Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fersia Iranita Liza
"
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang bersifat deksriptif analitik untuk mengetahui proporsi rinitis alergi pada pasien asma periode Agustus sampai Oktober 2014. Pasien asma yang datang ke poliklinik Asma dinilai derajat asma dan derajat kontrol asma dengan menggunakan Asthma Control Test (ACT). Jika terdapat minimal 2 gejala rinitis alergi maka dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi dan uji cukit kulit. Dari uji cukit kulit, apabila terdapat jenis alergen positif maka didapatkan proporsi rinitis alergi.
Hasil. Dari 185 pasien asma yang memiliki dua atau lebih gejala rinitis alergi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan nasoendoskopi serta uji cukit kulit adalah 67 orang. Didapatkan proporsi rinitis alergi pada pasien asma 54 orang (29,2%). Data karakteristik pasien asma meliputi jenis kelamin perempuan 77,3% lebih banyak dibandingkan laki-laki 22,7% dengan median usia 52 tahun. Hampir semua pasien menggunakan pembayaran BPJS 94,1% dengan riwayat alergi sebanyak 44,9%. Proporsi derajat asma stabil terbanyak persisten sedang 101 orang (54,6%) dan derajat asma terkontrol adalah terkontrol sebagian 47,0%. Dari sebaran gejala rinitis alergi yang terbanyak adalah bersin 46,5%, rinore 28,6%, dan hidung tersumbat 26,5%. Pada pemeriksaan nasoendoskopi, terdapat kelainan 28,6% dengan terbanyak septum deviasi 56,6%, konka pucat 50,9% dan konka edema 22,6%. Pemeriksaan uji cukit kulit 67 orang, didapatkan 54 orang positif dengan jenis alergen terbanyak positif adalah tungau debu rumah 38,8%. Proporsi derajat rinitis alergi sesuai kriteria ARIA terbanyak intermiten ringan dan persisten ringan 46,3%. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat rinitis alergi dengan derajat asma (p = 0,035). Hubungan antara derajat rinitis alergi dengan derajat kontrol asma juga bermakna (p = 0,006).
Kesimpulan. Proporsi rinitis alergi pada pasien asma adalah 29,2% dengan jenis alergen terbanyak berdasarkan uji cukit kulit adalah tungau debu rumah. Terdapat hubungan bermakna antara derajat rinitis alergi dengan derajat asma dan derajat kontrol asma.

Introduction : Asthma and rhinitis are two different entities are anatomical, physiological and clinical management but located in one airway. United Airway Disease (UAD) have hypothesized that inflammation of the upper and lower respiratory tract both a manifestation of a process of inflammation in the airways and this hypothesis is supported by evidence arising from the systemic relationship of the upper and lower respiratory tract. World Health Organization (WHO) issued a guidance entitled Allergic Rhinitis and it's Impact on Asthma (ARIA) 2001 which provides a comprehensive overview of the pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis in asthma patients. This study aims to knowthe allergic rhinitis proportion on those patients and related factors at Persahabatan Hospital.
Methods : This is a cross-sectional study based on the descriptive and analytical to find out the allergic rhinitis proportion in asthma patients at the period August to October 2014. Those who came to asthma clinic evaluated for the degree of asthma control test (ACT). If there are at least two allergic rhinitis symptoms, nasoendoscopy examination and skin prick test should be done and if there is type of positive from skin prick test, the allergic rhinis proportion obtained.
Results : From 185 asthma patients who participate, have two or more allergic rhinitis symptoms and have joined nasoendoscopy examination and skin prick test are 67 person. It is found that the allergic rhinitis proportion in asthma patients are 54 (29,2%) the characteristics data of asthma patients include female (77,3%) and more than male (22,7%) with a median age of 52 years. Almost all patients use BPJS payment (94,1%) with the allergic history (44,9%).. The proportion of the highest degree persistent stable asthma are 101 person (54,6%) and the degree of asthma control which is partially controlled is 47,0%. From the distribution of the most allergic rhinitis symptoms are sneezing (46,5%), rhinorrhea (28,6%) and nasal congestion (26,5%). In the nasoendoscopy examination, there are abnormalities (28,6%) with septum deviation (56,6%), pale turbinate (50,9%) and concha edema (22,6%). Examination of the skin prick test from 67 person, 54 person are positive with the most type of allergen caused by house dust mites (38,8%). The proportion of the allergic rhinitis degree based on ARIA criteria, mild intermittent and mild persistent (46,3%). There is a significant correlation between the degree of allergic rhinitis with the asthma degree (p = 0,035). The corellation between the degree of allergic rhinitis with the degree of asthma control was also significant (p = 0,006).
Conclusion : The allergic rhinitis proportion in asthma patients is 29,2% and based on the skin prick test, the most type of allergensare the house dust mites. There is a significant association between the degree of allergic rhinitis with the asthma degree and the degree of asthma control."
2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gaffar
"Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil SKRT tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan umur dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Diperkirakan 450.000' kasus baru tuberkulosis setiap tahun, dimana 1/3 penduduk terdapat disekitar Puskesmas, 1/3 lagi ditemukan pada pelayanan Rumah Sakit/Klinik Pemerintah dan Swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan dengan kematian diperkirakan 175.000 setiap tahun.
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru di wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilakukan pada semua desa (20 desa) dalam wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan dari bulan Maret 2000 sampai dengan April 2000.
Penelitian ini menggunakan metode disain Cross Sectional . Sampel adalah seluruh tersangka penderita TB Paru yang ditemukan melalui skrining sebanyak 435 penderita. Pada tersangka penderita TB Paru dilakukan wawancara melalui kuesioner untuk mengetahui kemungkinan beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru.
Hasil yang diperoleh yaitu tindakan pertama perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru 73,33 % ke fasilitas pelayanan pengobatan moderen (swasta dan pemerintah), 26,67 % ke fasilitas pelayanan tidak moderen (tidak berobat, mengobati sendiri dan pengobatan tradisional). Faktor persepsi akibat, persepsi kegawatan dan tingkat pendidikan berhubungan dengan perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru di wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan. Selanjutnya yang dapat disarankan adalah penyuluhan tentang TB Paru (gejala-gejala, cara penularan, akibat yang dapat ditimbulkan dan pengobatan) di masyarakat perlu ditingkatkan, juga dalam pelaksanaan program P2 TB Paru selain fasilitas pelayanan pemerintah juga perlu melibatkan fasilitas pelayanan swasta (dokter praktek swasta dan Paramedis/Bidan praktek swasta)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T2090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Ari Wijaya
"ABSTRAK
Pendahuluan
Faktor-faktor lingkungan seperti berbagai macam partikel dan gas dari emisi kendaraan seperti karbon dioksida, karbon monoksida, sulfur, benzen, nitrogen dioksida, nitrit oksid dan asap dipercaya memiliki peran yang bermakna dalam meningkatkan terjadinya penyakit pernapasan. Polisi lalu lintas yang bekerja di area lalu lintas yang padat selama beberapa tahun memiliki risiko terpajan polusi udara.
Tujuan
Studi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faal paru dan faktor-faktor yang mempengaruhi pada polisi lalu lintas yang bekerja di wilayah Jakarta Utara.
Metode
Studi ini menggunakan metode potong lintang (cross-sectional study method). Polisi lalu lintas yang bekerja di wilayah jakarta Utara diwawancara menggunakan kuesioner yang berhubungan dengan kesehatan rerpirasi, gambaran klinis, pemeriksaan CO ekspirasi, foto toraks dan pemeriksaan faal paru dengan spirometri. Pengumpulan data dilakukan antara bulan Oktober 2012 hingga November 2012.
Hasil
Pada studi ini didapatkan dari 90 subjek kelompok umur paling banyak didapatkan pada usia 41-50 tahun (37.8%), memiliki status gizi over weight ( 55.6%) sebagian besar perokok ringan (47.8%). Kami menemukan kelainan faal paru berupa restriksi ringan 6.7%, restriksi sedang 1.1% dan obstruksi ringan 1.1 %. Variabel yang berpengaruh secara bermakna dengan faal paru adalah usia dan indeks massa tubuh (BMI) sedangkan kebiasaan merokok dan penggunaan masker secara statistik tidak ditemukan hubungan yang bermakna dengan faal paru.
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa prevalens gangguan faal paru adalah 8.9% dan variabel yang berpengaruh adalah usia dan indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Introduction:
Environmental factors such as various particles and gases from vehicular emission like carbon dioxide, carbon monoxide, sulphur, benzene, nitrogen dioxide, nitric oxide and black smoke are believed to play a significant role in the development of respiratory diseases. Traffic policemen who work in the busy traffic signal areas for years together are exposed to the risk of air traffic pollution.
Purposes:
This study was conducted profiles and factors influencing lung fuction of traffic pollution on traffic police working in North Jakarta Distric.
Method:
This study used cross-sectional study method. The traffic police working in North Jakarta Distric were given a predetermined respiratory health questionnaire, their clinical profile,CO expiration, chest x ray and lung functions were measured. We collected data within October 2012 until November 2012.
Result:
This study showed from 90 subject with predominant age group between 41-50 years old (37.8%), over weight (55.6%) and mild smoker (47.8%). We found that mild restriction 6.7%, moderate restriction 1.1% and mild obstruction 1.1% subject. There were statistically significant age (p=0.019) and BMI (p=0.012) but no statistically significant associated smoking (p=0.145) ,used masker (p=1.000) with lung function.
Conclusion:
Study found that the prevalence of decreased pulmonary function is 8.9% and only age and BMI were associated with lung function."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isep Supriyana
"ABSTRAK
Background : The BODE index is generally used for predicting mortality risk of COPD
patients. The BODE index included the body mass index, degree of airflow obstruction (FEV1),
dyspnea (MMRC questionnaire), and exercise capacity (6-minute walk test). Exacerbation of
COPD associated with decreased health related quality of life (HRQoL). HRQoL has become an
important outcome in respiratory patients as proved by St.George’s Respiratory Questionnaire
(SGRQ). We hypothesized that the greater BODE score the more frequent occurrence of
exacerbation and increase SGRQ total score.
Methods : Prospective cohort study of COPD patients in Persahabatan Hospital assessed for
BODE index (baseline) and followed at 3, 6, 9 and 12 months. Patient were also examined with
SGRQ (baseline) and followed at 6 and 12 months. We monitored the occurrence of exacerbation
by telephone, visiting to COPD’s clinic or emergency unit every month for one year.
Results : Eighty five patient were examined at baseline with mean of BODE index 4.29 and
SGRQ total score 41.42%. After one year monitored 52 patients have completed examination, 29
patient have not complete examination and four patient died. Using t-test analysis the correlation
of BODE index between single and frequent exacerbation is significant (p<0.05), the correlation
of SGRQ between single and frequent exacerbation is significant (p<0.05) and correlation
between BODE and SGRQ is significant (p=0.045).

ABSTRACT
Latar belakang : Indeks BODE dapat memprediksi mortalitas pada PPOK. Indeks BODE
terdiri dari indeks masa tubuh, VEP1, skala sesak MMRC dan Uji jalan 6 menit. Kuesioner
SGRQ digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien PPOK. Menurunnya kualitas hidup pasien
PPOK dapat disebabkan oleh eksaserbasi. Hipotesis penelitian ini adalah semakin tinggi indeks
BODE maka semakin sering eksaserbasi dan meningkatkan nilai SGRQ.
Metode : Menggunakan disain kohort prospektif, indeks BODE pasien PPOK dinilai pada awal
kunjungan (0bulan) bulan ke-3,6,9 dan 12. Pasien mengisi lembar kerja penelitian dan mengisi
kuesioner SGRQ pada awal kunjungan, bulan ke-6 dan 12. Peneliti memonitor terjadinya
eksaserbasi setiap bulannya melalui telepon, saat kunjungan ke poli asma PPOK atau instalasi
gawat darurat selama setahun
Hasil : Didapat 85 pasien pada kunjungan awal dengan rerata indeks BODE 4.29 dan rerata
SGRQ skor total 41.41%. Setelah 12 bulan pemantauan didapatkan 52 pasien yang melengkapi
pemeriksaan, 29 pasien keluar dan 4 pasien meninggal dunia karena PPOK atau komplikasi.
Analisis statistik t-test didapatkan perbedaan bermakna antara indeks BODE kelompok sekali
eksaserbasi dengan kelompok sering eksaserbasi (p<0.05). Terdapat perbedaan bermakna SGRQ
skor total pada kelompok sekali eksaserbasi dengan kelompok sering ekaserbasi (p<0.05) serta
hubungan bermakna antara indeks BODE dengan SGRQ skor total (p=0.0457).
Kesimpulan : Indeks BODE dapat digunakan untuk memprediksi eksaserbasi dan kualitas hidup
pasien PPOK."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katarina Damayanti
"Latar Belakang: Target angka keberhasilan pengobatan TB MDR/TB RR 2015 adalah ≥ 75 %. Angka keberhasilan pengobatan menurut WHO tahun 2013 adalah 52%. Kesenjangan antara target dan pencapaian masih sangat besar.
Metode: Penelitian cross sectional/potong lintang berdasarkan data rekam medis pasien TB MDR yang sudah ada hasil pengobatan sejak Januari 2013 sampai dengan Desember 2016. Hasil: Dari 409 pasien TB MDR di RSUP Persahabatan keberhasilan pengobatan 61,4% dengan hasil akhir pengobatan sembuh 243 subjek (59,4%), pengobatan lengkap 8 subjek (2%), meninggal 44 subjek (10,8%), loss to follow up 106 subjek (25,9%) dan gagal 8 subjek (2%). Pada penelitian ini 243 subjek (59,4%) laki-laki dengan rerata umur 38,79 ± 11,887 tahun, mayoritas gizi kurang dan terdapat pengobatan TB sebelumnya, resistensi terbanyak RHES dan efek samping terbanyak efek samping sedang (kelompok 2). Faktor umur, riwayat penggunaan alkohol dan komorbid DM mempunyai hubungan bermakna terhadap hasil akhir pengobatan (p<0,05). Riwayat penggunaan alkohol merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap hasil akhir pengobatan.
Kesimpulan: Keberhasilan pengobatan TB MDR di RSUP Persahabatan adalah sebesar 61,4% dan faktor yang berhubungan bermakna adalah umur, riwayat penggunaan alkohol dan terdapatnya komorbid DM.

Background: The target of treatment success rate of MDR TB/RR TB in 2015 is ≥ 75 %. The success rate in WHO 2013 is 52%. The gap between target and achievement is still very large.
Method: A cross sectional design based on medical record data of MDR TB patients who have been treatment outcomes from January 2013 to December 2016.
Result: Of a total 409 MDR TB patients at Persahabatan Hospital succes rate of treatment is 61,4% with the final outcome consist of cured 243 subjects (59,4%), complete treatment 8 subjects (2%), death 44 subjects (10,8%), loss to follow up 106 subjects (25,9%) dan failed 8 subjects (2%). Patients in this study were male 243 subjects (59,4%) with mean age of subjects 38,79 ± 11,887 years old, majority is malnutrition and had previous TB treatment, the most resistance is RHES and the most side effects is moderate. The age, alcohol user and comorbid DM were found to have significant relationship to treatment outcomes (p<0,05). The alcohol user is the most influential factor to the treatment outcomes.
Conclusion: The success rate of treatment outcome of MDR TB in Persahabatan hospital is 61,4% and associated factors is the age, alcohol user dan comorbid DM. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Debi Febriani
"Kemajuan industri otomotif menyebabkan laju pertambahan kendaraan bermotor meningkat dengan pesat. Banyaknya jumlah kendaraan bermotor menyebabkan semakin tingginya polusi udara, terutama di daerah urban. Polusi udara dapat menyebabkan gangguan faal paru sehingga mengganggu kapasitas bernapas seseorang. Penelitian ini berusaha untuk menemukan hubungan antara beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap gangguan fungsi faal paru yaitu  usia, status gizi, masa kerja, penggunaan masker dan riwayat merokok. Sampel diambil dari 103 orang polisi lalu lintas Kota Bekasi. Faktor risiko yang ditemukan antara lain obesitas (70,9%), perokok aktif (55,3%), tidak menggunakan masker (28,2%) dan masa tugas yang lama (66,7%). Dari hasil penelitian tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara usia (p = 0,348), status gizi (p = 0,751), riwayat merokok (p = 0,865), pemakaian masker (p = 0,410) dan masa tugas ( p = 0,365) dengan gangguan fungsi faal paru. Perlu dilakukan penelitian longitudinal untuk menelusuri efek jangka panjang pajanan faktor risiko tersebut

Progress in automotive industry has led to the increasing rate of motor vehicles. This increasing number of vehicles contribute to the increasing pollution, especially in urban areas. Air pollution can cause lung function disorders that interfere with a person's breathing capacity. Our study is designed to discover the relationship between several influencing factors with the physiological function of lung disorders, such as age, nutritional status, length of service, the use of masks and smoking history. Samples were taken from 103 Bekasi City traffic police. Risk factors include obesity was found (70.9%), current smokers (55.3%), do not use a mask (28.2%) and a long term assignment (66.7%). From the results of the study found no significant association between age (p = 0.348), nutritional status (p = 0.751), history of smoking (p = 0.865), use of masks (p = 0.410) and the task (p = 0.365) with impaired function pulmonary physiology. Longitudinal research is needed to further explore the long-term effects of exposure to these risk factors"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nyoman Sri Budayanti
"Dewasa ini, insiden tuberkulosis ekstrapulmoner semakin meningkat. Konfirmasi bakteriologi sering sulit karena kuman da1am jumlah sedikit di tempat infeksi dapat menimbulkan keru3akan jaringan dan kuman menginfeksi tempat yang sulit untuk pengambilan spesimen. Hingga saat ini, di Indonesia belum ada laporan angka keberhasilan isolasi mikobakterium dari penderita dengan kecurigaan tuberkulosis ekstrapulmoner. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam, biakan dan pemeriksaan PCR terhadap 83 spesimen penderita dengan kecurigaan tuberkulosis ekstrapulmoner. Biakan dilakukan secara duplo pada dua macamjenis media padat yaitu media Lowenstein-Jensen (LJ) dan media LJ mengandung asam piruvat 2% serta satu macam media cair yaitu Middlebrook 7H9. Ekstraksi DNA menggunakan metoda Boom dan reaksi PCR dilakukan untuk mendeteksi fragmen DNA sebesar 123 bp pada 186110. Hasil biakan lebih tinggi didapatkan pada pemakaian kedua macam media padat secara bersamaan daripada pemakaian satu jenis media padat. Sebanyak 20 (24,1 %) isolat mikobakterium berhasil diisolasi. Empat isolat (4,8%) adalah MOTT dan sisanya adalah M. tuberculosis. Hasil perneriksaan PCR mendapatkan sensitivitas 87,5% hila biakan digunakan sebagai baku emas. Analisis statistik kornbinasi pemeriksaan pcwarnaan basil tahan asarn dan PCR menggunakan biakan dan P A sebagai baku emas atau biakan M tuberculosis dan PCR menggunakan pemeriksaan mikroskopis dan PCR sebagai baku standard menunjukkan basil berbeda bermakna (p= 0,017 dan p= 0,009) sehingga kombinasi pemeriksaan ini dapat digunakan untuk meningkatkan diagnosis penderita dengan kecurigaan tuberkulosis ekstrapulmoner.

The incidence of extrapulmonal tuberculosis (EPTB) is rising in the recent years. Bacteriological confirmation ofEPTB is often difficult because low amount of bacteria may cause severe infection and the location of infection renders the specimen collection to be difficult. Until now, data conseming mycobacterium isolation and detection rate of M tuberculosis causing EPTB in Indonesia is not available.ln this study we examined 83 specimens from patients with suspected EPTB by microscopic acid-fast staining, culture and PCR assay. Cultures were done in duplo on two kinds of solid media (LowensteinJensen (LJ) and LJ with pyruvic acid 2%) and on one liquid medium (Middlebrook 7H9). The PCR assay was based on the detection of a 123 bp DNA fragment of the insertion sequence 186110. DNA was isolated with silica method. The results showed that isolation rate by culture on two solid media together were higher than on one solid medium only. Twenty (24,1%) mycobacterium isolates were isolated from 83 EPTB specimens. Four (4,8%) isolates were identified as MOTT and 16 (19,3%) as M tuberculosis. The s.!nsitivity of 186110 PCR for detection of M tuberculosis was 87,5% with bacterial culture as the gold standard. Combination of microscopic acid-fast staining and PCR showed in significantly difference result when culture and histopathologic finding was used as the gold standard (p= 0,00 17). Combination of culture and PCR also showed in significantly defference result when microscopic acid-fast staining and histopathologic finding was used as the gold standard (p= 0,009). We conclude that combination of two assay i.e. acid-fast staining and PCR or bacterial culture and PCR, are more sensitive than using one method only, resulting in better diagnosis of patients with suspected EPTB."
Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 2003
T58385
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulansari Rumanda
"Latar Belakang : Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas dengan fungsi bersihan mukosilier yang menurun, maka itu bentuk matur dari spora Aspergillus fumigatus bisa tumbuh dan membuat sensitisasi Aspergillus yang merupakan kondisi awal aspergillosis paru pada asma dan dapat berkembang menjadi Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA). Penegakkan diagnosis aspergillosis paru didapatkan jika reaksi hipersensitisasi terhadap antigen A.fumigatus positif.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode potong lintang pada 86 pasien asma yang berobat ke RSUP Persahabatan dengan nilai Asthma Control Test (ACT) ≤ 24. Subjek penelitian dibagi 2 kelompok berdasarkan sensitisasi Aspergillus. Penilaian aspergillosis paru menggunakan pemeriksaan Imunoglobulin E (IgE) spesifik A.fumigatus. Kriteria diagnosis ABPA yang digunakan pada penelitian ini menggunakan kriteria International Society of Human and Animal Mycology (ISHAM) yaitu dua kriteria obligatory (IgE spesifik A.fumigatus dan IgE total) serta 3 kriteria tambahan (IgG spesifik A.fumigatus, eosinofil total, gambaran foto toraks). Pemeriksaan fungsi paru dilakukan pada penelitian ini termasuk spirometri, kapasitas difusi paru karbon monoksida (DLCO) dan nitrit oksida udara ekspirasi (FeNO).
Hasil : Proporsi pasien asma tidak terkontrol yang memiliki aspergillosis paru didapatkan 3,5% (3/86) sedangkan proporsi ABPA didapatkan 1,1% (1/86). Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi aspergillosis paru pada asma tidak terkontrol, diantaranya adalah nilai IMT (p=0,77), riwayat merokok (p=0,86) dan riwayat TB paru (p=0,03).. Karakteristik imunologi didapatkan nilai median IgE total pada subjek dengan aspergillosis paru 465(22-1690) IU/ml dan nilai median hitung total eosinofil 380 (0-770) sel/µl. Dari penilaian spirometri pada subjek aspergillosis paru didapatkan nilai median KVP 1630(950-2150) ml, nilai rerata KVP%prediksi 70±33,71%, nilai VEP1 1150(470-1240) ml, nilai median VEP1% prediksi 54(24-76)%, nilai rerata VEP1/KVP 59,33±14,57)% serta nilai rerata DLCO 84,67±24,66%. Nilai median FeNO pada asma tidak terkontrol dengan aspergillosis paru pada penelitian ini didapatkan 32 (12-45) ppb.
Kesimpulan : Penegakkan diagnosis aspergillosis paru pada pasien asma tidak terkontrol harus dilakukan sejak awal, terutama pada pasien dengan riwayat TB  paru. Hal tersebut dapat mencegah aspergillosis paru pada asma tidak terkontrol berkembang menjadi penyakit ABPA serta kerusakan paru yang permanen.

Background: Asthma is a chronic airway inflammation with decrease of mucocilliary clearance. The mature form of Aspergillus fumigatus spores could grow in this condition and caused an Aspergillus sensitization as an early progression to allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA). Pulmonary aspergillosis could be diagnosed from a hypersensitivity reaction to the A. fumigatus antigen.
Methods : This cross-sectional study included 86 asthma patients with Asthma Control Test ACT score ≤ 24 and treated at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. Pulmonary aspergillosis was examined using specific immunoglobulin E (IgE) assay of A. fumigatus. The ABPA diagnostic in this study used the International Society of Human and Animal Mycology (ISHAM) criteria, which included two obligatory criteria (A. fumigatus-specific IgE and total IgE) and three additional criteria (A. fumigatus-specific IgG, blood eosinophil count, and thoracic x-ray). Lung function were examined using spirometry, diffusing capacity for carbon monoxide (DLCO), and fraction of exhaled nitric oxide (FeNO).
Results: Uncontrolled asthma patients who had pulmonary aspergillosis was 3.5% (3/86) while the proportion of ABPA was 1.1% (1/86).  A history of prior pulmonary tuberculosis (TB) was correlated with aspergillosis in uncontrolled asthma patients (p=0.03). The median value of total IgE and blood eosinophil count in pulmonary aspergillosis subjects was 465 (22-1690) IU/mL and 380 (0-770) cells/µL, respectively. Spirometry results of pulmonary aspergillosis subjects were median FVC 1630 (950-2150) ml, mean predicted FVC% predicted value 70±33.71%, mean FEV1 1150 (470-1240) ml, median predicted FEV1% 54 (24-24)%, mean FEV1/FVC 59.33±14.57%, and mean DLCO 84.67±24.66%. The median FeNO in uncontrolled asthma with pulmonary aspergillosis in this study was 32 (12-45) ppb.
Conclusion: Diagnosis of pulmonary aspergillosis in patients with uncontrolled asthma should be carried out early, especially in patients with a history of pulmonary TB. This would prevent pulmonary aspergillosis in uncontrolled asthma from developing into ABPA disease and permanent lung damage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Martinus
"ABSTRAK
Pendahuluan: Polusi udara akibat kepadatan kendaraan merupakan bahaya serius bagi kesehatan sehingga orang yang terpajan polutan terus menerus mengalami peningkatan risiko terjadinya penurunan faal paru. Polisi lalulintas merupakan subjek yang terus menerus terpajan dengan emisi gas buang kendaraan sebagai risiko dari pekerjaannya.Gas buang kendaraan terdiri dari nitrogen oksida, karbon monoksida, bahan partikel dan lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan bronkiolus terminal dan menurunnya kompains serta kapasitas vital paru. Penelitian ini bertujuan menilai status faal paru polisi lalulintas Jakarta Pusat dan apakah terdapat hubungan antara pajanan terhadap polusi gas buang kendaraan dengan penurunan faal paru. Disamping itu juga dilakukan analisis hubungan antara penurunan faal paru dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 170 polisi lalulintas di polres Jakarta Pusat, usia 20-55 tahun, masa kerja minimal 2 tahun. Data kesehatan secara keseluruhan diamati menggunakan Kuesioner Proyek Pneumomobile Indonesia dan pemeriksaan fisis dan status kesehatan paru secara khusus diamati menggunakan foto toraks dan spirometri. Kadar CO-ekshalasi juga dianalisis. Analisis statistik dikerjakan menggunakan SPSS versi 17.
Hasil: Dalam penelitian ini didapatkan sampel total adalah 130 subjek tetapi 9 subjek dropout karena tidak menyelesaikan pemeriksaan secara lengkap dan benar. Data subjek yang dilakukan analisis adalah sebanyak 121 dengan karakteristik 33,9% memiliki usia antara 41-50 tahun dengan rerata usia 37,0 tahun (SD 8,8); 57,9% memiliki berat badan lebih; 55,4% merupakan perokok aktif; 64,5% menggunakan alat pelindung diri secara buruk; 47,9% memiliki masa kerja >10 tahun; 100% bekerja 56 jam seminggu.Rerata kadar CO-ekshalasi adalah 8,7 (SD 5,0). 9,9% subjects memiliki foto toraks normal,hanya 16,7% yang merupakan kelainan paru dan 83,3% merupakan kelainan nonparu. 19% subjek memiliki kelainan faal paru yaitu 60,9% kelainan restriksi ringan dan 39,1% kelainan obstruksi ringan dan sedang. Tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara variabel independen usia, status nutrisi, riwayat merokok, penggunaan alat pelindung diri, durasi kerja terhadap variabel dependen pemeriksaan spirometri.Hanya variabel masa kerja subjek yang semakin lama memiliki hubungan bermakna secara statistik terhadap penurunan hasil pemeriksaan spirometri dengan p=0,0014.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan lamanya masa kerja polisi lalulintas berhubungan bermakna secara statistik dengan penurunan faal paru.

ABSTRACT
Introduction: Air pollution due to road traffic is a serious health hazard and thus the persons who are continuously pollutant exposed, may be at an increased risk. In this respect, traffic policemen are at a risk, since they are continuously exposed to emissions from vehicles, due to the nature of their job. Automobile exhaust consists of oxides of nitrogen, carbon monoxide, particulate matter, and others, which cause injury to the terminal bronchioles and a decrease in the pulmonary compliance and vital capacity. The present study was aimed at assessing the pulmonary function status in traffic policemen in Central Jakarta whether prolonged exposure to vehicular exhausts had any detrimental effect on their lung functions. The relationship between decrements of lung function and various influencing factors also analyzed.
Methods: Across-sectional study was conducted in 170 traffic policemen in Central Jakarta, age 20-55 years, working periods at least 2 years. The data of overall health status was observed using Indonesia Pneumomobile Project Questioner and physical examinations and lung health status was observed using thorax X-ray and spirometry. Level of CO-exhalation was also analyzed. The statistical analysis was carried out with SPSS PC software version 17.
Results: Total samples included in this study were 130 subjects, 9 subjects were dropped out because uncompleted study’s tests. Analyzed subjects were 121 whose characteristics were 33,9% were in age classifications 41-50 years and mean age was 37,0 (SD 8,8); 57,9% overweight; 55,4% active smokers; 64,5% bad masker application; 47,9% in working periods >10 years; 100% had 56 working hours in a week. Mean CO-exhalation level was 8,7 (SD 5,0). 9,9% subjects had abnormal thorax X-ray that16,7% were lung abnormality and 83,3% were nonlung abnormality. 19% subjects recorded lung function decreased included 60,9% mild restriction and 39,1% mild and moderate obstruction. There were no statistical significant between age, nutrition’s classifications, smoking history, protective mask applications, working duration as independent variables and spirometry parameters as dependent variables. Longer working periods were the only dependent variable had statistical significant with decreasing spirometry results with p=0,0014.
Conclusion: This study showed that working periods had statistical significant with lung function decrement."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Chandra Putra
"Latar Belakang: Faktor transkripsi Hypoxia inducible factor-1 (HIF-1 merupakanpengatur utama hipoksia, termasuk menyebabkan penekanan sistem perbaikan deoxyribose nucleic acid (DNA), sehingga menghasilkan instabilitas genetik pada sel kanker. Varian genetik HIF-1α C1772T (P582S) dan G1790A (A588T) dipercaya mempunyai aktivitas transkripsi yang lebih tinggi.Peranan polimorfisme HIF-1α ini sudah diteliti pada beberapa jenis kanker seperti kanker ginjal, payudara, ovarium, tetapi belum ada penelitian pada kanker paru.
Metode: Polimorfisme HIF-1α diperiksa dengan menggunakan direct sequencing dengan total sampel 83 pasien kanker paru (42 adenokarsinoma, 30 skuamous sel karsinoma, empat adenoskuamous sel karsinoma dan tujuh kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) dan 110 subjek sehat sebagai kontrol. Hubungan polimorfisme HIF-1α dengan kelainan genetik/epigentik loss of heterozygot (LOH) TP53, LOH 1p34, LOH retinoblastoma-1 (RB1), inaktivasi p16 dan kelainan epidermal growth factor receptor (EGFR) kemudian diperiksa.
Hasil: Frekuensi polimorfisme HIF-1α pada kanker paru dan kontrol telah sesuai dengan keseimbangan Hardy-Weinberg. Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan frekuensi genotipe C1772T atau G1790A antara kanker paru dengan kontrol sehat. Tetapi, frekuensi varian HIF1A C1772T ditemukan tinggi bermakna di pasien kanker paru dengan LOH TP53 (p=0,015). Pada pasien adenokarsinoma, individu dengan varian alel memiliki frekuensi tinggi LOH TP53 (p=0,047), LOH 1p34 (p=0,009) atau keduanya (LOH TP53 dan LOH 1p34) (p=0,008). Aktivitas transkripsi juga diperiksa secara in vitro dan ditemukan HIF1A varian pada sel kanker paru A549 mempunyai aktivitas yang meningkat secara bermakna dibanding wild type HI1F1A baik di kondisi normoksia atau hipoksia, terutama P582A di sel dengan mutan p53 (p< 0,0005 dan p< 0,005).
Kesimpulan: Penelitian ini mengindikasikan polimorfisme gen HIF-1α mempunyai peranan penting dalam karsinogenesis paru terutama pada adenokarsinoma, diduga melalui peningkatan instabilitas genetik.

Background and objective: The transcription factor, hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1), is a master regulator of hypoxia, including repression of DNA repair systems, resulting in genomic instability in cancer cells. The roles of the polymorphic HIF-1a variants, C1772T (P582S) and G1790A (A588T), which are known to enhance transcriptional activity, were evaluated in lung cancers.
Methods: HIF-1a polymorphisms were assessed by direct sequencing in a total of 83 lung cancer patients (42 adenocarcinomas, 30 squamous cell, four adenosquamous cell and seven small cell lung carcinomas) and in 110 healthy control subjects. The relationship between these polymorphisms and the frequently observed genetic and/or epigenetic aberrations, TP53 loss of heterozygosity (LOH), 1p34 LOH, retinoblastoma-1 (RB1) LOH, p16 inactivation and epidermal growth factor receptor aberrations, was then assessed.
Results: There were no significant differences in genotype frequencies for either C1772T or G1790A between lung cancer patients and healthy controls. However, the frequency of the HIF1A C1772T variant allele was significantly higher in lung cancer patients with TP53 LOH (P = 0.015). Among adenocarcinoma patients, individuals with variant alleles of either polymorphism showed significantly higher frequencies of TP53 LOH (P = 0.047), 1p34 LOH (P = 0.009), or either of these (P = 0.008) in the tumours. The in vitro transcriptional activity of these HIF1A variants in A549 lung cancer cells was significantly greater than that of the wild type under either normoxic or hypoxic conditions, especially for P582S in cells containing mutant p53 (P < 0.0005 and P < 0.005, respectively).
Conclusions: These findings indicate that functional polymorphisms in the HIF-1a gene may have an important impact on lung carcinogenesis, especially in adenocarcinomas, possibly by increasing genomic instability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>