Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indah Fitriani
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kejadian aterosklerosis, dilaporkan lebih sering pada pasien lupus eritematosus sitemik (LES) dibandingkan individu tanpa LES, salah satunya adalah penyakit arteri perifer (PAP). Klorokuin diduga memiliki efek protektif terhadap kejadian PAP melalui penekanan kadar sitokin proinflamasi dan efek menurunkan kadar kolesterol, namun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa klorokuin meningkatkan kadar sitokin proinflamasi. Hingga saat ini, penelitian mengenai pengaruh klorokuin belum pernah dilakukan pada populasi pasien LES di Indonesia.
Tujuan Penelitian. Mengetahui pengaruh klorokuin terhadap kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah.
Metode Penelitian. Studi kasus kontrol dilakukan terhadap pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah di RS Cipto Mangunkusumo selama Juni-Agustus 2012 yang tidak menderita diabetes melitus ataupun hipertensi sebelum diagnosis LES ditegakkan. Pasien dengan penyakit autoimun selain LES dan gagal ginjal kronik dieksklusi dari penelitian. Pengaruh klorokuin terhadap PAP pada pasien LES dinyatakan dalam odds ratio (OR). Peran variabel perancu dinilai pada analisis regresi logistik berjenjang sehingga didapatkan adjusted OR.
Hasil Penelitian. Dari 18 subjek yang menderita PAP (kelompok kasus), sebanyak 8 (44,4 %) menggunakan klorokuin dan dari 72 subjek yang tidak menderita PAP (kelompok kontrol), 20 (27,8 %) di antaranya menggunakan klorokuin. Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu (usia, lama menderita sakit, dislipidemia, dan aktivitas penyakit), tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara penggunaaan klorokuin dengan kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia di bawah 40 tahun (adjusted OR 2,44; IK95 % 0,76 sampai 7,87).
Simpulan. Pengaruh klorokuin terhadap kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah belum dapat disimpulkan pada penelitian ini.

ABSTRACT
Background. Atherosclerosis is enhanced in systemic lupus erythematosus (SLE) compared to general population, one of which is peripheral arterial disease (PAD). Chloroquine has protective effects in peripheral arterial disease through the suppression of proinflamatory cytokine levels and lipid lowering effect, although other studies have shown the increasing of cytokine levels by chloroquine. To date, no studies have ever been performed to investigate the effect of chloroquine on peripheral arterial disease in Indonesian lupus patients.
Aims. To investigate the effects of chloroquine on peripheral arterial disease in patients with systemic lupus erythematosus aged forty-year-old and below.
Methods. A case control study including female lupus patients aged forty year-old and younger in Cipto Mangunkusumo Hospital between June-August 2012, who do not suffer from diabetes mellitus and/or hypertension before the diagnosis of lupus is confirmed. Patients with other autoimmune disease than lupus and/or with chronic kidney disease were excluded from the study. Effect of chloroquine on peripheral arterial disease in lupus patients is expressed in odds ratio (OR). The role of confounding factors analyzed with multiple logistic regression to estimate the adjusted OR.
Results. Eight (44.4 %) of the total 18 subjects contracting PAD (case group) and 20 (27.8 %) of the total 72 subjects without PAD (control group) were using chloroquine. After adjustments towards confounding factors (age, disease duration, dyslipidemia, and disease activity) were completed, the results showed there was no considerable relation between the use of chloroquine and PAD case in female SLE patients aged below forty-year-old (adjusted OR 2.44; 95 % CI 0.76 to 7.87).
Conclusion. The effect of chloroquine usage on PAD case in female SLE patients aged forty-year-old and below can not be concluded from this study."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Yogaswara
"Latar Belakang: Komplikasi kardiovaskular yang disebabkan oleh disfungsi endotel menjadi salah satu penyebab mortalitas yang cukup tinggi pada pasien Artritis Reumatoid AR. Faktor Reumatoid RF merupakan autoantibodi yang sering dijumpai pada AR dan diduga dapat meningkatkan respon inflamasi dan disfungsi endotel. Sindroma metabolik dapat pula meningkatkan disfungsi endotel. Belum ada studi yang menilai korelasi RF dengan disfungsi endotel pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Metode: Penelitian desain potong lintang terhadap pasien AR dewasa yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo tanpa sindroma metabolik. Pengumpulan data dilakukan sejak Februari hingga Maret 2018 dari data penelitian sebelumnya yang diambil periode Februari 2016 hingga September 2017. Kadar RF dan VCAM-1 dinilai melalui pemeriksaan serum darah dengan metode ELISA. Analisis korelasi antar kedua variabel dibuat dengan SPSS 20,0.
Hasil: Sebanyak 46 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini. Sebagian besar 95,7 subjek adalah perempuan dengan rerata usia 44,43 tahun, median lama sakit 36 bulan, dan sebagian besar memiliki derajat aktivitas sedang 52,2. sebagian besar pasien memiliki RF positif 63. Korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 memiliki kekuatan korelasi yang lemah tetapi tidak bermakna secara statistik r = 0,264; p = 0,076 . Subjek dengan RF positif memiliki kadar VCAM-1 yang lebih tinggi 626,89 vs 540,96 ng/mL.
Simpulan: Belum terdapat korelasi antara RF dengan VCAM-1 pada pasien Artritis Reumatoid tanpa sindroma metabolik.

Background: Cardiovascular complications caused by endothelial dysfunction become one of the highest causes of mortality in patients with Rheumatoid Arthritis RA . Rheumatoid Factor RF is an autoantibody that is commonly found in RA and is thought to increase the inflammatory response and endothelial dysfunction. Metabolic syndrome may also increase endothelial dysfunction. There have been no studies assessing correlation between RF and endothelial dysfunction in RA patients without metabolic syndrome.
Aim: To determine the correlation between RF levels with VCAM-1 levels in RA patients without metabolic syndrome.
Method: Cross sectional design study of adult AR patients treated in Rheumatology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital without metabolic syndrome. Data collection was conducted from February to March 2018 from the previous research data taken from February 2016 to September 2017. The levels of RF and VCAM-1 were assessed through blood serum testing using the ELISA method. Correlation analysis between the two variables was made with SPSS 20.0 for windows version.
Results: A total of 46 subjects were included in the study. Most 95.7 subjects were women with an average age of 44.43 years, median duration of 36 months, and most had moderate activity 52.2. Most patients had a positive RF 63. The correlation between RF levels and VCAM-1 levels had a weak correlation strength but was not statistically significant r = 0.264; p = 0.076. Subjects with RF positive had higher VCAM-1 levels 626.89 vs 540.96 ng/mL.
Conclusion: We did not found correlation between RF and VCAM-1 in Rheumatoid Arthritis patients without metabolic syndrome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Anindito
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Perkembangan dalam tatalaksana Lupus eritematosus sistemik (LES) telah meningkatkan
kesintasan pasien dengan LES. Kualitas hidup merupakan komponen evaluasi terapi LES dan
value based medicine. Salah satu kuesioner khusus untuk menilai kualitas hidup adalah
Lupus QoL. Saat ini di Indonesia belum ada kuesioner khusus penilaian kualitas hidup pada
pasien dengan LES. Penelitian ini bertujuan membuktikan Lupus QoL sahih dan andal dalam
menilai kualitas hidup pasien dengan LES di Indonesia.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Penelitian diawali dengan menerjemahkan
Lupus QoL ke dalam bahasa Indonesia kemudian diujicobakan pada 10 responden. Penelitian
kemudian dilanjutkan pada jumlah sampel yang lebih besar. Keandalan dievaluasi dengan
Intraclass Correlation Coefficient (ICC) pada tes dan tes ulang dan cronbach α pada
konsistensi internal. Kesahihan konstruksi dinilai dengan multi trait scaling analysis.
Kesahihan eksternal dinilai dengan menilai korelasi antara Short form 36 (SF36) dengan
Lupus QoL dan aktivitas penyakit.
Hasil:
Pengambilan data terhadap 65 pasien LES yang berobat di unit rawat jalan Ilmu Penyakit
Dalam RSCM selama bulan Oktober ? November 2015. Kesahihan eksternal Lupus QoL baik
dengan korelasi terhadap SF36 dengan r :0.38 ? 0.66 (p<0.05). Multi trait analysis scaling
menunjukkan korelasi yang baik antara nilai tiap domain dengan nilai total (r:0.46 ? 0.85)
dan antara skor tiap butir pertanyaan dan skor total domain (r:0.44 ? 0.93). Nilai ICC
(interval 7 hari) baik (ICC>0.7). Nilai cronbach α> 0.7 pada setiap domain. Korelasi Lupus
QoL terhadap aktivitas penyakit memiliki korelasi yang lemah dan tidak bermakna yang
sesuai dengan penelitian ? penelitian sebelumnya.
Simpulan:
Kuesioner Lupus QoL Indonesia sahih dan andal dalam menilai kualitas hidup pada pasien
dengan LES di Indonesia

ABSTRACT
Background:
The development in Systemic Lupus Erythematosus treatment has led into the increasment of survival.
Quality of life has become a component to evaluate therapy ini SLE and value based medicine. One
spesific questionnaire to asses quality of life is Lupus Quality of Life (Lupus QoL). Currently in
Indonesia there has not been spesific questionnaire to asses quality of life in SLE patients. This study
aims to prove that Lupus QoL is valid and reliable to asses the quality of life in SLE patients in
Indonesia.
Methods:
This study is cross sectional study. This study began with the translation the Lupus QoL into
indonesian language then tested in 10 respondents. After that,this study continued with a larger
sample size. The intraclass coefficient correlation was used to evaluate test and re test reliability, the
cronbach alpha was used to evaluate internal consistency. Construct validity evaluated using multi
trait scaling analysis and the extrenal validity evaluated using the correlation between domains in
short form 36 (SF 36) with Lupus QoL and with disease activity. Results:Data collection were done
on 65 SLE patients in Oktober ? November 2015 in RSCM. The external validity with SF 36 was good
with r:0.38-0.66(p<0.05). The construct validity is good with r > 0.4 (0.44 ? 0.93). The ICC value in
one week >0.7 and Cronbach α was >0.7 in each domain. The correlation with disease activity was
weak and consistent with another studies.
Conclusion:
Lupus QoL questionnaire is valid and reliable to asses quality of life in SLE patients in Indonesia."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Intan Russianna
"ABSTRAK
Latar Belakang: Muatan besi berlebih yang diduga dapat menyebabkan peningkatan stres oksidatif malondialdehyde merupakan masalah utama pada pasien thalasemia beta mayor dan intermedia, baik TDT maupun NTDT. Transfusi darah dan kelasi besi merupakan terapi utama thalasemia. Kadar malondialdehyde MDA plasma belum diteliti mendalam di Indonesia, terutamapada pemberian transfusi serta korelasinya dengan muatan besi berlebih.Tujuan: mendapatkan profil kadar MDA pada pasien thalasemia dewasa; membandingkan kadarnya antara sebelum dan setelah transfusi antara pasien TDT dan NTDT serta mendapatkan korelasinya dengan feritin serum FS dan saturasi transferin ST .Metode: Penelitian potong lintang serta pre dan post study pada penderita dewasa thalasemia beta yang mendapatkan transfusi darah serta dengan/atau tanpa kelasi besi. Sampel darah diambil sesaat sebelum transfusi dan satu hari setelah transfusi. Kadar MDA plasma diperiksa berdasarkan metode Wills.Hasil: Sebanyak 63 orang pasien dilibatkan dalam studi, terdiri dari 51 TDT dan 12 NTDT. Median kadar MDA adalah 0,49 0,21-1,33 ?mol/L. Kadar tersebut tidak berbeda bermakna antara sebelum dan setelah transfusi, antara pasien TDT dan NTDT. Didapatkan korelasi lemah antara FS dengankadar MDA sebelum transfusi sedangkan tidak ada korelasi antara FS dengan kadar MDA setelah transfusi dan antara ST dengan kadar MDA.Simpulan: Median kadar MDA plasma pada pasien dewasa dengan thalasemia beta mayor dan intermedia sebelum transfusi 0,49?mol/L.Tidak ada perbedaan bermakna antara kadar MDA sebelum dan setelah transfusi dan antara pasien TDT dan NTDT. Terdapat korelasi lemah antara FS dengan MDA sebelum transfusi dan tidak terdapat korelasi FS dengan MDA setelah transfusidan ST dengan kadar MDA.

ABSTRACT
Abstract Background Iron overload is a major problem in thalassemic patients, either in TDT or NTDT. Iron overload may increase oxidative stress malondialdehyde MDA . Blood transfusion and chelating iron are the main therapy for beta thalassemia major TDT. However, plasma MDA levels have not been well studied in Indonesia, especially its correlation with iron overload.Objective This study aimed to profile MDA levels in adult thalassemic patients to compare its level between before and after transfusion and between TDT and NTDT patients and to obtains its correlation with serum ferritin SF and transferrin saturation TS .Method A cross sectional as well as pre and post study in adult patients with thalassemia major and intermedia who received blood transfusion with or without chelating iron.Blood samples were withdrawn immediately before transfusion and one day after transfusion. Plasma MDA levels were assayed according to Wills method. Results Total of 63 patients were enrolled, consisting 51 TDT and 12 NTDT patients. Median MDA level was 0.49 0,21 1,33 mol L. The level was not significantly different between before and after transfusion, between TDT and NTDT patients. Weak correlation was observed between SF and MDA levels before transfusion and there is no correlation was observed between SF and MDA levels before transfusion and also between TS and MDA levels.Conclusion Median plasma MDA levels in adult patients with beta thalassemia major and intermedia before transfusion 0,49 mol L. No significant different is found between MDA before and after transfusion and between TDT and NTDT patients as well. Plasma MDA levels have weak correlation with serum feritin levels before blood transfusion."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ario Perbowo Putra
"ABSTRAK
Nama : Ario Perbowo PutraProgram Studi : Ilmu Penyakit DalamJudul : Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Surveilans untuk Deteksi Dini Karsinoma Hepatoselular pada Pasien Sirosis Hati Latar Belakang: Sedikitnya pasien KHS yang didiagnosis melalui surveilans diduga merupakan penyebab terus rendahnya angka kesintasan, sehingga penting untuk diketahui proporsi pelaksanaan surveilans untuk deteksi dini KHS pada pasien sirosis hati dan faktor-faktor yang berhubungan. Tujuan: Mengetahui proporsi pelaksanaan surveilans untuk deteksi dini KHS pada pasien sirosis hati dan faktor-faktor yang berhubungan. Metode: Studi kohort retrospektif pasien sirosis hati di RSCM periode Januari - Desember 2013. Data didapatkan dari rekam medis dan dikonfirmasi ulang dengan telepon. Surveilans disyaratkan USG abdomen dengan atau tanpa AFP minimal satu kali setahun dalam 3 tahun setelah periode tersebut. Faktor-faktor yang diteliti adalah jenis kelamin, suku bangsa, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, ketersediaan jaminan pengobatan, lokasi tempat tinggal, keberhasilan edukasi surveilans, etiologi sirosis, serta derajat beratnya sirosis. Uji regresi logistik digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan surveilans. Hasil: Dari 200 pasien sirosis hati, 50 pasien 25,0 menjalani surveilans, 150 pasien 75,0 tidak menjalani surveilans. Analisis bivariat menghasilkan 4 variabel dengan nilai p < 0,25 yaitu jenis kelamin p = 0,056 , suku bangsa p = 0,231 , keberhasilan edukasi surveilans p = 0,005 , dan derajat beratnya sirosis p = 0,005 . Analisis multivariat menghasilkan faktor risiko terlaksananya surveilans adalah keberhasilan edukasi surveilans OR 2,615, IK 95 1,332 - 5,134 , p = 0,005 dan derajat beratnya sirosis OR 2,766, IK 95 1,413 - 5,415 , p = 0,003 . Simpulan: Keberhasilan edukasi surveilans dan derajat beratnya sirosis merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan surveilans untuk deteksi dini KHS pada pasien sirosis hati. Kata Kunci: Sirosis hati, surveilans, faktor yang berhubungan.

ABSTRACT
Name Ario Perbowo PutraStudy Program Internal MedicineTitle Factors Related to The Implementation of Surveillance for Early Detection of Hepatocellular Carcinoma in Patients with Liver Cirrhosis Background Minimal number of KHS patients diagnosed through surveillance is thought to be the cause of continued low survival. It is important knowing the proportion of surveillance for early detection of KHS in patients with liver cirrhosis and related factors. Objective Determine the proportion of surveillance for early detection of KHS in patients with liver cirrhosis and related factors. Methods Retrospective Cohort study of patients with liver cirrhosis at RSCM from January to December 2013. Data obtained from medical records and reconfirmed by telephone. Surveillance is required for abdominal ultrasound with or without AFP at least once a year within 3 years after that period. Factors studied were gender, ethnicity, education level, income level, availability of medical assurance, location of residence, surveillance education successfulness, cirrhosis etiology, and severity of cirrhosis. Then logistic regression test is used in the multivariate analysis. Results From 200 patients, 50 patients 25,0 underwent surveillance, 150 patients 75,0 did not. Bivariate analysis resulted in 4 variables with p "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Steven Sutanto
"Latar Belakang: Perawatan di ruang rawat inap dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pasien geriatri dan pelaku rawatnya berupa peningkatan gejala ansietas dan depresi. Ansietas dan depresi yang dialami oleh pelaku rawat dapat mengganggu kualitas perawatan pasien geriatri yang dirawatnya.
Tujuan: Mengetahui proporsi pelaku rawat pasien geriatri yang dirawat inap di rumah sakit yang mengalami peningkatan gejala ansietas dan depresi serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan gejala ansietas dan depresi tersebut.
Metode: Studi dengan desain kohort prospektif untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan gejala ansietas dan depresi pada pelaku rawat pasien geriatri yang dirawat inap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Februari hingga Mei 2018 dengan membandingkan derajat gejala ansietas dan depresi pada hari pertama perawatan dengan hari ketujuh perawatan pasien menggunakan kuesioner Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS). Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square atau uji Fisher apabila persyaratan uji Chi Square tidak terpenuhi dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 58,1% pelaku rawat pasien geriatri mengalami peningkatan gejala ansietas dan 60,7% pelaku rawat mengalami peningkatan gejala depresi pada saat hari ketujuh perawatan pasien di ruang rawat inap. Berdasarkan analisis multivariat faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan gejala ansietas pelaku rawat pasien geriatri yang dirawat inap di rumah sakit adalah usia pelaku rawat ≥60 tahun (p=0,05; OR 4,167; IK 95% 1,554-11,171), durasi merawat pasien ≥8 jam dalam sehari (p=0,041; OR 4,228; IK 95% 1,060-16,860), lama merawat pasien di ruang rawat inap ≥6 hari (p=0,019; OR 2,500; IK 95% 1,163-5,375) serta merawat pasien geriatri dengan ketergantungan berat-total (p<0,001; OR 5,568; IK 95% 2,323-13,345). Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan gejala depresi pelaku rawat pasien geriatri yang dirawat inap di rumah sakit di antaranya usia pelaku rawat ≥60 tahun (p=0,01; OR 9,333; IK 95% 2,638-33,018), durasi merawat pasien ≥8 jam dalam sehari (p=0,008; OR 8,392; IK 95% 1,723-40,880), lama merawat pasien di ruang rawat inap ≥6 hari (p<0,001; OR 4,184; IK 95% 1,982-9,256) serta merawat pasien geriatri dengan ketergantungan berat-total (p=0,007; OR 3,132; IK 95% 1,372-7,151).
Kesimpulan: Usia pelaku rawat ≥60 tahun, durasi merawat pasien ≥8 jam dalam sehari, lama merawat pasien di ruang rawat inap ≥6 hari serta merawat pasien geriatri dengan ketergantungan berat-total mempengaruhi peningkatan gejala ansietas dan depresi pelaku rawat pasien geriatri yang dirawat inap di rumah sakit.

Background: Hospitalization can cause negative impact on geriatric patients and also their caregivers such as increased symptoms of anxiety and depression. Anxiety and depression experienced by the caregivers can interfere the quality of care for the geriatric patients.
Objectives: To determine the proportion of geriatric patients caregivers with increased anxiety and depression symptoms during hospitalization using Hospital and Anxiety Depression Scale (HADS) questionnaires and its associated factors.
Methods: A prospective cohort study was conducted to determine the associated factors of increased anxiety and depression symptoms in caregivers of hospitalized geriatric patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from February to May 2018 by comparing anxiety and depression symptoms level on the first day of hospitalization with the seventh day using HADS questionnaires. Bivariate analysis was done using Chi Square test or Fisher test when the requirement for Chi Square test was not fullfilled. Multivariate analysis was also done using logistic regression.
Result: As many as 58.1% caregivers of hospitalized geriatric patients had an increased anxiety symptoms and 60.7% caregivers experienced increased depression symptoms on seventh day of hospitalization. Multivariate analysis showed that caregivers aged 60 years old or above (p=0.005; OR 4.167; 95% CI 1.554-11.171), duration of caregiving equal to or more than 8 hours in a day (p=0.041; OR 4.228; 95% CI 1.060-16.860), duration of caregiving equal to or more than 6 days in a week (p=0.019; OR 2.500; 95% CI 1.163-5.375) and caregiving for patient with severe to total dependency (p<0.001; OR 5.568; 95% CI 2.323-13.345) are significantly increased the anxiety symptoms. Factors that are significantly increased the depression symptoms including caregivers aged 60 years old or above (p=0.01; OR 9.333; 95% CI 2.638-33.018), duration of caregiving equal to or more than 8 hours in a day (p=0.008; OR 8.392; 95% CI 1.723-40.880), duration of caregiving equal to or more than 6 days in a week (p<0.001; OR 4.184; 95% CI 1.982-9.256) and caregiving for patient with severe to total dependency (p=0.007; OR 3.132; 95% CI 1.372-7.151).
Conclusion: Caregiver aged 60 years old or above, duration of caregiving equal to or more than 8 hours in a day, duration of caregiving equal to or more than 6 days in a week, and caregiving for patient with severe to total dependency are significantly increased anxiety and depression symptoms in caregivers of hospitalized geriatric patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library