Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ganang Dwi Kartika
"ABSTRAK
Disertasi ini adalah penelitian yang melihat religiositas rantau Y. B. Mangunwijaya sebagai jalan keluar dari persoalan kebangsaan dan kemanusiaan di dalam tiga novelnya, yakni Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Durga Umayi (1991), dan Burung-burung Rantau (1992). Penelitian ini menggunakan metode close reading untuk menganalisis religiositas rantau di antara persoalan kebangsaan dan kemanusiaan dalam tiga novel tersebut.
Temuan penelitian ini adalah bahwa tiga novel yang diteliti memperjuangkan ideologi rantau yang merupakan ideologi yang mendasari ketiga novel. Melalui ideologi tersebut ingin dilampaui berbagai persoalan kebangsaan dan kemanusiaan di masing-masing novel yang berlatar belakang ruang sosial, politis, dan geografis yang kemudian disebut dengan Indonesia di kemudian hari.

ABSTRACT
This dissertation is a result of a research which overlooked wandering religiosity as a way out for problems of nationality and humanity in Y. B. Mangunwijaya?s three novels, i.e Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Durga Umayi (1991), and Burung-burung Rantau (1992). The method used in this research is close reading to analyze the content of wandering religiosity among the problems of nationality and humanity in the three novels.
The finding of this research is that all the three examined novels struggle for wondering ideology, the basic ideology of the three novels. With this ideology, the writer offers solutions for various problems of nationality and humanity, as described in each novel, placed in social, political and geographical settings which will later be called Indonesia.
"
2015
D2146
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widyastuti Purbani
"Disertasi ini ditulis berdasarkan hasil penalitian terhadap lima fiksi anak unggulan Indonesia yang lahir pada masa akhir Orde Baru berjudul Pulau Sangta Penuh Misteri, Kabul Murungkayu, Si Perung, Tiga Sekawan di Rimba Belantara dan Raja Kate Dikepung Asap. Kelima fiksi tersebut merupakan pemenang sayembara penulisan naskah fiksi anak Depdiknas sekaligus penerima penghargaan buku bacaan anak nasional tahun 1996-2001. Penelitian tekstual dan kontekstual ini bertujuan mengungkap ideologi anak ideal yang mengada dalam kelima fiksi yang diperiksa, termasuk bagaimana level dan cara ideologi-ideologi tersebut beroperasi, serta relasi kekuasaan yang terbangun. Penelitian ini juga memeriksa wacana tentang pendidikan, tentang anak dan sastra anak yang berkembang pada masa Orde Baru.
Penelitian kajian budaya yang dilakukan menggunakan teknik kajian ideologi/relasi kekuasaan Hollindale, John Thompson dan Nodelman ini menemukan bahwa lima teks yang diperiksa mengandung ideologi perfeksionisme, yakni ideologi yang menempatkan anak-anak sebagai the perfect hero yang ditunjukkan dengan penggambaran anak-anak yang memiliki watak- watak bertakwa, pandai, berbudi pekerti, berjiwa kebangsaan, pemberani, cinta alam dan Iingkungan, berjiwa kepemimpinan, dan pada akhirnya dinobatkan menjadi pahlawan. Anak-anak yang diidealkan dalam teks ini juga hidup dalarn ideologi-ideologi paternalisme, patriarki dan instanisme yang menempatkan anak-anak dalam perlindungan kaum dewasa, merayakan kebebasan anak laki-laki, meminggirkan anak perempuan dan membiarkan anak-anak tanpa proses menjadi.
Ideologi-ideologi tersebut pada umumnya beroperasi secara eksplisit melalui narator dan fokalisator dewasa yang otoritatif dengan menggunakan strategi-strategi legitimasi, fragmentasi dan disimulasi yang semakin menampakkan pesan serta memperkuat didaktisisme teks. Teks-teks ini membangun relasi kekuasaan yang timpang yang mengerdilkan anak-anak, memahami mereka secara kelim dan menempatkan mereka sebagai objek. Ideologi-ideologi tersebut mengada melalui cara sedemikian karena teks-teks tersebut lahir pada masa Orba yang sangat menekankan pembangunan manusia seutuhnya. Kecuali itu, sayembara penulisan tiksi yang diselenggarakan dengan tatanan yang ketat mempakan kepanjangan tangan dari insititusi ideologis Orba untuk mencetak anak didik sebagai manusia yang utuh sesuai cita-cita pemerintah. Teks-teks itu lahir dalam masa yang mempercayai bahwa anak merupakan tabula rasa yang wajib dibina dan ditumbuhkembangkan secara baik oleh orang tua. Teks-teks tersebut Iahir pada konteks yang percaya bahwa astra anak merupakan wadah serta sarana pembelajaran tentang nilai-nilai luhur serta suri teladan bagi anak didik sehingga didaktisisme dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.

This dissertation is based on a study on tive best Indonesian children's fictions written in the late New Order era. The five iictions entitled Puiau Sangia Penuh Misreri, Kabir! Munmgkayu, Si Perung; Tiga Selrawan di Rimba Belantara and Riga Kate Dikepung Asap are winners of Children's Fiction Writing Competition and Award Winners of National Children's Books in the year of 1996-2001. This textual and contextual study aims at revealing the idealized child ideology existing in the texts, including the kinds of ideology, the level, the mode of operation and the power relation established. This study also examined the discourses of education, children and children's literature that operate inthe time the texts were written.
This cultural study employing Hollindale's, John Thompson's and Perry NodeIman's theories of ideology finds out that the five texts under study embody perfectionism, paternalism, patriarchy and instant ideologies. The texts worship perfect heroes with the following traits: religious, intelligent, well-mannered, nationalist, brave, environmentalist, and leading. The texts place children under the control and protection of adults; celebrate freedom for boys, marginalize girls, and hinder children Hom the process of becoming. The dominant ideologies operate explicitly employing adult narrator and focalizer authoritatively.
The ideologies operate using legitimation, fragmentation, dissimulation strategies making the ideologies more explicit and strengthening the didacticism. The texts establish in-equal power relation which see children as inferior beings, and treat them more as objects rather than subjects. The texts were written when manusia seutuhnya or perfect individual ideology was entitled as an important agenda by the New Order govemment. In this era children were seen as rabula rasa or blank sheet, therefore always in need of parental guidance. Children's literature was considered to be the source of wisdom in which didacticism was viewed as a common sense.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
D966
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"ABSTRAK
Pada 21 Januari 1995 Soeharto mewacanakan konsep lsquo;pengendalian diri rsquo; sebagai sarana internalisasi Pancasila melalui wayang kulit purwa. Persatuan Pedalangan Indonesia menafsirkan konsep lsquo;pengendalian diri rsquo; Soeharto dengan menggubah lakon ldquo;Semar Mbabar Jatidiri rdquo;. Produksi naskah pakem pedalangan dan pergelaran wayang kulit purwa lakon Semar Mbabar Jatidiri berkaitan dengan wacana kekuasaan Soeharto. Sanggit dipergunakan dalang untuk menanggapi wacana kekuasaan Soeharto. Penelitian ini mengkaji konsep lsquo;pengendalian diri rsquo; Soeharto yang beroperasi dan berkelindan dalam lakon Semar Mbabar Jatidiri, sanggit dalang untuk menghadapi wacana kekuasaan Soeharto, dan alih wahana pergelaran lakon Semar Mbabar Jatidiri. Untuk membahas permasalahan dipergunakan metode kualitatif dan kerangka konseptual teoritis tentang sanggit, strategi naratif, alih wahana, wacana kekuasaan-pengetahuan, dan konsep kekuasaan dalam kebudayaan Jawa. Temuan pada penelitian adalah: Wacana kekuasaan Soeharto melalui produksi konsep lsquo;pengendalian diri rsquo; telah menggerakkan dalang PEPADI untuk mengikuti kehendaknya melakukan tindakan menggubah lakon Semar Mbabar Jatidiri. Sanggit dalang memosisikan Soeharto sebagai manusia paripurna peran sosial politiknya menjadi manusia biasa pada akhir zaman purwa sebagai gambaran akhir masa Orde Baru. Sanggit dalang mampu bernegosiasi dan mengadakan lsquo;posisi tawar rsquo; terhadap wacana kekuasaan Soeharto. Transformasi teks konsep lsquo;pengendalian diri rsquo; Soeharto ke naskah lakon dan pergelaran mengalami perubahan tokoh-penokohan, pengadegan, latar, ekspresi ginem, janturan; pocapan, gendhing, sulukan, dan sabet.

ABSTRACT
On January 21, 1995 Soeharto discouraged the concept of 39 self control 39 as a means of internalizing Pancasila through wayang kulit purwa. The Indonesian Pedalangan Union interpreted Soeharto 39 s concept of 39 self control 39 by composing the play Semar Mbabar Jatidiri . The production of manuscripts of pedalangan and performances of wayang kulit purwa plays Semar Mbabar Jatidiri related to the discourse of Soeharto 39 s power. Sanggit used dalang to respond to the discourse of Soeharto 39 s power. This study examines Soeharto 39 s concept of 39 self control 39 which operates and connects in Semar Mbabar Jatidiri, a dalang2mastermind to face the discourse of Soeharto 39 s power, and over the play of Semar Mbabar Jatidiri. To discuss the problems used the qualitative method and theoretical conceptual framework of sanggit, narrative strategy, intertextuality, power knowledge discourse, and power concept in Javanese culture. The findings of the research are The discourse of Soeharto 39 s power through the production of the concept of 39 self control 39 has driven the puppeteer The Indonesian Pedalangan Union to follow his will to do the composing act of Semar Mbabar Jatidiri. Sanggit dalang positioned Soeharto as a plenary man of his social political role to become an ordinary human at the end of the purwa era as a picture of the end of the New Order period. Sanggit dalang able to negotiate and hold 39 bargaining position 39 to the discourse of Soeharto 39 s power. The transformation of Soeharto 39 s concept of 39 self control 39 into play script and performances undergoes character change, characterization, series of events on the scene, setting, ginem expression, janturan pocapan, gendhing, sulukan, and sabet."
2017
D2350
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunu Wasono
"Salah satu rubrik yang terdapat dalam majalah Panjebar Semangat adalah Alaming Lelembut. Pada rubrik ini, dimuat dongeng lelembut yang berkisah tentang lelembut dalam kaitannya dengan manusia. Disertasi ini berusaha mengungkapkan ciri yang menandai dongeng lelembut. Di samping itu, disertasi ini juga menunjukkan fungsi dongeng lelembut bagi Panjebar Semangat dan masyarakat Jawa. Dengan pendekatan tekstual dan sosiologis terungkap bahwa dongeng lelembut menunjukkan ciri sebagai berikut. Dongeng lelembut menampilkan tokoh jenis arwah gentayangan dan nonarwah gentayangan yang tersaji dalam pola cerita yang sama dan berulang dengan latar kisah pada malam hari. Unsur seram yang juga menjadi salah satu ciri dihadirkan melalui penggambaran rupa tokoh yang menjijikkan, pelukisan peristiwa dan suasana yang nyalawadi aneh dan tidak masuk akal. Namun, gambaran yang seram itu diimbangi dengan kehadiran unsur seks sebagai rempah-rempah dan bumbu penyedap cerita. Terkait dengan posisinya sebagai pengisi atau bagian dari Panjebar Semangat, dongeng lelembut bersama dengan rubrik lainnya berfungsi menjaga/mempertahankan eksistensi Panjebar Semangat. Di samping itu, secara sosiologis dongeng lelembut juga berfungsi sebagai sarana menghibur pembaca dan menanggapi berbagai masalah sosial dalam kehidupan masyarakat Jawa.
'Alaming Lelembut' is one of many rubrics in Panjebar Semangat magazine.This rubric contains 'dongeng lelembut' or lelembut fairy tale, a story about lelembut or supernatural beings in relation to humans. This dissertation tried to express the traits that mark lelembut fairy tale. In addition, this dissertation also shows the function of lelembut fairy tale for Panjebar Semangat magazine and the Java community. With textual and sociological approach revealed that the lelembut fairy tale shows the following characteristics. Lelembut fairy tale featuring character type of spirits roaming and non spirits roaming presented in pattern and repeating the same story with the background story of the night. Spooky elements who also became one of the characteristics presented through visual depiction disgusting figures, depictions of the events and atmosphere nyalawadi odd and unreasonable. However, the grim picture was offset by the presence of the element of sex as spices and seasonings story. Lelembut fairy tales along with other rubric serves to keep or maintain the existence Panjebar Semangat magazine. Sociologically, lelembut fairy tale also serves as a means of entertaining the reader, and respond to social problems in the Javanese community. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2412
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurmalisa
"Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan identitas ketegalan yang terlihat sebagai strategi budaya dalam memposisikan puisi tegalan yang berkontestasi dengan budaya dominan. Korpus penelitian berupa tiga antologi puisi tegalan yaitu Ruwat Desa (1998), Ngranggeh Katuranggan (2009), dan Ganti Lakon Sintren dadi Ratu (2014). Melalui pendekatan strukturalisme dan analisis stilistika, diketahui bahwa puisi tegalan ditulis dengan menggunakan bahasa tegalan, yang dipengaruhi oleh gaya puisi Indonesia modern, dan menjadi media untuk merepresentasikan identitas ketegalan. Kajian semiotik pada struktur teks puisi tegalan memperlihatkan adanya objek yang dibaca sebagai penanda semiosis dalam setiap antologi yang mengkonstruksi identitas ketegalan, yaitu identitas bahasa, identitas budaya, dan identitas wong cilik. Sebagai subbahasa Jawa, bahasa tegalan diposisikan marginal dan dilekati stigma negatif sebagai bahasa kelas rendah yang kasar, tidak santun, dan apa adanya. Di sisi lain, stigma ini dimanfaatkan untuk merepresentasikan identitas budaya Tegal dalam teks puisi dan pemosisian orang Tegal sebagai wong cilik yang terdominasi. Antologi puisi tegalan tidak hanya menyajikan simbol-simbol yang bermakna konotasi, tetapi juga menjadi cara menyajikan mitos. Mitos-mitos yang ada di dalam teks memperlihatkan ideologi perlawanan terhadap budaya dominan. Dengan demikian, puisi tegalan merupakan salah satu wujud budaya yang memperlihatkan resistensi, kontestasi, dan eksistensi sastrawan tegalan dalam mengkonstruksi identitas budayanya, sekaligus memosisikan sastra tegalan dalam khazanah kesusastraan Indonesia dan daerah.

This study aims to reveal the identity of Tegalness, which is seen as a cultural strategy in positioning Tegalan poetry that contests the dominant culture. The corpus of this research is taken from three tegalan poetry anthologies titled Ruwat Desa (1998), Ngranggeh Katuranggan (2009), and Ganti Lakon Sintren Dadi Ratu (2014). Through structuralism and stylistics approach, it is clear that tegalan poetry, which is written in tegalan language, influenced by modern Indonesian poetry, is a medium to represent tegalness identity. The semiotic study on the structure of Tegalan poetry shows the existence of the object that is read as semiosis markers in each anthology that constructs tegalness identity; language identity, cultural identity, and poor people identity. As a sub-language of Java, Tegal language has been positioned marginally with many negative stigmas. This language is known as a low-class language which is rude, disrespectful, and as it is. On the other hand, this stigma is also used to represent the cultural identity of Tegal people through the text of poetry. It also relates to the positioning of the people as the dominant underprivileged community. The anthology of tegalan poetry not only presents symbols with connotations but also becomes a way of presenting myths. The myths inside the text show the ideology of resistance to the dominant culture. Thus, tegalan poetry is a culture that shows resistance, contestation, and the existence of tegalan writers in constructing their cultural identity, as well as positioning tegalan literature in the Indonesian literature and local languages."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurmalisa
"Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan identitas ketegalan yang terlihat sebagai strategi budaya dalam memposisikan puisi tegalan yang berkontestasi dengan budaya dominan. Korpus penelitian berupa tiga antologi puisi tegalan yaitu Ruwat Desa (1998), Ngranggeh Katuranggan (2009), dan Ganti Lakon Sintren dadi Ratu (2014). Melalui pendekatan strukturalisme dan analisis stilistika, diketahui bahwa puisi tegalan ditulis dengan menggunakan bahasa tegalan, yang dipengaruhi oleh gaya puisi Indonesia modern, dan menjadi media untuk merepresentasikan identitas ketegalan. Kajian semiotik pada struktur teks puisi tegalan memperlihatkan adanya objek yang dibaca sebagai penanda semiosis dalam setiap antologi yang mengkonstruksi identitas ketegalan, yaitu identitas bahasa, identitas budaya, dan identitas wong cilik. Sebagai subbahasa Jawa, bahasa tegalan diposisikan marginal dan dilekati stigma negatif sebagai bahasa kelas rendah yang kasar, tidak santun, dan apa adanya. Di sisi lain, stigma ini dimanfaatkan untuk merepresentasikan identitas budaya Tegal dalam teks puisi dan pemosisian orang Tegal sebagai wong cilik yang terdominasi. Antologi puisi tegalan tidak hanya menyajikan simbol-simbol yang bermakna konotasi, tetapi juga menjadi cara menyajikan mitos. Mitos-mitos yang ada di dalam teks memperlihatkan ideologi perlawanan terhadap budaya dominan. Dengan demikian, puisi tegalan merupakan salah satu wujud budaya yang memperlihatkan resistensi, kontestasi, dan eksistensi sastrawan tegalan dalam mengkonstruksi identitas budayanya, sekaligus memosisikan sastra tegalan dalam khazanah kesusastraan Indonesia dan daerah.

This study aims to reveal the identity of Tegalness, which is seen as a cultural strategy in positioning Tegalan poetry that contests the dominant culture. The corpus of this research is taken from three tegalan poetry anthologies titled Ruwat Desa (1998), Ngranggeh Katuranggan (2009), and Ganti Lakon Sintren Dadi Ratu (2014). Through structuralism and stylistics approach, it is clear that tegalan poetry, which is written in tegalan language, influenced by modern Indonesian poetry, is a medium to represent tegalness identity. The semiotic study on the structure of Tegalan poetry shows the existence of the object that is read as semiosis markers in each anthology that constructs tegalness identity; language identity, cultural identity, and poor people identity. As a sub-language of Java, Tegal language has been positioned marginally with many negative stigmas. This language is known as a low-class language which is rude, disrespectful, and as it is. On the other hand, this stigma is also used to represent the cultural identity of Tegal people through the text of poetry. It also relates to the positioning of the people as the dominant underprivileged community. The anthology of tegalan poetry not only presents symbols with connotations but also becomes a way of presenting myths. The myths inside the text show the ideology of resistance to the dominant culture. Thus, tegalan poetry is a culture that shows resistance, contestation, and the existence of tegalan writers in constructing their cultural identity, as well as positioning tegalan literature in the Indonesian literature and local languages."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M Misbahul Amri
"ABSTRAK
Disertasi ini bertujuan untuk memahami arti ritual ?Mungel? wayang Mbah
Gandrung, pemertahanan, dan pewarisannya. Ritual tersebut berpusat di Desa
Pagung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Untuk itu, dilakukanlah penelitian
kualitatif dengan pendekatan etnografi dalam perspektif ?drama sosial?. Temuan
penelitian menunjukkan bahwa ?Mungel? adalah ?gelaran? ritual bukan ?tontonan?.
Oleh sebab itu, ?Mungel? menggunakan ?bingkai spiritual? untuk ?melaju?.
?Bingkai? tersebut berkembang menjadi ?sosial-spiritual? ketika ?gelaran?
dilaksanakan untuk rangkaian ?Grebeg Suro?. Meskipun demikian, ?Mungel? masih
dinilai sakral dan ?mandi? oleh sebagian pendukungnya, tetapi, oleh yang lain,
dinilai sebagai tindak budaya kreatif dengan meritualkannya. Meskipun demikian, ia
layak diangkat sebagai salah satu identitas budaya daerah dan tempatnya dijadikan
museum hidup oleh kedua kelompok tersebut, sehingga perlu dipertahankan dan
diwariskan

ABSTRACT
This dissertation aimed at understanding the meanings of wayang Mbah Gandrung?s
?Mungel? ritual, its safeguarding and its transmission. The ritual center is Desa
Pagung, Sub-Disctrict of Semen, Kediri District. For this purpose, ethnographic
research has been carried out. Assessed from the persective of ?social drama?, this
research has found out that ?Mungel? is a ritual, not an entertaintment. Therefore, it
uses ?spritiual frame? to ?flow?. However, it changes into ?social?spiritual frame?
when ?Mungel? takes place in ?Grebeg Suro? ceremony. Still, people consider it
either as sacred and efficaious or creative act retualized. However, it is worth taking it
as one of the regional cultural identities and the pavilion as an indigenous museum
need preserving as well as transmitting."
2016
D2182
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Qoyim
"Disertasi ini mengkaji konteks, dan fungsinya Dalang Jemblung sebagai tradisi lisan, bagi masyarakat Banyumas, Jawa Tengah. Dalang Jemblung adalah tradisi yang dituturkan dengan cara menggelar pertunjukan yang khas dalam bahasa Banyumas. Bentuk, cara penyajian, dan bahasa yang digunakan dalam pertunjukan Dalang Jemblung dari dahulu sampai sekarang tidak mengalami perubahan secara signifikan, tetapi lakon ceritanya dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan konteks perkembangan khalayaknya. Penciptaan lakon cerita dalam pertunjukan Dalang Jemblung dilakukan sekaligus dengan penuturannya. Lakon yang dibawakan dalam pertunjukan Dalang Jemblung diciptakan atas kondisi yang kontekstual. Struktur pertunjukan Dalang Jemblung terdiri atas: bagian pendahuluan, bagian isi, dan bagian penutup. Dalang menciptakan jalannya cerita yang akan dilakonkan dalam pertunjukan dengan cara tidak menghafal, tetapi memanfaatkan persediaan formula di dalam ingatannya. Formula yang digunakannya berupa formula dalam dan formula luar. Pewarisan Dalang Jemblung dilakukan secara otodidak antara Dalang terdahulu dengan Dalang kemudian melalui proses mendengarkan penuturan, melakukan penuturan, dan mendialogkan hasil penuturan antar generasi Dalang. Adanya satu kesatuan konteks yang saling memengaruhi antara Dalang, penonton, penyelenggara pertunjukan, kesempatan pertunjukan, waktu dan tempat pertunjukan, imbalan jasa pertunjukan, dan inovasi pertunjukan menjadikan Dalang Jemblung dapat tetap bertahan hidup di dalam masyarakat Banyumas. Dalang Jemblung yang dikhawatirkan akan mati bahkan punah, ternyata masih berfungsi di dalam kehidupan masyarakat Banyumas dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakatnya. Fungsi-fungsi itu berguna bagi pembentukan karakter dan identitas panginyongan pada masyarakat Banyumas khususnya dan bagi pembentukan karakter bangsa Indonesia pada umumnya.

This dissertation examines the context and function of Dalang Jemblung as an oral tradition, for the people of Banyumas, Central Java. Dalang Jemblung is a tradition that is spoken by performing a peculiar show in Banyumas language. The form, way of presentation, and the language used in Dalang Jemblung 39;s show from the beginning until recent time has not changed significantly, but the story can change from time to time in accordance with the context of the development of the audience.The creation of story in Dalang Jemblung shows is done at once with the narration. The story performed in Dalang Jemblung 39;s show were created on contextual conditions. The performance structure of Dalang Jemblung consists of: the prologue, the contents, and the epilogue. The Dalang creates the story that will be performed in the show by not memorizing, but using the formula in his memory. Formula used in the form of inner formulas and outer formulas. The inheritance of Dalang Jemblung is done autodidactically between the former Dalang and the recent Dalang through the process of listening, telling, and dialogue between generations of Dalang.The existence of a unified context that affects the Dalang, the audience, the performance organizers, the performance opportunities, the time and place of the performance, the rewards of performing services, and the performance innovation make Dalang Jemblung able to survive in Banyumas society. Dalang Jemblung who is feared to be extinct, was still fully functioning in the life of Banyumas society from time to time in accordance with the demands of society change. These functions are useful for the formation of character and identity of panginyongan in Banyumas society in particular and for the character formation of Indonesian nation in general."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
D2447
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library