Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Galuh Chandra Nur Fitrany Fauza
"ABSTRAK
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan persepsi antara orang awam Indonesia dan orang awam Korea di Jakarta terhadap estetika senyum.
Metode: Komponen senyum yang terdiri dari lebar mahkota, panjang mahkota, buccal corridor, gingival display dan smile arc pada foto senyum dimodifikasi secara digital dengan interval 1mm, sehingga diperoleh 20 foto senyum. Ke-20 foto ini kemudian dinilai oleh 35 orang awam Indonesia dan 35 orang awam Korea di Jakarta menggunakan visual analogue scale.
Hasil: perbedaan persepsi antara orang awam Indonesia dan orang awam Korea yang bermakna dapat ditemui pada panjang mahkota 12mm, buccal corridor 2,5mm dan 3,5mm, gingival display -0,5mm dan smile arc 2mm. Orang awam Indonesia dan orang awam Korea menilai lebar mahkota 8,5mm, panjang mahkota 10mm, buccal corridor 0,5mm, gingival display 0,5mm, smile arc 1mm sebagai komponen senyum yang paling estetis.
Kesimpulan: Orang awam Indonesia menilai panjang mahkota 12mm, buccal corridor 2,5mm dan 3,5mm, gingival display -0,5mm dan smile arc 2mm lebih estetis daripada orang Korea, namun terdapat kesamaan dalam memilih komponen-komponen senyum yang paling estetis.

ABSTRACT
Objectives: To compare the smile aesthetics perception between Indonesian and Korean laypeople.
Methods: Twenty smile photograps with altered features were used. Altered features included the following: crown width, crown length, buccal corridor, gingival display and smile arc. These photographs were assessed by 35 Indonesian laypeople and 35 Korean laypeople in Jakarta using a visual analogue scale.
Results: Significant differences in perception between Indonesian laypeople and Korean laypeople were found at 12mm crown length, 2,5mm dan 3,5mm buccal corridors, -0,5mm gingival display and 2mm smile arc. Indonesian and Korean laypeople assesed 8,5mm crown width, 10mm crown length, 0,5mm buccal corridor, 0,5mm gingival display and 1mm smile arc as the most aesthetic smile components.
Conclusion: Indonesian laypeople assesed 12mm crown length, 2,5mm and 3,5mm buccal corridor,-0,5mm gingival display and 2mm smile arc more aesthetically than Koreans, but there were similarities in choosing the most aesthetic components."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Yunia Arsie
"ABSTRAK
Pendahuluan: Masa remaja adalah suatu saat dimana seseorang mencari jati
dirinya. Hubungan sosial dengan orang lain menjadi hal yang tak terpisahkan
dalam masa ini, dan seringkali susunan gigi-geligi, berpengaruh terhadap
perlakuan sosial yang diterima seorang remaja dari lingkungannya. Berbagai
penelitian telah menemukan maloklusi gigi anterior atas berdampak negatif
terhadap relasi sosial remaja. Meskipun demikian, penelitian seperti ini masih
jarang ditemukan di Indonesia.
Material dan metode: Subjek berasal dari 2 SMP di Jakarta Timur, sebanyak 173
orang, yang dibagi menjadi 4 macam karakteristik oklusi: gigi anterior atas
berjejal, gigi anterior atas bercelah, dan gigi anterior atas protrusif, menggunakan
kuesioner PIDAQ (Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire).
Hasil: Analisis menunjukkan adanya perbedaan bermakna dalam dampak
terhadap rasa percaya diri antara remaja oklusi normal dengan maloklusi gigi
berjejal, bercelah, maupun protrusif, serta perbedaan bermakna antara dampak
psikologis yang dimiliki remaja oklusi normal dengan gigi bercelah.
Kesimpulan: Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pencegahan serta perawatan
ortodonti dini pada remaja dengan maloklusi agar dapat mencegah timbulnya
gangguan perkembangan psikososial remaja.

Abstract
Introduction: Adolescence is a one of significant periods in one?s life. Relating
with others in this phase has become an inseparable aspect, and often physical
appearance, especially facial and dental, considerably determines the quality of
social treatment received from one?s surrounding. Several studies have found the
role of upper anterior malocclusion in rendering negatively one?s social
connection with his peers. Despite the quite fascinating findings, such studies are
relatively rare to be found in Indonesian context.
Material and method: impact of various anterior occlusion on adolescent
psychosocial from SMP 51 and SMP 195 in East Jakarta area by using PIDAQ
(Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire). Two school were
contacted and 173 subjects participated, classified into four occlusal
characteristics: normal, upper anterior crowding, upper anterior spacing, and
upper anterior protruding.
Result: There is significant difference between adolescents with normal occlusion
and those suffering from malocclusions, either crowding, spacing, or protruding.
Moreover, there is a significant psychological impact difference between
adolescents with normal dentition and those who have upper anterior spacing.
Conclusion: It can be concluded that anterior malocclusion has the possibility to
affect adolescents psychological condition. Therefore, it is deemed necessary to
take preventive action as well as early orthodontic treatment on adolescents
suffering from malocclusions in order to nullify the impact on their psychosocial
development."
2012
T31383
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nyoman Suryanti Wulandari
"Perawatan ortodonti dengan menggunakan alat cekat merupakan faktor predisposisi penumpukan plak karena dapat menyebabkan pembersihan gigi menjadi lebih sulit, selain itu motivasi dan kerjasama pasien yang kurang juga merupakan faktor lain dalam menumpuknya plak sehingga Oral Hygiene menjadi buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode motivasi yang paling berpengaruh terhadap skor Oral Hygiene Index yang dilihat dari skor plak dan skor gingival pada pasien ortodonti cekat. Dari ketiga metode motivasi yaitu demonstrasi, katalog dan video diketahui terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok demonstrasi dan video diikuti oleh kelompok katalog dan video. Kelompok video memiliki penurunan skor yang paling signifikan diantara ketiganya.

Orthodontic treatment using fixed appliance is a predisposing factor for plaque build up because it can make tooth cleaning more difficult. The lack of patient motivation and compliance is also a predisposing factor in plaque build up, these may lead to bad oral hygiene during treatment. This study aims to compare which motivation methods had the most influence in oral hygiene index score, based on plaque index and gingival index. From these three motivation methods: demonstration, printed catalogue and video, there is a significant differences between the demonstration and video group followed by the printed catalogue and video group. The video group has the most significant effect on decreasing oral hygiene index score."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T30850
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tirsa Duhita Laksmihadiati
"Pendahuluan: Model studi konvensional merupakan standar baku (gold standard) dalam diagnosis dan prosedur perawatan. Penggunaan model studi digital 3 dimensi dapat menjadi alternatif dari keterbatasan pada model studi konvensional, antara lain kebutuhan ruang penyimpanan secara fisik, serta memiliki sifat dapat rusak dan mengalami degradasi dalam waktu lama. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari rangkaian penelitian sebelumnya, yaitu menguji akurasi diagnosis lengkung gigi rahang atas arah transversal pada model studi digital 3 dimensi hasil pemindaian laser menggunakan piranti keras yang sama.
Material dan metode: Sampel sebanyak 26 model studi konvensional gigi rahang atas kasus gigi berjejal sedang-berat. Setiap model studi konvensional dipindai dengan piranti keras pemindai laser 3 dimensi hingga dihasilkan model studi digital 3 dimensi. Pengukuran lebar mesio-distal keempat gigi insisif rahang atas, jarak inter-premolar jarak inter-molar, indeks dan analisis Pont dilakukan pada kedua model studi. Pengukuran pada model studi konvensional dilakukan menggunakan kaliper digital (ketelitian 0,01 mm), dan pada model studi digital 3 dimensi dilakukan secara digital dengan piranti lunak pengukur. Dilakukan uji realibilitas (uji intra eksaminer) dengan plot Bland Altman dan uji t-berpasangan. Hasil pengukuran kedua model studi dibandingkan dengan uji t-tidak berpasangan dan dilakukan uji kesesuaian dengan plot Bland Altman. Akurasi pengukuran lengkung gigi rahang atas arah transversal pada model studi digital 3 dimensi hasil pemindaian laser diukur melalui uji diagnostik sensitivitas dan spesifitas.
Hasil: Hasil uji intra eksaminer analisis plot Bland Altman menunjukkan sebagian besar titik berada pada area garis rentang kesesuaian, dan uji t-berpasangan terdapat perbedaan bermakna antara pengukuran pertama dan kedua pada lebar mesio-distal gigi 12 dari model studi digital 3 dimensi (p=0,03). Hasil uji hipotesis dengan membandingkan hasil pengukuran kedua model studi dengan uji t-tidak berpasangan menunjukkan perbedaan tidak signifikan secara statistik, dengan nilai p untuk semua pengukuran antara 0,40-0,98. Analisis plot Bland Altman hasil pengukuran model studi digital 3 dimensi menunjukkan hasil kesesuaian yang cukup mendekati hasil pengukuran pada model studi konvensional, dengan nilai bias (mean difference) mendekati 0.00 dan p>0.05 pada semua data. Hasil nilai diagnostik menggunakan analisis Pont untuk melihat rahang yang mengalami konstriksi dan non-konstriksi dari uji sensitivitas dan spesifitas menunjukkan sensitivitas sebesar 100% (IK 15,8%-100%), dan spesifitas 95,8% (IK 78,9%-99,9%).
Kesimpulan: Piranti pemindai laser rakitan Departemen Ortodonti FKG UI dan STEI ITB akurat digunakan untuk pengukuran dan analisis lengkung gigi rahang atas arah transversal menggunakan analisis Pont pada model studi digital 3 dimensi kasus gigi berjejal sedang hingga berat.

Introduction: Conventional study model is gold standard in diagnostic and treatment procedure. The use of 3D digital study model can be alternative as a solution a number of problem issues from conventional study model, such as require rigorous archiving and massive physical storage space, breakage and degradation issues in the long term uses. This study purpose to test the accuracy of transverse measurement the upper arch on digital 3D study models produced by the same 3D laser scanning hardware which used in the last study.
Matherial and method: 26 conventional study models of the upper arch moderate-advanced crowding cases as sample. Each conventional study model was scanned by 3D laser scanning hardware to produced 3d digital study model. Mesio-distal upper incisors, inter-premolar and inter-molar width, Pont?s index and analysis was measured on both study models. Measurement were made with a digital calliper (nearest 0,01 mm) on conventional study model, and digital measurement by software on 3D digital study model. Reability test (intraexaminer) by Bland Altman plot and paired t-test. Then measurement result from both study models are compared using unpaired t-test and Bland Altman plot. Acuracy of transverse measurement the upper arch on digital 3 dimension study models from laser scanning performed by diagnostic test sensitivity and specificity.
Result: The intraexaminer test by Bland Altman showed most of point are in limit of agreement line, and paired t-test showed significant difference between the first and second mesio-distal upper left lateral incisor on 3D digital study model (p=0,03). Hypothesis test by comparing the measurement on both study model by unpaired t-test showed statistically no significant difference, with p value for all measurement around 0,40-0,98. Bland Altmant plot showed high compatibility between conventional study model and 3D digital study model, with mean difference closed to 0.00 and p>0.05 for all data. Diagnostic test on Pont's analysis to classify contriction and non-constriction the upper arch showed sensitivity 100% (CI 15,8%-100%) and specificity 95,8% (CI 78,9%-99,9%).
Conclusion: 3D digital study model produced by 3D laser scanning hardware made by Orthodontic Department FKG UI-STEI ITB accurate for transverse measurement and analysis (Pont?s) on upper arch moderate-advanced crowding cases.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nathania Hartono
"Latar Belakang: Rapid Maxillary Expander RME yang sering digunakan dalam mengoreksi defisiensi maksila secara transversal memiliki beberapa keterbatasan, seperti usia dan efek samping yang secara klinis kurang menguntungkan. Maxillary Skeletal Expander MSE merupakan pengembangan RME yang dikombinasikan dengan miniscrew. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan distribusi stress akibat penggunaan RME dan MSE di Region of Interest ROI kraniomaksila, yaitu molar satu M1 , alveolar palatal di regio M1, sutura palatina, sutura zigomatik, miniscrew, dan palatum di sekitar lokasi insersi miniscrew. Metode: Tengkorak kering manusia dipindai dengan Cone ndash;Beam Computed Tomography untuk membuat model tiga dimensi 3D kraniomaksila. Analisis data dilakukan secara visual dan numerik. Hasil: Gambaran distribusi stress di kelompok RME berada di palatal mahkota M1, mesial alveolar palatal, dan korteks inferior sutura palatina. Gambaran distribusi stress di kelompok MSE berada di cusp distopalatal M1, palatal alveolar palatal, dan korteks inferior dan superior sutura palatina. Gambaran distribusi stress di sutura zigomatik pada kedua kelompok terkonsentrasi di sutura zigomatikotemporal, sedangkan pada miniscrew dan area sekelilingnya terkonsentrasi pada miniscrew anterior dan area palatal tulang di sekeliling miniscrew anterior. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna distribusi stress pada ROI M1, tulang alveolar palatal M1, sutura palatina, dan sutura zigomatik di antara kelompok model kraniomaksila 3D RME dan MSE.

Background Transversal maxillary deficiency corrected with Rapid Maxillary Expander RME may result with some unfavorable side effects and limitations. Maxillary Skeletal Expander MSE , combined with miniscrews, was developed to overcome these drawbacks. This research was conducted to analyze the differences of stress distribution of maxillary expansion using RME and MSE in the Region of Interests ROIs first molars M1 , palatal alveolar bones of M1, palatine sutures, zygomatic sutures, miniscrews and their surrounding bones. Methods A dry skull was scanned using Cone Beam Computed Tomography, and rendered into a three dimensional 3D model of craniomaxillary structure. The data analysis was done visually and numerically. Result The stress distributions in RME group are located in palatal side of M1, mesial side of palatal alveolar of M1, and inferior cortex of palatine sutures. The stress distributions in MSE group are located in distopalatal cusp of M1, palatal side of palatal alveolar of M1, and inferior and superior cortex of palatine sutures. The stress distributions in zygomatic sutures on both groups are concentrated in zygomaticotemporal sutures, whereas in the miniscrews, the stress is concentrated on anterior miniscrews and palatal side of surrounding bones. Conclusion There are significant differences of stress distribution of maxillary expansion measured in the ROIs in craniomaxillary 3D model using RME and MSE."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferani Lemanda
"ABSTRAK
Tujuan : Membandingkan pembentukan biofilm Streptococcus mutans pada breket ortodontik dengan bahan stainless steel 17-4 PH, antara breket yang diimpor, beredar dan digunakan di Indonesia, dibandingkan dengan breket desain baru inovasi Prasetyadi et al 2017.Metode : Pembentukan pelikel saliva pada permukaan breket sebagai lapisan conditioning. Pengujian adhesi bakteri S.mutans yang dilakukan pada kedua jenis breket. Parameter waktu yang digunakan pada pengujian adhesi bakteri adalah 3 jam dan 24 jam. Bakteri S.mutans yang melekat pada breket diberi perlakuan dengan Trypsin EDTA, dan dihitung jumlah total colony forming unit.Hasil : Total CFU S.mutans dalam 3 jam pada kelompok breket impor dan desain baru adalah 1,55x105/mldan 3,81x105/ml. Total CFU S.mutans dalam 24 jam pada kelompok breket impor dan desain baru adalah 1,24x106/ml dan 1,92x106/ml Kesimpulan : Terdapat peningkatan pembentukan biofilm Streptococcus mutans seiring dengan waktu, yaitu 3 jam dan 24 jam, pada kelompok breket impor dan desain baru. Pembentukan biofilm S.mutans pada breket ortodontik stainless steel 17-4 PH desain baru lebih tinggi daripada breket impor, baik 3 jam maupun 24 jam.

ABSTRACT
Objectives To compare Streptococcus mutans biofilm formation on stainless steel 17 4PH orthodontic bracket, between imported,widely used brackets in Indonesia, and newly designed brackets.Method S.mutans biofilm was allowed to form in vitro, on both groups of imported and new design brackets, with prior formation of early salivary pellicle. The brackets were incubated in anaerobic environment for 3 hours and 24 hours as to perform initial biofilm formation. Bacterias were detached from the bracket surfaces with Trypsin EDTA solution treatment, plated on BHI Agar, then the total colony forming units CFU ml were quantified.Results Total CFU of S.mutans in 3 hours on imported and new design brackets are 1,55x105 ml and 3,81x105 ml. Total CFU of S.mutans in 24 hours on imported and new design brackets are 1,24x106 ml and 1,92x106 ml respectively.Conclusion Streptococcus mutans biofilm formation increases with time, at interval 3 hours to 24 hours, on both groups. S.mutans biofilm formation were higher on new design brackets group, both on 3 hours and 24 hours time interval."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Presti Bhakti Pratiwi
"ABSTRAK
Latar belakang: transpalatal arch masih banyak digunakan pada perawatanortodonti dengan pencabutan premolar sebagai reinforced, untuk mencegahkehilangan penjangkaran. Dampak tekanan ortodonti pada jaringan periodontaldengan dan tanpa TPA dapat diketahui dengan mengetahui besar distribusi stresspada jaringan periodontal. Besar distribusi stress pada jaringan periodontal gigimolar satu dan dua secara in vivo tidak mungkin dilakukan. Maka dilakukanmelalui simulasi tiga dimensi 3D dengan Finite Element Analysis FEA .Tujuan: untuk melihat perbedaan distribusi stress minPS, maxPS dan vonMS pada gigi molar satu atas dengan TPA, TPA dan melibatkan gigi molar dua dantanpa TPA jika diberikan gaya distalisasi kaninus dengan daya sebesar 150g.Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental laboratorikdengan membuat model tengkorak secara tiga dimensi yang terdiri dari model gigimolar pertama atas dan tulang alveolar pendukungnya pada model maksila 3Ddengan TPA, dengan TPA dan melibatkan gigi molar dua dan tanpa TPA,kemudian dilakukan simulasi distalisasi kaninus dengan gaya 150g dengan FEA.Hasil: Ada perbedaan besar distribusi stress yang bermakna pada model 1 TPA ,model 2 TPA M2 dan model 3 tanpa TPA pada gigi molar satu atas dan tulangaveloar sekitar gigi molar satu atas p 0,000 ; p< 0,05 Kesimpulan: Nilai distribusi stress minPS, maxPS dan vonMS tertinggi padamodel tanpa TPA, kemudian nilainya menurun pada model TPA dan model TPAyang menyertakan gigi molar dua, baik pada gigi maupun tulang alveolar.
Background:
ABSTRACT
The transpalatal arch is used as a reinforced anchorage onextraction case to prevent anchorage loss. It is impossible to measure humanperiodontal stress distribution, so an alternative approach with three dimensionsimulation using Finite Element Analysis FEA .Aim: This study aimed to compare stress distribution on upper first molar dan itsalveolar bone with TPA, with TPA and upper second molar and without TPAwhen 150g force was applied during canine movement.Methods: This experimental laboratory was done with the contruction of the 3Dmodel that consist of 3D model of maksila with TPA, with TPA and upper secondmolar and without TPA. Canine distalization simulation was done with 150 gramdistalization force.Result: The result showed that stress distribution on 1st model 1 TPA , 2ndmodel 2 TPA M2 and 3rd model 3 without TPA was significantly higher onthe upper first molar and its alveolar bone.Conclusion: The highest stress distribution minPS, maxPS dan vonMS is on themodel without TPA and the number decrease on a model with TPA and modelTPA with the upper second molar."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bonang Basuki Suroyudho
"Tujuan: Mengetahui perbedaan hasil interpretasi superimposisi maksila dan mandibula antara tiga metode superimposisi pada kelompok usia non-growing ≥ 20 tahun. Metode superimposisi maksila yang diteliti adalah pada area best fit, Björk dan Skieller, serta Springate. Sementara metode superimposisi mandibula yang diteliti adalah pada tepi bawah mandibula, Björk dan Skieller, serta Springate. Metode: Tracing dilakukan pada foto sebelum perawatan (T0) dengan membuat garis panduan sella-nasion (SN) dan garis N yang tegak lurus terhadap SN serta struktur anatomis pada regio maksila atau mandibula. Sedangkan pada foto setelah perawatan (T1), tracing dilakukan hanya pada struktur anatomis pada regio maksila dan mandibula saja. Kemudian hasil tracing setelah perawatan (T1) disuperimposisikan di atas hasiltracing sebelum perawatan (T0) berdasarkan berbagai metode superimposisi maksila atau mandibula. Setelah itu garis SN dan N pada tracing sebelum perawatan dipindahkan ke atas hasil tracing setelah perawatan. Terakhir, posisi titik referensi pada maksila (titik ANS, A, dan U1) atau mandibula (titik Pog, B, dan L1) diukur jarak koordinatnya secara vertikal dan horizontal ke garis SN dan N yang berperan sebagai sumbu x dan y. Hasil: Tidak terdapat perbedaan, baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal, mengenai hasil interpretasi superimposisi maksila dan mandibula dengan tiga metode superimposisi yang diujikan pada kelompok usia non-growing ≥ 20 tahun. Kesimpulan: Evaluasi perawatan ortodontik pada pasien usia non-growing ≥ 20 tahun menggunakan berbagai metode superimposisi maksila dan mandibula menghasilkan hasil interpretasi yang sama, baik diukur dalam dimensi vertikal maupun horizontal. Sehingga pemilihan metode superimposisi maksila dan mandibula apapun pada pasiennon-growing tidak akan mempengaruhi hasil interpretasi evaluasi perawatan, selama metode superimposisi yang digunakan tetap memperhatikan struktur anatomis yang ada.

Objectives: To compare the interpretation of maxillary and mandibular superimposition between three methods on ≥ 20-year-old non-growing patients. Three maxillary superimposition methods used during the study were best fit, Björk-Skieller, and Springate. Meanwhile for mandibular superimposition, the methods used during the study were inferior border of mandible, Björk-Skieller, and Springate. Method: Tracing was executed on pre-treatment cephalogram (T0) to construct sella-nasion (SN) line and N line which was perpendicular to SN, and also to construct anatomical structures on maxilla or mandible. Tracing at post-treatment cephalogram (T1) was executed on maxillary or mandibular anatomical structures only. Then cephalogram tracing at T1 was superimposed on T0 based on three different superimposition methods on maxilla or mandible. SN line and N line at T0 were then transferred into T1 tracing as a reference line of x and y axis. Hence, the position of maxillary reference points (ANS, A, and U1) or mandibular reference points (Pog, B, and L1) could be accounted vertically and horizontally to the x and y axis. Results: No statistical difference in vertical or horizontal dimention, regarding the interpretation of maxillary and mandibular superimposition between three methods on ≥20-year-old non-growing patients. Conclusion: Post orthodontic treatment evaluation on ≥ 20-year-old non-growing patients using varied maxillary and mandibular superimposition methods may result the same interpretation in vertical or horizontal dimention. Any maxillary or mandibular superimposition methods could be used on non-growing patients and may not affect interpretation on post treatment evaluation, as long as the used methods account any existing anatomical structures."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Margaretha Anyelir
"Gangguan sendi temporomandibula (GSTM) adalah gangguan otot dan kelainan artikular dalam fungsi komponen otot dan / atau sistem artikular yang disertai dengan tanda dan gejala klinis yang sangat bervariasi. Adanya riwayat GSTM dapat menjadi pertimbangan dalam rencana perawatan ortodonti. Tidak semua menyadari bahwa mereka memiliki GSTM yang salah satunya disebabkan oleh maloklusi, sehingga mereka datang hanya ke klinik Ortodonti hanya untuk perbaikan maloklusi. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui proporsi dan distribusi demografi pasien dengan GSTM termasuk maloklusi (hubungan rahang, overjet, overbite, hubungan molar dan kaninus) dan sudut parameter vertikal pada sefalometri lateral di klinik spesialis ortodonti RSKGM FKG UI. (2) Mengetahui hubungan GSTM dengan maloklusi serta hubungan GSTM dengan sudut parameter skeletal. Studi deskriptif dengan desain penelitian potong lintang pada pasien tahun kunjungan 2013-2018 yang memiliki GSTM pada anamnesis dan/atau pemeriksaan fungsional. Digunakan analisis univariat menggunakan SPSS 23 untuk menggambarkan distribusi dan analisis korelasi untuk menggambarkan hubungan. Didapatkan 98 status pasien yang mengalami GSTM. Ditemukan lebih banyak pasien perempuan daripada laki-laki dengan usia rata-rata 24,8 tahun dan kebanyakan berprofesi sebagai karyawan swasta. Gejala GSTM yang paling sering ditemukan adalah deviasi pergerakan mandibula dan clicking. Terdapat hubungan antara GSTM dengan maloklusi skeletal kelas II dan hubungan kaninus kelas III.
Temporomandibular joint disorders (GSTM) are muscle disorders and articular abnormalities in the function of the components of the muscle and/or articular system accompanied by highly variable clinical signs and symptoms. The presence of a history of GSTM can be considered in the orthodontic treatment plan. Not all are aware that they have GSTM, one of which is caused by malocclusion, so they come only to the Orthodontic clinic only to repair the malocclusion. The aims of this study were (1) to determine the proportion and demographic distribution of patients with GSTM including malocclusion (jaw relationship, overjet, overbite, molar and canine relationship) and vertical angle parameters on lateral cephalometry at the orthodontic specialist clinic of RSKGM FKG UI. (2) Knowing the relationship between GSTM and malocclusion and the relationship between GSTM and the parameter angle skeletal. Descriptive study with a cross-sectional design on patients in the 2013-2018 visit year who had GSTM on history and/or functional examination. Univariate analysis was used using SPSS 23 to describe the distribution and correlation analysis to describe the relationship. There were 98 patients who had GSTM status. There were more female than male patients with a mean age of 24.8 years and Most of them work as private employees. The most common symptoms of GSTM are deviation of mandibular movement and clicking. There is a relationship between GSTM with skeletal malocclusion class II and class III canine relationship."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>