Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Wahyuni
Abstrak :
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR) dalam Pasal 7 ayat (1) UUPR disebutkan bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya. Dalam hal ini, sempadan sungai termasuk dalam kawasan lindung. Namun dengan banyaknya permukiman disepanjang tepi sungai kota Jakarta, akibat yang ditimbulkan menurunnya kualitas lingkungan pada kawasan daerah aliran sungai serta tepi sungai. Penulisan ini membahas tentang hukum perencanaan tata kota yang berkaitan dengan penataan permukiman di daerah bantaran kali Jakarta Utara, antara lain apakah terdapat harmonisasi dan sinkronisasi hukum dari berbagai regulasi yang berkaitan dengan perencanaan tata kota dalam hal rencana penataan permukiman di daerah bantaran kali kemudian masalahmasalah apa sajakah mengenai hukum dan non hukum yang timbul dalam penataan permukiman di wilayah bantaran kali Jakarta Utara dan bagaimana upaya menyelesaikannya. Berkaitan dengan perencanaan tata kota dalam hal rencana penataan permukiman di daerah bantaran kali Jakarta utara belum dapat dikatakan terdapat keharmonisan dan sinkronisasi hukum. Dalam pelaksanaan penataan ruang berkaitan dengan permukiman di daerah bantaran kali Jakarta Utara mengalami masalah yang cukup pelik karena begitu banyak faktor-faktor yang saling berkaitan tumpang tindih didalamnya. Masalah hukum dan non hukum, mengenai masalah hukum berkaitan dengan lemahnya penegakan hukum, kurangnya profesionalitas aparat penegak hukum, dan kurangnya kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat. Kemudian mengenai masalah non hukum berkaitan dengan masalah kependudukan, permukiman kumuh, pencemaran sungai, banjir. Permukiman sebagai wadah kehidupan manusia bukan hanya menyangkut aspek fisik dan teknis saja tetapi juga aspek-aspek sosial, hukum, ekonormi dan budaya. Upaya yang dilakukan dalam menangani masalah dalam penataan ruang berkatan dengan permukiman di daerah bantaran kali Jakarta Utara, tidaklah mudah sebab antara masalah yang satu dengan yang lainnya saling memiliki keterkaitan. Di butuhkan peran serta yang dilakukan tidak hanya oleh pemerintah tapi juga melibatkan masyarakat dan pihak swasta untuk mengatasi berbagai masalah tersebut.
According to the law of 24 the year 1992 about space ordering (Penataan Ruang/ UUPR) in paragraph 7 article (1) UUPR, it is mentioned that the main function of space ordering covering patronage region and cultivation. However, because o lot of residences along river side of Jakarta, the environment quality of that region is descending. This paper is about the planning law of city order that related to residences order at flood plain of river in port Jakarta, i.e. is there an harmonizing and synchronizing of law from any regulation that related to the planning law of city order in program of residence order at flood plain of river and then what kind of matters of law and non law that appear in ordering residences at flood plain of river in north Jakarta and what are the solutions. In the case of residence order at flood plain of river in north Jakarta, there is no a harmonized and synchronized of law. There are too many complex factors in giving implementation of residence order at flood plain of river in north Jakarta. In matter of law, less professionalism of the apparatus of law, and less consciousness and culture of law of citizen, become a reason of those factors. In the matter of non law it related to demography, vile residences, soiled river and flood. Residences as place of human living is not just about physically and technically aspect but also is about the aspect of social, law, economy and culture. It is not easy to take in hand the matter of space order that in line with residence at flood plain of river in north Jakarta one problem and another is link to each other. It needs contribution not only from the government but also from community it self and private to give solutions towards those kinds of problems.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Ulises
Abstrak :
Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan memberikan hak menguasai atas hutan kepada Pemerintah Cq Departemen Kehutanan untuk mengelota atau mengurus kawasari hutan Negara, sementara Pasat 67 mengakui hak Masyarakat Hukum Adat untuk mengetola atau mengurus hutan adatnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 16801Menhut-III/2002, tanggal 26 September 2002 KPKS Bukit Harapan diberi Ijin Usaha Perkebunan atas lahan seLuas 23.000 hektar di Propinsi Sumatera Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kecamatan Padang Lawas. Namun karena dinilai telah melanggar peruntukan fungsi hutan dari hutan produksi menjadi lahan perkebunan, maka berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 3.419/Menhut-II/2004, tanggal 13 Oktober 2004, Ijin Usaha Perkebunan atas nama KPKS Bukit Harapan dicabut. Dasar hukum sanksi pencabutan Ijin Usaha Perkebunan adalah Pasal 4 Jo. Pasal 10 Undang-Undang Kehutanan, Gouvernemen Besluit No. 50/1924, dan Kepmenhut No. 9231KptsfUm/1211982, tanggal 27 Desember 1982 tentang penunjukan areal hutan di wilayah Propinsi Dati I Sumatera Utara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Pencabutan Ijin Usaha Perkebunan tersebut pada akhirnya di bawa ke Pengaditan Tata Usaha Negara. KPKS Bukit Harapan menggugat mengacu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Tujuan Penulisan Tesis ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah penerapan kebijakan Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan terhadap pengelotaan hutan yang didalamnya terdapat hutan adat dari Masyarakat Hukum Adat di Hutan Padang Lawas, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sehingga memperoleh gambaran objektif atas pencabutan Ijin Usaha Perkebunan didasarkan pada peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dengan membahas, bagaimanakah sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan yang mengatur hutan adat dengan kebijakan pengelotaan hutan produksi, dan bagaimanakah penyelesaian sengketa benturan kepentingan antara Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan dengan Masyarakat Hukum Adat terhadap pengelotaan hutan produksi di Kecamatan Padang Lawas Tapanuli Selatan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T 19651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rieke Budiman
Abstrak :
Keterbatasan lahan dan kebutuhan vital rakyat akan perumahan mendorong pembangunan rumah susun saat ini berkembang dengan pesat di kota-kota besar khusunya di DKI Jakarta. Rumah susun dengan fasilitas dan dan spesifikasi unit yang dibangun dengan standar menengah keatas lebih popular dengan sebutan apartemen oleh masyarakat luas. Apartemen dibangun oleh developer dan berpindah haknya kepada pembeli melalui serangkaian proses jual beli. Pada kebanyakan apartemen yang dibangun di Jakarta rangkaian proses jual beli tersebut telah dimulai bahkan sebelum apartemen itu mulai dibangun sehingga diperlukan pengikatan jual beli sebelum dilaksanakan jual beli. Demikian pula pada Apartemen Maple Park Jakarta Utara. Proses jual beli pada Apartemen Maple Park Jakarta Utara didahului oleh penandatangan perjanjian pengikatan jual beli apabila calon pembeli telah membayar harga pengikatan minimal dua puluh persen dari seluruh harga pengikatan. Kemudian apabila calon pembeli ingin menempati unit yang dipesannya namun ia belum melunasi harga pengikatan maka harus menandatangani perjanjian pinjam pakai. Untuk menganalisa permasalahan tersebut dilakukan penelitian dengan metode deskriptif analitis dan data yang di peroleh dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Penjualan satuan rumah susun sebelum diperoleh ijin layak huni adalah melanggar pasal 18 undang-undang rumah susun nomor 16 tahun 1985 namun dalam kepmen negara perumahan rakyat nomor 11/KPTS/1994 mengatur bahwa jual beli tetap dapat dilaksanakan namun dengan didahului pengikatan jual beli. Penggunaan perjanjian pinjam pakai dalam proses jual beli pada Apartemen Maple Park tersebut tidak tepat karena tidak sesuai dengan pasal 1740 Kitab Undang-Undang Perdata yang mendefinisikan bahwa pinjam pakai adalah perjanjian sepihak dimana pihak yang satu menyerahkan penguasaan atas suatu barang secara cumacuma sedangkan pada perjanjian pinjam pakai Apartemen Maple Park mensyaratkan bahwa selama pinjam pakai berlangsung calon pembeli harus melunasi angsuran kepada developer.
Limited land and vital needs of the people for residential units will encourage the development of residential flats is currently growing rapidly in big cities especially in DKI Jakarta. Flats with facilities and specification units are built with high standards and above is more popular as the apartment by the public. Apartments built by developers and move its right to the buyer through a series of buying and selling process. In most apartments are built in Jakarta a series of buying and selling process has been started even before the apartment was built so it is necessary in the binding sales and purchase prior to the sale and purchase. Likewise, at Maple Park Apartments in North Jakarta. The process of buying and selling at Maple Park Apartments in North Jakarta is preceded by the signing of the sales and purchase agreement if the prospective buyer has paid the price of the binding of at least twenty percent of the total price of the binding. Then, when prospective buyers want to occupy the unit had ordered but not yet paid the redemption price he had to sign a lend use agreement. To analyze these problems is descriptive analytical research method and data obtained were analyzed using a qualitative approach. Sales of apartment units before a suitable for habitation permit is obtained is violating article 18 of law number 16 in 1985 flats but the secretary of public housing decree number 11/KPTS/1994 states that the sale and purchase can still be yet to be preceded in the purchase by binding sale and purchase agreement. Use of lend use agreements in the process of buying and selling at Maple Park Apartments are not appropriate because it is not in accordance with article 1740 Book of Civil Law which defines that lend use is a unilateral agreement whereby one party that gave possession of the goods free of charge while in agreement Maple Park Apartments lend use requires that lend use during ongoing prospective buyer must repay the installments to the developer.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Pratiwi
Abstrak :
Pembangunan daerah merupakan isu yang paling sering kita temui dalam beberapa dekade kepemimpinan di Negara ini, seiring dengan bergantinya kepemimpinan pemerintahan, pembangunan daerah tetap merupakan salah satu tugas yang turun temurun ingin diwujudkan agar dapat bertahan dalam era global yang serba dinamis dan selalu berkembang demi menunjang kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan pembangunan daerah tersebut tentunya harus membutuhkan tanah yang menjadi tapak dari terciptanya suatu pembangunan, namun pada kenyataannya tanah yang tersedia seringkali tidak memadai, sehingga diperlukan tanah masyarakat guna pembangunan tersebut, yang disebut juga pengadaan tanah yang menurut undangundang dilakukan oleh pemerintah dengan memberi ganti rugi kepada masyarakat yang memegang hak atas tanah tersebut. Dalam pengadaaan tanah demi kepentingan umum inilah yang sering menimbulkan masalah penentuan ganti rugi yang dilakukan melalui konsinyasi (penitipan). Penggunaan lembaga konsinyasi merupakan salah satu cara untuk memaksa masyarakat dalam rangka pengambilan tanah masyarakat. Konsinyasi seperti diatur dalam Pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, merupakan opsi yang ditawarkan oleh undang-undang bagi debitur untuk melunasi piutang terhadap kreditur, dengan kondisi kreditur menolak penawaran mempayaran yang dilakukan oleh debitur, sehingga jika berpedoman pada pengertian konsinyasi pada Pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kita wajib menelaah lebih jauh apakah penerapan lembaga konsinyasi memang dapat diterapkan dalam masalah penentuan ganti rugi yang belum memenuhi syarat musyawarah untuk mufakat. Karena hal tersebut lembaga konsinyasi yang diterapkan dalam hal pengadaan tanah sesungguhnya adalah suatu masalah yang karenanya peraturan harus dikaji ulang oleh pemerintah agar tidak lagi terjadi perampasan tanah masyarakat yang seolah-olah diperoleh sesuai prosedur, sehingga pemerintah diharapkan agar dapat menciptakan peraturan-peraturan yang berpihak pada rakyat sehingga kepantingan rakyat dapat terwakili.
Regional development is an issue that most often come across us in decades of leadership in this country, along with turnover of leadership of government, regional development remains as one of hereditary task to be realized in order to survive in a global era that completely dynamic and evolving in order to support welfare community. To achieve such regional development, it certainly need land that became the site of development creation, but in reality the available land is often inadequate, so that community land needs to be used in the development, also called as land acquisition according to the laws made by government by giving compensation to people who hold rights of the land. This land procurement for public interest is often occuring problematic determination of compensation made through consignment (deposit). The use of consignment institute is one way to force people in order to acquisite community land. Consignment as set out in Article 1404 of Civil Act, is an option offered by the law for debtor to repay its debts toward creditors, in condition that creditors rejected the payment offered by debtor, so if guided by consignment definition at Article 1404 of Civil Act we must further examine whether the application of consignment institute can be applied in compensation determining problem that have not qualified for deliberation and consensus. Because of that, consignment institute which is applied in land acquisition matter is indeed a problem that made the rules should be reviewed by government so that community land expropriation is no longer happening that seems obtained according to procedure, so government is expected to create regulations that support people so that people?s interest can be represented.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Oktavia
Abstrak :
Pendaftaran tanah bertujuan memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pemiliknya. Data yang terkumpul dan tersedia selalu dipelihara dan disesuaikan dengan perubahan, sehingga mudah sekali mendapatkan informasi yang diperlukan. Dalam kenyataannya tanah yang telah didaftarkan dan bersertifikat masih bisa digugat oleh pihak lain, seperti kasus sengketa tanah antara Tuan Deny Azani B. Latief S.H. yang mempunyai sertifikat Hak Milik Nomor 17 dengan Nyonya Saurlina Hutasoit yang memiliki Akta Jual Beli No.605/ ES/ AK-75/ VII/ 1983 atas sebidang tanah yang terletak di Desa Mangun Jaya, Kecamatan Tambun Bekasi, Jawa Barat. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melihat kenyataan yang telah terjadi dan kemudian mengkaji dari aspek hukumnya yang dituangkan ke dalam suatu bentuk tulisan deskriptif, yang menggambarkan permasalahan dan membahas dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sertifikat hak atas tanah bila dihadapkan dengan bukti Girik dalam suatu tuntutan atau gugatan hukum, maka seharusnya bukti girik tanpa didukung dengan bukti lainnya seperti data yuridis dan data fisik dan/atau penguasaan fisik secara terus menerus selama 20 (dua puluh) tahun, tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini. Masyarakat diharapkan lebih berhati-hati dalam membeli sebuah tanah untuk menghindari terjadinya sengketa.
Land registration is intended to give the owner a legal certainty and protection. Those gathered and available data are continually maintained and updated to the changes, therefore, it is easy to retrieve any required information. In fact, the land that has been registered and certificated still can be sued by others, such as land disputes between Deny Azani B. Latief S.H. who have land certificate number 17 with Saurlina Hutasoit who have deed of sale No.605/ ES/ AK-75/ VII/ 1983 of a land located at Desa Mangun Jaya, Kecamatan Tambun Bekasi, West Java. The method used to approach this problem is normative jurisdiction that performed by observing the facts, examines legal aspects those observed fact, and then presented the results in a descriptive writing. That descriptive writing will figure out the problems and examination of the problems as regards of their legal aspects. This research indicated that if certificate of land rights compared with Girik in court, then Girik which unsupported with other evidence like juridical data, physical data and/ or physical control during 20 (twenty) years continuously, can not be considered by judges who examine and prosecute this case. Community is expected to be more careful in buying a land to avoid disputes.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Petra
Abstrak :
ABSTRAK Penelitian dimaksud untuk mengetahui penerapan pengaturan hukum pelaksanaan Parate Eksekusi objek Hak Tanggungan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan kendala-kendala yang dihadapi bank dalam pelaksanaan lelang objek Hak Tanggungan berdasarkan Parate Esekusi Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian yuridis normatif, yaitu metode penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan jalan mengidentifikasi dan mengkualifikasi fakta-fakta. Penelitian ini dilakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu tahap penelitian kepustakaan untuk memperoleh data primer dan sekunder dan tahap penelitian lapangan. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan narasumber dan dari kepustakaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu tanpa menggunakan statistik dan matematika. Diharapkan penjelasan melalui uraian kalimat tersebut dapat dimengerti, dipahami dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hasil penelitian ini: Pertama Penerapan pengaturan parate eksekusi sudah mulai ada perubahan yakni dapat dilaksanakan, sebelumnya kewenangan PUPN (sekarang KPKNL -Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang-) sering tumpang tindih dengan kewenangan pengadilan, banyak kasus sita yang saling tindih terhadap suatu barang pada waktu yang bersamaan, padahal sesuai dengan prinsip, tidak boleh diletakan sita atas sita terhadap suatu barang dalam waktu bersamaan Dalam menyelesaikan debitur yang wanprestasi, Parate eksekusi yang dilakukan baru terhadap debitur yang diyakini tidak akan melakukan bantahan atau gugatan, dan biasanya nilai piutangnya relatif tidak besar. Kedua, Pasal 6 UUHT tentang pelasanaan Parate Eksekusi tidak konsisten dengan penjelasannya, dari sisi pelaksanaannya dilaksanakan melalui pelelangan umum tetapi juga diatur proses parate eksekusi harus menggunakan ketentuan pasal 224 HIR, kemudian mengenai pengaturan parate eksekusi, disatu sisi parate eksekusi diberikan oleh undang-undang melalui pasal 6 UUHT, di sisi yang lain parate eksekusi harus diperjanjikan dahulu. Ketiga, Kendala yang dihadapi kreditur dalam pelaksanaan Parate Eksekusi adalah adanya gugatan dan bantahan dari debitur sehingga kreditur dalam pelaksanaan parate eksekusi akan terhambat, dan memilih melaksanakan titel eksekutorial sejak awal daripada ketika sedang melakukan proses parate eksekusi harus berurusan lagi dengan pengadilan akibat gugatan atau bantahan dari pihak debitur atau pihak yang lain.
ABSTRACT The research ¡s meant to find out how ¡s the implementation of legal stipulation in the enforcement of Paratc Execution over the object of Mortgage Right in Indonesia based on Law No. 4 of the Year 1996 regarding Mortgage Right over Land together with Goods related to Land and obstacles encountered by banks in the execution of public sale (auction) over the object o f Mortgage Right based on Parate Execution. This research uses normative juridical research methodology, which is, method of research referring to legal norms contained in statutory regulations by identifying and qualifying facts. This research is conducted in 2 (two) stages, which are, documentary research stage to obtain primary and secondary data and field research stage. Data collection technique being used is by means o f interview with resource persons and from literature. Data analysis is conducted in qualitative manner which is without using statistic and mathematic. It is expccted that explanation by means of such sentences arc scientifically understandable, comprehendible and accountable. The results o f this research are: First, Implementation o f parate execution stipulation has already started to experience a change which is it can be carried out, previously, the authorities of State Receivables Affairs Committee [PUPN] (presently KPKNL - State Assets and Public Sale (Auction) Service Office) were often overlapped with the authorities o f the courts, many cases of confiscation overlap one another against certain goods at the same time, whereas according to the principle, may not be placed any confiscation on other confiscation over certain goods at the same time. In settling the case o f defaulting debtor, Parate execution is only applied to debtor who is believed that he will not assert any protestation or claim, and usually the amount of the receivables is not relatively significant. Second, Article 6 o f the Mortgage Right Law regarding the implementation of Parate Execution is not consistent with its elucidation, from the point of view of its implementation, it is conducted by means o f public sale (auction), however, it is also stipulated that parate execution process must use the provision of article 224 of HIR, and then, regarding the stipulation o f parate execution, on one side, parate execution is conferred by law through article 6 o f the Mortgage Right Law, on the other side, parate execution must first be agreed upon. Third, Obstacles encountered by creditor in the implementation o f Parate Execution are: the presence of claims and protestations from the debtor, therefore, the creditor in the implementation o f parate execution is always impeded; and to choose of carrying out executorial title from the beginning instead o f having a condition in which while in the middle of parate execution process, the creditor must once again deals with the court due to the claim or protestation from the debtor or the other party.
2008
T37127
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Salamah
Abstrak :
Pembangunan yang dilaksanakan pada saat ini pada dasarnya ditujukkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan diselenggarakan baik oleh Pemerintah maupun swasta. Salah satu faktor penting dalam menunjang pembangunan tersebut adalah pengadaan tanah, akan tetapi pelaksanaan pengadaan tanah yang ditujukan bagi pembangunan untuk kepentingan umum pada prakteknya masih memiliki kendala sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan tersebut tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam melakukan kegiatan usaha hulu migas karena masih terdapat kerancuan pengkategorian kegiatan usaha hulu migas sebagai kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Selain hal tersebut permasalahan yang sering muncul dalam pengadaan tanah bagi kegiatan usaha hulu migas adalah masalah tumpang tindih lahan dan pengklaiman kepemilikan atas satu bidang tanah oleh beberapa pihak dengan dasar bukti kepemilikan yang berbeda, dan kepastian hukum mengenai status tanah di wilayah kerja migas setelah dilakukan pensertipikatan dikaitkan dengan undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi jo. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Pada peraturan tersebut juga disebutkan bahwa pengadaan tanah untuk kegiatan usaha hulu migas dilakukan secara khusus oleh Kontraktor Production Sharing bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat, sehingga permasalahan-permasalahan yang terjadi di wilayah kerja migas menjadi tanggung jawab Kontraktor Production Sharing tersebut. Sejauh ini tanah yang telah dibebaskan oleh Kontraktor Production Sharing untuk kegiatan usaha hulu migas tidak diberikan hak apapun sehingga dapat menimbulkan konflik-konflik di bidang pertanahan. ......Development nowadays basically conducted to increase society wealth; the parties involved could be the government or Private Corporation. One of the important factors in supporting the development is land Acquisition, but in practices this activity still has obstacles as stated in Government Regulation 2005 No. 36 jo. Government Regulation 2006 No. 65 regarding Land Acquisitioning for Development realization to public interest. These regulations can not fully applied to conduct upstream activity of oil and gas sector since there?s still confusion in categorizing upstream activity of oil and gas as development realization to public interest. Another problem usually emerge in land Acquisition for upstream activity of oil and gas are an overlapping area and land ownership claimed by several parties with different proves and certainty of land statues in oil and gas working area after officially registered related with Oil and Gas Law 2001 No. 22 jo. Government Regulation 2004 No. 35 Regarding upstream activity of Oil and Gas. These regulation mentioned that land Acquisition for upstream activity of oil and gas purpose conducted by Contractor of Production sharing contract in special way cooperate with local government. It means all the problem emerged regarding land Acquisition in working area will be contractor?s liability. So far, there?s no title given for land released by the contractor of production sharing contract, and this cause the problem and conflict of land.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26168
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lucky Ariansa
Abstrak :
Tesis ini membahas pengertian dan aspek hukum dari pencabutan hak atas tanah bagi pengadaan tanah dan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum melalui hak menguasai negara. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian hukum normatif kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan Proses pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus dilakukan secara transparan dan menghormati hak‐hak yang sah. Oleh karena itu proses pelaksanaannya harus memuat empat prinsip utama, yaitu kepastian atas terselenggaranya proses pembangunan, asas keterbukaan publik dalam proses pembangunan untuk kepentingan umum, penghormatan hak atas tanah, dan aspek keadilan bagi yang menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah bagi kepentingan umum. Pembebasan tanah untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus memperhatikan kepentingan masayarakat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena Undang‐Undang Pokok Agraria dan Undang‐Undang Dasar tahun 1945 mengamanatkan pemanfaatan tanah adalah untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.
This thesis analyses the definition and legal aspect of compulsary of land rights for land acquisition and implementation of development in purpose of public interest through State‐owning right mechanism. The research employs normative‐qualitative legal methodology which results in descriptive data. The result concludes that the process of land procurement for implementation of development in purpose of public interest shall be conducted with clear transparency with due regard to all legitimate rights. Therefore the implementation process must consist of four main principles, i.e. certainty on the development process, public transparency in the development in purpose of public interest, due regards to all land rights, and fairness aspect to people who voluntarily transfer or release the land rights for the sake of public interest. Land acquittal for the acquisition for implementation of development in purpose of public interest shall recognize the community interest as well as raise the public welfare, since the Agrarian Law and the Constitution of Indonesia prescribes the use of land shall be for the welfare of the people as much as possible.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26161
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mumtazah
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini tentang perubahan fungsi bangunan gedung Senayan City yang merubah fungsi hotel menjadi perkantoran. Mengenai perubahan fungsi gedung Senayan City dari menara Apartemen menjadi perkantoran, maka harus merubah Izin Mendirikan bangunan (IMB) karena fungsi bangunan gedung tercantum dalam IMB sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil penelitian menyarankan bahwa pemerintah perlu bertindak tegas terhadap permasalahan yang timbul seputar peubahan fungsi bangunan gedung, sehingga para pemilik/pengelola gedung tidak bertindak secara leluasa melakukan perubahan fungsi tanpa melalui prosedur; Senayan City juga sebaiknya tidak merubah fungsi menara hotel menjadi apartemen dan kantor sebelum dikeluarkannya izin dari Dinas Pengawasan dan Penertiban
2010
T27912
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dahlia Ekharisma
Abstrak :
Pada saat ini di Indonesia banyak terjadi masalah pertanahan guna menjamin kepastian hukum, maka pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah untuk memberi perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Salah satu yang menjadi permasalahan dibidang pertanahan adalah sengketa mengenai kepemilikan hak atas tanah. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu dari kepustakaan serta merujuk dari putusan-putusan yang menggambarkan mengenai kegiatan pendaftaran tanah beserta berbagai permasalahan disekitarnya. Sistem publikasi negatif yang bertendens positif, yaitu sertipikat hanya merupakan alat bukti hak yang kuat dan bukan merupakan alat bukti hak yang mutlak.
At this time in Indonesia, many land problem occur in order to ensure legal certainty, therefore, the government is administering the registration of land to give legal protection to the holders of land rights. One of the problems in the field of land is a dispute regarding ownership of land rights. This research is descriptive analytic of the literature and the refer the decision that illustrate the activities of registration of land and the surrounding issues. Negative publicity system that is intended to be positive, which is the certificate, is only a strong proof of evindence but it does not constitute an absolute proof of evindece.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28077
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>