Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Suryansyah
Abstrak :
Demam reumatik (DR) dan penyakit jantung reumatik (PJR) masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang, termasuk Indonesia. Demam reumatik dapat meninggalkan gejala sisa yang permanen, mengganggu tumbuh kembang anak dan dapat pula menimbulkan kematian. Istilah reumatik seolah-olah memberi kesan penyakit sendi, namun pengaruh pada jantung yang membuat penyakit ini penting. Bila DR tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan parut pada katup jantung yang disebut PJR. Demam reumatik merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada usia anak 5 tahun sampai usia dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan sosial ekonomi rendah, dan jarang ditemukan pada anak di bawah usia 5 tahun. Angka kejadian DR/PJR di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya masih tinggi, diperkirakan prevalens PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8.per 1000 anak berusia 5-15 tahun tetapi angka pasti insidens penyakit ini masih sulit ditentukan mengingat sistem pencatatan dan pelaporan kurang memadai.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wynda Felisia
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui morbiditas dan mortalitas neonatal dini pada bayi presentasi bokong yang lahir pervaginam dan bedah kaisar di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran karakteristik ibu dan bayi presentasi bokong yang lahir di RSUPN Cipto Mangunkusurno? 2. Bagaimana gambaran nilai Apgar, trauma lahir mekanik dan mortalitas neonatal dini pada bayi presentasi bokong yang lahir di RSUPN Cipto Mangunkusumo? Tujuan penelitian Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang morbiditas (gambaran nilai Apgar, trauma lahir mekanik) dan mortalitas neonatal dini pada bayi yang lahir dengan presentasi bokong. Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik ibu dan bayi presentasi bokong menurut cara kelahiran 2. Mengetahui angka kejadian mortalitas neonatal dini bayi presentasi bokong 3. Mengetahui gambaran mortalitas neonatal dini menurut usia gestasi, berat lahir, paritas dart cara kelahiran pada bayi presentasi bokong. 4. Mengetahui gambaran nilai Apgar menurut usia gestasi, berat lahir, paritas dan cars kelahiran pada bayi presentasi bokong 5. Mengetahui gambaran trauma lahir mekanik menurut usia gestasi, berat lahir, paritas dan cara kelahiran pada bayi presentasi bokong .6. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan erat dengan mortalitas neonatal dini pada bayi presentasi bokong
2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noormanto
Abstrak :
Tujuan Mengetahui profil lemak, faktor risiko PJK lain serta ketebalan tunika intimamedia karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini. Tempat penelitian: Poliklinik rawat jalan Anak Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subyek penelitian Anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini. Metode dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan, tekanan darah, kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa dan ketebalan tunika intima-media karotis. Analisis data yang digunakan untuk membandingkan faktor risiko antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua PJK dini adalah x2, tes t tidak berpasangan dan regresi logistik. Untuk mengetahui perbedaan ketebalan tunika intima-media karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua mendeirita PJK dini dilakukan analisis tes t tidak berpasangan. Sedangkan untuk mencari hubungan ketebalan tunika intima-media karotis dengan profil lemak dan faktor risiko PJK lain dilakukan uji korelasi Pearson. Hasil Sebanyak 24 anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini, terdiri 66,7% laki-laki dan 33,3% perempuan. Pada analisis bivariat diperoleh perbedaan yang bermaia7a pads indeks masa tubuh, tekanan darah diastolik dan ketebalan tunika intima media arteri karotis antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini (p= 0,035, p=0,029 dan p=0,004), tetapi dari analisis multivariat indeks masa tubuh dan tekanan darah diastolik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,083 dan p=0,094). Sedangkan umur, jenis kelamin, status merokok, perokok pasif, aktivitas anak, tekanan darah sistolik, kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, kadar gula darah puasa tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dari analisis bivariat maupun multivariat. Ketebalan tunika intima-media karotis pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungannya dengan faktor risiko PJK seperti kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, indeks masa tubuh dan umur. Kesimpulan (1) Remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini mempunyai kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserid, tekanan darah sistolik dan diastolik serta indeks rasa tubuh rata-rata lebih tinggi tetapi secara statistik tidak bermakna disbanding kontrol; (2) Tunika intima-media karotis pada remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini lebih tebal secara bermakna dibanding kontrol; (3) Ketebalan tunika intima-media karoti; tidak ada hubungannya dengan faktor risiko PJK.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, M. F. Conny
Abstrak :
Hingga saat ini kejang demam masih merupakan tipe kejang yang paling sering ditemukan pada masa kanak-kanak Dua sampai 5% anak pernah mengalami suatu serangan kejang demam sebelum usia 5 tahun. Meskipun serangan kejang tersebut biasanya hanya berlangsung beberapa menit namun serangan tersebut amat menakutkan dan mengkhawatirkan orangtua. Setelah kejang dapat teratasi akan timbul pertanyaan apakah kejang dapat berulang, apakah akan terjadi epilepsi di kemudian hari, bagaimana dengan perkembangan dan kecerdasan anak tersebut? Tidaklah mengherankan kejang demam merupakan fokus penelitian yang intensif. Secara umum kejang demam diklasifikasikan dalam dua kelompok yakni kejang demam sederhana (KDS) dan kejang demam kompleks (KDK). Kejang demam diklasifikasikan sebagai KDK bila kejang demam berakhir lebih dari 15 menit atau bersifat fokal atau terjadi kembali dalam 24 jam. Di luar kriteria tersebut, ia diklasifikasikan dalam KDS. Data-data dari penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa KDS, bentuk terbanyak dari kejang demam, umummya mempunyai perjalanan alamiah yang benign sehingga tampaknya tidak dibutuhkan usaha-usaha preventif untuk mencegah dampak jangka panjangnya. Hal yang serupa tidak berlaku untuk KDK yang memiliki insidens sebesar 27 - 37% dari seluruh kejang demam. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa KDK mempunyai hubungan erat dengan berulangnya kejang demam dan timbulnya epilepsi. Pengobatan profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang demam dan epilepsi pasca-KDK juga masih menjadi kontroversi hingga saat ini, meskipun profilaksis harian jangka panjang tidak lagi direkomendasikan untuk diguna kan secara rutin. Mengingat kedua implikasi tersebut, penting bagi kita untuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor prognosis yang mempengaruhi berulangnya kejang. Sepanjang pengetahuan kami, hingga kini belum didapatkan penelitian terpublikasi yang membahas tentang faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam setelah kejang demam kompleks pertama. Penelitian yang ada saat ini menggabungkan faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam pasca-KDS dan KDK. Untuk memperoleh data yang disebutkan di atas diperlukan pengamatan terhadap sejumlah besar subyek dalam waktu yang lama. Sebagai langkah awal, penelitian ini akan mengumpulkan berbagai karakteristik pasien KDK serta faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam atau timbulnya epilepsi pasca-KDK. Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: a) Bagaimanakah karakteristik demografis (usia, jenis kelamin) dan klinis (jenis kejang, lama kejang, frekuensi kejang, riwayat kejang demam dalam keluarga, riwayat epilepsi dalam keluarga, durasi antara demam hingga timbulnya kejang, suhu saat KDK I, adanya gangguan perkembangan atau kelainan neurologis sebelum kejang) dari pasien KDK pertama di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) ? b) Berapakah angka kejadian berulangnya kejang demam setelah KDK pertama dalam penelitian ini? c) Berapakah angka kejadian epilepsi setelah KDK pertama dalam penelitian ini? d) Apa sajakah yang menjadi faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam berdasarkan karakteristik yang tersebut dalam butir a) tersebut? Pasien KDK pertama yang memiliki gangguan perkembangan, usia awitan sebelum dua tahun, suhu yang rendah saat KDK pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, riwayat epilepsi dalam keluarga, dan durasi yang singkat antara demam hingga timbulnya KDK pertama mempunyai kemungkinan berulangnya kejang demam yang lebih besar dibandingkan dengan pasien KDK pertama yang tidak memiliki faktor prognosis tersebut di atas. Tujuan umum penelitian untuk mengetahui faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam pasca-KDK. Tujuan khusus penelitian mendapatkan karakteristik demografis dan klinis dari pasien yang mengalami KDK pertama yang berobat di R.SCM, mendapatkan angka kejadian berulangnya kejang demam setelah KDK pertama, mendapatkan angka kejadian epilepsi setelah KDK pertama, mengetahui faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Sri Susanti
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Amalia
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam upaya memelihara kebersihan tubuh bayi dan anak, pemakaian popok merupakan cara yang telah lama dikenal karena praktis, efektif, dan higienis untuk menampung urin dan feses agar tidak mengotori kulit sekitarnya. Namun sesungguhnya kulit bayi dan anak kurang siap untuk mengatasi keadaan yang dapat timbal akibat kontak lama antara kulit dengan urin dan feses karena pemakaian popok tersebut. Pemakaian popok dapat menyebabkan perubahan kelembaban kulit akibat peningkatan hidrasi kulit dan pH yang secara fisik menurunkan integritas kulit. Hal tersebut menyebabkan kulit rentan terhadap kerusakan akibat pengaruh mekanik, kimia, iritasi, enzim, serta infeksi bakteri dan jamur. Suatu studi pada tahun 1986 menunjukkan sekitar lima puluh persen bayi pernah terjangkit kelainan dermatitis popok dalam berbagai tingkat keparahan; insiderisnya berkisar antara 7-35% dan prevalensi tertinggi didapatkan pada usia 8-12 bulan.3 Prevalensi yang bervariasi ini disebabkan tidak semua kasus dermatitis popok dikonsultasikan ke dokter. Sebagian besar kasus ditemukan bersamaan dengan penyakit lain yang diderita bayi tersebut. Dermatitis popok adalah salah satu jenis dermatitis pads bayi yang merupakan akibat langsung dan pemakaian popok. Banyak faktor yang berperan sebagai etiologi maupun pencetus dermatitis popok. Mengingat adanya berbagai penyebab dan pencetus maka pengobatan standar untuk dermatitis popok adalah pemberian emolien contohnya lanolin. Kegunaanemolien dalam pengobatan dermatitis popok adalah untuk menjaga kulit dari gesekan dan kontak langsung dengan urin serta menjaga kebersihan kulit. Untuk menjaga kebersihan kulit secara optimal digunakan sabun. Sabun dikenal sebagai salah satu zat yang memiliki daya kerja antibakteri melalui aktivitas tegangan permukaannya. Sebagian besar sabun umumnya mempunyai pH tinggi (pH 75), sedangkan untuk dermatitis popok diperlukan sabun yang mempunyai pH lebih rendah. Formula sabun dengan pH rendah umumnya terdiri dari asam laktat dan laktoserum. Selain sebagai emolien, asam laktat juga berfungsi untuk mempertahankan keasaman kulit sehingga mempunyai daya proteksi terhadap infeksi, sehingga disebut sebagai antimikroba alaaiiah. Sedangkan laktoserum merupakan ekstrak susu alami yang dapat meningkatkan kapasitas buffer asam laktat, mempertahankan keseimbangan keratogenesis secara alarm, dan memperkuat kerja asam laktat. Fernando (1985) menggunakan asam laktat dan laktoserum sebagai terapi ajuvan dalam perawatan infeksi dermatosis. Sedangkan Daniel (1984) meneliti asam laktat dan laktoserum untuk pengobatan dermatitis popok selama 15 hari dengan hasil yang memuaskan.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21341
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Niasari
Abstrak :
ABSTRAK
Semua anak dengan keterlambatan atau gangguan bicara hares dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran. Ada tiga tipe gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran tipe konduktif, sensorineural, dan tipe campuran konduktif dan sensorineural. Gangguan pendengaran tipe sensorineural (8,4%), dan gangguan pendengaran tipe konduktif (4,9%) terjadi pada anak yang mengalami keterlambatan bicara karena gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran sensorineural merupakan masalah yang series, karena mempengaruhi perkembangan bicara, kemampuan berbahasa, serta menentukan prestasi di sekolah. Tes pendengaran tetap dilakukan walaupun tidak ada keluhan gangguan pendengaran dari orangtua. Bila terdapat gangguan pendengaran, perlu segera diberikan intervensi dini berupa terapi bicara dan penggunaan alat bantu dengar. Dukungan keluarga sangat berperan dalam upaya meningkatkan kemampuan bicara. The Early Language Milestone Scale (ELMS) adalah prosedur skrining perkembangan bahasa dan bicara yang dapat membantu menilai perkembangan tersebut sejak usia yang sangat muda. Dengan ELMS deteksi dini keterlambatan bicara dapat dilakukan pada pelayanan kesehatan dasar, sehingga dapat merujuk dengan cepat untuk diagnosis dan penatalaksaan selanjutnya. Pemeriksaan pendengaran dapat dengan cara pengukuran yang bersifat fisiologis, atau dengan menggunakan tes terhadap perilaku. Pemerilcsaan fisiologis yang biasa dilakukan adalah metode otoacoustic-emissions (OAE), atau brainstem evoked response audiometry (BERA). Pemeriksaan BERA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi gangguan pendengaran, namun alat dan biaya pemeriksaannya cukup mahal dan tidak tersedia di pusat-pusat pelayanan kesehatan primer atau di daerah terpencil. Tes Daya Dengar (TDD) adalah salah satu uji Lapis perkembangan yang dikembangkan oleh Direktorat }endral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1997. Fatmawati menggunakan TDD yang dibandingkan dengan SERA dan/atau OAE untuk mendeteksi gangguan pendengaran sebagai penyebab keterlambatan bicara, mendapatkan basil sensitivitas yang tinggi (92,9%) tetapi spesifisitas yang rendah (27,7%). ELMS diharapkan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang Iebih baik, karena mengandung unsur auditory receptive dan auditory expressive. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai validasi ELMS dalam mendeteksi kemungkinan adanya gangguan pendengaran sensorineural yang merupakan penyebab keterlambatan bicara. RUMUSAN MASALAH Berapakah sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ELMS pada anak dengan keterlambatan bicara yang disebabkan gangguan pendengaran sensorineural, dibandingkan dengan baku emas pemeriksaan pendengaran BERA ?
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T58758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windhi Kresnawati
Abstrak :
Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan hemoglobinopati yang cukup banyak di Indonesia. Terapi utama thalassemia mayor adalah transfusi seumur hidup. Transfusi berulang memiliki efek samping. Salah satunya adalah terbentuknya aloantibodi sel darah merah. Prevalens dan faktor-faktor yang memengaruhi aloantibodi pada pasien thalassemia masih belum ada di Indonesia. Uji Coombs sebagai standar diagnosis merupakan pemeriksaan yang mahal dan hanya tersedia di pusat tertentu. Metode lain yang lebih mudah diperlukan untuk memprediksi terbentuknya aloantibodi tersebut. Tujuan: Untuk mengetahui prevalens aloantibodi sel darah merah di populasi Indonesia dan mendapatkan faktor-faktor yang memengaruhinya. Membuat sistem skoring untuk memprediksikan probabilitas terbentuknya aloantibodi sel darah merah berdasarkan faktor-faktor tersebut. Metode: Analisis terhadap 162 rekam medis subjek yang telah dilakukan uji Coombs di Pusat Thalassemia Jakarta pada tahan 2005-2013. Hasil: Dari 162 subjek didapatkan 31 (19%) subjek memiliki aloantibodi dan 4 (2,4%) subjek menderita AIHA. Jenis aloantibodi terbanyak yang terdeteksi adalah anti-M (29%). Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya aloantibodi adalah tingginya volume transfusi, jarak antar transfusi, lama transfusi, kadar leukosit dan pajanan PRC biasa. Berdasarkan faktor-faktor risiko tersebut, sistem skoring didisain untuk memprediksi kemungkinan terbentuknya aloantibodi. Kesimpulan: Prevalens aloantibodi pada pasien thalassemia di Indonesia cukup tinggi. Pemberian PRC leukodeplesi pelu direkomendasikan pada pasien dengan transfusi berulang. Prediksi terbentuknya aloantibodi dapat dilakukan melalui sistem skoring terutama di tempat yang tidak tersedia uji Coombs. ......Background: Thalassemia major is a common genetic disease in Indonesia. The principal treatment of thalassemia major is lifelong blood transfusion, which is frequently complicated by alloantibody. Limited data are available on the frequency of RBC alloantibody and factors influencing in major β-thalassemia patients. Coombs test, as a standard tool to diagnose alloantibody, is only available on particular Red Cross Centre. Therefore, it is necessary to find another tool to predict the probability of alloantibody formation. Aim: To investigate the prevalence of RBC alloantibody among thalassemia major patients in Thalassemia Centre Jakarta. To describe factors influencing RBC alloantibody production and develop scoring system to predict its probability. Methods: We analyzed the clinical and transfusion records of 162 thalassemia major patients who have been examined for Coombs test. All of the patients were registered in Thalassemia Center, Cipto Mangunkusumo hospital from 2005 until 2013. Results: Of the 162 subjects, 31 (19%) developed RBC alloantibody and four patients (2,4%) developed autoimmune hemolytic anemia. The most common alloantibody was anti-M (29%).Several factors were found to contribute to high alloantibody rate in this study, including high volume of transfusion, duration of transfusion, white blood count level, transfusion interval, and PRC exposure. From those factors, scoring system has been developed to predict alloantibody formation in thalassemia patients. Conclusion: We concluded that there is a high rate of RBC alloantibody in major thalassemia patients in our center. We also suggest that leukocyte-poor PRC should be given to all patients with multiple transfusions. In remote area where Coombs test is not available, scoring system can be used to predict the probability of alloantibody formation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprohaita
Abstrak :
Latar belakang: Penurunan curah jantung merupakan masalah yang penting dalam penatalaksanaan pasca-bedah jantung terbuka karena penurunan curah jantung ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Modalitas untuk pemantauan curah jantung bergeser dari invasif ke non-invasif. Alat ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) dan ekokardiografi menjadi alat baru yang non-invasif. Bila dibandingkan dengan alat ekokardiografi yang membutuhkan keahlian khusus, alat USCOM dapat dijadikan alat pengukuran indeks curah jantung alternatif secara intermiten oleh tenaga medis terlatih. Tujuan: Untuk mengetahui kesesuaian hasil pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan pintasan jantung paru. Metode: Studi potong lintang (cross sectional) pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP dengan metode pengukuran simultan indeks curah jantung dengan alat USCOM dan ekokardiografi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari bulan Juni-Juli 2014. Hasil: Tiga belas pasien yang menjalani bedah jantung terbuka berhasil diukur dengan alat USCOM dan ekokardiografi secara simultan. Subyek terdiri atas 8 laki-laki dan 5 perempuan dengan median usia 3 tahun (1-12 tahun). Median berat badan, tinggi badan, dan luas permukaan tubuh berturut-turut 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32- 0,98 m2). Diagnosis terbanyak berturut-turut adalah tetralogi Fallot (5 subyek), defek septum ventrikel (3 subyek), dan DORV (2 subyek). Pada analisis Bland-Altman indeks curah jantung yang diukur dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi didapatkan perbedaan rerata sebesar 0,115 L/menit/m2 (IK95% -0,536 hingga 0,766) dan batas kesesuaian -3,616 hingga 3,846 L/menit/m2. Hasil tambahan penelitian ini berupa perbedaan rerata indeks isi sekuncup 0,03 mL/m2 (IK95% -5,002 hingga 5,065) dan batas kesesuaian -28,822 hingga 28,885 mL/m2. Perbedaan rerata diameter LVOT -0,017 cm (IK95% -0,098 hingga 0,064) dan batas kesesuaian -0,285 hingga 0,251 cm. Perbedaan rerata nilai VTI didapatkan sebesar -2,991 cm (IK95% -4,670 hingga -1,311) dan batas kesesuaian -12,616 hingga 6,635 cm. Kesimpulan: Pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP didapatkan perbedaan rerata kedua pengukuran kecil dan batas kesesuaian 95% yang lebar. Pada pengukuran indeks curah jantung yang makin rendah, perbedaan atau selisih rerata semakin kecil dan memiliki kesesuaiannya lebih baik.
Background: Low cardiac output is important problem in post-open heart surgery management because this condition increase morbidity and mortality. Modality of cardiac output monitoring shifted from invasive to non-invasive. Ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) and echocardiography are new non-invasive tools. Echocardiography needs special skill, but USCOM can used by trained user because of fast learning curve of skill. Objectives: To determine the agreement of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery with cardiopulmonary bypass. Methods: Cross sectional study using simultaneous measurement of cardiac index by USCOM and echocardiography on post-open heart surgery patient in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, from Juni-Juli 2014. Results: Thirteen post-open heart surgery of pediatric patient were enrolled (8 male and 5 female, median of age 3 years old (1-12 years old). Median of body weight, height, and body surface area respectively were 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32-0,98 m2). Diagnosis of patient were tetralogi Fallot (5 subject), ventricular septal defect (3 subject), dan double outlet right ventricle (2 subject). This study using Bland-Altman analysis of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography. Mean bias was 0,115 L/minute/m2 (95%CI -0,536 to 0,766) and limit of agreement was -3,616 to 3,846 L/minute/m2. Secondary outcome of this study was mean bias of stroke volume index 0,03 mL/m2 (95%CI -5,002 to 5,065) and limit of agreement was -28,822 to 28,885 mL/m2. Mean bias of LVOT diameter was -0,017 cm (95%CI -0,098 to 0,064) and limit of agreement was -0,285 to 0,251 cm. Mean bias of VTI was -2,991 cm (95%CI -4,670 to -1,311) and limit of agreement -12,616 to 6,635 cm. Conclusion: Cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery has narrow mean bias and wide limit of agreement. Mean bias was narrower and good agreement in patient with low cardiac index.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library