the resources are tapped from direct outcome of Deliberation Meetings (Mubes), the Second Papuan People Congress, PDP's initial documentation, and most importantly direct interview with those who - are responsible and involved in maintaining the New Social Movement. In order to strengthen the results of this research the writer has adopted the most recent, most relevant and most popular new social movement theories. Through these theories we can simply see in this case that the unity and oneness established among emerging people resistance organizations, community figures and leader, grass-root communities participation, situational political moments, and mass political mobilization against the government's authoritarian response, are tied as one based on one single belief
Achievements of the research indicated the emergence of current socio-political phenomenon in Papua as a New Social Movement. PDP has succeeded in converting a violence-based struggle into a `peaceful struggle'. Mass consolidation which involve a great deal of community representatives as well as past resistance organizations such as TPNIOPM (Papua Liberation Army), Tapol/Napol (Ex-political prisoners), as well as other civic components including women, intellectuals et cetera, is a good sign of a smooth running democratization at the grass-root level. Such situation has drawn serious foreign as well as domestic government attentions.
The phenomenon has served us some very interesting conclusions : the people has succeeded in the repositioning process to proactively participate in the overall state political constellation, and that the people are not longer object to government decisions. There is an interplay of power between existing formal institution and the non-formal people (mass) power. Finally, the current opposition has played an effective role in creating significant changes through the adoption of new policies in order to enhance accommodation of all emerging people aspirations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Rusli Sadek
"Kerusuhan beruntun tiga kali yang dilakukan oleh TKI di Malaysia pada bulan Desember 2001 dan Januari 2002 menjadi pemicu keinginan pemerintah Malaysia memberlakukan peraturan keimigrasian terbaru: yaitu Akta Imigresen Nomor 1154 Tahun 2002. Pemberlakuan peraturan baru tersebut berdampak kepada terdeportasinya ratusan ribu TKI dari Sabah-Serawak Malaysia ke Nunukan. Kondisi Nunukan sebagai ibukota Kabupaten baru yang serba terbatas dari segi sarana, prasarana maupun aparatur membuat keadaan para TKI yang tertahan di Nunukan sangat menderita dan memprihatinkan. Tingginya jumlah TKI yang sakit dan jumlah TKI yang meninggal mencapai 70 orang menjadi bukti akan buruknya kondisi mereka.
Angka tersebut sekaligus menjadi tanda lemahnya tindakan antisipasi pemerintah dalam menangani TKI deportasi tersebut. Bantuan dan perhatian pemerintah pusat diberikan pada bulan September, padahal puncak masa kritis penderitaan TKI terjadi pada bulan Agustus. Penanganan yang terlambat bahkan sikap diam tidak berbuat apa-apa tersebut merupakan kebijakan dari pemerintah.
Dalam kaitan itu, tesis ini berusaha menjawab faktor-faktor apa yang mempengaruhi negara sehingga terlambat dalam memberikan penanganan terhadap deportasi TKI di Nunukan. Kebijakan negara sebagai output dari proses politik yang terjadi dalam sebuah sistem politik dipengaruhi oleh faktor-faktor supra struktur, infra struktur, dan lingkungan internasional, sebagaimana disebutkan oleh Almond dalam teori-konsep sistem politik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis.
Faktor pertama supra struktur politik berpengaruh negatif terhadap kebijakan penanganan TKI deportasi, perangkap koalisi dalam sistem pemerintahan kuasi presidensial telah menyebabkan pemerintahan Megawati dan DPR berada dalam kondisi yang problematik. Ketergantungan presiden terhadap DPR dan kepentingan DPR sebagai bagian dari pemerintahan Megawati menyebabkan kinerja kedua institusi tersebut lemah, bahkan DPR menjadi tumpul dalam melaksanakan fungsi kontrol terhadap pemerintahan Megawati.
Faktor kedua infra struktur politik berpengaruh positif terhadap kebijakan penanganan TKI deportasi, kekuatan dari infra struktur seperti partai politik oposisi, LSM dan media-pers berupaya bersikap kritis melawan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan TKI. Perjuangan infra struktur menghadapi kendala karena sikap partai-partai besar yang terlibat dalam koalisi pemerintahan maupun yang ada di DPR cenderung tidak senang terhadap persoalan tersebut. Pertimbangannya jelas, kasus ini dapat merongrong pemerintahan koalisi Megawati.
Faktor ketiga pengaruh lingkungan internasional yang dalam hal ini fokus kepada hubungan bilateral Indonesia dengan Malaysia. Faktor ketiga ini berpengaruh negatif terhadap kebijakan penanganan TKI deportasi. Ketegangan hubungan antara kedua negara yang dipicu oleh kerusuhan beruntun oleh TKI telah menyebabkan pemerintah Malaysia kurang respek terhadap berbagai upaya Indonesia menangani TKI deportasi. Yang lebih sulitnya lagi adalah dalam suasana hubungan seperti itu ketergantungan Indonesia terhadap Malaysia lebih besar daripada sebaliknya Malaysia terhadap Indonesia. Kapabilitas sistem politik Indonesia lebih lemah dibandingkan dengan kapabilitas sistem politik Malaysia.
Dari ketiga faktor berpengaruh tersebut yang paling dominan adalah faktor supra struktur politik. Faktor ini menyebabkan negara tidak dapat memberikan penanganan yang baik terhadap TKI deportasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hidayat
"Penelitian tentang kekalahan partai politik berbasis keagamaan pada suatu daerah tertentu masih sedikit jumlahnya. Penelitian ini penting karena sebenamya berbagai kasus yang berkaitan dengan kekalahan suatu parpol berbasis keagamaan itu tidak gampang untuk dikalahkan oleh partai yang platform-nya berlawanan dengan partai keagamaan dimaksud. Dari delapan kali Pemilu pertama yang pernah diselenggarakan di Indonesia Parpol Islam selalu memenangkan perolehan suara, namun pada Pemilu 1999 Parpol Islam itu mengalami kekalahan. Sejauh ini belum ada penelitian mengenai kekalahan Parpol Islam tersebut.
Penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor mengapa kekalahan Parpol Islam terjadi di Kota Pekalongan. Permasalahn yang diajukan berkait dengan variabel yang menyebabkan kekalahan serta sebaliknya mengapa PDI Perjuangan dapat memenangkan Pemilu di basis pemilih Islam yang telah lima kali menggungguli perolehan suara dibandingkan dengan kalangan nasionalis sekuler. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan teori elite, teori konflik, teori korporatisme, teori negara, teori perilaku pemilih, dan teori demokratisasi, yang digunakan untuk menganalisis persoalan tersebut.
Dengan menggunakan teknik wawancara mendalarn dan studi pustaka, dikumpulkan data-data yang kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Dari analisis tersebut penulis menemukan bahwa : kekalahan Parpol Islam di Kota Pekalongan pada Pemilu 1999 disebabkan konstelasi politik nasional yang kala itu sedang terjadi perseteruan di antara elite politik Orde Baru, daya tolak kekuatan Islam politik, dan daya tarik politik Megawati Soekarnoputri.

The Lose of Islamic Political Parties during 1999 Election: A Case Study in Pekalongan CityResearches on the lose of religious political parties in certain districts are not common. This research is important because in most cases, religious political parties rarely defeated by political parties from opposing religious base. From the total of 8 elections ever held in Indonesia, Islamic political parties always win considerable votes but it was in 1999 election that Islamic political parties had to face a defeat. There was no research covering the lose of Islamic political parties up to this point.
This research is focus on the factors of why Islamic political parties lose in the election at Pekalongan. The problem posed in this research related to what variables which caused the lose and why PDI Perjuangan, which had won over other secular-nationalist political parties for five times, can win the election in Islamic hardcore areas. To answer these problems, this research use theories of elite, conflict, corporatism, state, voting behaviour and democratisation as a tool of analysis.
Data collected by in-depth interview and library research, which analysed later by qualitative analysis. The writer concluded from the analysis that the lose of Islamic political parries in Pekalongan during 1999 election was cause by the conflict inside the national political constellation between the New Order elites, the decreasing power of Islamic politics and the increasing power of Megawati Soekamoputn."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T 13892
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>