Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eddy Junaedi
Abstrak :
ABSTRAK
Bangsa Indonesia dengan keanekaragaman suku, budaya, agama, ras, nilai, adat istiadat cukup berpotensi untuk timbulnya konflik baik pada skala bawah (grass root) maupun kelompok elit (elite class). Terjadinya konflik di negeri ini seperti konflik di Poso, Ambon, Aceh, Sambas, maupun di Sampit tidak diakibatkan oleh mono factor, akan tetapi lebih pada akumulasi dari suatu permasalahan kecil yang tidak segera diselesaikan dengan baik.

Di Lapas, konflik dalam skala besar juga terjadi karena akumulasi permasalahan demi permasalahan kecil yang tidak diselesaikan dengan baik dan tegas. Tingginya tingkat hunian yang melebihi kapasitas Lapas akhir-akhir ini juga merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab timbulnya konflik. Karena dengan tingkat hunian yang melebihi kapasitas membawa dampak (side effect) pada over crowded sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dalam beristirahat, lingkungan Lapas cenderung menjadi lebih kotor dan bau.

Masih adanya identifikasi kelompok pada kelompok narapidana, menjadi faktor yang rentan atas timbulnya konflik. Perlakuan diskriminatif oleh petugas terhadap narapidana-narapidana tertentu juga masih kerap terjadi. Kemudian adanya stereotip oleh kelompok narapidana (in-group) terhadap kelompok yang lain (out-group). Bentuk-bentuk konflik yang sering terjadi di Lapas misalnya konflik antar individu yang diakibatkan berbagai macam hal antara lain perselisihan di kamar, masalah hutang piutang, pemerasan, saling mengejek dan lain-lain. Permasalahan yang lebih besar akan timbul apabila narapidana yang berkonflik, membawa identitas kelompoknya masing-masing, lebih parah lagi ketika kelompok tersebut telah lama bermusuhan maka konflik antar kelompok akan mudah terjadi.

Penyelesaian konflik yang selama ini umum dilakukan di Lapas adalah dengan melakukan pemeriksaan masing-masing pihak yang berkonflik, dengan solusi damai atau diberikan hukuman disiplin berupa tutupan sunyi (pengasingan), kerja sosial. Atau kepada narapidana yang dianggap sering membuat rusuh dapat dipindahkan ke Lapas lain untuk memutus jaringan kelompoknya.

Melalui tulisan ini penulis menawarkan sebuah program intervensi untuk mencegah atau mengurangi konflik di Lapas dengan memberikan sentuhan psikologis. Yakni sebuah program intervensi pendidikan nilai kehidupan bagi warga binaan pemasyarakatan, yang bertujuan agar narapidana memiliki perilaku respek dan toleran kepada narapidana, dengan harapan tercipta suatu kondisi Lapas yang aman, tertib, dan damai.
a, 2007
T17799
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ifah Syarifah Afriani
Abstrak :
Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu kabupaten yang memiliki Angka Kematian Ibu (AK1) tertinggi di Indonesia, yang bersama dengan beberapa kabupaten lainnya menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki AKI tertinggi di Asia Tenggara. Oleh Karena itu, intervensi dalam penelitian ini dilakukan di Kabupaten Purwakarta tepatnya di Kecamatan Wanayasa, Desa Sumurugul. Proses Intervensi dilakukan melalui aspek kesehatan, ekonomi, kepemimpinan dan pendidikan. Dalam tulisan ini, guru dijadikan sebagai agent of change karena perannya yang strategis di sekolah. Tujuan intervensi ini adalah untuk meningkatkan "awareness" guru dengan memberikan pengetahuan mengenai arti pentingnya pendidikan yang mengintegrasikan antara materi standar dengan pemanfaatan potensi yang ada di desa yang berkaitan dengan kesehatan. Penelitian diawali dengan observasi, wawancara, dan diskusi kelompok. Lalu dibuat program intervensi berdasarkan teori mengenai guru, teori perkembangan dewasa madya, dan teori belajar sosial dari Bandura serta mengg unakan strategi re-edukatif dan partisipasi. Bentuk program yang dijalankan adalah memberikan beberapa pelatihan pada guru. Pogram intervensi bare sampai pada tahap pemberian informasi dan pengetahuan, namun tidak dapat diketahui secara signifikan peningkatan pengetahuan yang ada. Oleh karena itu, usulan untuk intervensi selanjutnya adalah sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan dan ketrampilan pada masyarakat khususnya generasi muds, dialog antara tokoh agama dengan tokoh pendidikan umum, dan jugs berbagai pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru agar dapat mengaplikasikan pendidikan terpadu di sekolah.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17993
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Kurniawan
Abstrak :
Penelitian ini menggambarkan penerapan program intervensi terhadap kelompok pemuda di Desa Sumurugul untuk meningkatkan partisipasinya dalam berorganisasi. Program Intervensi ini dilakukan di Desa Sumurugul Kecamatan Wanayasa Kabupaten Punvakarta Jawa Barat yang merupakan satu desa yang pernah melaksanakan program pemerintah yaitu Gerakan Sayang Ibu (GSI) namun belum berhasil walaupun sudah pernah mendapat bantuan acing (minigrant). Pelaksanaan program intervensi sosial dilaksanakan oleh satu tim intervensi yang berjumlah sebelas orang yang semuanya adalah mahasiswa Program Pascasarjana Psikologi Intervensi Sosial dengan target intervensi yang berbeda-beda. Untuk program individu intervensi yang dilakukan adalah untuk meningkatkan partisipasi pemuda dalam berorganisasi. Adapun bentuk pelaksanaan program intervensi sosial adalah berupa pelatihan, diskusi dan pemilihan ketua karang taruna. Berdasarkan Teori Belajar Untuk Orang Dewasa (Andragogi) yang dikutip dari buku T&D (Dugan Laird) dimana dalam pembelajaran orang dewasa penekanannya adalah pada belajar dad pengalaman (Experiential Learning) Maksud dan tujuan belajar melalui pengalaman adalah untuk memberikan tiga dampak pokok pada si pelaku pertama struktur kognitif si pelaku dapat dirubah, kedua sikap dapat diperbaiki dan ketiga perilaku berkait dengan perbendaharaan keahlian si pelaku dapat berkembang luas. Ketiga unsur ini saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dari hasil post test yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan observasi menunjukkan adanya perubahan. Kelompok pemuda dapat menunjukkan partisipasi mereka terutama dalam berorganisasi, dimulai dengan bertambahnya wawasan dan pengetahuan mereka tentang organisasi, kemampuan dalam menyusun rencana kegiatan organisasi sampai dengan terpilihnya satu orang untuk menjadi ketua karang taruna desa. Hasil evaluasi yang dilakukan setelah pelaksanaan program intervensi memberikan hasil aktifnya kembali organisasi karang taruna untuk melakukan kegiatan kepemudaan yang sekaligus sebagai wadah bagi remaja untuk berorganisasi.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Rahmadini
Abstrak :
Berdasarkan survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002/2003, angka kematian ibu di Indonesia masih berada pada angka yang memprihatinkan yaitu 3007 per 100.000 kelahiran hidup. Secara umum beberapa faktor yang menyebabkan tingginya AKI di Indonesia adalah rendahnya pendidikan, keadaan sosial budaya yang tidak mendukung, rendahnya tingkat kemampuan sosial ekonomi, kondisi geografis dan lingkungan serta kurang tersedianya fasilitas kesehatan. Salah satu daerah di Indonesia yang AKInya tinggi adalah daerah Purwakarta. Oleh karena itu penelitian dilakukan di daerah Purwakarta. Kematian ibu tidak bisa dilepaskan dari kehamilan usia muda, di mana pada usia yang belum mecukupi maka resiko ibu melahirkan yang meninggal akan lebih tinggi. Di kecamatan Wanayasa ini terjadi pernikahan usia muda sebanyak 36 kasus dan 12 kasus terjadi di desa Sumurugul namun pernikahan usia muda ini tidak dibarengi dengan pengetahuan yang luas tentang kesehatan reproduksi sebagai upaya untuk mempersiapkan diri menuju jenjang pernikahan, untuk itu dilakukan intervensi untuk memberikan peningkatan pemahaman tentang kesehatan reproduki pada remaja putri. Kegiatan yang dilakukan berupa pemberian pelatihan yang dimulai dengan tahap persiapan berupa sosialisasi, pelatihan yang membahas perencanaan hidup, psikologi remaja, kesehatan reproduksi dan tanaman obat. Dari hasil kegiatan yang dilakukan terjadi peningkatan tetapi baru sampai pada taraf peningkatan pemahaman akan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan munculnya keinginan remaja putri untuk menyebarluaskan kesehatan reproduksi.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toelibere, Carmelita Katherina Lucia
Abstrak :
Penelitian ini menggambarkan penerapan program Intervensi Dini terhadap Kelompok Ibu Peduli yang mempunyai anak berusia 3 hingga 6 tahun dalam memenuhi kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan anak sehingga anakanak siap untuk belajar dan siap untuk sekolah ketika mereka memasuki dunia sekolah dasar. Dunia sekolah bersifat formal dan sangat berbeda dengan lingkungan rumah yang selama ini dikenal oleh anak-anak. Program Intervensi Sosial ini dilakukan di RT 04 Bawah, Desa Ciheuleut - Bogor yang rnerupakan salah satu pemukiman miskin di perkotaan. Pelaksanaan program intervensi sosial dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah membentuk Kelompok Ibu Peduli yang akan dijadikan sebagai agen pengubah dan diharapkan dapat menjadi contoh atau model bagi tetanggatetangga mereka. Tahap kedua adalah pemberian informasi, keterampilan dan mempraktekan keterampilan yang didapat kepada anak-anak mereka dengan memberikan stimulasi-stimulasi yang dibutuhkan bagi perkembangan dan pertumbuhan anak usia 3 hingga 6 tahun. Adapun bentuk pelaksanaan program intervensi sosial berupa pelatihan. Setelah program inti intervensi dilakukan kelompok ibu mempraktekan apa yang telah didapat dalam pelatihan. Sehingga diharapkan anak-anak mereka akan siap untuk sekolah dan siap belajar ketika mereka akan memasuki dunia sekolah formal atau sekolah dasar. Berdasarkan Teori Belajar Sosial dan Bandura maka materi yang diberikan sebagai strategi intervensi sosial adalah observational learning dan modeling serta 3 faktor yang menentukan manusia untuk berperilaku yaitu Cognitive Factors, Behavioral Factors dan Environmental Factors. Ketika pemberian materi selesai dilakukan maka digunakan metode feedback sebagai alat pengingat bagi para peserta untuk kembali berperilaku sesuai dengan informasi dan keterampilan yang telah diberikan pada saat pelatihan. Dari hasil post test yang menggunakan Home Observation for Measurements of the Environments (HOME) Inventory for Families of Preschoolers (3 to 6 Years) menunjukkan perubahan. Kelompok Ibu Peduli sudah mampu memberikan beberapa rangsangan yang dibutuhkan oleh anak-anak usia dini (3 hingga 6 tahun) seperti mulai mengajarkan anak untuk mengenal warna, bentuk, huruf dan angka melalui permainan yang dibuat sendiri. Mereka juga sudah mulai untuk mengikutsertakan anak dalam rutinitas ibu seperti membantu mencuci piring, membersihkan rumah dan lain-lain. Mereka juga sudah mulai mengatur satu saat untuk anak dapat makan bersama ayah, ibu, kakak atau adik. Namun, untuk memenuhi segala item yang ada dalam inventori ini agak sulit. Kelompok Ibu Peduli memiliki keterbatasan dana untuk misalnya merenovasi rumah agar memenuhi kriteria rumah ideal untuk lingkungan anak bermain dengan aman dan nyaman. Mereka juga belum menganggap perlu berlangganan koran atau majalah setiap bulan. Dari hasil evaluasi yang dilakukan setelah pelaksanaan program intervensi menghasilkan terpilihnya 4 pemimpin kelompok dan satu bendahara. Selain itu para anggota Kelompok Ibu Peduli berkeinginan untuk tetap mengadakan kegiatan-kegiatan lanjutan berkenaan dengan anak dan keluarga.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18730
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanda Rossdiana
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18756
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur`ainun
Abstrak :
Anak adalah generasi penerus, dan juga sekaligus merupakan salah satu aset penting yang ikut menentukan masa depan dan kelangsungan hidup suatu bangsa. Menyadari akan hal tersebut, negara berusaha untuk memberikan jaminan agar setiap anak Indonesia dapat tumbuh kembang secara wajar dan optimal dalam lingkungan masyarakat luas serta mendapatkan hak-haknya. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal (2) yang menyebutkan bahwa: Penyelenggaran perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: a. non diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan penghidupan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam kenyataannya, tidak semua anak dapat menikmati masa kecilnya dengan normal dan dalam lingkungan masyarakat luas. Di antaranya adalah anak-anak yang harus menjalani kehidupannya di dalam lingkungan penjara, atau yang secara resmi disebut Lembaga Pemasyarakatan. Untuk selanjutnya anak-anak ini disebut sebagai Anak Didik Pemasyarakatan yang terbagi dalam tiga kategori yaitu (Sujatno, 2004): 1. Anak Pidana, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak, paling lama sampai berumur 18 tahun. 2. Anak Negara, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak, paling lama sampai berumur 18 tahun. 3. Anak Sipil, adalah anak yang atas permintaan orang tua dan walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak, paling lama sampai berumur 18 tahun. Dari uraian di atas diketahui bahwa batasan umur seorang warga binaan anak adalah mencapai usia hingga 18 tahun, meskipun kenyataannya di Lapas Anak dapat dijumpai anak didik yang berusia hingga 21-24 tahun. Dalam psikologi perkembangan, usia ini dapat digolongkan ke dalam tahap remaja atau masa adolesen (Hurlock, 1996). Visi dari Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri seperti yang tercantum dalam rencana strategis Ditjen Pemasyarakatan adalah memulihkan kesatuan hubuagan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sebagai individu, anggota masyarakat dan mahluk Tuhan YME. Sedangkan rumusan misinya adalah melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembiinbingan para WBP serta pengelolaan benda sitaan negara dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Untuk mewujudkan misi tersebut, dalam kenyataannya bukanlah hal yang mudah. Dalam buku 40 tahun Pemasyarakatan (Ditjen PAS, 2004) menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan tetap dianggap oleh sebagian besar masyarakat adalah penjara. Para narapidana seperti di pengasingan dalam tembok penjara yang tinggi dan seram, serta kegiatan pembinaan dan pemberian pekerjaan dalam Lapas ternyata tidak memberi manfaat bagi para narapidana setelah mereka babas kelak. Hal-hal tersebut di atas hanyalah sebagian temuan kecil yang merupakan masalah-masalah dalam pembinaan narapidana. Pemenjaraan bagi setiap orang berarti juga dipisahkannya individu tersebut dari lingkungan masyarakat disertai dengan segala pembatasan-pembatasan dalam setiap segi kehidupan. Seperti yang dikemukakan oleh Cooke, Baldwin & Howison (1990) bahwa terdapat berbagai permasalahan yang timbul serta berbagai pengarulmya bagi seseorang sebagai akibat dari pemenjaraan, seperti loss of control, loss of family, lack of stimulation, lack of communication, dan loss of models.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18792
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenita
Abstrak :
Tugas akhir ini terdiri dari empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan, pada latar belakang dituliskan bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang disingkat dengan Lapas adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah sebagai tempat pembinaan bagi orang-orang yang bermasalah dengan hukum. Lapas Anak Pria Tangerang sebagai bagian dari Lapas bertujuan untuk. membina anak-anak usia 11-18 tahun yang bermasalah dengan hukum. Kondisi Lapas yang saat ini ada sangat tidak beraturan. Keadaan yang demikian membutuhkan berbagai penyegaran baik untuk bangunan fisiknya maupun juga pembinaan sumber daya manusia khususnya petugas. Pendekatan pembinaan yang digunakan saat ini lebih banyak dengan kekerasan. Petugas menganggap anak didik adalah objek yang harus dihadapi dengan bentakan, teriakan dan perlakuan kasar lainnya. Untuk membatasi perlakuan petugas yang demikian, maka perlu diintervensi. Peneliti membatasi hanya pada petugas yang bekerja sebagai Wali Bina Pemasyarakatan. Bab kedua,. tinjauan teori, dituliskan bahwa untuk merubah cara pembinaan/ perlakuan kasar diperlukan pendekatan yang baru. Pendekatan yang lebih menanamkan pada nilai-nilai yang paling dasar manusia. Untuk pengembangan tadi maka konsep yang dipakai adalah Wali Bina Pemasyarakatan sebagai orang yang berada pada tahap usia dewasa madya. Orang yang berada pada tahap ini biasanya memepunyai tugas perkembangan dengan mempunyai anak remaja. Berdasarkan tugas perkembangan, wali diharapkan dapat (1) Menyiapkan sarana bagi kebutuhan para remaja (2) Berhagi tanggung jawab antar anggota keluarga, (3) Mempertahankan / menjembati komunikasi yang efektif antar anggota keluarga (4) Memperluas wawasan remaja dan (5) Menjaga nilai hidup yang sesuai dengan standar moral. Tugas sebagai orang tua inilah yang diharapkan mampu mengembalikan anak didik ke masyarakat dengan minimal tidak( melakukan kejahatan lagi. Bab ketiga, menjelaskan tentang analisis pemecahan masalah. Bab ini membahas hubungan antar teori dengan praktek dan bagaimana kesenjangan tadi dapat diatasi. Dari hasil diskusi kelompok Fokus didapatkan kesimpulan bahwa masih rendahnya pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam membina anak didik sehingga pola pembinaan yang ada selama ini kurang efektif. Untuk itu wali perlu diingatkan dan digali kembali nilai hidup yang selama ini dipunyai. Nilai hidup ini akan mampu mengarahkan segala perilaku wali menjadi lebih baik. Bab keempat menjelaskan tentang program pendidikan nilai-nilai hidup sebagai bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Diharapkan program tersebut dapat mengatasi permasalahan yang ada. Program ini nantinya akan menjadi pendekatan baru bagi petugas ketika melakukan pembinaannya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Pagar
Abstrak :
Penulisan tugas akhir ini mengenai program pelatihan bagi pegawai pemasyarakatan dalam hal meningkatkan kemampuan penerapan tugas-tugas perkembangan keluarga bagi anak dalam sistem pembinaan di Lapas Anak Pria. Minat untuk memilih judul tulisan ini berawal dari kenyataan bahwa akhir-akhir ini banyak timbul masalah hubungan antar anak dengan orang tuanya. Seringkali permasalahan ini menjadi lebih besar, ketika anak sampai melakukan perbuatan melanggar hukum, dipidana dan akhirnya menjalani pidana di Lapas. Implikasi penjatuhan pidana, menimbulkan permasalahan tersendiri bagi anak yaitu hidup tanpa kehadiran orang tua atau keluarganya. Peristiwa ini sangat merugikan proses pertumbuhan kepribadiannya. Ketidakhadiran ayah atau ibu (selanjutnya disebut orang tua) dalam Lapas, memberikan gambaran bahwa, mereka harus menerima kenyataaan hidup tanpa kehadiran orang tua sampai masa pidana selesai dijalankan. Hidup tanpa kehadiran orang tua di Lapas, memberikan gambaran bahwa, pemenuhan kebutuhan tugas perkembangan anak usia antara 13 (tiga belas) sampai 18 (delapan belas) tahun (selanjutnya disebut remaja) menjadi tanggung jawab Lapas. Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Berdasarkan observasi dan penerapan teknik kelompok diskusi fokus, diperoleh kenyataan bahwa, praktek pembinaan narapidana anak (remaja), belum menyentuh pada teori-teori perkembangan anak. Perlakuan petugas masih terkesan menggunakan pendekatan keamanan, pola pembinaan yang diterapkan hampir tidak ada perbedaannya dengan narapidana dewasa, perilaku kekerasan fisik sering terjadi, terbatasnya waktu petugas mendengar keluhan; rendahnya kemampuan petugas memahami persoalan anak, anak merasa terlantar, anak (remaja) kehilangan tokoh atau model, petugas tidak peduli terhadap keberhasilan pembinaan, masih banyaknya waktu luang anak tanpa kegiatan yang positif bagi anak, adalah kenyataan dan permasalahan yang terlihat jelas di Lapas. Belajar dari kenyataan tersebut diatas, penulis meyakinkan asumsi awal, bahwa pembinaan belum memenuhi aspek psikologis remaja. Jika permasalahan ini tidak ditangani, dipastikan, remaja akan mengalami permasalahan lebih dalam antara lain: kesulitan menyesuaikan diri di masyarakat, padahal masyarakat itu sendiri telah terlebih dahulu memberikan stigma sebagai bekas pelanggar hukum. Akibat lain adalah: tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis sesuai tugas perkembangan remaja, sehinga akan membuat remaja tidak mempunyai konsep diri, tidak mandiri. tidak matang dalam kepribadian, apalagi aspek intelektual. Kondisi yang tidak menguntungkan ini sangat berbahaya bagi masa depan remaja. Oleh karena itu. guna mengurangi kelemahan pembinaan narapidana remaja di Lapas, penulis mengajukan usulan rancangan pemecahan masalah berupa penerapan togas perkembangan keluarga bagi remaja guna menghindari ketidakhadiran orang tua di Lapas. Rencana ini dilakukan dalam bentuk pelatihan bagi pegawai untuk memberikan keterampilan dan pengetahuan melalui penerapan peran pengganti sebagai orang tua ayah atau ibu bagi remaja di Lapas. Rencana pelatihan ini juga sangat bermanfaat, karena disamping melatih pegawai, pembina atau wali, juga memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki remaja dalam usia perkembangannya, kemudian belajar secara bersama-sama kelompoknya (peer group) di Lapas.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendriyani
Abstrak :
Komunitas Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi (baca: Se Ci) merupakan komunitas yang baru terbentuk sejak Juni 2004 dan beranggotakan warga korban gusuran bantaran Banjir Kanal Jakarta. Komunitas ini masih memiliki kompetensi komunitas yang rendah, ditandai dengan kemampuan komunikasi antarpribadi yang belum efektif. Untuk membantu komunitas meningkatkan kompetensinya, dilaksanakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi antarpribadi yang efektif. Target intervensi yang dituju adalah kelompok pemuda.
Model yang dipakai dalam intervensi sosial ini adalah Sistem Manajemen Perubahan, yang terdiri dari tiga subsistem: organisasional, komunikasi, dan sasaran perubahan. Sedang filosofi intervensi yang dipakai adalah teori belajar sosial dari Albert Bandura. Prinsip dari teori ini disebut reciprocal determinism, bahwa komponen kognisi, lingkungan, dan tingkah laku sating mempengaruhi. Usaha mengubah kognisi akan turut mengubah lingkungan dan tingkah laku. Inti dari komponen kognisi, yang disebut Bandura sebagai sistem diri, adalah self-efficacy. Program dirancang dalam17 tahap kegiatan, mulai dari lobbying sampai pemantauan berkala. Tulisan ini hanya menjabarkan pelaksanaan tahap 1-10, dengan fokus pada pelatihan komunikasi antarpribadi yang efektif. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pelaksanaan program berjalan sesuai rancangan yang telah dibuat. Tujuan kegiatan terpenuhi, ditandai dengan tercapainya indikator keberhasilan. Pelatihan komunikasi antarpribadi yang efektif juga meningkatkan self-efficacy dan pengetahuan peserta. Pelatihan ini mendapat tanggapan yang positif dari target intervensi.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>