Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irsyad Ridho
"Dalam penelitian ini seksualitas dipandang sebagai hasil dari konstruksi sosial. Dalam pandangan tcrsebut status kealamiahan seksualitas dipertanyakan sehingga heteroseksualitas, yang selama ini dipandang sebagai orientasi seksual yang normal dan alamiah, sebenarnya hanyalah hasil pertarungan berbagai wacana tentang seksualitas yang pada akhimya memenangkan heteroseksualitas. Dengan demikian, heteroseksualitas menjadi wacana dominan dalam masyarakat sehingga status konstruksi sosialnya dilupakan dan yang diterima adalah status kealamiahan dan kenormalannya. Padahal, dominasi wacana heteroseksualitas sebenarnya terjadi dengan cara menyingkirkan wacana lain yang subdominan, misalnya wacana homoseksualitas.
Proses penyingkiran itu dapat berlangsung dalam praktik tesktual. Salah satu praktik tekstual yang penting di era visual sekarang ini adalah film. Dengan memilih film Tentang Dia dan dengan memanfaatkan teori-teori yang relevan, penelitian ini berusaha menjawab masalah bagaimana pertarungan konstruksi seksualitas berlangsung dalam film ini. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan pertarungan konstruksi seksualitas yang berlangsung di film ini. Tujuan ini dicapai dengan memanfaatkan metode analisis wacana terhadap beberapa level representasi, yaitu relasi waktu tokoh, struktur cerita, dan organisasi spasial film (terutama shot dan angle).
Hasil penelitian ini memperljhatkan bahwa film Tentang Dia mengunggulkan wacana dominan heteroseksualitas atas wacana subdominan homoseksualitas pada level relasi waktu tokoh dan struktur cerita, namun pada level gaze, film ini memperlihatkan perlawanan wacana subdominan homoseksualitas terhadap wacana dominan heteroseksualitas.

This research shows sexuality as a form of social constructions. In that view the nature of sexuality is put in to question so that heterosexual which is assumed as normal and natural is actually no more than a result of contestation from various discourse in sexuality which than win the heterosexual orientation. With that result heterosexuality becomes dominant discourse in society, the status of its social construction is forgotten and its natural and normal status is accepted. Even though factually the domination of heterosexuality discourse is formed by marginalizing other subdominant discourse which in this case, homosexuality.
The process of marginalization conducts in textual practice. One of important textual practice in this visual era is film. by using relevant theories this research tries to find how sexual construction conflicts in this film, Tentang Dia. The aim of this research is to describe the conflicts of heterosexuality in this film which is done by using discourse analysis rnethode to several level of representation those are character time relation, structure of story and film spatial organization, especially shot and angle.
The findings of this research shows that film Tentang Dia triumphs the dominance of heterosexuality over homosexuality in the level of character time relation and structure of story but in gaze level this tilm shows the resistance of subdominant homosexuality over heterosexuality domination.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuka Dian Nerendra
"Peran televisi sebagai bagian dari konstruksi identitas dalam ranah kebudayaan global pascamodern tidak dapat dielakkan lagi. Kini televisi telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat urban tanpa memandang kelas. Sementara itu, film menempati posisi yang sama, sebagai bagian dari konstruksi kebudayaan masa kini. Film menawarkan realitas baru dan menggagas konstruksi sosial baru dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut menjadikan integrasi kedua media tersebut patut diamati. Fasilitas yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi informasi abad keduapuluh satu memberikan peluang film dan televisi untuk mempercepat proses penyebarannya ke seluruh dunia.
Celestial Movies Channel merupakan salah satu contoh kasusnya. Sebagai stasiun televisi dalam jaringan televisi global, Celestial memosisikan diri sebagai stasiun khusus sinema Cina yang dapat diakses dari tempat manapun di seluruh dunia. Kasus ini menjadi lebih menarik untuk diamati ketika konstruksi kultural baru yang digagas Celestial dalam jaringan media global dipertemukan dengan aspek ruang yang terkonstruksi dalam media tersebut. Ruang, pada kenyataannya merupakan aspek penting dalam sebuah konstruksi kultural.
Penelitian ini mencoba menelusuri bagaimana Celestial memproduksi sebuah ruang bagi identitas kecinaan dalam ruang media global. Selanjutnya, penelitian ini juga mencoba mengetahui identitas kultural apa yang terkonstruksi dalam ruang maya seperti itu. Melalui pendekatan ruang, penelitian ini mencoba menjawab bagaimana konstruksi identitas kultural dapat terjadi. Hal yang menarik adalah, konstruksi yang akan ditelusuri tersebut berlangsuug dalam ruang virtual (maya), yakni sebuah ruang yang hanya dapat mewujud dalam jaringan elektronik.
Pendekatan ruang dipergunakan untuk membongkar bagaimana pertarungan wacana dalam ruang tersebut bcrlangsung. Selain itu juga untuk menemukan bagaimana wacana tersebut berperan dalam proses produksi ruang virtual Cina yang digagas Celestial tersebut. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian ini dapat membantu proses pemahaman tentang bagaimana konstruksi kultural dalam ruang media.

The role of television as a part of identity construction in the global post-modem culture is inevitable. Television now has taken part in daily lives of the urban disregarding the social class. At the same time, film has also positioned itself equally as a major part in the contemporary culture. Film offers new realities and giving ideas of how new social construction in the society would be. Integration of the two medias made it worth observed. The twenty-first century?s advanced infomation technology gives an opportunity for both film and television to accelerate their dissemination process throughout the globe.
Celestial Movies Channel is one example. As a television station in a globalized broadcasting network, Celestial has positioned itself exclusively as a station dedicated for Chinese Cinema, that can be accessed from any part of the world. The case is worth observing while new cultural construction as proposed by Celestial in the global broadcasting network is faced with spatial aspects constructed within the media. Space, as a matter of fact, is a crucial aspect in a cultural construction.
This research attempts to trace on how Celestial produces a space for Chinese identity in the global media space. Furthermore, this research also attempts to perceive the formation of cultural identity in such virtual space. By using the spatial approach and theories, this research primary objective is to find out how the cultural construction operates and works. Interestingly, the construction which to be observed occurs within a virtual space, a space which is formed in an electronic network.
Spatial approach is used to reveal the discursive formation in such contested terrain. On the other hand, to discover the way the discourses play a significant role in constructing the China?s virtual space that Celestial offers. This research can provide knowledge and better understanding in how cultural construction works in an electronic media space.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heri Purwoko
"Dinamika sosial budaya yang terjadi di Papua membuat banyak pihak larut dalam dilema dan perjuangan yang berkelanjutan tanpa penyelesaian yang jernih sejak masa integrasi dengan Indonesia hingga kini. Film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja menampilkan paradoks akan makna perjuangan. Di satu sisi berjuang adalah dengan mengangkat senjata, di sisi lain dimaknai sebagai usaha untuk kehidupan yang lebih baik tanpa kekerasan. Film ini menghadirkan ambiguitas dan ketidakajegan dalam posisi ideologi yang direpresentasikan melalui karakter-karakter dalam film. Melalui film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, penulis mengelompokkan setidaknya terdapat tiga identitas yang direpresentasikan, yaitu: (a.) identitas negara atau pemerintah pusat Republik Indonesia yang ditunjukkan melalui tokoh Perempuan, serta kehadiran dan fungsi aparat militer, (b) identitas Organisasi Papua Merdeka yang diperlihatkan aktifitas mereka dalam Kongres Papua II, bendera Bintang Kejora, pengidolaan tokoh Theys Eluay, dan sebagian rakyat Papua yang mendukung atau bersimpati terhadapnya, serta (c) sebagian penduduk Papua yang berada di antara, direpresentasikan melalui tokoh Arnold dan Ibu. Untuk melihat apakah ada indikasi keberpihakan atas persoalan identitas nasional Papua dan Indonesia, maka penulis menggunakan cultural studies dengan pendekatan analisis tekstual dan teori representasi. Penulis menitikberatkan pada kode-kode visual sinematik berupa mise-en-scene, karakter, gestur, dialog, dan jalinan antar shot dalam film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja untuk mengetahui politik identitas yang direpresentasikan dalam film tersebut.

The socio-cultural dynamics occurring in Papua have left many parties immersed in ongoing dilemmas and struggles without clear resolution since the period of integration with Indonesia until now. The film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (I Want to Kiss You Only Once, 2002) displays the paradox of the meaning of struggle. On the one hand, fighting is by taking up arms, on the other hand interpreted as an effort to a better life without violence. This film presents ambiguity in the ideological position represented through the characters in the film. Through the film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, the writer groups at least three identities that are represented: (a) the identity of the state or central government of the Republic of Indonesia shown through women character, as well as the presence and function of the military apparatus, (b) the identity of the Free Papua Organization which were shown their activities in the Second Papuan Congress, the Morning Star flag, the idolizing of Theys Eluay, and some Papuans who supported or sympathized with him, and (c) some Papuans who were in between, represented through the figures of Arnold and Mother. To see if there are indications of alignments on the issue of Papuan and Indonesian national identity, the authors use cultural studies with textual analysis and representation theory approaches. The author focuses on cinematic visual codes in the form of mise-en-scenes, characters, gestures, dialogues, and interwoven shots in the film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja to find out the identity politics represented in the film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library