Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdil Mughis M.
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai perebutan klaim kebenaran dalam memandang semburan lumpur Lapindo yang berimplikasi terhadap bagaimana aktor-aktor mengkonstruksi tata lingkungan dan sosial akibat semburan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain pemahaman (etnografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap aktor dalam kasus Lapindo mengkonstruksi pengetahuan dalam memaknai fenomena semburan. Dengan menginspirasi teori kekuasaan Foucault, negara merupakan aktor dominan yang berkepentingan agar seluruh penyelesaian kasus mengacu pada skema Perpres. Sementara pada ranah relasi kekuasaan, Lapindo dan aktivis merupakan aktor dominan yang berkepentingan membentuk korban sebagai governable subject. Tesis ini menganalisa kasus Lapindo tanpa berpretensi berpihak pada salah satu pandangan, yang dengan itu mungkin dapat menghadirkan pandangan dalam melihat persoalan secara lebih kritis. The focus of the study is how some actors claiming the truth in looking at Lapindo mud which implicate how some actors construct environmental and social order. This research is qualitative understanding interpretive. This thesis explores how some actors construct knowledge to look at the mud flow phenomena. Inspired by Foucauldian theory of power, state is a dominant actor concern to impose the governmental rule through the case. In the light of power relation, Lapindo and activist are dominant actor concern to construct the victim as governable subject. By analyzing Lapindo case without any pretention in one of the scientist overview, this study provides critical understanding for this environmental and social problem.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T 25195
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Mardiana
Abstrak :
Pemerintah merupakan pihak yang paling berkuasa di dalam memutuskan suatu kebijakan pembangunan. Akan tetapi proses penerbitan kebijakan tidak semata-mata berdasarkan kekuasaan birokrasi pemerintah, sebab terbitnya sebuah kebijakan banyak dipengaruhi oleh berbagai hal di dalam komunitas kebijakan. Relasi sosial, kekuasaan dan uang merupakan hal-hal yang dipandang panting dan memberi pengaruh besar terhadap proses terbitnya kebijakan. Tesis ini akan menganalisiskasus kebijakan pelepasan pengembangan tanaman kapas transgenik di Sulawesi Selatan. Kajian ini menggunakan pendekatan antropologi kebijakan, yakni memandang keterkaitan antara norma dan institusi, ideologi dan kesadaran, pengetahuan dan kekuasaan, retorika dan wacana, serta makna dan interpretasi, dimana semua itu dipengaruhi oleh konteks lokal, nasional hingga global. Dalam kajian ini banyak menampilkan inspirasi dari pemikiran Foucault tentang kekuasaan yang berkaitan dengan pemberdayaan dan kebijakan. Relasi sosial dibangun oleh para pihak berkepentingan atas dasar adanya kesamaan mulai dari pemikiran, ideologi, tujuan dan kepentingan. Selanjutnya pihak berkepentingan dalam relasi sosial itu membentuk komunitas kebijakan, yakni para pihak yang membuat dan menjalankan kebijakan. Pada dasamya para pihak berkepentingan dalam komunitas kebijakan berperan sebagai aktor yang mendistribusikan kekuasaan. Diantara relasi sosial dan kekuasaan terdapat imbalan yang saling dipertukarkan oleh pihak-pihak dalam komunitas tersebut. Pertukaran atas jasa yang dikeluarkan oleh salah satu pihak, akan dikembalikan oleh pihak yang lainnya dalam bentuk uang. Dengan demikian uang menjadi alat yang diakumulasikan oleh para pihak berkepentingan terhadap suatu kebijakan. Pihak berkepentingan terhadap kebijakan produk transgenik terdiri dari pemerintah, perusahaan, akademisi/ilmuwan, LSM dan petani. Pihak berkepentingan ini terpolarisasi kedalam dua kutub, yakni kelompok pendukung kebijakan produk transgenik, dimana kelompok ini sekaligus sebagai pihak yang tergabung dalam komunitas kebijakan. Sementara di kutub yang berseberangan adalah kelompok yang mendukung prinsip kehati-hatian terhadap kebijakan produk transgenik. Kelompok yang terakhir disebutkan ini, tidak tergabung ke dalam komunitas kebijakan. Kelompok ini, justru memberikan reaksi terhadap aspek sosial-budaya kebijakan sebagai sebuah arena kontestasi kekuasan. Monsanto merupakan perusahaan pemilik paten produk transgenik, sehingga Monsanto sangat berkepentingan untuk menjalankan bisnis produk transgenik. Dengan demikian Monsanto membangun relasi sosial dengan birokrat pemerintah agar pemerintah bersedia membuatkan perangkat peraturan perundang-undangan yang mempu mendorong dilancarkannya kebijakan komersialisasi produk transgenik. `Suap' adalah Cara yang dijalankan perusahaan untuk mendorong beroperasinya kekuasaan pemerintah di dalam memutuskan kebijakan pembangunan. Disisi lain, pihak perusahaan juga membangun relasi sosial dengan pihak akademisi/ilmuwan pendukung inovasi teknologi transgenik. Kepentingan akademisi/ilmuwan mencakup penemuan inovasi teknologi, sistem paten, dan pengetahuan terhadap keilmiahan teknologi itu sendiri. Pada kenyataannya kemampuan finansial perusahaan mampu menembus birokrasi pemerintahan yang menganut paradigma pembangunan kapitalisme, sekaligus berperan sebagai pejabat birokrat yang bermental korup. Dalam implementasi di lapangan sangat nampak, birokrat pemerintah turun tangan dalam mengkampanyekan janji janji keunggulan pertanian transgenik, sehingga petani bersedia beralih menanam kepada benih jenis transgenik. Argumen yang diajukan pemerintah adalah bahwa kebijakan pertanian transgenik bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat petani. Disisi lain, kalangan akademisi/ilmuwan juga memainkan peranan sebagai pihak yang mengusung nilai-nilai kebenaran ilmiah. Melalui berbagai pernyataan kalangan akademisi/ilmuwan, pihak perusahaan berharap dapat meningkatkan opini publik mengenai citra positif produk transgenik. Guna mengantungi citra positif ini, pihak perusahaan tak segan-segan mengulirkan dana ratusan juta kepada kalangan ilmuwan baik di perguruan tinggi maupun di instansi pemerintahan, guna melakukan riset, seminar, ataupun lokakarya yang pada intinya mendukung kebijakan produk transgenik. Dalam relasi sosial dan kekuasaan yang bekerja pada masing-masing pihak berkepentingan tersebut, ada sebuah mekanisme pertukaran imbalan yang berjalan sebagai sesuatu pemberian yang wajib dibalas dengan pemberian pula. Uang adalah sebuah kata kuncinya. Perusahaan melakukan penyuapan kepada sejumlah birokrat pemerintah agar dibuatkan kebijakan yang bisa membuat dijalankannya bisnis perusahaan. Perusaliaan juga membiayai berbagai riset akademisi ilmuwan guna membeli kekuasaan yang bekerja pada pihak akademisi/ilmuwan sebagai penghasil pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran. Akan tetapi disini, baik pihak akademisi/ilmuwan maupun pemerintah tidak serta merta tunduk pada kekuasaan kapital perusahaan. Karena birokrat pemerintah dan akademisililmuwan jugs membalas pemberian uang tersebut dengan uang pula. Keberhasilan adopsi kebijakan di tingkat petani akan memberikan keuntungan bisnis kepada perusahaan dengan jumlah yang jauh berlipat-lipat. Jadi, saya melihat bahwa para pihak dalam komunitas kebijakan pada dasarnya melakukan akumulasi kapital bagi dirinya sendiri, atas beroperasinya kekuasaan yang mereka jalankan. Melihat fenomena proses penerbitan kebijakan pembangunan yang seperti ini, lantas bagaimana dengan tujuan pembangunan itu sendiri ? apakah tujuan meningkatkan kesejahteraan petani bisa terwujud ?. dalam hal ini, saya memandang bahwa kebijakan pembangunan yang lahir atas kepentingan kapitalisme global, pada akhirnya hanya akan membuat petani berada sebagai pihak yang semakin terpuruk. Petani melulu hanya dijadikan objek pembangunan. Alasan atas nama kesejahteraan rakyat, hanyalah retorika belaka. Dengan demikian, keberadaan kelompok yang menekankan prinsip kehati-hatian terhadap kebijakan produk transgenik menjadi panting keberadaannya. Kelompok yang menekankan prinsip kehati-hatian melakukan kontestasi terhadap kebijakan produk transgenik, dan menekan pemerintah agar tidak meletakkan perkembangan inovasi teknologi transgenik yang disinyalir memiliki potensi besar dalam mengatasi masalah krisis pangan, sebagai inovasi teknologi yang semata-mata bergerak atas kepentingan kapitalis. Bagaiamanapun juga, teknologi ini menyimpan potensi untuk kebaikan. Untuk itu, peraturan perundang-undangan yang ketat dalam mengatur regulasi produk transgenik serta keterbukaan dan keterlibatan publik dalam berpartisipasi terhadap kebijakan produk transgenik, tentunya diharapkan dapat lebih membuat kebijakan yang adil dan berpihak kepada kaum tani dan kelompok minoritas lainnya. Metode penelitian yang diterapkan dalam tesis ini adalah metode kualitatif. Teknik penelitian antropologi yang digunakan meliputi wawancara mendalam, analisis kasus, dan pengamatan terlibat. Selain itu juga dikumpulkan dokumen kebijakan dan pernyataan wacana yang tertuang dalam media massa ataupun makalah publikasi. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara mendetail, holistik dan komprehensif.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Supriyono
Abstrak :
Tesis ini mendiskusikan perlawanan Orang Mee di Nabire, Papua, terhadap pendatang dan negara. Dalam etnografi ini saya berargumentasi bahwa negara telah menggunakan modernitas seperti dikonsepkan oleh Zygmunt Bauman sebagai logika kulturalnya dalam usahanya membangun orang-orang Mee. Negara Indonesia mendefinisikan orang-orang Mee sebagai orang yang terbelakang dalam perbandingan dengan orang-orang dari luar Papua. Pendefinisian ini menyertakan program-program pembangunan yang difokuskan untuk menjadikan Nabire sebagai pusat pemerintahan dan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Papua. Untuk itu, pemerintah mengirimkan migran dari luar Papua sebagai tenaga kerja yang diharapkan bisa mengimbaskan keunggulannya kepada penduduk setempat. Pertemuan dengan para migran kadang dialami sebagai pengukuhan stigma sebagai 'orang primitif', membuahkan rasa didiskriminasi, dan terancam oleh orang Mee. Logika modernitas direproduksi oleh orang-orang Mee untuk melawan pendatang dan negara. Mereka pun membuat batas pada pendatang dan negara dalam rangka membangun tatanan (order) mereka. Mereka menegaskan identitas diri sebagai orang asli Papua sedangkan negara dan pendatang mereka klasifikasikan sebagai non-Papua. Narasi-narasi mereka mengungkapkan perlawanan. Perlawanan orang-orang Mee terhadap pendatang dan negara memperlihatkan modernitas vs. modernitas.
This thesis discusses the resistance of Mee people in Nabire, Papua, against migrans and Indonesia state. In this ethnography I argue that the state has been using modernity as conceived by Zygmunt Bauman as its cultural logic in its attempt to improve the Mee people. Indonesian state defines Mee people as 'undeveloped' in comparison to non-Papuan migrans. This act of defining brings in it some development programs which is focused on making Nabire as a centre of administration and one of centres of economic growth in Papua. For these purposes, the government of Indonesia places non-Papuan migrans as main labor expected to be able to induce their excellence to the locals. Encounters with migrans sometimes is experienced as a fixation of stigma as 'primitive people', causes the feeling of being discriminated, and being threatened. The logic of modernity has been reproduced by the Mee people to resist the state and migrans.The Mee people draw boundaries against migrans and state in their attempts to set an order. They assert their identity as indigenous people of Papua while classifying state and migran as non-Papua. Their narratives express resistance. Mee people's resistance toward migran and state demonstrates modernity vs. modernity.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Nur Hamidah
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini bermaksud untuk melengkapi studi-studi sebelumnya terkait dengan migrasi ketenagakerjaan yang seringkali mengungkapkan alasan ekonomi seseorang untuk bermigrasi ke luar negeri. Pengambilan keputusan seseorang untuk bermigrasi ataupun tidak adalah salah suatu proses yang penting dipahami untuk menjelaskan mengapa marak kegiatan migrasi ke luar negeri, khususnya pada warga desa Kebondalem, Kabupaten Banyuwangi. Metode Etnografi yang digunakan dalam pengumpulan data menemukan sejumlah kesimpulan. Pertama, faktor jender sangat berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan seseorang untuk bermigrasi. Berdasarkan temuan lapang, terdapat gendered migration regime yang membuka luas kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dibandingkan laki-laki untuk bekerja ke luar negeri. Faktor yang berpengaruh besar adalah perempuan dapat bermigrasi ke luar negeri tanpa mengeluarkan biaya, bahkan mereka mendapatkan uang saku. Hal tersebut menciptakan ketidaksetaraan akses antara laki-laki dan perempuan untuk bermigrasi ke luar negeri. Kedua, ketika seseorang memutuskan bermigrasi ke luar negeri maka perempuan menegosiasikan peran dan pembagian kerja dengan suaminya dalam rumah tangga yang berakibat relasi jender dalam tingkat rumah tangga berubah. Ketiga, bagi perempuan Desa Kebondalem yang memutuskan bermigrasi ke luar negeri memiliki alasan selain faktor non-ekonomi, juga didorong oleh keinginan untuk bebas dari hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan domestik tidak bernilai ekonomi dalam rumah tangga, namun kebebasan ini tidak permanen. Hal ini yang saya sebut sebagai ldquo;sense of freedom from domesticity rdquo;.Kata Kunci: pekerja migran, pengambilan keputusan, agensi, jender, pembagian kerja dalam rumah tangga.
ABSTRACT
This thesis aims to complement previous studies about migration that often focuses on economy issues which make a person decides to migrate. The decision of a person to migrate or not is one of the important processes that needs to be understood in order to explain why migration activity abroad is increasing, especially in Kebondalem villagers, Banyuwangi, East Java. The ethnographic methods used in the process of data collection found several conclusions. First, gender factor is very influential in the decision making process of a person to migrate. Based on the field finding, there is a gendered migration regime that opens wide opportunities for women to work, but not for men. Factor that has a big impact is women can migrate overseas without paying a fee and they are given money by migrant worker placement agencies. It created an inequality access between men and women to migrate abroad. Second, when a person decided to migrate abroad, the woman always negotiates the role and division of labor with her husband in a household that makes a gender relationship in the household level has changed. Third, for women in Kebondalem Village who have decided to migrate abroad, they have reason except non economic factor, they have the desire to be free from domestic work in the household, but this freedom is not permanent. This is what I call the ldquo sense of freedom from domesticity rdquo .Keywords migrant workers, decision making process, agency, gender, division of labor in the household
2018
T51222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Hastarika
Abstrak :
Selama ini penelitian broker lebih banyak membicarakan tentang praktik-praktik broker dan karakter mereka di dalam masyarakat. Tesis ini tidak ingin melanjutkan perdebatan tersebut, melainkan mempertanyakan hal mendasar yang belum cukup dikaji secara mendalam, yaitu proses-proses sosial yang dialami oleh seorang aktor hingga menjadi seorang broker. Oleh karena itu tesis ini melokasikan broker ke dalam perdebatan tentang jaringan sosial dan kekerabatan, bukan transaksi ekonomi atau perebutan sumber daya. Dengan metode otoetnografi, saya memanfaatkan konsep-konsep trauma, alienasi, dan teori agensi-struktur Sherry B. Ortner sebagai pijakan penelitian. Tujuannya agar kita bisa memahami bagaimana nilai dan kepribadian seseorang, yang dilatari budaya dan sejarah personalnya, membentuk agensinya ketika memposisikan diri dalam masyarakat sebagai seorang broker. Memahami proses sosial yang dialami seorang broker saat berhadapan dengan struktur-struktur, termasuk perbedaan kelas dan privilese, juga bermanfaat untuk memahami mengapa di dalam sebuah jaringan sosial bisa terdapat beberapa broker yang praktik dan karakteristiknya jauh berbeda, dan bagaimana relasi di antara mereka terbentuk ketika harus mempertahankan posisi dan kekuasaannya. .....So far, many researches on broker have mostly talked about brokers’ practices and their character in society. This thesis is not a continuation of such debate, but rather questioning a fundamental issue that has not been sufficiently studied in depth, namely the social processes experienced by an actor while becoming a broker. This thesis therefore locates brokers in the debate about social networks and kinship, not economic transactions or struggles of resource. Using the autoethnographic method, I utilize the concepts of trauma, alienation, and Sherry B. Ortner's agency-structure theory as research bases. The goal is to understand how a person’s values and personalities, backgrounded by his/her culture and history, eventually shape his/her agency when positioning him/herself in society as a broker. Understanding the social processes that a broker goes through when dealing with structures, including class and privilege differences, is also useful for understanding why within a social network there can be several brokers whose practices and characteristics are very different, and how the relationship between them is shaped when they have to maintain their position and power.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Diah Andini
Abstrak :
Budidaya lobster merupakan mata pencaharian baru masyarakat Pulau Serangan. Aktivitas ini mulai dilakukan oleh masyarakat Pulau Serangan semenjak dikeluarkannya SK Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai langkah untuk menguatkan ekonomi nasional di tengah pandemi covid 19 yang melanda Indonesia. Tesis ini mencermati permasalahan yang berkaitan mengenai isu mata pencaharian masyarakat dan keberlanjutan sumber daya alam di suatu wilayah tertentu. Dengan menggunakan metode penelitian etnnografi yang memfokuskan pada konsep akses sebagai kemampuan dan individual adaptability. Tesis ini memperlihatkan keterlibatan dari lembaga, organisasi, dan kebijakan terkait budidaya lobster serta kemampuan akses dan adaptability sebagai strategi saat menghadapi pandemi Covid 19.  ......Lobster cultivation is a new livelihood for Serangan Island community. This activity has been carried out since the issuance of Decree Number 53/KEP MEN-KP/2020 concerning the Due Diligence Team for Lobster Cultivation Fisheries Business Licensing by the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries as a step to strengthen the national economy in the midst of COVID-19 pandemic. This thesis examines issues related to community livelihood issues and the sustainability of natural resources in a particular area. By using ethnographic research methods that focus on the concept of access as an ability and individual adaptability. This thesis shows the involvement of institutions, organizations, and policies related to lobster cultivation as well as the ability to access and adaptability as a strategy when facing the Covid 19 pandemic.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartanto Rosojati
Abstrak :
Banda adalah cerminan wilayah yang mengalami proses penguasaan sumber daya alam pada masa kolonial. Setelah kolonialisasi berakhir, penguasaan sumber daya tidak hanya terletak pada konteks sumber daya alam yang dikategorikan sebagai komoditi. Muncul heritage tourism sebagai subyek kontestasi baru pada kehidupan Banda saat ini. Melalui fenomena tersebut, tesis ini berargumen bahwa proses penguasaan sumber daya heritage tourism memunculkan model kepemimpinan yang dapat dikategorikan sebagai “big man”. Selanjutnya, konsep political ecology yang lazim dipahami sebagai sebentuk proses atau keputusan politik yang dapat berpengaruh pada lingkungan, juga dapat diterapkan pada konteks heritage tourism di Banda yang dapat dikategorikan sebagai sebuah kondisi ekologis yang terdampak dari adanya proses politik. Metode pengumpulan data dilakukan melalui penelitian lapangan, serta didukung studi literatur dan studi berbasis internet. ......Banda is an area that experienced the process of dominating natural resources during the colonial period. After the era of colonialism ended, the form of control is not only about natural resources, which categorized as commodities. Heritage tourism emerged as a new form of control in Banda. This thesis argue, heritage tourism construct new leadership model that called “big man”. To elaborate heritage tourism, this thesis use the concept of political ecology which is understood as political process or decision that affect to the environment. Data collection uses field research method, literature studies, and internet-based studies.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doni Latuparisa
Abstrak :
Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana eks pengungsi asal Aceh dapat mempertahankan keberadaan mereka selama dua puluh tahun di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang dianggap pemerintah sebagai tindakan terlarang. Penelitian menggali sejarah kehadiran eks pengungsi asal Aceh di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan mengurai proses kemunculan gerakan perlawanan eks pengungsi asal Aceh terhadap pemerintah dalam mempertahankan hak atas tanah untuk pemukiman dan penghidupan. Penelitian dilakukan di Resor Sekoci Lepan, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) pada wilayah yang diklaim eks pengungsi asal Aceh. Penelitian menggunakan metode patchwork Ethnography. Data-data bersumber dari literatur yang telah ada diperkaya dengan data dari kerja lapang. Analisa data menggunakan on going analysis yaitu data yang berhasil dikumpulkan lalu dianalisis dan dikonstruksi menjadi simpulan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan eks pengungsi asal Aceh mempertahankan keberadaan mereka di dalam kawasan TNGL dikarenakan ragam bentuk strategi perlawanan yang dilakukan. Di antaranya membentuk organisasi PIPA untuk mengorganisisr strategi perjuangan seperti menciptakan local landreform, pendekatan politik, dan negosiasi. Pemerintah telah melakukan ragam upaya membebaskan kawasan TNGL dari eks pengungsi asal Aceh di antaranya upaya merelokasi dan pengusiran paksa, namun tidak berhasil. Pemerintah gagal mengeluarkan eks pengungsi asal Aceh dikarenakan jumlah eks pengungsi asal Aceh yang tidak sedikit, serta masifnya dukungan lembaga kemanusiaan terhadap keberadaan eks pengungsi asal Aceh. Selain itu, pemerintah tidak menginginkan pendekatan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan sehingga proses negosiasi dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan para pihak. ......This research describes how ex-refugees from Aceh have been able to maintain their presence for twenty years in Gunung Leuser National Park (GLNP), which is considered by the government as a prohibited act. The research explores the history of the ex-refugees from Aceh' presence in Gunung Leuser National Park and describes the process of the ex-refugees from Aceh' resistance movement against the government in defending their land rights for settlement and livelihood. The research was conducted in Sekoci Lepan Resort, Gunung Leuser National Park (GLNP) in the area claimed by ex-refugees from Aceh. The research used patchwork ethnography method. Data were sourced from existing literature enriched with data from fieldwork. Data analysis uses 'on going analysis', namely data that has been collected is immediately analyzed and constructed into research conclusions. The results showed that the success of ex-refugees from Aceh in maintaining their existence in the GLNP area was due to various forms of resistance strategies carried out. Among them are forming the PIPA organization to organize struggle strategies such as creating local land reform, political approaches, and negotiations. The government has made various efforts to free the GLNP area from ex-refugees from Aceh including efforts to relocate and forced evictions, but without success. The government failed to expel ex-refugees from Aceh due to the large number of ex-refugees from Aceh, as well as the massive support of humanitarian organizations for the existence of ex-refugees from Aceh. In addition, the government does not want a violent approach in solving the problem so that the negotiation process is carried out to accommodate the interests of the parties.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Daniel Kurniawan
Abstrak :
Fokus dari studi literatur ini adalah tentang hubungan antar suku bangsa di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif antropologi secara khusus studi ini membahas tentang relasi etnis Tionghoa dengan kelompok etnik lainnya di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah kelompok etnis yang telah lama datang dan bermukim di Indonesia. Namun dalam masa yang cukup panjang kelompok etnis Tionghoa mengalami diskriminasi dan tidak diperlakukan secara sebagai warga negara. Relasi Etnis Tionghoa dengan kelompok masyarakat lainnya dipengaruhi oleh kebijakan rasial pemerintah Belanda yang menggolongkan etnis Tionghoa di Indonesia sebagai orang asing. Kolonial Belanda memberlakukan etnis Tionghoa sebagai seorang yang ahli dalam berdagang dan berorientasi dalam bidang ekonomi. Puncak diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, terjadi di masa presiden Soeharto dengan menerapkan kebijakan asimilasi yang melarang semua kegiatan berbahasa mandarin dan menganjurkan ganti nama. Setelah era Reformasi sejak 1998, etnis Tionghoa dapat merasakan kemerdekaannya berekspresi terutama setelah presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali memperbolehkan etnis TIonghoa untuk merayakan imlek dan menunjukkan identitasnya. Tulisan ini berbentuk bibliografi beranotasi dan ingin memahami signifikansi studi dengan konteksnya saat ini. ......This literature study focus on the relationship between ethnic groups in Indonesia. Using an anthropological perspective as an analytical lens, this study specifically discusses the relationship between the Chinese ethnicity and other ethnic groups in Indonesia. Ethnic Chinese group has been settled in Indonesia long before the European. However, for a long time the Chinese ethnic group in Indonesia experienced discrimination and were not treated as a full citizen. the Dutch racial policy which classifies ethnic Chinese in Indonesia as foreigners has shaped the relationship between Ethnic Chinese relations with other Indonesian ethnic groups. The Dutch colonial also regarded the Chinese group as an expert in trade and economic activities. The peak of this discrimination against ethnic Chinese occurred during the Soeharto era by implementing an assimilation policy that prohibited all Mandarin speaking activities and recommended Chinese people to change their mandarin names. After the Reformation era since 1998, the Chinese have been able to feel their freedom of expression, especially after President Abdurrahman Wahid or Gusdur allowed the Chinese to celebrate Chinese New Year and show their ethnic attribute and identities. This paper is in the form of a annotated bibliographic and wants to explore the significant of the finding with today context
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>