Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nico Reza
Abstrak :
Diperkirakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia terdapat 1.1 juta orang usia muda berada dalam risiko gangguan pendengaran terkait pajanan bising dari kegiatan hiburan, termasuk bermain drum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah bergumam dapat melindungi telinga pada penabuh drum sehingga tidak didapatkan atau lebih sedikit perubahan nilai signal-to-noise ratio SNR , dibandingkan dengan penabuh drum yang tidak bergumam pada saat bermain drum. Penelitian dengan disain pre-post eksperimental dilakukan di komunitas penabuh drum di Depok, Jawa Barat dari bulan November 2017 sampai bulan Mei 2018.Pengambilan sampel dengan consecutive sampling. Dilakukan wawancara menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik, pemberian APD berupa earplug, dan memberikan intervensi bermain drum dengan cara bergumam pada satu kelompok. Analisis data dengan program statistik SPSS Statistics 20.0. Sebanyak sepuluh subyek penabuh drum, terdiri dari empat orang pada kelompok kontrol dan enam orang pada kelompok intervensi, dilakukan analisis untuk mengukur SNR signal to noise ratio sebelum dan sesudah pajanan bising dengan bermain drum pada kedua kelompok tersebut. Didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna perubahan SNR sebelum dan sesudah pajanan di kedua telinga pada kedua kelompok tersebut. Intervensi bergumam untuk membangkitkan refleks Stapedius belum terbukti dapat memberikan perlindungan pendengaran pada subyek penelitian. Pemakaian APD berupa earplug tanpa / disertai dengan bergumam, diperkirakan dapat melindungi pendengaran dari penurunan SNR.
World Health Organization estimated about 1.1 million young adults are in risk of hearing impairment due to music entertainment. Drummer as well as others percussion musician have risk of hearing impairment.This study is to identificate if humming can prevent or make smaller signal to noise ratio SNR degradation on drummer compare to the drummer who does not hum while drumming. Pre Post Experimental was conducted to a Drummer Community in Depok, West Java from November 2017 until May 2018 using consecutive sampling. All subjects underwent interview, physical examination, using earplug to the both group and humming intervention for one of the groups. Analysis was done using SPSS Statistics 20.0. Ten subjects are included in this research consist of four peoples in control group and six peoples in intervention group, signal to noise ratio SNR was measured before and after noise exposure with drumming on both groups. The result was there is no significant association of SNR on both groups in before and after exposure. There is no significant association of SNR on both groups in before and after exposure. There is no significant difference of SNR after exposure in both groups.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dody Alfera
Abstrak :
Latar Belakang. Pengendalian sumber kebisingan sudah dilakukan perusahaan, dari data pengukuran industrial hygiene sebagian besar berada dibawah nilai ambang batas (< 85 dB), tetapi hasil pemeriksaan kesehatan tahunan didapatkan penderita gangguan pendengaran setiap tahun menunjukkan peningkatan, termasuk peningkatan kasus rujukan karyawan dengan gangguan pendengaran. Dari hasil pemeriksaan kesehatan berkala tahun 2012 didapatkan hasil 42,76 % karyawan mengalami hiperlipidemia. 26,78% memiliki masalah dengan telinga dan 8,52% memiliki gangguan pendengaran sensorineural. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh hiperlipidemia terhadap risiko gangguan pendengaran pada karyawan perusahaan kontraktor pertambangan batubara yang bekerja pada lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan lebih dari 60 desibel. Metode Penelitian. Disain penelitian potong lintang perbandingan ( comparative cross sectional ) Pengumpulan data menggunakan data sekunder dari hasil pemeriksaan medical check up tahun 2013 dan hasil pengukuran industrial hygiene tahun 2013. Kriteria inklusi adalah seluruh karyawan permanen PT X yang masih aktif bekerja saat penelitian, laki-laki, bekerja pada lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan lebih dari 60 dB , memiliki data audiogram dari medical check up tahun 2013 memiliki data Kholesterol, HDL, LDL dan Trigliserida, kriteria eksklusinya adalah memiliki riwayat tuli paska trauma, riwayat keluar cairan dari telinga, menggunakan obat ototoksik, tidak memiliki data yang lengkap untuk di analisa. Hasil. Faktor penentu utama yang berpengaruh secara bermakna terhadap kejadian gangguan pendengaran adalah umur (OR = 2,72; CI 95% = 1,92 - 3,87 ; p = 0.000) dan penggunaan alat pelindung diri telinga (OR = 3,15; CI 95% = 2,22 – 4,48 ; p = 0.000). Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan ( OR = 0,64 ; CI 95% = 0,45 – 0,84 ; p = 0,002 ), lama bekerja ( OR = 1,12 ; CI 95% = 1,17 – 1,23 ; p = 0,000 ), kadar gula darah puasa (OR = 3,92 ; CI 95% = 2,14 – 7,18 ; p = 0,000). Kesimpulan. Pengaruh hiperlipidemia terhadap risiko gangguan pendengaran sensorineural pada karyawan laki-laki perusahaan kontraktor pertambangan batubara yang bekerja pada lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan lebih dari 60 dB tidak ditemukan pada penelitian ini. ...... Background. Control of noise sources has been done the company, from industrial hygiene measurement data are mostly located below the threshold value (<85 dB), but the results obtained annual medical check up every year people with hearing loss showed improvement, including increased employee referral cases with hearing loss. From the results of medical check up in 2012 showed 42.76% of employees experienced hyperlipidemia. 26.78% had problems with ears and 8.52% had sensorineural hearing loss. This study aims to determine the effect of hyperlipidemia on the risk of hearing loss in coal mining contractor company employees who work in a work environment with noise levels over 60 decibels. Method. Design A cross-sectional comparative study (comparative cross sectional) data was collected using secondary data from the results of medical check-up in 2013 and the results of industrial hygiene measurements in 2013. Inclusion criteria were permanent employees of PT X is still actively working time of the study, male, working in a work environment with noise levels over 60 dB, has data audiogram of medical check-up in 2013 has data cholesterol, HDL, LDL and triglycerides, Exclusion criteria were a history of post-traumatic deafness, a history of ear discharge, use of ototoxic drugs, do not have complete data for analysis. Results. The main determining factors that significantly affect the incidence of hearing loss is age (OR = 2.72; 95% CI = 1.92 to 3.87, p = 0.000) and the use of personal protective equipment ear (OR = 3.15; CI 95% = 2.22 to 4.48, p = 0.000). There is a significant association between the type of work (OR = 0.64; 95% CI = 0.45 to 0.84, p = 0.002), duration of work (OR = 1.12; 95% CI = 1.17 to 1, 23, p = 0.000), fasting blood sugar levels (OR = 3.92; 95% CI = 2.14 to 7.18, p = 0.000). Conclusion. Effect of hyperlipidemia on the risk of sensorineural hearing loss in male employees of coal mining contractor company working in a work environment with noise levels over 60 dB can not be found in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zukhrida Ari Fitriani
Abstrak :
Intensitas: bising 85 dB atau lebih menyebabkan kerusakan reseptor Corti. Perusahaan X telah melakukan program konservasi pendengaran untuk mencegah terjadinya noise induced hearing loss (NIHL). Akan tetapi; penurunan pendengaran masih ditemukan. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan perilaku kurang dengan NIHL serta faktor-faktor lain yang berhubungan dengan NIHL pada pekerja Perusahaan X. Metode: Penelitian kasus kontrol teJah diiakukan pada pekerja laki-laki usia 20 59 tiga kompattemen Perusahaan X. Data didapatkan dari kuesioner dan tes audiometri screening tahun 2010. Odd ratio dan analisis multivariat menggunakan SPSS 17 dilakukan terhadap 62 kasus NIHL dan 62 kontrol. Hasil: Faktor·faktor seperti perokok sedang berat, I intenshas bising 85-95 dB meningkatkan risiko terjadinya NJHL masing·masing sebesar I 0,73(95%CI 2.85-40.38),5.49), 34(95%C!=0.46·3.89. Penelitian ini tidak bisa mendapatkan hubungan intensitas bislng >95 dB dengan NIHL. Kesimpulan: Perilaku kurang meningkatkan risiko tetjadinya NIHL di Perusahaan X. Program.
Backgrounds: Noise intensity 85 dB (decibels) or more may damage the Corti receptors. The X Company had conducted hearing conservation program to prevent noise induced hearing loss (PllHL), However, hearing loss still can be found 17Jis study idenlifles the correlation between unsafe behaviors and NIHL also the other foctors related with NIHL among The X Company's workers. Methods: A case conrrol th1'ee compartments of X Company Data was obtained from questionnaires and scree11ing audiometric test 201(}, Odd ratio and multivariate analysis using SPSS 1 7 had been done to 62 cases N!HL and 62 controls. Results: Factors such as medium-heavy smokers, unsafe behaviors, light smokers, noise intensity 85-95 dB increase the risk of NIHL by 10.73(95%CJ=2.85-40.38), 4.36(95%Cl=l.70-11.20), 2.23(95%CI=0.91-5.49), I.34(95%CI=0.46-3.89. This study cannol obJain the relation between noise intensity >95 dB and NIHL. Conclusions: Unsafe behaviors increase the risk of NIHL in X Company. Hearing conservation program need to be improved.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T31643
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Istiati Suraningsih
Abstrak :
Pendahuluan: Gangguan pendengaran pada pekega selain disebahkan oleh bising di tempat kelja juga dapet disebabkan oleh bahan kimia termasuk pelarut organik. Toluen termasuk pelarut organik yang banyak digunakan indnstri seklcr informal alas kaki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahni prevalensi gangguan pendengaran sensorineural (SNHL) dan di lakukan peda bulan Januari-Juli 2008. Metode: Desaill penelitian adalah cross sectional dengan subyek penelitian sebanyak 85 orang pekega alas kaki di Desa Mekarjaya-Ciomas. Pengumpulan data dilakuklm dengan menggunakan kuesinner, pengamatan langsung dan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan audiometri di lapangan menggunakan audiometric booth. Data lfngkungan kerja diperoleh dengan melakukan penguktnan kadar toluen menggunakan teknik Gas Chromatography, pengukuran bising menggWlakan Sound Level Meter dan pengukuran ventilasi tempat kerja. Data di anal isis dengan SPSS II .5. Semua variabel dilakukan uji bivariat, variabel dengan nibu p < 0.25, dilakukan uji multivariat rnenggunakan Stata 6. Hasil: Jenis pelamt organik tertinggi yang terkandung dalarn lem adalah toluen (46.45%). Kadar toluen di tempat kega terendah 0Jl003 ppm dan tertinggi 4.8663 ppm. lntensitas bising tempat kerja dibawah 85 dB. tidak mempWlyai hubungan bermakna dengan terjadinya SNHL. Pada analisis bivariat terdapet empat faktor yang dapat dilakukan analisis multivariat yaitu: Umur, kadar toluen, mobilitas dan kegiatan lain. Dari faktur-faktor tersebut, faktor yang dvminan mempunyai hubungan dengan kejadian SNHL adalah kadar toluen (OR5.87 dan Cl = 1.739 - 19.834) hal ini menunjukkan bahwa responden yang terpajan toluen dengan kadar lebih besar dari 0.22 ppm (walaupun dibawah NAB) mempunyai risiko menferita SNHL hampir enam kali lebih besar dibandingkan responden dengan pajanan toulen di bawah 0.22 ppm.
Introduction: Hearing defect of worker can be caused by chemical. included solvent. Toluene is one of organic solvent were often use in industry, especially in footwear industry. The objective of this study was to examine prevalence on sensorineural hearing loss (SNHL).This study was conducted in Januari to July 2008. Method: Design of research was cross sectional involving 85 workers in village Mekarjaya-Ciomas. Data coUectiun was made using by questioner. observation and examination on workplace applying audiometric booth. Environment data of toluen exposure was collected and measured through Gas Chromatography, noise level was measured using Sound Level Meter and ventilation was also measured. SPSS version 11.5 was used for data analysis. Subsequently, bivariate analysis was selected to examine data, variables of value p < 0.25 were chosen for multivariate analysis using state 6. Results: The highest organic solvent content is toluene within glue (46.45%). Measurement on toluent in workplace at lowest level was 0.0003 ppm and was 4.&663 ppm at the highest. Noise intensity at workplace was under 85 dB, and has no significance on SNHL. Resu1t of bivariate analysis there are four factors used for multivariate analysis such as age. solvent level, mobility and other activities. Out of these factors a dominant to SNHL were to1uen level (OR = 5.87 and Cl =1.739- 19.&34), this showed that respondent with higher than 0.22 ppm (although under NAB) has a higher risk on SNHL up to six timer greater than the respondent of toulen lower than 0.22.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T31662
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Silaen, Seskonita S.I.
Abstrak :
Latar belakang dan lingkup penelitian : Adanya pergeseran ekonomi dari basis manufaktur ke industri jasa telah menumbuhkan perhatian bahwa Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB) ditempat kerja dapat juga terjadi pada pekerja di stasiun televisi, yang mendapat pajanan bising terutama dari alat-alat pengeras suara dan alat-alat komunikasi (headphone/headset). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Peningkatan Ambang Dengar Sementara (PADS) yang merupakan prediktor teijadinya GPAB di masa mendatang, pada pekerja di stasiun TV dan faktor-faktor yang berhubungan serta untuk mengetahui rerata intensitas bising di lingkungan kerja stasiun TV. Metode Penelitian: Penelitian dilakukan pada bulan November 2009 sampai Februari 2010 dengan metode potong lintang, non komparatif, melibatkan 78 pekeija dari 882 populasi (50 pekelja administrasi yang beketja statis, tidak memakai headphone dan mendapat pajanan bising dari alat-alat kantor dengan intensitas < 85 dB, serta 28 pekeija produksi yang bekezja mobile, sebagian besar menggunakan headphone/headset dan mendapat pajanan bising 2 85 dB. Subyek dipilih secara acak sederhana, data didapat dari wawancara, pemeriksaan telinga, dan audiometri yang dilakukan sebelum dan segera sesudah bel-cezja serta 16 jam kemudian sesudah bebas pajanan bising. Data Lingkungan diukur dengan sound level meter, intensitas bising personal dibagian produksi diukur dengan noise dosimeter. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 17. Hasil : Didapatkan prevalensi PADS sebesar 423% (33 orang) dimana 23 orang (82,1%) adalah pekerja bagian produksi dan 10 orang (20,0%) adalah pekeija administrasi. Urutan keterlibatan PADS terbanyak terdapat pada iiekuensi 4000 (93,9%), 8000(36,4%) dan 2000(27,3%) Hz. Median peningkatan pada nlasing-masing trekuensi adalah 10 dB. Rerata intensitas bising di bagian produksi 92,61 dB(ruang studio), 84,1dB(ruang audiovideo) dan 85,4 dB(ruang kontrol operator). Rerata intensitas di ruang administrasi sebesar 63,75 dB. Faktor-faktor yang berpengaruh seeara bermakna terhadap terjadinya PADS adalah dosis pajanan (0R=8,8; IK95%= 0,9-83,1), umur peke1ja(OR=7,5; IK95%=1,9-29,7) dan durasi pajanan (OR=-1,827; IK95% = 0,03-0,9). Kesimpulan: Studi ini menunjukkan bahwa dosis pajanan, umur pekerja dan durasi pajanan bising berhubungan secara bermakna dengan risiko teijadinya PADS pada pekeija stasiun TV. Pencegahan merupakan hal terpenting untuk meneegah PADS menjadi GPAB.
Background : With the economy shift from a manufacturing base to service industry in recent years, there has been growing concern that noiced-induced hearing loss (NIHL) may also effect workers employed at the television station who got noise exposure from amplifiers and communication devices (headphones/headsets). The aim of this study is to determine the temporary threshold shifts (TTS) which is regarded as the predictor of fixture development of NIHL, among the TV Station worker and its related factors. And also to identify the mean of noise intensity level in TV Station working environment. The data was analyzed using the l7"? version of SPSS. Methods : This study was carried out in Jakarta on November 2009 until February 2010. This was a non comparative cross - sectional study involving 78 workers of 882 population(50 of them were administrative worker, working static, not using headphone and had noise exposure from office equipment below 85 dB, and 28 were production worker who worked mobile, used headphone and had noise exposure above 85 dB from amplifiers and communication devices. Subjects were selected randomly. The data were obtained from interview using a special questionnaire, otoscopy, and an audiometric test for pre-work, post-work hearing threshold and 16 hours later, after free of noise exposure. Ambient noise levels were measured using sound level meter, personal noise intensity were measured using noise dosimeter. Results : The prevalence of TTS was 42,3%, consist of 23 subject (82,l%) from production worker and 10 subjects (20,0%) from an administrative worker. The most involved lrequence were 4000 Hz (3lsubject), 8000 Hz (12 subjects) and 2000 Hz (9 subjects), respectively. The median increase of the threshod at all iiequencies was 10 dB. The mean of noise intensity at the production room was 92,61 dBA (studio room), 84,1 dBA (audiovideo room) and 85,4 dBA (operator control room). The mean of noise intensity at the administrative room was 63,75 dB. Factors which were statistically significant were dose of exposure (OR = 8,8; IK95% = 0,9-83,l), age of worker (OR = 7,5; lK9S% = 1,9-29,7) and duration of exposure (OR=0,2; lK95%=0,03-0,9). Conclution : This study showed that dose of exposure, age of worker and duration of exposure were significantly correlated to Temporary Threshold Shift among the Television Station worker. The primary prevention is the most important thing to prevent 'ITS develops to Noise Induced Hearing Loss.
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T33068
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Alia
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Subjek dengan ketergantungan mariyuana cenderung untuk mengalami gangguan fungsi kognitif. Pemeriksaan gelombang P300 auditorik mempuyai peran dalam mendeteksi gangguan fungsi kognitif pada jalur auditorik hingga ke korteks. Gangguan fungsi kognitif dapat dinilai dengan melihat pemanjangan masa laten gelombang P300 dan penurunan amplitudo gelombang P300.

Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rutan Cipinang dan Pondok Bambu pada bulan Juni-Agustus 2012, melibatkan 68 subjek yang mengalami ketergantungan mariyuana. Gangguan fungsi kognitif ditentukan dengan melakukan pemeriksaan RAVLT (Rey Auditory Verbal Learning Test) dengan menggunakan kuesioner. Kemudian semua subjek dilakukan pemeriksaan P300 auditorik.

Hasil: Sebanyak 40 subjek (58,8%) mengalami gangguan fungsi kognitif. Sebanyak 8 subjek (11,8%) ditemukan masa laten P300 abnormal sedangkan 60 subjek (88,2%) ditemukan amplitudo yang menurun. Terdapat hubungan bermakna antara amplitudo P300 dengan gangguan fungsi kognitif (p<0.001) tetapi tidak ditemukan hubungan bermakna antara masa laten P300 dengan gangguan fungsi kognitif (p=0.565).

Kesimpulan : Mariyuana dapat mengganggu fungsi kognitif terutama gangguan perhatian dan memori yang terlihat pada penurunan amplitudo gelombang P300. Namun masa laten gelombang P300 yang ditemukan tidak menggambarkan gangguan fungsi kognitif. Kelemahan tersebut dapat diakibatkan karena rentang masa laten P300 yang digunakan mengacu pada subjek Amerika. Hasil penelitian ini menunjang ditemukannya fungsi kognitif yang dinilai dari amplitudo gelombang P300 yang menurun. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mencari rentang masa laten gelombang P300 yang menggunakan subjek anak-anak dan dewasa populasi Indonesia.
ABSTRACT
Background: Subject with marijuana addiction tend to have cognitive function impairment. Auditoric P300 wave as one of objective tools in examining cognitive fuction has potential role since it could assess cognitive function in auditoric pathway to cortex.The cognitive function impairment could be assessed in prolong latency and decreasing amplitude.

Method: The cross sectional study held in Cipinang and Pondok Bambu Jail between June to August 2012 involing totally 68 subjects determined by its marijuana addiction. Cognitive function assesment using RAVLT (Rey Auditory Verbal Learning Test). Then subjects are assessed by auditoric P300 wave examination using both latency and amplitude.

Result Fourty (58,8%) subjects have cognitive function impairment. In 8 (11,8%) subjects have abnormal P300 latency while in 60 (88,2%) subjects have decreasing amplitudes. There is significant correlation between P300 amplitudes and cognitive function (p<0.001) but there is no significant correlation between P300 latency and cognitive function (p=0.565).

Conclusion: Marijuana could impair cognitive function especially attention and memory deficit which revealed by decreasing P300 amplitude. Somehow, P300 latency does not describe its abnormality that could conclude cognitive function impairment. This caveat could be arised due to improper range application which refer to American subjects. This study result confirm that cognitive function impairment due to marijuana addiction could be revealed by objective decreasing P300 amplitudes. Further research have to conducted to confirm proper range application based on both adult and pediatric Indonesian population.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risdawati
Abstrak :
Tuli mendadak merupakan kedaruratan dibidang audiologi yang perlu penatalaksanaan segera. Konsensus terapi tuli mendadak tahun 2010 di Madrid-Spanyol dan systematic review yang dilakukan Cochrane tahun 2009 menetapkan steroid sebagai terapi utama. Pasien yang mengalami kesembuhan memperlihatkan peningkatan nilai emisi otoakustik selama terapi. Perbaikan emisi terjadi lebih awal dibandingkan perbaikan ambang dengar. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi hasil terapi metil prednisolon dosis terbaru pada tuli mendadak dengan pemeriksaan DPOAE dan audiometri nada murni dengan desain pre-eksperimental bersifat analitik pre-post terapi. Pemeriksaan audiometri nada murni dan DPOAE dilakukan sebelum dan sesudah terapi hari ke-15 pada 22 subjek penelitian. Pada penelitian ini didapatkan perubahan bermakna nilai audiometri di semua frekuensi yang diteliti, perubahan bermakna nilai DPOAE di frekuensi 1500 Hz, 2000 Hz, 8000 Hz dan hubungan bermakna perubahan SNR pada DPOAE dengan tingkat perubahan ambang dengar pada frekuensi 8000 Hz dan 10000 Hz. Penelitian ini mendapatkan perubahan yang bermakna nilai audiometri nada murni sebelum dan sesudah terapi pada semua frekuensi yang diteliti dengan menggunakan dosis terbaru metil prednisolon. Oleh karena itu dosis ini dapat diaplikasikan untuk terapi tuli mendadak.
Sudden deafness is an emergency case in audiology that need immediate treatment. Consensus 2010 in Madrid-Spain and Cochrane systematic review in 2009, stated steroid as drugs of choice in sudden deafness therapy. Patient that has been recovered from sudden deafness has increasing otoacoustic emission during treatment. The emission improvement begins earlier than the improvement of the hearing level. The aim of research is to evaluate new dose of methylprednisolon therapy in sudden deafness by using DPOAE and pure tone audiometry with pre-experimental analytical design pre-post treatment. Pure tone audiometry and DPOAE evaluation before therapy and day 15th after therapy on 22 subjects. This reseach found that there are changes in pure tone audiometry for all hearing frequencies, there is also changes in DPOAE for 1500 Hz, 2000 Hz, 8000 Hz frequencies and a significant difference between changes in DPOAE with changes in hearing threshold level for 8000 Hz and 10000 Hz. This research found changes in pure tone audiometry for all hearing frequencies by using new dose of methylprednisolone. There fore, this new dose could be applied for sudden deafness therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Saraswati
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Refluks laringofaring (RLF) dipertimbangkan sebagai salah satu faktor risiko karsinoma laring dengan proporsi yang cukup tinggi. Pemeriksaan ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang untuk RLF yang tidak invasif dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Tujuan: Mengetahui sebaran karakteristik pasien karsinoma laring, proporsi RLF berdasarkan kadar pepsin pada pasien karsinoma laring dan hubungan RLF berdasarkan kadar pepsin dengan karakteristik pasien karsinoma laring. Metode: Desain penelitian observasional analitik dengan jumlah subjek karsinoma laring sebanyak 26 orang. Subjek diminta untuk mengumpulkan sputum sebanyak 2 kali (pepsin I dan pepsin II) untuk kemudian dilakukan pemeriksaan ELISA pepsin. Hasil: Didapatkan 24 dari 26 subjek berjenis kelamin laki-laki dengan rerata usia 60,65±8,41 tahun, 7 subjek peminum alkohol berat, 12 subjek perokok berat dan 24 subjek merupakan stadium lanjut karsinoma laring. Semua subjek didapatkan menderita RLF dan didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar pepsin I (daytime/ provoked RLF) dengan konsumsi alkohol serta perbedaan bermakna kadar pepsin I dengan perokok berat dan ringan. Kesimpulan: Refluks laringofaring dapat menjadi faktor risiko bersamaan dengan konsumsi alkohol dan rokok pada pasien karsinoma laring. ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang adanya RLF terutama pada pasien dengan karsinoma laring mengingat sifatnya yang tidak invasif dan cukup murah.
ABSTRAK
Background: Laryngopharyngeal Reflux (LPR) is suspected to be a risk factor for laryngeal cancer with a high prevalence according to recent studies. ELISA pepsin can be used in diagnosing LPR as it is a noninvasive technique with great sensitivity and specificity. Objectives: To find the characteristics of laryngeal cancer patient, proportion of LPR based on the pepsin value and correlation between LPR based on the pepsin value and the characteristics of laryngeal cancer patient. Methods: Observational analytic study with 26 subjects of laryngeal cancer. All subjects were asked to collect the sputum twice (pepsin I and pepsin II) to evaluated later with ELISA. Result: Twenty four out of 26 subjects were male with mean age 60,65±8,41 years, 7 subjects were severe drinkers, 12 subjects were severe smokers and 24 subjects were late stage laryngeal cancer. All of the subjects were diagnose with LPR and there was a significant correlation between the value of pepsin I (daytime/ provoked LPR) with alcohol consumption and also a significant difference of the value of pepsin I in heavy and light smoker. Conclusion: LPR could be considered as a risk factor together with alcohol consumption and smoking status. ELISA pepsin could be a supporting examination for LPR especially in laryngeal cancer patient as it is a noninvasive and inexpensive method.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
Abstrak :
Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring. Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak. Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring. Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01). Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.
Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux. Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME. Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not. Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01). Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhwan
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Fungsi dari tuba Eustachius (TE) adalah ventilasi, proteksi, dan pembersihan telinga tengah. Disfungsi TE berperan penting pada patogenesis terjadinya kasus otitis media, sehingga hasil pengobatan dan prognosis kasus ini sangat bergantung pada fungsi TE yang adekuat yang pada akhirnya dapat mempengaruhi angka keberhasilan rekonstruksi telinga tengah. Data penelitian mengenai fungsi ventilasi TE masih sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan terapi dan operasi pada kasus OMSK. Tujuan : Mendapatkan gambaran fungsional ventilasi TE pada pasien OMSK tipe aman dan subjek non otitis media serta mendapatkan modalitas lain untuk mengukur fungsi ventilasi TE pada pasien dengan membran timpani utuh maupun perforasi. Metode: Penelitian comparative cross sectional pada 36 subjek telinga OMSK tipe aman dan 80 telinga subjek non otitis media dengan sonotubometri dan dinilai parameter jumlah frekuensi pembukaan, peningkatan amplitudo, dan durasi pembukaan. Hasil : Gangguan fungsi ventilasi TE lebih banyak didapatkan pada kelompok OMSK tipe aman (47%) dibandingkan kelompok non otitis media (18,75%). Terdapat perbedaan bermakna (p=0,002) antara fungsi ventilasi TE subjek OMSK tipe aman dengan subjek non otitis media, dimana subjek OMSK tipe aman dapat mengalami gangguan fungsi ventilasi TE 3,88 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek non otitis media. Kesimpulan : Pasien OMSK tipe aman lebih berpotensi mengalami gangguan fungsi ventilasi TE dibandingkan subjek non otitis media
ABSTRACT
Background : The function of the Eustachian tube (ET) is ventilation, protection and cleaning of the middle ear. TE dysfunction plays an important role in the pathogenesis of otitis media cases, so that the treatment and prognosis of these cases is very dependent on adequate TE function that can ultimately affect the success rate of middle ear reconstruction. Data research on ventilation ET function is needed for the success of the therapy and surgery in the case of chronic suppurative otitis media (CSOM) Objective : To determine ventilation ET function on benign type chronic suppurative otitis media and non otitis media subject and get another modality to measure ventilation function TE in patients with intact and perforated tympanic membrane. Methods : Comparative Cross-sectional study in 36 subjects benign type CSOM and 80 non otitis media subjects with sonotubometry and rated parameter number of frequencies opening, increasing the amplitude and duration of the opening ET. Results : Malfunctioning ventilation ET function more obtained at benign type CSOM (47%) than among non otitis media subjects (18.75%). There is a significant difference (p = 0.002) ventilation ET function between benign type CSOM subject and non otitis media subject, where the benign type CSOM subject may be malfunctioning ventilation ET function 3.88 times larger than the non otitis media subjects. Conclusion : Patients with benign type potentially have malfunctioning ventilation ET function than non otitis media subjects.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>