Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ani Khairani
Abstrak :
Sebuah fenomena telah terjadi pada anak-anak di sekolah dan di masyarakat. Fenomena tersebut ditandai dengan perilaku, seperti menyakiti dengan lelucon, ejekan dan perkataan yang kasar. Hal tersebut dapat bertambah parah jika sampai pada panggilan yang buruk, penyerangan secara personal dan mempermalukan orang lain di depan umum (Ross, 1998). Fenomena tersebut dinamakan bullying. Dalam kosa kata Bahasa Indonesia ada yang mengartikan bullying sebagai perilaku "menggertak' atau `menggencet' namun padanan kata tersebut dirasa belum tepat untuk merepresentasikan kata bullying itu sendiri sehingga untuk pembahasan selanjutnya, kata bullying akan tetap dipakai. Bullying dapat didefinisikan sebagai sebuah pola perilaku agresif yang berulang, dengan intensi yang negatif, diarahkan dari seorang anak kepada anak yang lain, di mana ada kekuatan yang tidak seimbang (alweus, 1993). Agresivitas dapat menjadi bullying jika seorang anak mempunyai target orang tertentu sehingga perilaku tersebut diarahkan kepada orang yang biasanya lemah dan tidak berdaya (Papalia, 2004). Menurut Dlweus, (1993) perilaku agresif ini meliputi perilaku fisik atau verbal yang merupakan perilaku yang terus-menerus dan bertujuan untuk menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain. Perubahan iklim pendidikan dewasa ini dalam kaitannya dengan perilaku bullying telah menimbulkan kebutuhan untuk bekerja sama antara guru, manajemen sekolah, siswa, orangtua dan karyawan penunjang sekolah untuk mengembangkan strategi, kebijakan dan program yang efektif untuk merangsang kesuksesan dan rasa aman semua siswa dalam bersekolah, terutama dalam usaha pencegahan perilaku bullying di sekolah. Hal ini dilakukan dalam kerangka untuk menghindari dampak negatif bullying yang dapat menghambat proses belajar anak di sekolah bahkan akan terus berpengaruh buruk kepada anak setelah beranjak dewasa. Oleh karena itu, perlu adanya suatu cara untuk mencegah maupun mengintervensi perilaku bullying tersebut. Modul Program Pendidikan Pencegahan Perilaku Bullying di Sekolah Dasar merupakan sebuah usaha yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan dan menciptakan sekolah bebas bullying. Dari hasil olah data lapangan analisa kebutuhan menunjukkan bahwa sebesar 31.8 % siswa pernah mengalami bullying. Sedangkan, jenis bullying yang paling banyak terjadi adalah bullying non-verbal sebesar 77.3%. Selanjutnya sebesar 40.1% siswa pemah mengalami bullying verbal dan 36.1% siswa pernah mengalami bullying fisik. Hasil perhitungan data lapangan ini menunjukkan bahwa bullying telah terjadi di sekolah dasar. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar kebutuhan untuk melakukan penyusunan modul pencegahan perilaku bullying di sekolah dasar. Bullying yang terjadi di sekolah dasar yang menjadi subyek analisis kebutuhan berkaitan dengan jenis bullying non-fisik atau psikologis. Berdasarkan hal ini maka ditetapkan tujuan dan sasaran program yang relevan dari hasil analisis kebutuhan tersebut. Adapun sasaran yang ingin dicapai meliputi perubahan/perkembangan dalam hal kognitif (pengetahuan), afeksi (sikap/nilai) serta psikomotor (perilaku yang dapat diamati) yang didasarkan pada model Goleman yang meliputi baik itu keterampilan kognitif, keterampilan emosi dan keterampilan perilaku (dalam Munandar 2002). Tujuan dari modul program ini adalah untuk membantu sekolah mengembangkan dan menerapkan rencana pelaksanaan peningkatan rasa aman, terutama pada aspek sosial dan psikologis di sekolah yang dapat menurunkan dan mencegah fenomena bullying. Program yang disusun ini merupakan paket program yang dapat dilaksanakan dengan dua altematif cara, yaitu bersamaan dengan sesi pelajaran di sekolah yang merupakan bagian dari pelajaran Bimbingan dan Konseling (BK) ataupun terpisah menjadi program tersendiri di sekolah. Paket program ini dapat dijalankan oleh psikolog sekolah atau guru Bimbingan dan Konseling di sekolah yang bersangkutan. Modul ini khusus ditujukan untuk semua siswa kelas 4 dan 5, terlepas mereka yang menjadi korban maupun pelaku bullying. Secara khusus dipilih kelas 4 dan 5 didasarkan juga pada karakteristik siswa kelas 4 dan 5 yang sudah mencapai perkembangan dalam kemampuan membaca dan menulis. Pelaksanaan program ini tidak lebih dari 1 bulan yang terdiri dari 11 sesi pertemuan dengan tiap sesi-nya dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang disediakan oleh pihak sekolah dan kesepakatan antara guru. Namun, akan lebih baik jika paket program ini dapat dilaksanakan setiap dua kali dalam sepekan, untuk dapat mempertahankan alur program agar berjalan dengan efektif. Dengan menggunakan berbagai metode, antara lain: tugas individu, diskusi kelompok, diskusi terbuka, ceramah, bermain peran, permainan dan menonton film.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monintja, Aleta K.P.
Abstrak :
Mempunyai anak yang tidak normal seperti tuna rungu dapat menjadi sumber stres dalam keluarga (Suran &, Rizzo, 1979). Oleh karena ibu adalah tokoh yang selalu atau diharapkan siap mengasuh anaknya setiap waktu, maka tidak terelakkan ia mengalami stres. Usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi keadaan yang menekan, menantang atau mengancam, serta emosi-emosi yang tidak menyenangkan disebut sebagai tingkah laku coping (Lazarus, 1976). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatitif dengan tipe metodelogi penelitian Studi kasus pada 3 orang ibu. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah wawancara (indepth interview). Hasil telaahan menunjukkan bahwa para subyek mengalami stres yang bervariatif dan khas, sebagai akibat dan kondisi ketunaan yang disandang anaknya. Mereka pun berusaha untuk mengatasi stresnya tersebut. Stres yang diterima dan tingkah laku coping yang dilakukan timbul setelah melwati proses penilaian dari subyek yang dipengaruhi faktor-faktor internal (kontrol personal, hardy personality, pola perilaku) dan eksternal (ienis stres, kehadiran stres lain, dukungan sosial) masing-masing. Selain ilu, ada 6 faktor lain diluar kedua faktor temebut yang muncul pada setiap subyek penelitian yailu karakteristik individu/ibu (kepribadian, pendidikan), karakteristik anak (usia, tingkah laku anak), dan kondisi finansial, dukungan sosial, dan keyakinan agarna. Kemampuan mengatasi keadaan stres bukanlah sualu kemampuan yang terberi, melainkan hams dipelajari oleh orangtua. Oleh karena itu, dalam upaya untuk dapat rnenghadapi stres yang timbul dari situasi anak yang menyandang ketunarunguan, orangiua perlu secara aktif mencari dan membekali diri dengan informasi yang dibutuhkan (berkaitan dengan ketunarunguan). Pihak orangtua (dalam hal ini ibu) juga tidak berarti semata-mata hanya mendedikasikan seluruh waktunya bagi anak tersebut. Meluangkan waktu bagi pribadi, mencari atau menciptakan cara yang sesuai untuk terlepas dari rutinitasnya. sehari-hari akan sangat membantu mengurangi intensitas stres.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T37591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atty Kurniawati
Abstrak :

ABSTRAK
Mahasiswa merupakan sumber daya yang potensial untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, sehingga dengan mengetahui sistem nilai mereka saat ini dapat Iebih dikembangkan nilai-nilai positif yang sudah dimiliki. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai sistem nilai pada mahasiswa Universitas Indonesia (UI), yang berupa hirarki dari nilai-nilai yang dianut serta tujuan akhir yang dianggap penting oleh mahasiswa UI. Selain itu karena latar belakang pendidikan yang mengarah kepada profesi dapat mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, maka dalam penelitian ini juga dilihat hirarki dari nilai dan tujuan akhir mahasiswa yang berasal dari fakultas fakultas ilmu eksakta dan fakultas-fakultas ilmu sosial.

Pada penelitian ini, digunakan kuesioner yang mengukur hirarki dari nilai-nilai dan tujuan akhir mahasiswa. Subyek penelitian merupakan mahasiswa UI dari 12 fakultas dan berasal dari angkatan 1990-1996. Prosedur sampling yang dipergunakan adalah nonprobability sampling. sementara teknik pengambilan sampelnya adalah incidental sampling. Metode pengolahan data yang dipakai adalah koefisien konkordansi dari Kendall (II)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh mahasiswa UI adalah nilai kebahagiaan, moral, sosial, keadilan, ilmiah, kemandirian, dan manfaat. Sedangkan tujuan akhir yang dianggap penting adalah ketakwaan, kematangan moral, keberhasilan pendidikan, keberhasilan karir, kebahagiaan, pengetahuan dan wawasan yang luas, kepekaan sosial, menemukan pasangan hidup, perluasan pergaulan, serta penerapan ilmu. Selain itu, mahasiswa yang berasal dari fakultas ilmu sosial menempatkan nilai moral lebih penting daripada nilai sosial, sedangkan mahasiswa yang berasal dari fakultas ilmu eksakta mencapaikan nilai sosial lebih tinggi daripada nilai moral. Untuk tujuan akhir, selain ketakwaan yang sama-sama meletakkannya untuk peringkat pertama, kedua kelompok terlihat berbeda dalam hirarki tujuan akhir Iainnya.

Tujuan akhir yang khas pada mahasiswa UI adalah penerapan ilmu dan ketakwaan. Sistem nilai dari kelompok yang berbeda dalam suatu lingkungan akademis yang sama dapat berbeda. Pada penelitian ini perbedaan tersebut tampak pada kelompok subyek laki-Iaki dan perempuan, kelompok subyek dengan agama yang berbeda, kelompok subyek dengan suku bangsa yang berbeda, serta kelompok subyek dengan pekerjaan orangtua yang berbeda. Dalam penelitian mengenai sistem nilai mahasiswa selanjutnya, hendaknya jumlah sampel penelitian Iebih besar dan proporsional pembagiannya, disamping perlu diperhatikan instrumen penelitian yang menggali lebih mendalam mengenai nilai dan tujuan akhir dari subyek penelitian. Hal lain yang disarankan adalah mempertahankan nilai positif yang telah dimiliki mahasiswa UI, serta mengembangkan nilai estetika, politik, kepemimpinan, dan kreativitas pada mahasiswa UI. Sistem pembelajaran di UI yang ada saat ini juga perlu ditinjau kembali, sehubungan dengan rendahnya nilai ilmiah dan penerapan ilmu pada mahasiswa UI.
1998
S2681
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Syafitri Widianti
Abstrak :
ABSTRAK
Pada awalnya kompetisi atau persaingan merupakan bagian dari hidup manusia. Pada awalnya persaingan yang terjadi antara saudara kandung bertujuan untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua. Bagaimana seorang anak mengembangkan tingkah laku kompetitif tergantung dari sikap orang tua dan masyarakat dalam memandang kompetisi, apakah mendukung atau tidak mendukung terjadinya suatu kompetisi (Medinnus & Johnson, 1969).

Menurut Scheinfeld (1973), sekolah merupakan salah satu media yang memiliki pengaruh dalam menengahi perbedaan dan kompetisi di antara anak kembar dengan memisahkan mereka ke dalam kelas yang berbeda. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat gambaran kompetisi yang terjadi pada remaja kembar identik ketika mereka berada pada satu kelas dan ketika berada pada pisah kelas dan bagaimana pengaruh kompetisi terhadap kegiatan belajar dan prestasi belajar mereka di sekolah, serta faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya kompetisi.

Subyek yang dipilih adalah remaja kembar identik yang pernah berada pada satu kelas dan pisah kelas. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan melakukan wawancara terhadap enam orang subyek (3 pasang remaja kembar identik).

Berdasarkan hasil wawancara, dapat disimpulkan bahwa kompetisi yang terjadi pada subyek adalah kompetisi dalam hal berprestasi di sekolah. Kompetisi ini terjadi karena adanya sikap membandingkan dari teman, guru atau orang tua dalam masalah prestasi belajar. Perbandingan dalam masalah fisik atau masalah lainnya tidak menimbulkan kompetisi pada subyek. Faktor utama yang mendorong subyek untuk berkompetisi adalah keinginan untuk mendapatkan prestasi yang lebih baik atau paling tidak sama baiknya dengan saudara kembamya. Pada umumnya adanya perasaan kompetisi juga menjadikan subyek menjadi lebih bersemangat dalam belajar, walaupun belum tentu meningkatkan prestasi seperti yang dicapai saudara kembarnya. Subyek juga merasa berkompetisi dengan saudara kembamya ketika mereka berada pada satu kelas karena lebih sering diperbandingkan dan kondisi yang mereka hadapi sama.
1998
S2682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggara Kusumaatmaja
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam kehidupannya, manusia selalu mengejar prestasi berdasarkan kemampuan dan bidangnya masing-masing. Menurut Robinson (dalam http://www-mcnair.berkeley.edu/97joumal, 1997) tinggi rendahnya prestasi di pengaruhi oleh kemandirian seseorang. Menjadi anak bungsu, seringkali mendapat anggapan sebagai anak yang manja dan tidak mandiri. Gunawan (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2000) mengatakan bahwa posisi anak sebagai anak sulung, bimgsu, dan tunggal sedikit banyak dapat berdampak pada pembentukan kepribadiannya. Oleh karena kemandirian juga merupakan salah satu aspek dari kepribadian, maka posisi anak juga berdampak terhadap kemandiriaimya. Kemandirian mempakan salah satu aspek kepribadian yang penting (Conger, 1991), terlebih bagi remaja usia 17-19 tahun, pada saat memasidd jenjang perguruan tinggi, remaja mulai dituntut untuk menjadi sosok yang mandiri (Ganda, 1992). Sebagai mahasiswa fakultas yang memiliki daya saing yang cukup ketat dalam penerimaan mahasiswa, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) dituntut untuk memiliki prestasi yang baik agar nantinya tidak dikeluarkan (putus studi). Pada penelitian ini peneliti ingin melihat bagaimana kemandirian dan prestasi akademik remaja bungsu serta melihat apakah ada hubungan kemandirian dengan prestasi akademik remaja bungsu di perguman tinggi?. Penelitian ini dilakukan pada 75 orang subyek yang terdiri dari 22 subyek laki-laki dan 53 subyek perempuan, yang bemsia 18-19 tahun dan merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Pemilihan subyek dilakukan dengan menggunakan teknik incidental sampling. Setiap subyek dalam penelitian ini, mendapatkan kuesioner yang telah disusun oleh peneliti berdasarkan lima aspek kemandirian. Untuk memperoleh data prestasi akademik, subyek diminta untuk menuliskan Indeks Prestasi Kumulatif terakhir yang diperolehnya dan peneliti mencek kembali kepada sub bagian akademik mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan teknik koefisien alpha dan korelasi Pearson product-moment yang ada pada program SPSS for MS Windows Release 10.0. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa Remaja bungsu pada fakultas psikologi UI yang mendapatkan skor kemandirian rendah, lebih banyak dari pada yang mendapatkan skor kemandirian tinggi. Walaupim deraikian, perbedaan jumlah remaja bungsu yang mendapatkan skor kemandirian tinggi -dengan skor kemandirian rendah, hanya terpaut 1,3 % saja. Jumlah remaja bungsu pada Fakultas Psikoiogi UI yang memiliki prestasi akademik buruk, lebih banyak dari pada yang memiliki prestasi akadeniik baik. Namun hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa mahasiswa bungsu Fakultas Psikologi memiliki prestasi akademik yang buruk, mengingat perbedaan antara responden yang memiliki prestasi akademik baik dengan responden yang memiliki prestasi akademik buruk hanya terpaut 9,3 % saja. Selain kedua hal tersebut, juga dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kemandirian dengan prestasi akademik remaja bungsu di Fakultas Psikologi UI. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh karena masih banyak faktor lain yang turut mempengaruhi prestasi akademik seseorang yang tidak terukur dalam penelitian ini. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah bakat khusus, motivasi untuk berprestasi, harga diri akademik, lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan faktor situasional (Syah, 2000). Saran yang dapat diberikan untuk penelitian lain sehubungan dengan penelitian ini antara lain adalah untuk menguji validitas internal dan ekstemal dari instrumen pengukuran, sebaiknya faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi prestasi akademik dan kemandirian perlu diikutsertakan. Meskipun hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara kemandirian dengan prestasi akademik remaja bungsu pada perguruan tinggi, aspek tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi akademik. Oleh karenanya, disarankan bagi para orang tua untuk memupuk tanggung jawab pada anak bungsu mereka sejak dmi agar dapat memaksimalkan prestasi akademik anak bungsunya.
2002
S2865
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Primi Paramita
Abstrak :
ABSTRAK
Pada masyarakat kita , masih banyak anggapan bahvva seks merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Orang tua yang seharusnya merupakan sumber utama bagi anak dalam memberikan pendidikan seksual juga masih ragu dan malu untuk melakukan salah satu tugasnya tersebut. Sedikit sekali orang tua yang mau menginformasikan pengetahuan tentang masalah seks pada anaknya. Hal ini terjadi karena orang tua tidak tahu atau merasa enggan bercerita mengenai seks (Dr.dr. Satoto dalam Kompas, 1994). Akibat kurangnya informasi mengenai pendidikan seks dari orang tua serta adanya sumber-sumber yang dapat menimbulkan salah pengertian, maka sekolah merupakan altematif yang tepat untuk mengantisipasi hal ini. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa sekolah merupakan suatu lembaga yang mampu mencakup remaja dari berbagai kalangan. Walaupun banyak terdapat lembaga atau perkumpulan remaja, namun hanya sebagian dari remaja yang ikut terlibat, sehingga apabila pendidikan seks diadakan melalui perkumpulan remaja saja, maka akan banyak remaja yang tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh informasi/pendidikan tersebut (Rice, 1996). Beberapa SMU Swasta memasukkan pendidikan seks ke dalam kegiatan ekstrakurikuler olahraga dan kesehatan (Iskandar, 1998). Sedangkan SMU Negeri di wilayah Jakarta telah mengantisipasi hal ini melalui pelajaran Biologi. Salah satu SMU Negeri yang memberikan materi kesehatan reproduksi melalaui pelajaran Biologi adalah SMU negeri 8 Jakarta. Remaja merupakan suatu periode transisi, dan pada masa ini remaja banyak mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya yang menuntut mereka beradaptasi dengan perubahan tersebut serta tuntutan yang ada di masyarakat. Perubahan-perubahan yang teijadi pada masa remaja adalah perubahan fisik, emosi, kognitif, dan perkembangan kepribadian sosial. Tujuan pendidikan kesehatan reproduksi remaja adalah untuk mempersiapkan remaja menghadapi beberapa kejadian penting yang berpengaruh pada kesehatan reproduksi remaja, seperti misalnya saat baru melahirkan, mengalami hubungan seksual, alat kontrasepsi, mengalami infeksi penyakit menular, dan saat pertamakali mngethui bahwa dirinya hamil. Selain itu, pemberian pendidikan kesehatan reproduksi juga berisi mengenai penanaman nilai-nilai yang harus disampaikan untuk mencegah perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai pemahaman siswa, serta pendapat guru dan siswa SMU Negeri 8 mengenai pemberian materi kesehatan reproduksi yang disampaikan melalui pelajaran Biologi. Responden penelitian ini adalah siswa kelas II SMU Negeri 8 yang berjumlah 80 orang dan tiga orang guru Biologi. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti. Alat penelitian untuk siswa terbagi atas lima bagian, dimana tiga bagian pertama bertujuan untuk menguji pemahaman siswa terhadap materi kesehatan reproduksi, AIDS, dan alat kontrasepsi, sedangkan untuk bagian ke empat dan ke lima bertujuan untuk menggali pendapat siswa terhadap prosees pembelajaran Biologi "Plus" dan hambatan yang dialami selama kegiatan Biologi "Plus" berlangsung. Untuk kuesioner guru terbagi atas empat bagian. Bagian pertama berisi mengenai materi tambahan yang diajarkan guru melalui Biologi "Plus", bagian kedua adalah untuk menggali proses Kegiatan Biologi "Plus" dan hambatan yang dialami guru, sedangkan bagian keempat dan ke lima berisi mengenai pertanyaan terbuka Teknik pengolahan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan perhitungan persentase dari pendapat responden siswa dan guru, serta menghitung korelasi dengan menggunakan teknik Pearson Product Moment dengan menggunakan program komputer SPSS 8.00 for Windows. Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa tingkat pemahaman responden siswa terhadap materi kesehatan reproduksi secara umum masih rendah, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian para guru Biologi dan pihak sekolah. Pemahaman siswa terhadap materi kesehatan mengenai alat kontrasepsi dan AIDS lebih baik dibandingkan dengan pemahaman siswa terhadap materi lain yang tercakup dalam kuesioner. Selain itu untuk sebagian besar siswa dan guru berpendapat bahwa pemberian materi kesehatan reproduksi melalui pelajaran Biologi sudah tepat, namun hambatan yang dirasakan adalah terbatasnya waktu. Hal ini menyebabkan banyak materi kesehatan reproduksi yang belum disampiakan pada siswa, dan dari pihak siswa mereka berpendapat rasa ingin tahu mereka tidak terpenuhi.
1999
S2935
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diba Nurharyati
Abstrak :

ABSTRAK
Seiring dengan perubahan jaman ke arah era globalisasi dan era perdagangan bebas, maka usaha peningkatan sumber daya manusia mutlak diperlukan. Diklat SPAMEN adalah salah satu wadah yang ditujukan untuk mengembangkan sumber daya manusia seiring dengan perubahan jaman tersebut, khususnya bagi para pegawai negeri yang akan menduduki jabatan tingkat eselon dua.

Proses pembelajaran adalah hal yang kompleks. Apalagi bila peserta program belajar adalah para manusia dewasa yang telah memiliki berbagai Iatar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Suatu strategi pengajaran yang tepat perlu dikembangkan sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik.

Salah satu ahli yang telah berhasil menyusun teori tentang pembelajaran adalah David A. Kolb (1985). Dalam teorinya Kolb menekankan peran pengalaman individu dalam proses beIajar. Hal ini sangat relevan dengan peserta program pembelajaran dewasa yang telah memiliki cukup banyak pengalaman. Menurut Kolb, gaya belajar adalah hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan suatu proses belajar. Gaya belajar yang dimaksud oleh Kolb ini adalah gaya belajar yang terukur melalui Learning Style Inventory (LSI) Kolb (1976). Gaya belajar ini terdiri dari empat macam: gaya belajar akomodasi, gaya belajar asimilasi, gaya belajar divergen dan gaya belajar konvergen

Pada awal Diklat SPAMEN, peserta telah diberikan materi mengenai Gaya Belajar dan diharapkan mereka dapat mengembangkan kemampuan belajar mereka sehingga dapat mencapai prestasi tinggi. Penelitian ini ditujukan untuk meneliti perbedaan gaya belajar aktual antara peserta Diklat SPAMEN yang berprestasi tinggi dengan peserta yang berprestasi rendah sehingga dapat diperoleh gambaran gaya belajar aktual yang dapat membawa peserta Diklat SPAMEN kepada keberhasilan belajar. Dalam penelitian ini yang diteliti bukan hanya sekedar gaya belajar yang terukur melalui LSI Kolb melainkan perilaku belajar yang dilakukan peserta Diklat SPAMEN selama mengikuti Diklat SPAMEN.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengirimkan kuesioner kepada peserta Diklat SPAMEN yang berprestasi tinggi dan yang berprestasi rendah masing-masing bejumlah 40 subyek. Kuesioner dikirimkan melalui pos karena subyek tinggal di berbagai daerah. Namun setelah sampai batas waktu yang ditentukan, ternyata kembali 31 kuesioner dari subyek yang berprestasi tinggi dan 23 dari subyek yang berprestasi rendah.

Hasil pengujian signifikansi perbedaan mean menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara subyek yang berprestasi tinggi dengan subyek yang berprestasi rendah pada perilaku belajar asimilatif; divergen dan konvergen. Perbedaan yang signifikan terjadi pada perilaku belajar akomodatif. Perilaku inilah yang diduga mempunyai pengaruh pada keberhasilan peserta Diklat SPAMEN mencapai prestasi tinggi selama mengikuti Diklat SPAMEN.

Pada dasarnya, seperti dinyatakan oleh Kolb (1985), perilaku belajar akomodatif sama baiknya dengan ketiga perilaku belajar lainnya. Perbedaan yang mungkin ada adalah bahwa perilaku belajar akomodatif merupakan perilaku belajar yang membutuhkan waktu relatif lebih banyak dibandingkan dengan perilaku belajar lainnya. Bila dihubungkan dengan padatnya jadwal pada Diklat SPAMEN, perilaku belajar akomodatif menjadi tidak efisien. Selain itu, ada kemungkinan perilaku belajar akomodatif menjadi tidak terlalu penting dalam mengikuti Diklat SPAMEN karena yang lebih penting dalam proses belajar pada Diklat SPAMEN adalah pemahaman materi yang sebenarnya dapat diperoleh dengan membaca buku-buku wajib dan mengikuti semua kuliah yang telah dijadwalkan.

Untuk penelitian selanjutnya disarankan penelitian mengenai gaya belajar dengan jumlah sampel yang Iebih banyak. Selain itu, bila ingin meneliti tentang gaya belajar aktual, disarankan agar item-itemnya dibuat lebih mendekati situasi belajar yang sebenarnya. Penelitian mengenai hubungan antara gaya belajar peserta dengan gaya mengajar pengajar akan dapat memperkaya hasil penelitian yang telah diperoleh dalam penelitian.
1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilinda Rosa D.
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan perilaku curang saat ujian yang dilakukan oleh siswa di sekolah bersistem ability grouping (yang menyebabkan terbentuknya kelas unggulan dan non-unggulan) serta kontribusi faktor-faktor di luar diri individu yang berpengaruh terhadap munculnya perilaku tersebut. Menurut Bushway & Nash (1977), perilaku curang cenderung lebih banyak muncul pada siswa dengan kemampuan akademik rendah. Slavin (1994) menyatakan bahwa siswa di kelas non-unggulan merupakan siswa dengan kemampuan akademik rendah. McQueen; dan Rogosin (dalam Bushway & Nash, 1977) menambahkan bahwa faktor di luar diri individu merupakan faktor yang penting dalam memprediksi kemungkinan munculnya perilaku curang pada siswa. Perilaku curang dalam penelitian ini difokuskan pada perilaku curang yang dilakukan saat ujian, khususnya pada pelajaran matematika. Penelitian ini menggunakan dua alat ukur yang yang terdiri dari kuesioner perilaku curang (alpha=0,895) dan kuesioner faktor luar yang berpengaruh terhadap perilaku curang (alpha=0,735). Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal perilaku curang yang dilakukan oleh kedua kelompok siswa dan faktor-faktor di luar diri individu berkontribusi secara signifikan terhadap kemunculan perilaku curang tersebut. Keterbatasan dalam penelitian ini berkaitan dengan proses penyusunan alat ukur, sehingga dalam penelitian yang akan datang peneliti menyarankan untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap proses konstruksi alat ukur. Implikasi dari penelitian ini berkaitan dengan penerapan peraturan akademik di sekolah agar perilaku curang pada siswa dapat berkurang.
The author of this study compared cheating behaviour in examination in students of ability grouping school (which created low tracks and high tracks students) and examined the role of external factors which contribute to the emergence of the behaviour. According to Bushway &Nash (1977), cheating behaviour is more common in the low achiever student, while Slavin (1994) stated that low tracks student had lower attainment of achievement. McQueen; and Rogosin (in Bushway & Nash, 1977) demonstrated that contextual factors had significant role in predicting the emergence of cheating behaviour. This study focuses on cheating behaviour in examination, specifically in mathematics. Instruments used in this study are two questionnaires which measure level of cheating behaviour (alpha=0,895) and external factors contributing to cheating behaviour (alpha=0,735). The results indicated significant difference in levels of cheating behaviour between the two groups and significant impact of external factors toward emergence of cheating behaviour. Limitations of this study related to the construction of the research instruments which indicated that in future study, the author needs to emphasize more attention in constructing procedure of the instruments. This study implied that in order to decrease cheating behaviour among students, better academic policies in school should be implemented.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
155.232 MEI p
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Betti Astriani
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana sikap dan kepuasan kerja guru-guru SNBI serta melihat hubungan sikap terhadap perubahan dengan kepuasan kerja guru-guru SNBI. Di samping itu, peneliti juga meneliti latar belakang sikap guru-guru terhadap perubahan. Hasil penelitian Wanberg dan Banas (1997) menunjukkan bahwa sikap terhadap perubahan, khususnya sikap positif terhadap perubahan di organisasi memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru-guru bersikap menerima terhadap program SNBI dan hampir seluruh guru memiliki kepuasan kerja pada tingkat agak tinggi. Disamping itu, hasil penelitian ini menunjukkan pula terdapat hubungan positif antara sikap menerima terhadap perubahan dengan kepuasan kerja guru-guru SNBI, dan terdapat hubungan negatif antara sikap menolak terhadap perubahan dengan kepuasan kerja guru. Hasil analisa tambahan menunjukkan bahwa yang paling melatarbelakangi sikap guru terhadap perubahan adalah karena guru-guru tersebut memiliki kemauan untuk melakukan perubahan. ...... This research aimed to know the attitude and job satisfaction of the teachers involved in the SNBI (the National School Program of International Qualification) program. It also intended to observe the relationship between attitude towards organizational change with their job satisfaction. Furthermore, the researcher has observed background of teachers attitude towards change. The findings of Wanberg and Banas (1997) showed that attitude towards change, particularly positive attitude towards organizational change, was positively related with job satisfaction. This research found that teachers attitudes were to accepting the SNBI program and almost all of the teachers had high slightly level of job satisfaction. It also found that there was positive relationship between the attitude of accepting change and the job satisfaction. On the other hand, rejecting change and job satisfaction were negatively related. In addition, the cause of attitude towards change was because they want to make changes.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Suada Bachrie
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara jenis sekolah dengan identifikasi nilai moral individualisme terhadap kesadaran sosial siswa SMA di Jakarta. Kesadaran sosial adalah representasi jiwa seseorang akan dirinya dan orang lain (Wegner & Guiliano, 1982 dalam Sheldon, 1996). Seratus tujuh puluh dua siswa dan siswi dari SMA negeri dan SMA swasta di daerah DKI Jakarta direkrut melalui convenient sampling. Penelitian ini menggunakan kuesioner Social Awareness Inventory (SAI) dari Sheldon (1996) yang mengukur tingkat dan bentuk kesadaran sosial. Setiap pertanyaan dalam SAI diukur dengan Skala-Likert (1 = sangat tidak sesuai dengan karakter diri saya; sampai 4 = sangat sesuai dengan karakter diri saya). Seluruh dimensi bentuk kesadaran sosial dalam SAI memiliki tingkat reliabilitas yang baik, berkisar antara á = .74 sampai á = .84. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang berarti antara jenis sekolah dengan kesadaran sosial siswa SMA, dimana siswa SMA swasta juga lebih cenderung dari siswa SMA negeri dalam menunjukkan bentuk kesadaran sosial yang merujuk kepada diri mereka sebagai target penilaian. Secara keseluruhan, tidak terdapat hubungan yang berarti antara identifikasi nilai moral individualisme dengan kesadaran sosial siswa SMA. Akan tetapi, siswa SMA yang individualistis lebih cenderung menunjukkan bentuk kesadaran sosial yang termasuk dalam faktor motivasi autonomi, sedangkan siswa SMA yang tidak individualistis lebih cenderung menunjukkan bentuk kesadaran sosial yang termasuk dalam faktor motivasi kontrol. Terakhir, terdapat hubungan yang berarti antara jenis sekolah dengan identifikasi moral individualisme terhadap tingkat kesadaran sosial, dimana hubungan antara keduanya hanya terdapat pada siswa SMA swasta. Siswa SMA negeri dan swasta yang tidak individualistis juga lebih cenderung menunjukkan bentuk kesadaran sosial yang termasuk dalam faktor motivasi kontrol. The aim of the current study was to examine the relationship between school types and identification to individualism on secondary student?s social awareness. Social awareness is one?s mental representation of either onself or another person (Wegner & Guiliano, 1982 in Sheldon, 1996). One hundred and seventy two secondary students in DKI jakarta were recruited through convenient sampling. The current research used Social Awareness Inventory (SAI) from Sheldon (1996) in assessing the level of social awareness as well as the eight forms of social awareness. All questions in SAI were assessed using Likert-Scale (1 = very uncharacteristic of me; to 4 = very characteristic of me). All dimensions of social awareness form showed good level of reliability between á = .74 to á = .84. The results revealed a significant relationship between school types and secondary students? social awareness. Also, compare to public high school students, private high school students tend to show more of the social awareness form which pointed themselves as target. There was no relationship between identification to individualism and secondary students? social awareness. However, the results showed that individualistic students tend to show the form of social awareness included in autonomy-oriented motivational factor, where students who did not consider themselves as individualistic tend to show the form of social awareness included in control-oriented motivational factor. Lastly, there was a significant relationship between school types and identification to individualisme on the level of social awareness where the effect of both variable was found only in private high school students. Both students from public and private high school tend to show the form of social awareness included in control-oriented motivational factor.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>