Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maskan
Abstrak :
Masalah pokok yang dibicarakan di dalam skripsi ini adalah pemikiran Herbert Marcuse tentang manusia berdimensi satu yang menjadi ciri utama pada manusia masyarakat industri modern. Pemikiran itu ada dalam Karya Herbert Marcuse yang sangat populer, yaitu One Dimensional Man. Di dalam karyanya ini Herbert Marcuse berusaha mengembangkan filsafat manusia, dengan menempatkan manusia dalam kontek masyarakat teknologis. Suatu antropologi yang berusaha memahami manusia dengan menempatkanya dalam hubungan timbal balik dengan strukturnya. Dalam usaha untuk memahami manusia ini, Marcuse mengritik masyarakat industri modern. Karena, keadaan-keadaan di luar diri manusia pada masyarakat industri modern itu sendiri, yang pada garis besarnya adalah teknologi, telah mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap manusia...
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1985
S16094
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Chasanah Boechari
Abstrak :
Teori 'Verstehen' Dilthey diilhami oleh Schleiermacher. Istilah tehnis ini mengandung arti ter tentu, yaitu memahami suatu gagasan, suatu tujuan, suatu perasaan yang diekspresikan secara empiris sehagai kata-kata atau gerak isyarat. Apa yang kita pahami dari suatu ekspresi ialah makna dari ekspresi itu yang dipersepsi oleh manusia, makna dari kehidupan manusia menghayati hidup ini sehagai bermakna dan manusia cenderung untuk mengekspresikan makna itu. Ekspresi ini dapat dipahami menurut prinsip-prinsip epistemologi Dilthey yang mendasari metodologi studi-studi kemanusiaan, atau menurut Dilthey, Geisteswissenschaften. Pertama, kita harus kenal akrab dengan proses-proses mental. Dengan proses-proses mental itu kita menghayrati dan mengekspresikan makna kehidupan. Bila kita tidak mengetahui perasaan suka atau duka, maka kita tidak akan dapat memahami perasaan itu, makna kehidupan itu. Karena kita sebagai manusia dan ekspresi-ekspresi itu bera-sal dari kegiatan-kegistan individu, maka syarat keakraban telah terpenuhi. Kedua, memahami ekspresi membutuhkan pengetahuan akan konteks di mana ekspresi itu di utarakan, membutuhkan penjajagan sistematis akan konteks di mana ekspresi itu diutarakan. Ketiga, memahami ekspresi membutuhkan pengetahuan akan sistem kultural dan sosial yang menentukan sifat ekspresi itu tadi. Untuk memahami sebuah kalimat orang harus mengenal bahasanya. Di sini terlibatlah kita dalam lingkaran teoretis, karena mengenal bahasa harus lebih dahulu mengenal kata-katanya yang membangun bahasa itu, Dari kata-kata tumbuhlah pemahaman akan hahasa itu dan pada gilirannya kita kenali kata-katanya dengan lebih baik. Persoalan 'Verstehen' ini diambil Dilthey dari Schleiermacher dengan guna praktisnya untuk penafsiran, sedang gunanya yang utama untuk mempertahankan keabsahan penafsiran terhadap romantisme dan subyektivisme dan memberikan pembenaran bagi keabsahan itu agar menjadi dasar kepastian bagi pengetahuan sejarah; juga menjadi pelengkap bagi pendasaran Geisteswissenschaften. Karena 'Verstehen' diangkat oleh Dilthey ke dalam sistem epistemologi dan metodologi. Geisteswissenschaften, maka perlu dituliskan sebuah bab tentang Geisteswissenschaften, yaitu tentang sejarah perkembangannya, tentang ciri-ciri khasnya, tentang obyeknya dan tujuannya. Geisteswissenschaften menjadi kelompok ilmu pengetahuan yang mandiri terkat usaha a.1. Dilthey yang meletakkan dasar-dasar epistemologisnya, hingga mendapatkan statusnya herdampingan dengan Naturwissenschaften. Suatu introduksi tentang situasi ilmu-ilmu pengetahuan abad 18-19 serta perkemtangan dan permasalahan ilmuilmu pengetahuan itu yang dipersersi oleh Dilthey, mendahului uraian tentang Geisteswissenschaften.
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16097
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T.M. Sjahriar Halim
Abstrak :
Dalam menelusuri pemikiran fenomenologik Ortega Y Gasset di bidang estetika, kita jumpai bahwa pada awalnya ia berpijak pada batu loncatan epistemologik yaitu bahwa yang dicari filsafat maupun ilmu pengetahuan adalah kebenaran. la menemukan bahwa metode yang cocok untuk mencapai kebenaran adalah metode fenomenologik dengan gagasan intuisi tetapi ia menolak lembaga reduksi eiditis karena ia menyadari bahwa ia berhaluan anti-idealistis. Metode fenomenologik mencakup struktur unsur-unsur subjek dan objek yang selalu berada dalam hubungan saling berkaitan, memerlukan, dan kerja sama, tetapi dua ini tidak pernah dan tidak mungkin melebur jadi satu. Jadi kebenaran tergantung dari kebenaran hubungan-hubungan tadi. Demikian dalam tinjauan fenomenologiknya tentang estetika yang mencakup seni ia mengemukakan terus menerus unsur-unsur kerja sama antara subjek kreatif dan objek estetik. Hakekat sesuatu ia temukan melalui kegiatan rasio atau berpikir yaitu melalui berpikir secara dialektik yang sekaligus merupakan berpikir fenomenologik, dengan ini ia artikan bahwa objek itu yang akan memimpin pikiran kita ke benda pada dirinya. Karena Ortega y Gasset mengutamakan realitas hidup,ia menghargai dan mencintai kemajemukan dan keanekaragaman. Bukan begitu saja, ia menghargai secara tersendiri setiap unsur yang tampil kepada subjek dalam realitas hidup itu, dengan sendirinya ia menghargai juga setiap sudut pandangan. Sudut pandangan ini bergantung pada keadaan seseorang, maka keadaan seseorang berperan sangat besar dalam kehidupan seseorang. Jika kita melihat lebih dekat keadaan itu, maka ternyata bahwa keadaan dari setiap bagian dalam keadaan itu terikat pada banyak hal yang tak dapat terlepas darinya. Setiap bagian dikelilingi pula oleh suatu keadaannya. Begitulah suatu benda terikat secara sambung-menyambung dan secara kait-berkaitan dengan banyak hal dan benda lain dalam keseluruhan yang karenanya terus menerus berubah-ubah. Tak mungkinlah melihat suatu benda atau hal secara terisolir dari keadaannya, secara fragmentaris. Mungkin yang dimaksud Ortega y Gasset: harus ditanggapi secara holistik atau seperti dalam teori Gestalt. Setiap objek berada dalam dialektika dari benda-benda nyata. Bukan dalam dialektika teoritis dari satu konsep ke konsep lain dalam kesadaran. Juga bukan dalam perenungan dan perumusan belaka dalam rasio murni. Demikian juga dalam bidang estetika, dengan berpikir dialektik dari pihak subjek (sebagai kesadaran yang aktif dalam kehidupan praktis), subjek ini menemukan konsep objek estetik; dalam tahap kedua konsep dalam kesadaran subjek, menimbulkan keinginan pada subjek untuk mengekspresikannya dalam satu ujud kebendaan; akhirnya ia mengkreasi suatu karya seni. Kiranya tahapan-tahapan ini sejajar dengan tahapan-tahapan cipta, rasa, karsa. Dalam satu dialektika dari benda-benda nyata, mungkin saja subjek kreatif sendiri ikut serta di sini, begitu juga subjek pemirsa dan penilai, karena semua memang berada dalam satu masyarakat yang saling mengakibatkan gerak secara praktis. Yang paling berperan dalam proses kreativitas ialah jarak antara subjek kreatif dan objek estetik yang menimbulkan jarak pula antara karya seni dan subjek pemirsa. Jarak ini dapat mengakibatkan terjadi keterasingan cirri-ciri manusiawi dalam seni yaitu, subjek kreatif tidak berhasil membawakan ciri-ciri manusiawi melalui karya seninya kepada subjek pemirsa. Ortega Y Gasset juga mengemukakan persoalan jarak agar kepada subjek pemirsa dapat diterapkan predikat nilai memirsa dengan sikap estetis, dimana ada dua patokan memirsa, yaitu secara tanpa pamrih dan secara tanpa prasangka atau terjarak. Ortega y Gasset berulang kali menekankan bahwa patokan-patokan untuk sikap estetis berlaku pula untuk sikap etis. Yang dipersoalkan dalam estetika adalah dialog antara unsur subjek kreatif dan objek estetik maupun karya seni dan subjek pemirsa dan menyangkut keindahan. Yang dipersoalkan etika adalah subjek pelaku dan menyangkut kebaikan. Dan memang, sebagai mana di Timur ada pendapat-bahwa yang indah itu baru indah jika baik dan yang baik itu baru baik jika indah, maka apa yang berlaku untuk yang indah berlaku juga untuk yang baik, bahkan sekaligus berguna. Dan karena pengalaman estetik adalah sejajar dengan pengalaman religius, maka sikap yang seharusnya dikejar adalah satu sikap dimana sikap estetis, sikap etis dan sikap religius berdialektika dengan kesamaan hak. Hal ini memang wajar karena wilayah seni, etika maupun religiusitas, bahkan kegunaan, berada dalam keadaan kait-berkaitan, saling memerlukan dan saling menunjang secara keseluruhan dalam realitas yang disebut kehidupan manusia. Contohnya: fenomena dehumanisasi dalam seni oleh angkatan muda, kita harus hadapi dengan tanpa pamrih dan dengan jangan terjarak terhadap anak muda, tanpa marah dan dengan pengertian, serta menghargai anak muda yang ingin bergaya memberi satu kejutan, dan membimbingnya melihat nilai-nilai luhur dalam kehidupan nyata melalui seni. Demikianlah Ortega Y Gasset memperlihatkan bagaimana Subjek kreatif, Objek estetik dan Subjek pemirsa merupakan tiga unsur yang selalu berada dalam dialektika di bidang estetika, dan bahwa subjek kreatif dengan objek estetik, dan karya seni dengan subjek pemirsa selalu berdialog dalam satu fenomena seni.
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16099
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hayon, Yohanes Pande
Abstrak :
Ludwig Anreas Feuerbach dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1804 di Landshut, Bavaria dan meninggal di Nuremberg pada tanggal 13 September 1872. Sejumlah karya-karya ilmiah telah dihasilkannya semasa hidupnya; antara lain: Thoughts on Death and Immortality (1830); The Contribution to the Critique of Hegelian Philosophy (1839) The Essence of Christianity (1841); Theogony (1857) ;God, Freedom and Immortality from the Standpoint of Anthropology (1866). Seluruh masa hidup Feuerbach dapat dibagi dalam 3 tahap, yakni: sebagai seorang teolog (tahap pertama); seorang Hegelian (tahap kedua) dan seorang ateis (tahap ketiga). Pembahasan dalam skripsi ini justru terpusatkan kepada pandangan dan kritik Feuerbach terhadap agama pada umumnya dan agama Kristen pada khususnya sejauh dibentangkannya di dalam bukunya The Essence of Christianity. Agama adalah ilusi dan Allah tidak lebih daripada suatu proyeksi manusia. inilah kata-kata kunci dalam seluruh kritik Feuerbach tentang agama. Untuk membenarkan teorinya itu Feuerbach bertolak dari manusia. Namun manusia ini bukanlah manusia individual, kongkret, jasmaniah dan yang terbatas -- meskipun segi ini ia tekankan juga - melainkan manusia yang senatiasa terlibat dalam perkaitan sosialnya; Aku yang harus selalu tertuju kepada Engkau; manusia yang tetap terbuka bagi sesamanya. Tegasnya, manusia umum atau manusia sebagai Gattungswesen dipandang sebagai makhluk yang luhur dan bersifat ilahi dan yang oleh Feuerbach dijadikan sebagai tempat pijakan, untuk melacak seluruh fenomen agama. Kodrat manusia, demikian Feuerbach, terbentuk dari sejumlah daya-daya ilahi yang disebut sebagai Rasio, Kehendak dan Cinta. Daya-daya ini hadir di dalam diri manusia individual, namun yang serentak menguasai dan yang mengatasi manusia individual. Daya-daya tersebut kemudian oleh manusia beragama diproyeksikan ke luar dirinya dan dipandang sebagai sesuatu yang otonom dan yang lantas dihormati sebagai Allah di dalam kebaktian. Kalau begitu jelaslah bahwasanya Allah itu tidak lain daripada proyeksi manusia sendiri. Karena itu dalam agama manusia memiskinkan dirinya dan memperkaya Allah dengan sifat-sifat yang ia miliki sendiri. Dengan agama, katanya, manusia menelanjangi dirinya sendiri demi kepentingan sebuah fiksi. Semakin manusia itu menjadi manusia beragama, tegasnya lagi, semakin ia melepaskan diri dari kemanusiaannya. Akibatnya sudah bisa diduga: gelombang alienasi yang terus-menerus menerpah manusia sepanjang hidupnya. Lantas, upaya penyelamatan macam apa yang harus ditempuh? Feuerbach sendiri menjawab: tak bisa lain selain Allah dan manusia harus kembali menjadi satu. Maka adalah tugas, filsafat yang baru untuk menyadarkan orang beragama agar menyadari kekhilafannya. Orang beriman harus dibangunkan dari mimpi-mimpinya yang kosong untuk mengerti keadaannya yang sebenarnya. Tegasnya, tugas filsafat yang baru ialah mengupayakan agar proses penyatuan antara yang ilahi dan yang manusiawi secepat mungkin berakhir. Setelah semuanya itu terlaksana, demikian Feuerbach, manusia akan memperoleh kembali seluruh keilahiannya. Kalau begitu manusia tidak memerlukan lagi suatu wujud asing. Manusia dengan itu harus membangun suatu kehidupan yang melulu manusiawi yang berlandaskan pada cinta manusiawi pula. Itu berarti kalau semua yang terbaik dalam diri manusia sudah terpulihkan, maka dengan sendirinya juga manusia harus menduduki tempat Allah dan teologi harus menjadi antropologi yang ditinggikan. Singkat kata, manusia menjadi Allah bagi dirinya sendiri. Tak dapat disangkal lagi, pandangan Feuerbach itu bernada ateistis. Tetapi sesungguhnya suatu ateisme antropologis, suatu pandangan yang tetap bertumpu pada humanisme sejati. Bagi orang beragama kritik ateistis Feuerbach itu tidak melulu bersifat negatif, melainkan juga positif. Harus diakui bahwa humanisme Feuerbach menantang setiap orang beriman untuk selalu bertanya pada diri sendiri apakah agama yang dianut sungguh-sungguh menjadi pendorong bagi terciptanya relasi yang baik dengan sesama manusia dalam suatu kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera, damai dan penuh cinta, atau bahkan menjadi penghalang? Sebagai kesimpulan, menurut penulis, kita tidak perlu saling menuding. Semua manusia dengan segenap keterbatasannya sama-sama mempunyai tugas untuk menata dunia ini agar menjadi tempat tinggal yang lebih layak. Membangun dunia yang bahagia merupakan tanggung jawab semua pihak, baik kaum ateis maupun kaum beragama. Maka, penulis berpendapat, ketulusan hati merupakan modal dasar untuk menciptakan suatu hidup yang lebih serasi antara sesama manusia. Kejujuran merupakan syarat mutlak untuk membangun dialog yang lebih manusiawi. Semangat saling menghargai merupakan langkah awal bagi tumbuhnya suatu kehidupan yang lebih harmonis.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S16046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Srihardinah Soebagjo
Abstrak :
Untuk memahami pikiran Kartini kita harus mengetahui 3 hal yaitu pertama, keadaan tanah air selama penjajahan Belanda dimana rakyat tertindas oleh kolonialiame penja-jah. Hal mana mengakibatkan rakyat menjadi bodoh dan berkesadaran budak. Kedua, adat feodal yang kolot dan membelenggu mendominasi kehidupan yang mengarah ke penderitaan terutama pada kaum wanita. Ketiga, biografi dan lingkungan keluarga Kartini yang walaupun sudah berpendidikan barat dan berbangsa tetap tidak lepas dari peraturan tersebut. Kartini, gadia bangsawan yang berpendidikan barat inipun tak luput, sehingga dalam mengejar cita-citanya ia sering terpukul oleh kekecewaan. Namun demikian Kartini wafat dengan rasa bahagia karena percaya bahwa ia telah merintia jalan bagi kemerdekaan bangsanya terutama bagi kaumnya. Di zaman Kartini khususnya manusia Jawa dapat digambarkan sebagai manusia yang hidup dalam dunia feodal yang sarat dengan peraturan-peraturan kolot yang meletakkan manusia pada 4 demensi yaitu demensi kolektif, pribadi, statia dan irasional. Di samping itu manusia Jawa mengalami berbagai macam alienasi yaitu alienasi sosial budaya dan alienasi ekonomi politik. Dengan keyakinan bahwa Tuhan menciptakan manusia tanpa perbedaan hakekat, Kartini mendambakan manusia yang mampu mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Terutama kaumnya yang diperlakukan sangat tidak manusiawi.. Peraturan adat yang ketat mengakibatkan terbentuknya kesadaran moral yang heteronom sehingga wanita menjadi makhluk yang kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Berbekal pendidikan dan pengetahuan yang ada padanya, dalam merefleksi keadaan tersebut di atas, Kartini berkesimpulan perlunya ada moderniaasi di dalam individu-individu bangsanya agar dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Untuk ini harus ada seseorang yang memulai. Maka ia sendiri yang akan mulai mendobrak adat yang baku serta membelenggu itu. la harus mencoba merubah cara berpikir dan pandangan hidup bangsanya. Kartini menginginkan moderniaasi tidak hanya pada individu-individu tetapi juga pada masyarakatnya. Modernisasi telah mewujudkan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia dan untuk ini pendidikan adalah satu-satunya cara. Kartini yang telah mendapat baik pendidikan barat formal dan non formal maupun pendidikan keluarga yang turun temurun mempunyai konsep pendidikan yang diyakini yaitu pendidikan bebas, memadukan sifat baik dari bangsa lain dengan sifat baik dari bangsanya sendiri untuk dapat membentuk kwalitas yang lebih tinggi. Kartini tidak hanya ingin mencerdaskan bangsanya tetapi juga ingin membentuk budi yang luhur. Ini berarti adanya keseimbangan antara intelektualitas dan moral; suatu paduan yang seimbang antara manusia yang individualistik dan sosial disamping manusia yang cinta pada bangsa dan tanah airnya. Khusus bagi kaumnya Kartini bercita-cita emansipasi agar mereka dapat menjadi manusia yang dewasa dan mandiri. Kartini sangat gigih menegakhan emansipasi bagi kaumnya, namun demikian kegigihan itu bukan sekedar mewujudkan hak persamaan dan kebebasan wanita saja tetapi perjuangan yang mengusahakan perubahan yang menyeluruh bagi bangsanya. la tidak hanya berusaha mendudukkan wanita di tempat yang semestinya dan mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia yang dilengkapi kepribadian kemanusiaan tetapi Kartini memperjuangkan cita-cita luhur yang berlandaskan kemanusiaan bagi seluruh bangsanya. Dalam menuju cita-citanya Kartini menitikberatkan pentingnya peranan pendidikan. Itulah sebabnya ia ingin menjadi seorang guru dan membuka sekolah bagi gadis-gadis. Pentingnya pendidikan bagi wanita dapat dilihat dari ucapannya yang berbunjyi Perempuan itu soko guru peradaban Dapat dikatakan bahwa cita-cita Kartini mengenai pendidikan terwujud dalam dua segi yaitu yang sifatnya fisik, misalnya dibukanya sekolah-sekolah, kemjuan yang dicapai dalam masyarakat, dan yang lebih fundamentil yaitu ketentuan perundang-undangan miaalnya ketentuan yang tercakup di dalam Pembukaan Undang--Undang Dasar 1945 dan pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 108 tanggal 2 Mei 1964, Kartini ditetapkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Seorang wanita yang berjuang menegakkan negara Republik Indonesia lewat pemikirannya.
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16132
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignasius Bambang Sugiharto
Abstrak :
Ilmu-ilmu manusia, dalam berbagai bentuk dan namanya yang berbeda-beda, telah mengalami sejarah panjang, hampir setua tradisi filsafat barat sendiri. Namun sejak bentuk awalnya sebagai sistem kurikulum'Paideia' Yunani hingga bentuk 'Studia Humanitatis' Renesanse sebetulnya persoalan metodologik belum merupakan isyu pokok. Persoalan metodologik ilmu-ilmu manusia baru muncul secara tajam terutama sejak paradigma Newtonian dianggap sebagai satu-satunya dasar yang sahih untuk melandasi ilmu pengetahuan. Dominasi paradigma fisika itu berkembang pada abad 17 dan 18 akibat bobot kepastian dan ketepatan hasil-hasil penyelidikannya yang eksperimental dan matematis. Dampak dari dominasi tersebut adalah krisis identitas khususnya pada filsafat (terutama filsafat moral), yang saat itu merupakan bidang pokok ilmu-ilmu manusia (Studia Humanitatis). Filsafat, dalam sifatnya yang metafisik dan teosentrik, tidak memiliki kepastian ala Fisika, maka cenderung dianggap tidak ilmiah. Dalam konteks inilah Kant muncul. Melalui 'Kritik atas Rasio murni'nya ia mengadakan tindakan 'penyelamatan' yang sangat penting. Di satu pihak filsafat sebagai Metafisika yangbersifat sintetik a priori (cenderung sangat spekulatip) itu ia singkirkan dari wilayah Pengetahuan ilmiah teoritik dan ia masukkan ke wilayah Rasio praktis. Di pihak lain iapun membuat batas-batas fundamental bagi pengetahuan ilmiah itu. Baginya pengetahuan ilmiah teoritik terbatas, bukan karena batas-batas realitas, melainkan karena pengetahuan manusia sudah selalu ditentukan oleh unsur-unsur a priori dari sensibilitas dan kemampuan pemahamannya sendiri. Tambahan pula pengetahuan tersebut hanya dapat bergerak di wilayah Fenomenal (spatio-temporal) belaka. Sedangkan wilayah filsafat (dan kesadaran moral/religius) adalah wilayah Noumenal Sambil melakukan tindakan penyelamatan itu Kant pun serentak melahirkan identitas baru bagi filsafat. Filsafat tidak lagi merupakan 'Ratu ilmu pengetahuan' (Queen of Sciences) melainkan menjadi 'Disiplin yang terdasar, yang melandasi llmu pengetahuan'. Keutamaan filsafat tidak lagi dalam posisinya sebagai 'Yang tertingi', melainkan sebagai 'yang terdasar'. Dengan kata lain Filsafat pada hakekatnya menjadi 'Teori dasar Pengetahuan'. 'Itulah sebabnya setelah Kant, pala pemikiran filsafat cenderung berorientasi epistemologik. Pola pemikiran epistemologik ini pada hakekatnya selalu hendak mengukur bobot pengetahuan berdasarkan satu kerangka/aturan dasar yang sama. Maka bersikap rasional disini berarti: mampu mencapai persetujuan dengan manusia lain tentang dasar yang satu dan sama. Meyakini bahwa tak ada atau tak perlu ada dasar yang satu dan sama itu berarti membahayakan rasionalitas. Pola berpikir yang biasa disebut 'foundational' sernacam itu kemudian berpengaruh besar tidak hanya dalam wilayah filsafat, melainkan juga dalam kegiatan-kegiatan ilmiah pada umumnya. Manakala disiplin-disiplin ilmu terpilah-pilah menjadi spesifik, maka dasar yang satu dan sama tadi mewujud dalam tatanan peristilahan teknis yang khas pada tiap disiplin itu, atau sebutlah dalam 'matriks disipliner' masing-masing ilmu itu. Tiap disiplin itu dibangun atas satu unsur, ungkapan, atau proses yang dianggap terdasar. Sebagian menganggap unsur itu terletak pada proses mental, sebagian lagi pada proses sosial, yang lain proses alam, dan sebagainya. Kenyataan inilah yang kemudian melahirkan kecenderungan reduktif dan sektoral pada ilmu - ilmu, termasuk ilmu-ilmu manusia. Bahayanya adalah bahwa kesempitan perspektif ilmu tertentu dimutlakkan sedemikian hingga realitas yang tak dapat dimasukkan dalam matriks disipliner ilmu tersebut dianggap bukan realitas. Gejala ini menandai kegiatan ilmu-ilmu manusia pula dan mengakibatkan krisis kemanusiaan abad ini. Demikianlah dengan ini hendak dikatakan, bahwa dalam persoalan metodo-logik ilmu-ilmu manusia, orientasi pemikiran epistemologik Kantian sebenarnya merupakan tonggak awal. Maka tak mengherankan bila persoalan metodologik ilmu-ilmu manusia terkemudian diolah oleh kelompok Neo-Kantian (Dilthey, Windelband dan Rickert).
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16065
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas J. Ata Ujan
Abstrak :
Saya mengira bahwa saya yang benar, tetapi bisa saja saya yang salah dan Anda yang benar. Karena itu dalam kasus apa pun, marilah kita mendiskusikannya, karena hanya dalam cara ini kita akan lebih mendekati pengertian yang benar, dibandingkan kalau setiap kita selalu beranggapan bahwa kitalah yang benar. Kalimat di atas adalah ucapan Karl R.Popper (1902 - ) sendiri yang pasti dengan tepat merumuskan sikap dasarnya dalam mencari kebenaran. Popper menuntut suatu keterbukaan (the attitude of reasonableness), yaitu kesediaan untuk saling mengisi dalam hal kebenaran. Dalam sikap inilah, menurutnya, kebenaran dan kesalahan tidak pernah menjadi monopoli pihak tertentu. Dengan ini pula Popper bermaksud mendobrak dogmatisme kebenaran manapun, bahkan juga kebenaran atau teori yang selama ini biasanya menjadi acuan dari hampir setiap cendekiawan. Sikap dasar ini muncul sebagai konsekuensi dari pandangannya bahwa sebuah teori tidak pernah merupakan kebenaran terakhir. Dalam kaitan ini Popper memperkenalkan teorinya yang dikenal dengan metode 'falsifikasi'; atau yang juga biasa disebut sebagai teori 'penyingkiran kesalahan' (error elimination). Dengan Popper memaksudkan bahwa suatu teori hanya menjadi ilmiah kalau teori tersebut selalu- terbuka untuk diuji dan kalau memang tidak bisa bertahan, teori tersebut harus disingkirkan dan digantikan dengan teori barn. Dengan cara ini sebuah teori dapat menjadi lebih kokoh dibandingkan dengan teori sebelumnya. Kemungkinan untuk diuji dan disingkirkan ini merupakan ciri dari ilmu dan karenannya menjadi 'garis demarkasi' antara ilmu dam bukan ilmu. Dalam latar belakang dan cahaya sikap ilmiah seperti inilah hendaknya kita menempatkan kritisisme Popper terhadap Marxisme. Harus diakui bahwa Karl Marx (1818 -- 1883) adalah salah satu tokoh filsafat sosial terkemuka. Perpaduan antara pandangan teoritis serta dimensi praktis teorinya (yang memperlihatkan empatinya terhadap mereka yang tertindas ) telah membuat Marxisme seakan menjadi primadona tanpa cela. Dan Popper sendiri juga mengakui sumbangan Marx dalam menjelaskam ketimpangan sosial ekonomis. Meskipun begitu Popper tetap merasa perlu untuk nenyerang Marx karena Marx dianggapnya telah menempatkan banyak orang melalui pendekatan 'historisisme' dalam rangka nenjelaskan dan menyelesaikan masalah kesenjangan sosial ekonomis. Inilah problem pokok yang digeluti oleh Popper dalam kritiknya terhadap Marxisme yang sekaligus menjadi tema sentral dalam skripsi ini. Dari manakah akar historisisme itu dan apakah yang dimaksudkan dengan historisisme? Jawaban atas pertanyaan ini akan membantu kita untuk lebih memahami keberatan Popper terhadap Marxisme yang dianggapnya mengadopsi paham historisisme. Dalam kaitan dengan ini dapat dipastikan bahwa metode 'dialektika' dari George Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 1831) telah memainkan peranan penting dalam gaya berpikir Marx. Sementara itu perlu ditegaskan dari permulaan bahwa Popper telah menggunakan istilah 'historisisme dalam suatu pengertian yang khas dalam rangka mengembangkan kritiknya terhadap berbagai pemikiran besar, termasuk pemikiran Marx. Karena itu suatu penelitian yang agak lebih mendalam terhadap metode ini pasti perlu untuk mendapat gambaran yang lebih lengkap dantepat. Alasan yang menjadi dasar penolakan Popper terhadap historisisme adalah bahwa teori tersebut memutlakkan sasaran yang hendak dicapai serta cara untuk mencapai sasaran tersebut. Hal yang sama juga menjadi alasan Popper untuk menyingkirkan teori Marx. Menurutnya, Marx telah jatuh ke dalam pandangan naif historisisne karena teorinya bahwa kapitalisme akan diganti oleh sosalisme melalui suatu revolusi sosial proletariat. Popper menyebut pandangan Marx ini sebagai suatu yang utopian. Akhirnya tanpa meremehkan kejelian Popper dalam mengungkapkan berbagai kekurangan dam kelemahan teori Marx, tentu saja kritiknya itu masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Karena itu suatu catatan kritis terhadapnya pasti tetap perlu dan wajar.
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16005
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. M. Heru Basuki
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang penelitian disertasi ini adalah banyaknya keluhan masyarakat tentang rendahnya mutu pendidikan di Indonesia termasuk lulusan SMU. Keluhan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Programme for lnternartional Student Assesment (PISA), yang menunjukkan prestasi siswa Indonesia rata-rata berada pada peringkat bawah. Sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu lulusan secara terus menerus dengan berbagai cara, namun tampaknya belum memberi hasil yang memuaskan.

Praksis pendidikan di Indonesia dalam tiga dasa warsa terakhir ini ternyata lebih berorientasi pada paradigma yang menyatakan peserta didik perlu dibekali dengan pengetahuan yang sebanyak-banyaknya. Praksis pendidikan yang demikian tidak kontekstual sehingga tidak menarik bagi siswa atau tidak sesuai kebutuhan siswa sehingga tidak bermakna bagi siswa. Kondisi ini diperparah adanya tradisi sekolah untuk meluluskan siswa 100%, dampaknya siswa tidak memiliki motivasi belajar yang tinggi, karena tanpa belajarpun mereka akan lulus. Kondisi Iain menunjukkan adanya kecenderungan sekolah, terutama tingkat SMU, berusaha agar lulusannya lolos saringan ujian masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Kecenderungan ini menyebabkan banyak guru yang memberikan latihan menjawab soal-soal ujian sebanyak mungkin. Dampak yang sangat mendasar dari praksis pendidikan seperti ini adalah rendahnya mutu lulusan. Akibat lain adalah lulusan SMU belum memiliki kemandirian dalam belajar atau self-regulated learning.

Dipilihnya belajar yang bermakna sebagai fokus penelitian disertasi ini berdasarkan pemikiran yang mengacu pandangan ?constructivism? yang menyatakan siswa menginterpretasikan stimulus berdasarkan pengetahuan yang telah mereka miliki dan membangun pengertian secara masuk akal. Belajar yang demikian disebut belajar yang berrnakna (Ausubel, 1978 dalam Entwistle, 1987: 135).

Apabila pembelajaran bersifat kontekstual menyebabkan proses belajar sesuai kebutuhan siswa, sehingga menjadi bermakna bagi siswa dan menyebabkan terjadi kinerja puncak (peak performance) (Clark, 1988; 27 dan Franken 2002: 115). Dampaknya seluruh aspek mental siswa dapat diberdayakan secara optimal, berarti kemampuan berpikir kreatif dapat diberdayakan pula. Dengan teraktualisasikannya kemampuan berpikir kreatif, siswa akan mampu menghasilkan ide-ide baru dan berbagai alternatif strategi belajar. Ini diperlukan untuk menentukan strategi belajar yang tepat, atau memperbaiki penggunaan strategi yang kurang tepat saat siswa menggunakan self-regulated learning (SRL). Ini berarti, apabila kreativitas dapat diberdayakan, maka SRLpun dapat diaktualisasikan (Brown, Branford, Campione & Ferrara, 1983; Como, 1986; Zimmerman, Pons, 1986, 1988 dalam Pintrich & de Groot, 1990: 33).

Dari konsepsi teoritis tersebut disusun suatu model kontribusi belajar yang bermakna pada kreativitas, SRL dan prestasi akademik siswa Sekolah Menengah Umum Negeri di Jakarta. Model ini disebut model utama. Bahwa kreativitas teraktualisasikan mungkin tidak hanya karena dukungan dari belajar yang bermakna. Untuk itu disusun model altematif dimana kreativitas tidak merupakan variabel laten endogen yang diberdayakan oleh belajar yang bermakna, tetapi merupakan variabel laten eksogen sejajar dengan variabe! belajar yang bermakna.

Untuk mendapatkan model yang memilikj goodness ofjil atau sesuai dengan data mal-ca dilakulcan suatu penelitian ex-posgfacto di SMU Negeri Jakarta peringkat Atas, Menengah dan Bawah, masing-masing dua kelas. Jumlah sampel 485 siswa kelas II. Pemilihan siswa kelas II dilakukan berdasar purposive sampling, sedang pemilihan kelas sebagai sampel berdasar teknik cluster random sampling. Setelah dilakukan pengujian persamaan stmktural dengan Program LISREL ternyata model yang sesuai dengan data adalah model utama, sedang model altematif tidak sesuai dengan data.

Dari pengujian model tersebut dihasilkan temuan penelitian yang sangat penting yaitu kreativitas hanya dapat diberdayakan apabila didukung oleh belajar yang bermakna.

Setelah dilakukan pengujian ulang temyata model utama tersebut dapat diterapkan untuk model SMU Negeri peringkat Atas, Menengah dan Bawah, dan dapat pula diterapkan untuk model bidang studi matematika, fisika, biologi, bahasa Inggris, ekonomi & akutansi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa model utama berlaku umum. Ini berani pula bahwa belajar yang bermakna, kreativitas dan SRL sangat penting dalam pembelajaran dalam rangka meningkatkan prestasi akademik maupun mutu pendidikan.
Abstract
The background of the research is the complaints from the stakeholders concerning the low quality of the education in Indonesia including that of graduates of senior high schools. Based on the result of the research from ?Programme for International Student Assessment (PISA), it is stated that the average of the students 'achievement in Indonesia is low. As a matter of fact, various programmes have been implemented by the government to improve the quality of school graduates. However, the programmes implemented, seemingly, do not work yet.

In the last three decades, the paradigm underlining the educational practice in Indonesia is that learners should be equipped with the knowledge as much as posible, resulting in uncontextual and unattractive learning. Besides, such learning does not fulfill the learners ' needs, as this is not meaningful to them. This condition seems getting worse and worse because of the school tradition to have 100% students' passing final examinations. The tradition causes the learners not to have motivation to study hard for they know that they get a guarantee to graduate from school. Another condition shows that there is a tendency of schools, especially senior high schools to make their students successjitl in Higher Education Entrance Test (UMPTN). To achieve this goal, teachers drill their students with a lot of exercises. Such practice in the education will produce the unqualnied graduates having no sense of autonomous learning or self-regulated learning.

The meaningful learning is chosen to be the focus of the research for this dissertation. This is based on the concept of "constructivisrn " which states that students will interpret the stimulus based on the knowledge they possesed and constructed definitions rationally. Such learning is refered to meaningful learning (Ausubel, 1978 in Entwistle, 1987:135).

The contextualized learning process will cater to the .students 'neeals, so that it would be meaningjitl to the students and result in peak performance (( Tiark, /988: 27 and Franken 2002: 115). The impact of contextual learning causes the whole aspects of students 'mental to be optimally empowered This means that creative thinking is optimized as well. Actualizing the creative thinking of the students will result in the new ideas and various alternative strategies of learning. This is necessary to determine an appropriate strategy of learning or to replace the strategy which is inappropriate to the students using self-regulated learning (SRL). Consequently, the empowerment of creativity may result in the actualization ofSRL (Brown, Branforf, Campione & Ferrara; Corno, 1986; Zimmerman, Pons, 1986, 1988 in Pintrich & de Groot, 1990; 33).

Based on the theoretical concepts above, two contribution models of learning are constructed The first model is meaningful learning contribute to creativity, SRL and academic achievements of the State Senior High Students in Jakarta. This model is called major model. An alternative model is set up creativity not as an endogen latent variable, but as an exogen latent variable which is in the same position as meaning;6il learning variable.

Data collected from high-rank, middle-rank, low-rank State Senior High School (SMUN) in Jakarta. The number of samples are 485 students from second grade. Cluster random sampling is used to determine the second grade students as the samples. After conducting a test of structural equation using LISREL, it is found that the model appropriate to the data is the major model. The alternative model is not appropriate to the data.

From the result of testing the model, a very important finding is obtained. lt is revealed that creativity will be empowered if it is supported by meaningful learning.

After re-testing the model, it is found that the major model can be applied to high-rank, middle-rank and low-rank State Senior High School (SMUN). This model can also be implemented for mathematics, physics, biology, English, economics and accounting. From the results of the research, it can be concluded that the major model can be implemented for any subjects. In sum, meaninghil learning, creativity and SRL are very signyicant in improving the academic achievements and the quality of the education.
2004
D2030
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library