Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Suryansyah
"Demam reumatik (DR) dan penyakit jantung reumatik (PJR) masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang, termasuk Indonesia. Demam reumatik dapat meninggalkan gejala sisa yang permanen, mengganggu tumbuh kembang anak dan dapat pula menimbulkan kematian. Istilah reumatik seolah-olah memberi kesan penyakit sendi, namun pengaruh pada jantung yang membuat penyakit ini penting. Bila DR tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan parut pada katup jantung yang disebut PJR.
Demam reumatik merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada usia anak 5 tahun sampai usia dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan sosial ekonomi rendah, dan jarang ditemukan pada anak di bawah usia 5 tahun. Angka kejadian DR/PJR di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya masih tinggi, diperkirakan prevalens PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8.per 1000 anak berusia 5-15 tahun tetapi angka pasti insidens penyakit ini masih sulit ditentukan mengingat sistem pencatatan dan pelaporan kurang memadai."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sorayah Agustini
"[ABSTRAK
Latar belakang Demam merupakan salah satu KIPI tersering terutama pascavaksinasi DTwP Bayi yang mendapat ASI eksklusif memperoleh faktor antiinflamasi dan imunomodulator dari ASI yang secara teoritis dapat menurunkan risiko demam pascavaksinasi namun belum ada penelitan di Indonesia yang menghubungkan pemberian ASI dengan kejadian demam pascavaksinasi Tujuan Membandingkan kejadian demam pascavaksinasi DTwP Hep B Hib antara bayi yang mendapat ASI eksklusif dan susu formula Metode Penelitian potong lintang pada bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat vaksinasi DTwP Hep B Hib di Puskesmas di daerah Jakarta Utara dan Jakarta Timur pada bulan Juli September 2015 Hasil Subyek penelitian ini terdiri atas 65 subyek kelompok ASI eksklusif dan 68 kelompok susu formula Median usia kedua kelompok 3 bulan sebagian besar mendapat DTP pertama dan memiliki status gizi baik Terdapat perbedaan proporsi demam antara kelompok ASI eksklusif dan susu formula yaitu 27 dan 45 p 0 045 Bayi yang mendapat ASI memiliki risiko demam lebih rendah 0 59 kali IK 95 0 37 0 96 dibanding susu formula Median awitan demam kelompok ASI dan susu formula masing masing 6 jam p 0 829 sedangkan median lama demam kelompok ASI 7 jam dan susu formula 6 jam p 0 947 Rerata suhu tertinggi kelompok ASI 37 50C dan susu formula 37 80C p 0 165 Sebagian besar subyek demam pada suhu 38 0 38 50C 72 pada kelompok ASI dan 66 kelompok susu formula p 0 97 Simpulan Proporsi demam pascavaksinasi DTwP Hep B Hib pada bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih rendah dibanding susu formula Tidak terdapat perbedaan bermakna awitan lama demam dan suhu tertinggi pascavaksinasi antara kelompok ASI dan susu formula ABSTRACT Background Fever is one of the most common adverse events following vaccination especially DTwP vaccine Babies who are exclusively breastfed received anti inflammatory factors and immunomodulator consisted in breastmilk which theoretically can reduce the risk of fever after vaccination There is no research in Indonesia concerning breastfeeding in association with post vaccination fever Objective To compare the fever following DTwP HepB Hib vaccine between exclusively breast fed and formula fed infants Methods A cross sectional study in infants younger than 6 months who received DTwP Hep B Hib vaccinations in North Jakarta and East Jakarta primary health care in July September 2015 Results The subjects consisted of 65 exclusively breast fed infants and 68 formula fed infants The median age of both groups were 3 months most of them received the first DTP vaccines and had good nutritional status There were differences in the proportion of fever among infants who were being exclusively breast fed and formula fed 27 and 45 respectively p 0 045 The relative risk for fever among infants who were exclusively breastfed was 0 59 95 CI 0 37 0 96 Median onset of fever for each groups was 6 hours p 0 829 whereas the median duration of fever for exclusively breast fed infants was 7 hours and formula fed infants was 6 hours p 0 947 The peak of mean temperature for breast fed and formula fed infants was 37 50C and 37 80C respectively p 0 165 Most subjects experienced fever at 38 0 38 50C 72 in the breast fed groups and 66 in the formula fed groups p 0 97 Conclusions The proportion of fever following DTwP Hep B Hib vaccine in breast fed infants is lower than formula fed infants There were no significant differences in onset duration of fever and highest temperature after vaccination between exclusively breast fed and formula fed infants ;Background Fever is one of the most common adverse events following vaccination especially DTwP vaccine Babies who are exclusively breastfed received anti inflammatory factors and immunomodulator consisted in breastmilk which theoretically can reduce the risk of fever after vaccination There is no research in Indonesia concerning breastfeeding in association with post vaccination fever Objective To compare the fever following DTwP HepB Hib vaccine between exclusively breast fed and formula fed infants Methods A cross sectional study in infants younger than 6 months who received DTwP Hep B Hib vaccinations in North Jakarta and East Jakarta primary health care in July September 2015 Results The subjects consisted of 65 exclusively breast fed infants and 68 formula fed infants The median age of both groups were 3 months most of them received the first DTP vaccines and had good nutritional status There were differences in the proportion of fever among infants who were being exclusively breast fed and formula fed 27 and 45 respectively p 0 045 The relative risk for fever among infants who were exclusively breastfed was 0 59 95 CI 0 37 0 96 Median onset of fever for each groups was 6 hours p 0 829 whereas the median duration of fever for exclusively breast fed infants was 7 hours and formula fed infants was 6 hours p 0 947 The peak of mean temperature for breast fed and formula fed infants was 37 50C and 37 80C respectively p 0 165 Most subjects experienced fever at 38 0 38 50C 72 in the breast fed groups and 66 in the formula fed groups p 0 97 Conclusions The proportion of fever following DTwP Hep B Hib vaccine in breast fed infants is lower than formula fed infants There were no significant differences in onset duration of fever and highest temperature after vaccination between exclusively breast fed and formula fed infants , Background Fever is one of the most common adverse events following vaccination especially DTwP vaccine Babies who are exclusively breastfed received anti inflammatory factors and immunomodulator consisted in breastmilk which theoretically can reduce the risk of fever after vaccination There is no research in Indonesia concerning breastfeeding in association with post vaccination fever Objective To compare the fever following DTwP HepB Hib vaccine between exclusively breast fed and formula fed infants Methods A cross sectional study in infants younger than 6 months who received DTwP Hep B Hib vaccinations in North Jakarta and East Jakarta primary health care in July September 2015 Results The subjects consisted of 65 exclusively breast fed infants and 68 formula fed infants The median age of both groups were 3 months most of them received the first DTP vaccines and had good nutritional status There were differences in the proportion of fever among infants who were being exclusively breast fed and formula fed 27 and 45 respectively p 0 045 The relative risk for fever among infants who were exclusively breastfed was 0 59 95 CI 0 37 0 96 Median onset of fever for each groups was 6 hours p 0 829 whereas the median duration of fever for exclusively breast fed infants was 7 hours and formula fed infants was 6 hours p 0 947 The peak of mean temperature for breast fed and formula fed infants was 37 50C and 37 80C respectively p 0 165 Most subjects experienced fever at 38 0 38 50C 72 in the breast fed groups and 66 in the formula fed groups p 0 97 Conclusions The proportion of fever following DTwP Hep B Hib vaccine in breast fed infants is lower than formula fed infants There were no significant differences in onset duration of fever and highest temperature after vaccination between exclusively breast fed and formula fed infants ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wynda Felisia
"ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui morbiditas dan mortalitas neonatal dini pada bayi presentasi bokong yang lahir pervaginam dan bedah kaisar di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran karakteristik ibu dan bayi presentasi bokong yang lahir di RSUPN Cipto Mangunkusurno?
2. Bagaimana gambaran nilai Apgar, trauma lahir mekanik dan mortalitas neonatal dini pada bayi presentasi bokong yang lahir di RSUPN Cipto Mangunkusumo?
Tujuan penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang morbiditas (gambaran nilai Apgar, trauma lahir mekanik) dan mortalitas neonatal dini pada bayi yang lahir dengan presentasi bokong.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik ibu dan bayi presentasi bokong menurut cara kelahiran
2. Mengetahui angka kejadian mortalitas neonatal dini bayi presentasi bokong
3. Mengetahui gambaran mortalitas neonatal dini menurut usia gestasi, berat lahir, paritas dart cara kelahiran pada bayi presentasi bokong.
4. Mengetahui gambaran nilai Apgar menurut usia gestasi, berat lahir, paritas dan cars kelahiran pada bayi presentasi bokong
5. Mengetahui gambaran trauma lahir mekanik menurut usia gestasi, berat
lahir, paritas dan cara kelahiran pada bayi presentasi bokong
.6. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan erat dengan
mortalitas neonatal dini pada bayi presentasi bokong
"
2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noormanto
"Tujuan Mengetahui profil lemak, faktor risiko PJK lain serta ketebalan tunika intimamedia karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini. Tempat penelitian: Poliklinik rawat jalan Anak Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subyek penelitian Anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini.
Metode dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan, tekanan darah, kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa dan ketebalan tunika intima-media karotis. Analisis data yang digunakan untuk membandingkan faktor risiko antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua PJK dini adalah x2, tes t tidak berpasangan dan regresi logistik. Untuk mengetahui perbedaan ketebalan tunika intima-media karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua mendeirita PJK dini dilakukan analisis tes t tidak berpasangan. Sedangkan untuk mencari hubungan ketebalan tunika intima-media karotis dengan profil lemak dan faktor risiko PJK lain dilakukan uji korelasi Pearson.
Hasil Sebanyak 24 anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini, terdiri 66,7% laki-laki dan 33,3% perempuan. Pada analisis bivariat diperoleh perbedaan yang bermaia7a pads indeks masa tubuh, tekanan darah diastolik dan ketebalan tunika intima media arteri karotis antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini (p= 0,035, p=0,029 dan p=0,004), tetapi dari analisis multivariat indeks masa tubuh dan tekanan darah diastolik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,083 dan p=0,094). Sedangkan umur, jenis kelamin, status merokok, perokok pasif, aktivitas anak, tekanan darah sistolik, kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, kadar gula darah puasa tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dari analisis bivariat maupun multivariat. Ketebalan tunika intima-media karotis pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungannya dengan faktor risiko PJK seperti kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, indeks masa tubuh dan umur.
Kesimpulan (1) Remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini mempunyai kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserid, tekanan darah sistolik dan diastolik serta indeks rasa tubuh rata-rata lebih tinggi tetapi secara statistik tidak bermakna disbanding kontrol; (2) Tunika intima-media karotis pada remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini lebih tebal secara bermakna dibanding kontrol; (3) Ketebalan tunika intima-media karoti; tidak ada hubungannya dengan faktor risiko PJK."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, M. F. Conny
"Hingga saat ini kejang demam masih merupakan tipe kejang yang paling sering ditemukan pada masa kanak-kanak Dua sampai 5% anak pernah mengalami suatu serangan kejang demam sebelum usia 5 tahun. Meskipun serangan kejang tersebut biasanya hanya berlangsung beberapa menit namun serangan tersebut amat menakutkan dan mengkhawatirkan orangtua. Setelah kejang dapat teratasi akan timbul pertanyaan apakah kejang dapat berulang, apakah akan terjadi epilepsi di kemudian hari, bagaimana dengan perkembangan dan kecerdasan anak tersebut? Tidaklah mengherankan kejang demam merupakan fokus penelitian yang intensif.
Secara umum kejang demam diklasifikasikan dalam dua kelompok yakni kejang demam sederhana (KDS) dan kejang demam kompleks (KDK). Kejang demam diklasifikasikan sebagai KDK bila kejang demam berakhir lebih dari 15 menit atau bersifat fokal atau terjadi kembali dalam 24 jam. Di luar kriteria tersebut, ia diklasifikasikan dalam KDS. Data-data dari penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa KDS, bentuk terbanyak dari kejang demam, umummya mempunyai perjalanan alamiah yang benign sehingga tampaknya tidak dibutuhkan usaha-usaha preventif untuk mencegah dampak jangka panjangnya. Hal yang serupa tidak berlaku untuk KDK yang memiliki insidens sebesar 27 - 37% dari seluruh kejang demam. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa KDK mempunyai hubungan erat dengan berulangnya kejang demam dan timbulnya epilepsi. Pengobatan profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang demam dan epilepsi pasca-KDK juga masih menjadi kontroversi hingga saat ini, meskipun profilaksis harian jangka panjang tidak lagi direkomendasikan untuk diguna kan secara rutin.
Mengingat kedua implikasi tersebut, penting bagi kita untuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor prognosis yang mempengaruhi berulangnya kejang. Sepanjang pengetahuan kami, hingga kini belum didapatkan penelitian terpublikasi yang membahas tentang faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam setelah kejang demam kompleks pertama. Penelitian yang ada saat ini menggabungkan faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam pasca-KDS dan KDK.
Untuk memperoleh data yang disebutkan di atas diperlukan pengamatan terhadap sejumlah besar subyek dalam waktu yang lama. Sebagai langkah awal, penelitian ini akan mengumpulkan berbagai karakteristik pasien KDK serta faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam atau timbulnya epilepsi pasca-KDK.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a) Bagaimanakah karakteristik demografis (usia, jenis kelamin) dan klinis (jenis kejang, lama kejang, frekuensi kejang, riwayat kejang demam dalam keluarga, riwayat epilepsi dalam keluarga, durasi antara demam hingga timbulnya kejang, suhu saat KDK I, adanya gangguan perkembangan atau kelainan neurologis sebelum kejang) dari pasien KDK pertama di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) ?
b) Berapakah angka kejadian berulangnya kejang demam setelah KDK pertama dalam penelitian ini?
c) Berapakah angka kejadian epilepsi setelah KDK pertama dalam penelitian ini?
d) Apa sajakah yang menjadi faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam berdasarkan karakteristik yang tersebut dalam butir a) tersebut?
Pasien KDK pertama yang memiliki gangguan perkembangan, usia awitan sebelum dua tahun, suhu yang rendah saat KDK pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, riwayat epilepsi dalam keluarga, dan durasi yang singkat antara demam hingga timbulnya KDK pertama mempunyai kemungkinan berulangnya kejang demam yang lebih besar dibandingkan dengan pasien KDK pertama yang tidak memiliki faktor prognosis tersebut di atas.
Tujuan umum penelitian untuk mengetahui faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam pasca-KDK. Tujuan khusus penelitian mendapatkan karakteristik demografis dan klinis dari pasien yang mengalami KDK pertama yang berobat di R.SCM, mendapatkan angka kejadian berulangnya kejang demam setelah KDK pertama, mendapatkan angka kejadian epilepsi setelah KDK pertama, mengetahui faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyahris Koentartiwi
"Latar belakang: Hipertensi paru (HP) merupakan penyulit yang sering terjadi pada anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) lesi pirau kiri ke kanan. Penatalaksanaan HP yang reversibel adalah tindakan korektif terhadap PJB. Morbiditas dan mortalitas HP pasca-tindakan korektif cukup tinggi. Penggunaan vasodilator oral (sildenafil) dikatakan bermanfaat untuk menurunkan tekanan arteri pulmonalis pasca-tindakan korektif.
Tujuan: menganalisis perbedaan tekanan arteri pulmonalis serta luaran klinis antara kelompok sildenafil dan kelompok placebo, pada pasien HP akibat PJB, yang telah mendapat tindakan korektif.
Metodologi: Pasien PJB pirau kiri ke kanan usia < 18 tahun yang direncanakan dilakukan tindakan korektif, dirandomisasi secara acak ganda ke dalam kelompok sildenafil atau plasebo. Sildenafil diberikan per-oral dengan dosis berdasarkan berat badan, diberikan 3 hari pasca-tindakan selama 30 hari. Pemeriksaan klinis dan tekanan arteri pulmonalis yang dianalisis dengan ekokardiografi dilakukan sebelum, 3 hari, serta 30 hari pasca-tindakan korektif.
Hasil: Selama periode Juli 2013 - Juni 2014 terdapat 36 pasien yang direkrut (17 plasebo dan 19 sildenafil). Tidak ada perbedaan tekanan arteri pulmonalis pasca-tindakan korektif dan 30 hari pasca-perlakuan pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada luaran klinis pasca-tindakan korektif antara kedua kelompok. Tidak dijumpai reaksi samping obat.
Simpulan: Sildenafil tidak memengaruhi penurunan tekanan arteri pulmonalis pasca-tindakan korektif, disebabkan HP akibat hiperkinetik yang turun karena penutupan defek.

Background. Pulmonary hypertension (PH) was a common complication congenital heart defect (CHD) due to left to right shunt. Corrective procedure by surgery or catheterization intervention is the therapy of choice for reversible PH. Since morbidity and mortality of PH after correction was high, Sildenafil as a selective vasodilator for pulmonary artery was used in many recent studies to decrease pulmonary artery pressure.
Objectives. To evaluate the role of sildenafil in pulmonary artery pressure and clinical outcome after corrective procedure of left to right shunt CHD.
Methods. Left to right shunt patients aged < 18 year-old were scheduled for corrective treatment were randomized, double-blind, to receive either sildenafil or placebo orally, given day 3rd to day 30th after corrective procedure. Clinical and pulmonary artery pressure were evaluate using echocardiography before, 3 days and 30 days after corrective procedure and receiving the drug.
Results. During July 2013 - June 2014, 36 patients were included, 17 in placebo and 19 in the sildenafil groups. There was no differences in pulmonary artery pressure and clinical outcome after corrective procedure in the two groups. There were no adverse events during the treatment.
Conclusion. Sildenafil seems has no effect for decreasing pulmonary artery pressure since the PH was due to hyperkinetic, therefore, pulmonary artery pressure is back to normal soon after corrective procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Sri Susanti
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Amalia
"ABSTRAK
Dalam upaya memelihara kebersihan tubuh bayi dan anak, pemakaian popok merupakan cara yang telah lama dikenal karena praktis, efektif, dan higienis untuk menampung urin dan feses agar tidak mengotori kulit sekitarnya. Namun sesungguhnya kulit bayi dan anak kurang siap untuk mengatasi keadaan yang dapat timbal akibat kontak lama antara kulit dengan urin dan feses karena pemakaian popok tersebut. Pemakaian popok dapat menyebabkan perubahan kelembaban kulit akibat peningkatan hidrasi kulit dan pH yang secara fisik menurunkan integritas kulit. Hal tersebut menyebabkan kulit rentan terhadap kerusakan akibat pengaruh mekanik, kimia, iritasi, enzim, serta infeksi bakteri dan jamur.
Suatu studi pada tahun 1986 menunjukkan sekitar lima puluh persen bayi pernah terjangkit kelainan dermatitis popok dalam berbagai tingkat keparahan; insiderisnya berkisar antara 7-35% dan prevalensi tertinggi didapatkan pada usia 8-12 bulan.3 Prevalensi yang bervariasi ini disebabkan tidak semua kasus dermatitis popok dikonsultasikan ke dokter. Sebagian besar kasus ditemukan bersamaan dengan penyakit lain yang diderita bayi tersebut.
Dermatitis popok adalah salah satu jenis dermatitis pads bayi yang merupakan akibat langsung dan pemakaian popok. Banyak faktor yang berperan sebagai etiologi maupun pencetus dermatitis popok. Mengingat adanya berbagai penyebab dan pencetus maka pengobatan standar untuk dermatitis popok adalah pemberian emolien contohnya lanolin. Kegunaanemolien dalam pengobatan dermatitis popok adalah untuk menjaga kulit dari gesekan dan kontak langsung dengan urin serta menjaga kebersihan kulit.
Untuk menjaga kebersihan kulit secara optimal digunakan sabun. Sabun dikenal sebagai salah satu zat yang memiliki daya kerja antibakteri melalui aktivitas tegangan permukaannya. Sebagian besar sabun umumnya mempunyai pH tinggi (pH 75), sedangkan untuk dermatitis popok diperlukan sabun yang mempunyai pH lebih rendah. Formula sabun dengan pH rendah umumnya terdiri dari asam laktat dan laktoserum. Selain sebagai emolien, asam laktat juga berfungsi untuk mempertahankan keasaman kulit sehingga mempunyai daya proteksi terhadap infeksi, sehingga disebut sebagai antimikroba alaaiiah. Sedangkan laktoserum merupakan ekstrak susu alami yang dapat meningkatkan kapasitas buffer asam laktat, mempertahankan keseimbangan keratogenesis secara alarm, dan memperkuat kerja asam laktat.
Fernando (1985) menggunakan asam laktat dan laktoserum sebagai terapi ajuvan dalam perawatan infeksi dermatosis. Sedangkan Daniel (1984) meneliti asam laktat dan laktoserum untuk pengobatan dermatitis popok selama 15 hari dengan hasil yang memuaskan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21341
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Niasari
"ABSTRAK
Semua anak dengan keterlambatan atau gangguan bicara hares dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran. Ada tiga tipe gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran tipe konduktif, sensorineural, dan tipe campuran konduktif dan sensorineural. Gangguan pendengaran tipe sensorineural (8,4%), dan gangguan pendengaran tipe konduktif (4,9%) terjadi pada anak yang mengalami keterlambatan bicara karena gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran sensorineural merupakan masalah yang series, karena mempengaruhi perkembangan bicara, kemampuan berbahasa, serta menentukan prestasi di sekolah.
Tes pendengaran tetap dilakukan walaupun tidak ada keluhan gangguan pendengaran dari orangtua. Bila terdapat gangguan pendengaran, perlu segera diberikan intervensi dini berupa terapi bicara dan penggunaan alat bantu dengar. Dukungan keluarga sangat berperan dalam upaya meningkatkan kemampuan bicara.
The Early Language Milestone Scale (ELMS) adalah prosedur skrining perkembangan bahasa dan bicara yang dapat membantu menilai perkembangan tersebut sejak usia yang sangat muda. Dengan ELMS deteksi dini keterlambatan bicara dapat dilakukan pada pelayanan kesehatan dasar, sehingga dapat merujuk dengan cepat untuk diagnosis dan penatalaksaan selanjutnya. Pemeriksaan pendengaran dapat dengan cara pengukuran yang bersifat fisiologis, atau dengan menggunakan tes terhadap perilaku. Pemerilcsaan fisiologis yang biasa dilakukan adalah metode otoacoustic-emissions (OAE), atau brainstem evoked response audiometry (BERA).
Pemeriksaan BERA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi gangguan pendengaran, namun alat dan biaya pemeriksaannya cukup mahal dan tidak tersedia di pusat-pusat pelayanan kesehatan primer atau di daerah terpencil. Tes Daya Dengar (TDD) adalah salah satu uji Lapis perkembangan yang dikembangkan oleh Direktorat }endral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1997. Fatmawati menggunakan TDD yang dibandingkan dengan SERA dan/atau OAE untuk mendeteksi gangguan pendengaran sebagai penyebab keterlambatan bicara, mendapatkan basil sensitivitas yang tinggi (92,9%) tetapi spesifisitas yang rendah (27,7%). ELMS diharapkan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang Iebih baik, karena mengandung unsur auditory
receptive dan auditory expressive.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai validasi ELMS dalam mendeteksi kemungkinan adanya gangguan pendengaran sensorineural yang merupakan penyebab keterlambatan bicara.
RUMUSAN MASALAH
Berapakah sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ELMS pada anak dengan keterlambatan bicara yang disebabkan gangguan pendengaran sensorineural, dibandingkan dengan baku emas pemeriksaan pendengaran BERA ?
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T58758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windhi Kresnawati
"Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan hemoglobinopati yang cukup banyak di Indonesia. Terapi utama thalassemia mayor adalah transfusi seumur hidup. Transfusi berulang memiliki efek samping. Salah satunya adalah terbentuknya aloantibodi sel darah merah. Prevalens dan faktor-faktor yang memengaruhi aloantibodi pada pasien thalassemia masih belum ada di Indonesia. Uji Coombs sebagai standar diagnosis merupakan pemeriksaan yang mahal dan hanya tersedia di pusat tertentu. Metode lain yang lebih mudah diperlukan untuk memprediksi terbentuknya aloantibodi tersebut.
Tujuan: Untuk mengetahui prevalens aloantibodi sel darah merah di populasi Indonesia dan mendapatkan faktor-faktor yang memengaruhinya. Membuat sistem skoring untuk memprediksikan probabilitas terbentuknya aloantibodi sel darah merah berdasarkan faktor-faktor tersebut.
Metode: Analisis terhadap 162 rekam medis subjek yang telah dilakukan uji Coombs di Pusat Thalassemia Jakarta pada tahan 2005-2013.
Hasil: Dari 162 subjek didapatkan 31 (19%) subjek memiliki aloantibodi dan 4 (2,4%) subjek menderita AIHA. Jenis aloantibodi terbanyak yang terdeteksi adalah anti-M (29%). Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya aloantibodi adalah tingginya volume transfusi, jarak antar transfusi, lama transfusi, kadar leukosit dan pajanan PRC biasa. Berdasarkan faktor-faktor risiko tersebut, sistem skoring didisain untuk memprediksi kemungkinan terbentuknya aloantibodi.
Kesimpulan: Prevalens aloantibodi pada pasien thalassemia di Indonesia cukup tinggi. Pemberian PRC leukodeplesi pelu direkomendasikan pada pasien dengan transfusi berulang. Prediksi terbentuknya aloantibodi dapat dilakukan melalui sistem skoring terutama di tempat yang tidak tersedia uji Coombs.

Background: Thalassemia major is a common genetic disease in Indonesia. The principal treatment of thalassemia major is lifelong blood transfusion, which is frequently complicated by alloantibody. Limited data are available on the frequency of RBC alloantibody and factors influencing in major β-thalassemia patients. Coombs test, as a standard tool to diagnose alloantibody, is only available on particular Red Cross Centre. Therefore, it is necessary to find another tool to predict the probability of alloantibody formation.
Aim: To investigate the prevalence of RBC alloantibody among thalassemia major patients in Thalassemia Centre Jakarta. To describe factors influencing RBC alloantibody production and develop scoring system to predict its probability.
Methods: We analyzed the clinical and transfusion records of 162 thalassemia major patients who have been examined for Coombs test. All of the patients were registered in Thalassemia Center, Cipto Mangunkusumo hospital from 2005 until 2013.
Results: Of the 162 subjects, 31 (19%) developed RBC alloantibody and four patients (2,4%) developed autoimmune hemolytic anemia. The most common alloantibody was anti-M (29%).Several factors were found to contribute to high alloantibody rate in this study, including high volume of transfusion, duration of transfusion, white blood count level, transfusion interval, and PRC exposure. From those factors, scoring system has been developed to predict alloantibody formation in thalassemia patients.
Conclusion: We concluded that there is a high rate of RBC alloantibody in major thalassemia patients in our center. We also suggest that leukocyte-poor PRC should be given to all patients with multiple transfusions. In remote area where Coombs test is not available, scoring system can be used to predict the probability of alloantibody formation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>