Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rinal Effendi
"Latar Belakang : Penggunaan penanda anatomis jarak tiromental (TMD) dan skor Mallampati banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan. Penelitian ini mengevaluasi perbandingan tinggi badan terhadap jarak tiromental (RHTMD) sebagai salah satu prediktor kesulitan visualisasi laring kemudian dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati yang merupakan prediktor yang sudah ada sebelumnya.
Metode Penelitian : Data didapatkan dari 277 pasien yang dijadwalkan operasi elektif yang akan dilakukan anestesia umum. Pengukuran TMD, RHTMD dan penilaian skor Mallampati dilakukan preoperasi. Laringoskopi dan penilaian skor Cormack-Lehane dilakukan oleh residen anestesi minimal tahun kedua. Data kemudian diolah menggunakan SPSS 15 untuk mendapatkan nilai AUC, sensitifitas, spesifitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif. Nilai AUC dari RHTMD, TMD dan skor Mallampati kemudian dibandingkan untuk memperlihatkan performa dari masing-masing prediktor.
Hasil : Kesulitan visualisasi laring didapatkan pada 28 orang (10,1%), luas daearah dibawah kurva AUC RHTMD (85,5%) sedikit lebih baik dibandingkan TMD (82,7%) dan jauh lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati (61,4%), dalam hal ini peneliti menyimpulkan bahwa akurasi RHTMD lebih baik bila dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati.

Background : Preoperatif evaluation anatomycal landmark of TMD and Mallampati score has widely used to identify potentially difficult laryngoscopies; however it’s predictive reliability is unclear. This research purpose are to evaluate the ratio height to thyromental distance (RHTMD) as a new predictor of difficult laryngoscopies compare to thyromental distance (TMD) and Mallampati score.
Methode : The authors collect data on 277 consecutive patients schedule to receive general anesthesia for elective surgery. TMD, Mallampati score and RHTMD are evaluated preoperatively. Residents of anesthesia minimum at second years performed laryngoscopy and grading (as in Cormack-Lehane classifications). all data processed with spss 15 to get the AUC, sensitivity, spesifity, positive predictive value and negative predictive value. The AUC of each predictor were compared to determine the perform.
Result : Difficult visualisation of the laryng occur in 28 patient (10,1%). The AUC of RHTMD (85,5%) is better compared to TMD (82,7%) and much better if compared to Mallampati score (61,4%). The authors conclude thatRHTMD had better accuracy in predicting difficult laryngoscopy than TMD and Mallampati score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Cahyadi
"Latar belakang: Nilai Behavioral Pain Scale (BPS) merupakan alat evaluasi nyeri untuk pasien unit perawatan intensif (UPI) yang tidak sadar dan menggunakan ventilasi mekanik. BPS dikembangkan oleh Payen pada tahun 2001 dalam bahasa Inggris. Penerjemahan BPS ke dalam bahasa Indonesia dilakukan untuk mempermudah sosialisasi dan pemahaman mengenai kriteria dalam BPS. Sebelum suatu alat ukur yang diterjemahkan dapat diterapkan pada populasi, harus dilakukan penilaian kesahihannya terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai kesahihan BPS pada pasien UPI Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Metode: Studi observasional, potong lintang dengan pengukuran berulang dilakukan terhadap pasien yang dirawat di UPI RSCM Maret-Mei 2013. Kesahihan BPS dinilai dengan uji korelasi Spearman. Keandalan dinilai dengan Cronbach α dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC). Ketanggapan dinilai dengan besar efek. Hasil: Selama penelitian terkumpul 56 pasien yang tidak sadar dan menggunakan ventilasi mekanik di UPI RSCM. BPS memiliki kesahihan yang baik dengan nilai korelasi bermakna secara berurutan 0.376, 0.403 dan -0.147 untuk laju nadi, tekanan arteri rata-rata dan nilai Ramsay. Keandalan yang baik dengan nilai ICC 0.941 p = <0.001 dan nilai cronbach α 0.907. Ketanggapan BPS juga baik dengan besar efek antara 2.32-2.82 antara pagi sampai dengan malam.

Background: Behavioral Pain Scale (BPS) score is a tool to evaluate pain for unconscious patient whom using mechanical ventilation in intensive care unit (ICU). BPS has been developed by Payen in English language. Translation BPS into Indonesian language was done to make a better understanding about criteria in BPS. However, this tool need to be validated before it use in populations. The aim of this study was to validate BPS score in the intensive care unit (ICU) Cipto Mangunkusumo Hospital population. Methods: An Observational, cross sectional, repeated measures was done to patients hospitalized in the ICU Cipto Mangunkusumo Hospital from March to May 2013. Validation was assessed by Spearman Correlation test while reliability was analyzed using Cronbach α and intraclass correlation coefficient (ICC). Responsiveness was assessed by effect size. Results: A total of 56 unconscious patients using mechanical ventilation were included in this study. BPS score has a good validation with significant correlation 0.376, 0.403 and -0.147 for heart rate, MAP and Ramsay Score consecutively. Good reliability with ICC score 0.941, p = <0.001 and cronbach α 0.907. Responsiveness for BPS is good with effect size between 2.32-2.82 within morning until night group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridha Syalli Adha
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai tingkat kesiapan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dalam menghadapi bencana. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif berdesain cross sectional dengan sampel sebanyak 417 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia sudah siap terhadap bencana diantaranya dalam hal validitas sumber edukasi bencana, pengetahuan tentang langkah respon tanggap darurat, pengetahuan tentang adanya klinik di sekitar kampus, kesadaran terhadap potensi bencana di kampus, kesadaran persiapan bencana, dan kepemilikan asuransi bencana. Namun dibutuhkan peningkatan terhadap beberapa hal seperti pengetahuan sistem peringatan dini di lingkungan kampus, keikutsertaan dalam pelatihan dan simulasi bencana, langkah persiapan menghadapi bencana, dan persepsi tentang tingkat kesiapan bencana.

ABSTRACT
This study discusses the readiness level of Public Health Faculty of University of Indonesia students in facing disasters. The design of this study uses a descriptive quantitative method with a cross sectional approach and a total sample of 417 respondents. The results of this study concludes that generally, Public Health Faculty of Indonesia students are prepared in facing disasters, specifically in terms of the validity of disaster education source, knowledge of disaster response, knowledge of health clinics around the campus area, awareness of the potential of disasters on campus, awareness of disaster preparation, and owning disaster insurance. However there are also several factors, such as preparation for disasters, knowledge towards early warning systems, involvement in training or simulations for disasters, readiness in facing disasters, and perception towards the level of readiness in facing disasters that needs to be improved."
2017
S67594
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahri Choirrini
"Kota Cilegon memiliki risiko tinggi terkena bencana sehingga rumah sakit di Kota Cilegon perlu memiliki kesiapsiagaan manajemen bencana rumah sakit agar dapat menimimalisir dampak bencana di kemudian hari. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesiapsiagaan manajemen bencana rumah sakit di Kota Cilegon menggunakan studi deskriptif observasional dan metode semi-kuantitatif. Data primer didapat dari wawancara mendalam staf ahli rumah sakit menggunakan pedoman wawancara modifikasi Safe Hospital Checklist. Data primer tersebut kemudian diolah melalui Ms Excel dan hasilnya berupa nilai rata-rata untuk setiap komponen pada manajemen bencana rumah sakit lalu diklasifikasikan ke dalam kategori A 0.66-0.1, B 0.36-0.65, atau C 0-0.35. Hasil dari penelitian ini kedua rumah sakit umum termasuk kategori A, yang menunjukkan bahwa manajemen bencana kedua rumah sakit telah siap dalam menghadapi bencana dengan masing-masing nilai rata-rata, rumah sakit Z sebesar 0.67 dan rumah sakit sebesar X 0.85. Meskipun begitu, kedua rumah sakit tetap perlu melakukan usaha pencegahan dalam jangka panjang untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Cilegon city has a high risk of disasters. Hospitals need to know whether they prepared or not, in order to minimize the impact of disasters in future. This descriptive observational study aimed to analyze preparedness of hospital disaster management at Cilegon city using semi quantitative method. Primary data was collected by utilizing a modified Safe Hospital Checklist as an indepth interview manual to do the indepth interview for each hospital 39s key person, then processing the data with Ms Excel which the results was mean average of every component in hospital disaster management, continuing to classify them into three categories, A 0.66 0.1, B 0.36 0.65, or C 0 0.35. The results show both hospitals was an A category, hospital Z got score 0.67 and hospital X got score 0.85, that means their disaster management prepared enough to face the disaster in future. However, they still need to maintain the long last preventing efforts to increase their disaster preparedness.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Anes Rimu
"Penyakit jantung bawaan dan abnormalitas jalan napas merupakan dua kondisi yang saling berkaitan dan dapat terjadi bersamaan. Terjadinya abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan dapat berpengaruh pada tata laksana serta prognosis pasien. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan melihata data dari rekam medis pasien penyakit jantung bawaan di RSCM tahun 2020–2022. Data yang diambil ialah usia, jenis kelamin, berat badan, diagnosis penyakit jantung bawaan, dan kondisi abnormalitas jalan napas. Data disajikan untuk melihat prevalensi abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan. Dari 69 subjek pasien penyakit jantung bawaan yang memenuhi kriteria inklusi, 15 atau 21,7% diantaranya memiliki abnormalitas jalan napas. Jenis penyakit jantung bawaan yang paling banyak ditemukan ialah Tetralogy of Fallot sebanyak 27 (39,1%) kasus. Jenis abnormalitas jalan napas yang paling banyak ditemukan ialah Laringomalasia sebanyak 9 (13%) kasus. Oleh karena itu, prevalensi abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan ialah sebesar 21,7%, dengan jenis abnormalitas jalan napas terbanyak ialah laringomalasia sebesar 13%. Terjadinya abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan memerlukan perhatian khusus dalam penanganan pasien. 

Congenital heart disease and airway abnormalities are two related conditions that can occur together. The occurrence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease can affect patient management and prognosis. The research was conducted retrospectively by looking at data from medical records of congenital heart disease patients at RSCM from 2020–2022. The data collected were age, gender, weight, diagnosis of congenital heart disease, and airway abnormality conditions. The data was presented to see the prevalence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease. From 69 subjects of congenital heart disease patients who met the inclusion criteria, 15 or 21.7% of them had airway abnormalities. The most commonly found type of congenital heart disease was Tetralogy of Fallot, with 27 (39.1%) cases. The most commonly found type of airway abnormality was Laryngomalacia, with 9 (13%) cases. Therefore, the prevalence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease is 21.7%, with the most common type of airway abnormality being Laryngomalacia at 13%. The occurrence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease requires special attention in patient management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verrel Wibisono Surjatin
"Latar Belakang Kateterisasi jantung adalah prosedur diagnostik atau terapeutik yang penting bagi pasien penyakit jantung bawaan (PJB). Meskipun prosedur ini efektif, prosedur ini mempunyai risiko komplikasi dengan minimnya informasi yang dipublikasikan dari negara-negara berpendapatan menengah ke bawah di Asia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian komplikasi mayor saat kateterisasi jantung pada pasien PJB di pusat rujukan nasional di Indonesia. Metode Data cross-sectional pasien anak PJB yang menjalani kateterisasi jantung dengan anestesi umum pada bulan Januari 2020 hingga Februari 2022 di Pelayanan Jantung Terpadu, rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dikumpulkan melalui rekam medis. Data yang dikumpulkan meliputi demografi pasien, jenis PJB, laporan prosedur, dan komplikasi. Kami meninjau dan menjelaskan data kateterisasi jantung anak untuk PJB selama periode 14 bulan. Hasil Tercatat sebanyak 179 prosedur kateterisasi jantung, dengan total 13 komplikasi yang terjadi pada 9 (5,0%) kasus. Dari jumlah tersebut, 7 merupakan komplikasi mayor, yang terjadi pada 5 (2,79%) prosedur. Komplikasi mayor meliputi bradikardia, desaturasi dan hipotensi yang menyebabkan upaya resusitasi atau pemindahan ke unit perawatan intensif jantung (CICU), serta aritmia, dan hipoksemia berat. Komplikasi minor terjadi pada 4 tindakan (2,23%). Komplikasi mayor lebih sering terjadi pada penyakit jantung bawaan yang kompleks dan memiliki median usia dan berat badan yang lebih rendah dibandingkan prosedur tanpa komplikasi. Kesimpulan Insiden prosedur dengan komplikasi mayor selama kateterisasi jantung untuk PJB dengan anestesi umum dalam penelitian ini adalah 2,79%, hal ini konsisten dengan studi lain. Komplikasi mayor masih dapat terjadi dalam prosedur diagnostik, hal ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam penempatan staf, persiapan, dan pemantauan peri-prosedural, terutama pada pasien berisiko tinggi dan penyakit jantung bawaan kompleks.

Introduction Cardiac catheterisation is an essential diagnostic and therapeutic tool in patients with congenital heart disease (CHD). While it is effective, the procedure carries a risk of complications, with little information published from low-middle income countries in Asia. This study aimed to investigate the incidence of major complications during cardiac catheterisation in patients with CHD at a national referral centre in Indonesia. Method Cross sectional data for paediatric patients with CHD who underwent cardiac catheterisation under general anaesthesia from January 2020 to February 2022 at Pelayanan Jantung Terpadu, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, were collected via medical records. Data on patient demographics, types of CHD, procedural details, and complications were collected. We review and describe the data on paediatric cardiac catheterisations for CHD over a period of 14 months. Results A total of 179 cardiac catheterisation procedures were recorded, with a total of 13 complications which occurred in 9 (5.0%) cases. Of these, 7 were major complications, which occurred in 5 (2.79%) procedures. Major complications included bradycardia, desaturation and hypotension leading to resuscitation efforts or transfer to cardiac intensive care unit, as well as arrhythmias, and severe hypoxemia. Minor complications occurred in 4 procedures (2.23%). Major complications occurred more often in complex congenital heart disease cases and had a lower median age and weight relative to procedures without complications. Conclusion The incidence of procedures with major complications during cardiac catheterisation for CHD under general anaesthesia in this study was 2.79%, which is consistent with other studies. Major complications can still occur in diagnostic procedures, highlighting the importance of careful staffing, preparation and peri-procedural monitoring, especially in higher risk patients and complex congenital heart disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Egalita Azzahra
"Latar Belakang
Overactive bladder (OAB) adalah kondisi medis yang menyebabkan keinginan untuk buang air kecil yang sering dan mendadak. Gangguan ini cukup umum ditemukan dan dapat menurunkan kualitas hidup, terutama pada populasi lansia. Meskipun terdapat berbagai pilihan terapi OAB, efek samping dari pengobatan farmakologis sering menyebabkan penghentian terapi. Asuhan mandiri akupresur dapat menjadi alternatif yang efektif. Namun, perlu diketahui bagaimana pengetahuan masyarakat mengenai terapi ini, masih belum banyak diketahui oleh masyarakat, termasuk di kalangan lansia. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional yang dilakukan di Panti Werdha Wisma Mulia, Jakarta, pada bulan September-Oktober 2024. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan 42 lansia menggunakan kuesioner yang mencakup Overactive Bladder Symptom Score (OABSS) dan penilaian tingkat pengetahuan mengenai terapi akupresur.
Hasil
Sebanyak 61,9% lansia mengalami overactive bladder, dengan 33,3% di antaranya termasuk kategori OAB ringan dan 28,6% termasuk kategori OAB sedang. Tidak ditemukan kasus OAB berat. Selain itu, tingkat pengetahuan mengenai terapi akupresur di kalangan lansia cukup bervariasi, dengan mayoritas memiliki pengetahuan yang baik. Kesimpulan
Proporsi OAB pada lansia di panti jompo wilayah Jakarta cukup tinggi. Tingkat pengetahuan lansia mengenai terapi akupresur sudah cukup baik. Namun, pengetahuan ini masih bisa ditingkatkan untuk memaksimalkan penggunaan terapi akupresur sebagai terapi alternatif yang potensial untuk mengelola gejala OAB secara sederhana dan tanpa efek samping yang signifikan.

Introduction
Overactive bladder (OAB) is a medical condition characterized by frequent and sudden urges to urinate. This condition is relatively common and can significantly reduce the quality of life, particularly in the elderly population. Although there are various treatment options for OAB, the side effects of pharmacological treatments often lead to discontinuation. Self-care through acupressure may be an effective alternative. However, public knowledge of this therapy, especially among the elderly, needs to be assessed. Method
This descriptive study with a cross-sectional design was conducted at Panti Werdha Wisma Mulia, Jakarta, during September-October 2024. Data were collected through interviews with 42 elderly individuals using questionnaires that included the Overactive Bladder Symptom Score (OABSS) and an assessment of their knowledge about acupressure therapy.
Results
A total of 61.9% of the elderly had overactive bladder, with 33.3% categorized as having mild OAB and 28.6% as having moderate OAB. No severe OAB cases were found. In addition, the level of knowledge about acupressure therapy among the elderly varied, with the majority showing good knowledge.
Conclusion
The proportion of OAB among the elderly in a nursing home in Jakarta is relatively high. The elderly's knowledge of acupressure therapy is generally good but could be further improved to maximize the use of acupressure as a potential alternative therapy to manage OAB symptoms with minimum side effects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fiorenza Kaila Farani Herliza
"Latar Belakang
Sindrom Terowongan Karpal (STK) adalah neuropati kompresi saraf perifer yang paling umum terjadi pada ekstremitas atas, dengan gejala seperti nyeri, kelemahan, dan mati rasa. STK dapat berdampak pada penurunan fungsi tangan, dimana kondisi ini sering dialami akibat aktivitas repetitif pada pergelangan tangan. Prevalensi STK berkisar antara 1-5% di populasi umum dan 7-10% pada populasi usia kerja. Pengobatan non-bedah seperti imobilisasi dan injeksi steroid sering digunakan, namun efektivitasnya terbatas. Akupunktur dan akupresur dapat menjadi perawatan alternatif untuk mengurangi gejala STK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gejala STK pada Mahasiswa Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan pemahaman mereka terhadap terapi akupresur.
Metode
Penelitian dilakukan menggunakan desain analisis deskriptif cross sectional pada Mahasiswa FKUI Preklinik. Alat penelitian yang digunakan adalah kuesioner online yang berisi 4 bagian yaitu informed consent, sosiodemograf, penilaian STK, serta penilaian pengetahuan terapi akupresur.
Hasil
Didapatkan 53,5% Mahasiswa FKUI mengalami gejala STK, dengan 16,3% mengalami gangguan aspek fungsional. Median usia mahasiswa yang mengalami gejala adalah 19,5 tahun, dengan jumlah subjek Perempuan lebih banyak (66,7%) dibandingkan laki-laki. Kelompok pengguna computer/laptop sekitar >8 jam dalam satu hari memiliki proporsi gejala STK paling tinggi (66,7%). Tingkat pengetahuan Mahasiswa FKUI mengenei terapi akupresur paling banyak termasuk dalam kategori baik (72,1%)
Kesimpulan
Lebih dari setengah subjek Mahasiswa FKUI mengalami gejala STK. Tingkat pengetahuan mayoritas Mahasiswa FKUI mengenai terapi akupresur pada kasus STK tergolong pada kategori baik.

Introduction
Carpal tunnel syndrome (CTS) is the most common peripheral nerve compression neuropathy of the upper extremity, with symptoms such as pain, weakness and numbness. STK can result in decreased hand function, which is often experienced due to repetitive motion at the wrist. The prevalence of CTS ranges from 1-5% in the general population and 7-10% in the working-age population. Non-surgical treatments such as immobilization and steroid injection are often used, but their effectiveness is limited. Acupuncture and acupressure may become an alternative treatments to reduce the symptoms of CTS. This study aimed to determine the proportion of CTS symptoms in Medical Students of the Faculty of Medicine, University of Indonesia (FKUI) and their understanding of acupressure therapy.
Method
The study was conducted using a cross sectional descriptive analysis design on Preclinical FKUI Students. The research tool used was an online questionnaire containing 4 sections, which are informed consent, sociodemographs, CTS assessment, and acupressure therapy knowledge assessment.
Results
It was found that 53.5% of FKUI students experienced CTS symptoms, with 16.3% experiencing functional disorders.The median age of students who experienced the symptoms was 19.5 years, with more female subjects (66.7%) than male. The group of computer/laptop users for >8 hours a day had the highest proportion of CTS symptoms (66.7%).The level of knowledge of FKUI students about acupressure therapy is mostly in the good category (72.1%).
Conclusion
More than half of the FKUI student subjects experienced CTS symptoms. The level of knowledge of the majority of FKUI students regarding acupressure therapy in cases of STK, is classified in the good category.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Nuha Nabilah
"Latar Belakang Nyeri adalah kondisi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien kanker. Pemberian analgesik merupakan pengobatan andalan untuk kasus ini. Penggunaan analgesik sesuai dengan pedoman manajemen nyeri kanker dari the World Health Organization (WHO) adalah yang paling sering dilakukan karena cukup terbukti efektif. Studi ini bertujuan untuk mengobservasi jumlah pasien dewasa dengan nyeri kanker yang ditangani sesuai dengan pedoman yang disebutkan. Metode Desain penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah cross-sectional dan observasional. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan diambil melalui kuesioner yang diisi oleh pasien dewasa dengan nyeri kanker di Klinik Rawat-Jalan Hemato-Onkologi Medik, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di antara tanggal 1 November 2023 dan 10 Februari 2024. Hasil Sebanyak 79 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini. Mayoritas dari subjek adalah perempuan (54,4%) dan berusia lebih dari 50 tahun (57%) dengan nyeri kanker yang parah (NRS 8-10) sebelum mengonsumsi analgesik (64,6%). Sebanyak 40,5% subjek sepenuhnya mengikuti pedoman manajemen nyeri kanker WHO, sedangkan 59% lainnya hanya patuh pada sebagian pedoman. Ketidakpatuhan paling umum terlihat pada prinsip "By The Clock”. Di antara semua subjek, 10 orang (12,6%) melaporkan tidak merasakan nyeri yang reda secara signifikan. Faktor seperti nyeri yang reda secara signifikan terlepas dari ketidakpatuhan terhadap panduan, dan edukasi dan komunikasi kepada pasien adalah beberapa alasan yang mendasari ketidaksesuaian manajemen nyeri di penelitian ini. Kesimpulan Ketidakpatuhan terhadap seluruh pedoman manajemen nyeri kanker WHO banyak ditemukan pada pasien di studi ini. Untuk memastikan pasien mendapatkan manajemen nyeri yang terbaik, menangani masalah yang mendasari ketidakpatuhan terhadap pedoman dari WHO dapat dilakukan.

Introduction
Pain is the most common complaint in cancer patients. Analgesics is the mainstay treatment for the condition. The most used guidance for analgesics use is the World Health Organization (WHO) cancer pain management guideline as it is proven to be effective. This study aims to observe the number of cancer patients whose pain complaint is managed according to the said guideline.
Method
The design of this study is cross-sectional and observational. The data used is collected from questionnaire forms filled by interviewing adult cancer patients with pain in Medical Hemato-Oncology Outpatient Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital Between November 1st 2023 and February 10th 2024.
Results
Seventy nine subjects were obtained for this study. The majority were women (54,4%) and older than 50 years old (57%) with severe cancer pain (NRS 8-10) before consuming analgesics (64,6%). This study found that 40,5% of the subjects followed the WHO cancer pain management guideline thoroughly, while the other 59% partially, with the most common noncompliance was seen in “By The Clock” principle. Among all the subjects, 10 of them (12,6%) did not get significant pain relief. Factors such as significant pain relief despite the non-compliance to the principles, and patient education and communication contributed to the inconsistency to the guideline.
Conclusion
Partial adherence to the WHO cancer pain management guideline was common and cases of insufficient pain relief were also found. To ensure the patients got the best pain management, addressing patients reason or problem underlying the noncompliance to the WHO cancer pain management guideline could be beneficial.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>