Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Latifolia Hidayati
"Latar Belakang: HPV high-risk, terutama HPV-18, diduga memiliki hubungan dengan karsinoma sel skuamosa rongga mulut (KSSRM) menurut beberapa penelitian. Namun, hubungan infeksi HPV-18 dengan KSSRM di Indonesia belum diketahui dengan baik.
Tujuan: Untuk mendeteksi infeksi HPV-18 pada pasien karsinoma sel skuamosa rongga mulut di Rumah Sakit Kanker Dharmais.
Metode: PCR konvensional digunakan untuk mendeteksi DNA HPV-18 pada 59 spesimen formalin fixed paraffin-embedded (FFPE) dari jaringan kanker pasien KSSRM yang diekstraksi menggunakan TaKaRa DEXPAT TM Easy DNA Mini Kit. Amplifikasi PCR menggunakan primer spesifik E7 HPV-18 dengan target 172 bp.
Hasil dan Kesimpulan: HPV-18 terdeteksi pada 2 dari 59 spesimen FFPE (3.39%).

Background: High-risk HPV, especially HPV-18, is thought to have a relationship with oral squamous cell carnicoma according to several studies. However, the relationship of HPV as a risk factor of OSCC in Indonesia is not well understood.
Objective: To detect HPV-18 infection in oral squamous cell carcinoma patients at Dharmais Cancer Hospital.
Method: Conventional PCR was used to detect the DNA of HPV-18 in 59 formalin fixed paraffin-embedded (FFPE) specimens from cancer tissues of OSCC patients extracted using TaKaRa DEXPAT TM Easy DNA Mini Kit. PCR amplification used HPV-18 E7 specific primers with target of 172 bp.
Result and Conclusion: HPV-18 was detected in 2 of 59 of FFPE sections (3.39%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delfi Mirsal
"Virus HPV-16 merupakan salah satu faktor etiologi dari karsinoma sel skuamosa rongga mulut (KSSRM). Tujuan penelitian ini untuk mendeteksi infeksi HPV-16 pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut pasien di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2003 - 2013. Sampel pada penelitian ini adalah 49 jaringan KSSRM dalam bentuk formalin fixed paraffin-embedded (FFPE). Untuk ekstraksi DNA digunakan mini kit DNA TaKaRa DEXPAT TM. Untuk mendeteksi HPV-16 digunakan metode PCR konvensional dengan primer spesifik HPV - 16 E7 region, dengan target amplifikasi pada 196 bp. Hasil menunjukkan enam (12,24%) dari 49 sampel KSSRM terdeteksi HPV-16.

HPV-16 has been known as one of the etiologies of oral squamous cell carcinoma (OSCC). The aim of this study was to detect the involvement of HPV-16 infection in oral squamous cell carcinoma patients of Jakarta Dharmais Cancer Hospital period 2003- 2013. Samples in this study were 49 formalin fixed paraffin-embedded (FFPE) spesimens of OSCC patients. DNA isolation was performed using TaKaRa DEXPAT TM DNA mini kit. HPV-16 was genotyped using conventional PCR method with specific primers of HPV-16 E7 region at 196 bp amplification target. Result showed six (12,24%) of 49 samples of OSCC were detected to be HPV-16 positive.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Diba
"Candida glabrata adalah spesies kedua yang terisolasi pada kandidiasis oral setelah Candida albicans. Nigella sativa (jintan hitam) dilaporkan memiliki efek antijamur. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis efek antijamur ekstrak biji Nigella sativa terhadap viabilitas Candida glabrata. Candida glabrata ditambahkan ke dalam 96 microwell plate yang telah dilapisi saliva buatan kemudian dipajankan dengan ekstrak biji Nigella sativa 6.25%-50% dan amphotericin B 250 mg/ml. Dilakukan pengujian viabilitas Candida glabrata dengan uji MTT. Viabilitas Candida glabrata lebih rendah setelah pamajanan dengan ekstrak biji Nigella sativa dibandingkan kontrol negatif. Viabilitas Candida glabrata semakin menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak biji Nigella sativa.

Candida glabrata is the second most frequently isolated species from Oral Candidiasis, after Candida albicans. Nigella sativa (black cumin) is reported has antifungal effect. This research was to analyze Nigella sativa antifungal effect Seeds’ extract to the Candida glabrata viability. Candida glabrata was added on 96-microwell plate that had been coated with artificial saliva and exposed to 6.25-50% Nigella sativa seeds’ extract and amphotericin B 250 mg/ml. Candida glabrata viability was determined by MTT assay. Candida glabrata viability was lower after exposed by Nigella sativa seeds’ extract than negative control. Candida glabrata viability was decreased with increasing Nigella sativa seeds’ extract concentrations."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S45151
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Darmawan
"Latar belakang : Nigella sativa dilaporkan memiliki efek antijamur terhadap Candida albicans. Candida albicans adalah jamur yang menyebabkan kandidiasis oral.
Tujuan : Menganalisis efektivitas antijamur ekstrak biji Nigella sativa terhadap viabilitas Candida albicans.
Metode : Candida albicans ditambahkan pada 96-microwell plate yang telah dilapisi saliva buatan, kemudian dipaparkan ekstrak biji Nigella sativa dengan konsentrasi 6.25%-50% dan amphotericin B 1µl (250mg/ml) sebagai kontrol positif. Viabilitas Candida albicans dihitung dengan uji MTT.
Hasil : Nilai optical density Candida albicans lebih rendah setelah pemberian ekstrak biji Nigella sativa dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan.
Kesimpulan : Viabilitas Candida albicans setelah dipaparkan ekstrak biji Nigella sativa turun dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan dan viabilitas Candida albicans menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak biji Nigella sativa.

Back ground : Nigella sativa has antifungal effect against Candida albicans. Candida albicans is a fungi that causes oral candidiasis.
Objective : To analyze the antifungal effectiveness of the extract of Nigella sativa seed on the viability of Candida albicans.
Methods : Candida albicans was added on 96-well plate that had lined been by artificial saliva and exposed by the extract of Nigella sativa seed 6.25%-50% and amphotericin B 1µl (250mg/µl) was used as positive control. The viability of Candida albicans was determined by MTT assay.
Result : The optical density value of Candida albicans after exposed by the extract of Nigella sativa seed was lower than the negative control.
Conclusion : The viability of Candida albicans after exposed by the extract of Nigella sativa seed was decreased than the negative control and viability of Candida albicans was decreased as increasing concentrations of the extract of Nigella sativa seed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S45567
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryandika Aldilla Nugraha
"Telah dilaporkan untuk memisahkan protein dengan massa < 30 kDa maka tidak perlu disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 g. Belum ada standar pengaturan kecepatan sentrifugasi untuk separasi protein, terutama dengan massa molekul < 30 kDa.
Tujuan: Menguji pengaruh kecepatan sentrifugasi 11.000 g dan 13.000 g terhadap profil protein < 30 kDa pada supernatan saliva.
Metode: Supernatan saliva hasil sentrifugasi dengan kecepatan 11.000 g dan 13.000 g diuji dengan SDS PAGE untuk melihat proteinnya.
Hasil: Temuan protein supernatan saliva yang muncul setelah disentrifugasi 11.000 g dan 13.000 g sejumlah 35 dan 45 dengan kisaran massa molekul 9-27 kDa dan 8-18 kDa.
Kesimpulan: Kecepatan sentrifugasi 13.000 g memisahkan lebih banyak protein < 30 kDa dengan rentang yang lebih sempit dibandingkan dengan 11.000 g.

Previous research suggested that to see a protein with molecular mass < 30 kDa, centrifugation is not necessary. There is no standard procedure yet in regulating the centrifugation speed in order to separate salivary protein with particular molecular mass.
Objective: To determine the effects of centrifugation speed 11.000 g and 13.000 g on the separation of salivary protein with molecular mass < 30 kDa.
Method: The supernatant salivary centrifugation at the speed of 11.000 g and 13.000 g is tested with SDS PAGE to see the proteins.
Result: Protein supernatant salivary that appeared after being centrifuged at 11.000 g and 13.000 g are 35 and 45 with molecular mass range at 9-27 kDa and 8-18 kDa.
Conclusion: Centrifugation at 13.000 g separates more protein < 30 kDa with narrower range than 11.000 g.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brian Dwi Baskoro
"Belum ada prosedur baku sentrifugasi untuk pemisahan protein. Dilaporkan bahwa sentrifugasi 10.000 g dapat memisahkan protein saliva ≥30 kDa.
Tujuan: Mengetahui pengaruh kecepatan sentrifugasi 7.000 g, 8.000 g, dan 9.000 g terhadap frekuensi kemunculan dan profil protein saliva ≥30 kDa.
Metode: Profil protein supernatan saliva hasil sentrifugasi diuji dengan SDS-PAGE
Hasil: Frekuensi kemunculan protein ≥30 kDa mengalami penurunan sesuai peningkatan kecepatan sentrifugasi. Terdapat perbedaan profil protein antara hasil sentrifugasi 7.000 g, 8.000 g, dan 9.000 g.
Kesimpulan: Kecepatan sentrifugasi 7.000 g, 8.000 g, dan 9.000 g berpengaruh terhadap frekuensi kemunculan dan profil protein ≥30 kDa.

There are no established standard operational procedure of centrifugation for protein separation. Centrifugation at 10.000 g separates salivary protein ≥30 kDa.
Objective: To determine the effect of centrifugation at 7.000 g, 8.000 g, and 9.000 g on the frequency of salivary protein emergence and protein profile ≥30 kDa.
Method: Salivary supernatant were analyzed with SDS-PAGE.
Results: Increased centrifugation speed resulted in decreased frequency of protein ≥30 kDa. There are differences in the protein profiles between the results of each centrifugation.
Conclusion: Centrifugation at 7.000 g, 8.000 g,and 9.000 g influence frequency of salivary protein emergence and protein profiles ≥30 kDa.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isdoni
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian. Magnesium telah lama digunakan dan diketahui, sebagai terapi medis yang efektif pada preeklampsi. Kuat dugaan magnesium dapat mengurangi vasokonstriksi pembuluh darah pada penderita preeklampsi, dengan bekerja sebagai kalsium antagonis, baik di membran sel otot polos pembuluh darah maupun di dalam sel. Preeklampsi merupakan salah satu gangguan utama pada kehamilan, dengan satu dari gejala utamanya adalah tingginya tekanan darah. Tingginya tekanan darah terjadi karena adanya vasokonstriksis dan resistensi perifer. Vasokonstriksi pembuluh darah terjadi karena kontraksi otot polos pembuluh darah. Kontraksi ini dirangsang oleh adanya peningkatan kadar kalsium bebas intrasel. Peningkatan kadar kalsium bebas intrasel dapat terjadi, melalui rangsangan yang meningkatan aktivitas biolistrik membran sel dan melalui rangsangan yang menyebabkan terjadinya pelepasan kalsium dari tempat penyimpanannya di dalam sel.
Penelitian ini merupakan studi analitis eksperimental untuk melihat pengaruh pemberian magnesium terhadap amplitudo kegiatan biolistrik vena umbilikalis dari penderita preeklampsi, yang dirangsang dengan angiotensin II. Sepuluh potong umbilikus dari wanita hamil normal dan sepuluh potong dari penderita preeklampsi, yang melahirkan di Rumah Sakit Budi Kemulian pada bulan Februari 1998, digunakan dalam penelitian Sebelum dilihat aktivitas biolistrikya, vena umbilikalis diinkubasi dalam larutan risiologis `cord buffer', yang diaerasi dengan carnpuran, 02 95% dengan CO2 5%, pada suhu 37° C selama 60 menit. Amplitudo kegiatan biolistrik vena umbilikalis dilihat dan direkam dengan poligraf, setelah dirangsang dengan angiotensin II dan kemudian diberi magnesium.
Pemberian magnesium dapat menurunkan amplitudo kegiatan biolistrik vena umbilikalis yang dirangsang dengan angiotensin II baik yang berasal dari penderita preeklampsi, maupun dari wanita hamil normal (p<0.01). Dari penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa amplitudo kegiatan biolistrik vena umbilikalis yang dirangsang dengan angiotensin II pada waktu 2.5, 5 dan 7.5 detik setelah pemberian magnesium tidak berbeda nyata (p > 0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T3156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emma Kamelia
"Terhambatnya perkembangan otak dan saraf merupakan problem kesehatan, diperkirakan mencapai 17% dari seluruh populasi. Dampaknya dapat menurunkan fungsi kognitif/daya ingat. Dasar patologi penurunan fungsi kognitif antara lain disebabkan oleh berkurangnya sinaps, neuron, neurotransmitter dan jejaring saraf. Hal ini berkaitan dengan sinyal-sinyal penting seperti faktor neurotrofik, neurotransmitter dan hormon.
Pegagan (Centella asiatica) telah lama digunakan secara empiris untuk memperbaiki daya ingat. Hasil penelitian secara in vivo pemberian pegagan dapat meningkatkan level GABA(Gamma aminobutyric acid) di otak. Pengaruh pegagan pada BDNF(Brain derived neurotrophic factor) belum pemah diteliti, namun menurut Obrietan dkk stimulasi GABA dapat meningkatkan ekspresi BDNF melalui jalur MAPK-CREB (mirogen ocrivated prorein kinase-cyclic AMP response element binding protein).
Brain derived neurotrophic factor (BDNF) merupakani salah satu substansi dalam pengaturan neurogenesis. Penelitian ini merupakan studi eksperimental untuk meneliti kadar BDNF dan jumlah sel saraf pada kultur jaringan hipokampus tikus muda. Pengukuran kadar BDNF dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm dengan kit BDNF dari Chemicon. Data dianalisis dengan ANOVA (anabrsis of varions), dan sebelumnya diuji normalitas data dengan Lavene, serta post Hoc Test.
Dari penelitian ini diperoleh hasil (1) jumlah sel saraf lebih besar pada kultur sel jaringan hipokampus tikus muda yang diberi ekstrak pegagan 0,50 ug/ml dibandingkan 0,25 ug/ml dan kontrol sebagai pembanding (p<0,05). (2) Untuk kadar BDNF terlihat hasil kadar BDNF pada kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan perlakuan ekstrak pegagan 0,25 ug/ml dan 0,50 ug/ml (p>0,05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16229
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica, Cindy
"Interleukin 8 (IL-8) merupakan chemokines yang berperan dalam patogenesis periodontitis. Polimorfisme promotor gen IL-8 -251A/T diduga berperan sebagai faktor risiko periodontitis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme promotor gen IL-8 -251 A/T dengan tingkat keparahan periodontitis. Metode PCR-RFLP digunakan untuk mengidentifikasi polimorfisme pada 41 subjek kontrol dan 72 subjek periodontitis. Frekuensi alel T lebih tinggi pada kelompok kontrol (64,6%) dibanding periodontitis (50%). Mayoritas subjek periodontitis memiliki genotipe polimorfik (x2 = 0,320; p > 0,05) dan alel polimorfik (x2 = 0,167; p > 0,05). Tidak terdapat hubungan antara polimorfisme promotor gen IL-8 -251 A/T dengan tingkat keparahan periodontitis.

Interleukin 8 and its -251A/T gene promoter polymorphisms might be a risk factor of periodontitis. This study aims to evaluate the association of IL-8 -251 A/T gene promoter polymorphisms with severity of periodontitis. Polymorphisms were detected by the PCR-RFLP method in 41 controls and 72 periodontitis subjects. T allele frequency in control (64,6%) was more than in periodontitis group (50%). Majority of periodontitis subjects had polymorphic genotypes (x2 = 0,320; p > 0,05) and polymorphic allele (x2 = 0,167; p > 0,05). No association was found between IL-8 -251 A/T gene promoter polymorphisms with severity of periodontitis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S44953
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Astrid Dinda Renata
"Interleukin 6 merupakan sitokin yang berperan penting dalam patogenesis periodontitis. Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa polimorfisme promotor gen IL-6 berpengaruh terhadap kerentanan host terhadap penyakit periodontitis. Untuk mengetahui hubungan polimorfisme promotor gen IL-6 - 174G/C dengan tingkat keparahan periodontitis dilakukan penelitian menggunakkan 103 sampel DNA yang terdiri dari 23 kontrol sehat, 9 periodontitis ringan, 41 periodontitis sedang dan 30 periodontitis berat yang dianalisis dengan metode PCR-RLFP. Hasil penelitian ditemukan 100 genotip GG dan 3 genotip GC, tidak ditemukan genotip CC. Tes Kolmogorov-Smirnov menyatakan P=0,773 dan P=0.662 sehingga disimpulkan tidak terdapat hubungan antara polimorfisme promotor gen IL-6 -174G/C dengan tingkat keparahan periodontitis.

Interleukin 6 is a cytokine that plays a major role in the pathogenesis of periodontitis. Studies have shown that polymorphisms of IL-6 gene promoter affects host susceptibility to periodontitis. To evaluate the correlation of gene promoter polymorphism IL-6-174G/C with severity of periodontitis, 103 stored DNA samples consist of 23 healthy controls, 9 mild periodontitis, 41 moderate periodontitis and 30 severe periodontitis were analyzed by PCR-RLFP, resulting distribution of 100 GG genotypes, 3 GC genotypes, and CC genotype wasn?t found. Kolmogorov-Smirnov?s test was performed (P=0.773, P=0,662), concludes that there was no correlation between polymorphism promoter gen IL-6-174G/C with severity of periodontitis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S45057
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>