Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Caesary Muflihah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas dinamika perkembangan kebijakan liberalisasi perdagangan komoditas daging sapi di Korea Selatan. Produksi daging sapi lokal Korea Selatan diantaranya yang berkualitas tinggi yaitu sapi Hanwoo. Dalam perkembangan waktu produksi sapi Hanwoo tidak mampu memenuhi permintaan konsumsi daging sapi dalam negeri karena biaya pemeliharaan yang sangat tinggi dan area peternakan yang semakin menyempit. Oleh karena itu, impor daging sapi dinilai dapat menutupi kekurangan produksi daging sapi lokal. Kebijakan liberalisasi perdagangan komoditas daging sapi dianggap sebagai langkah yang tepat. Namun perkembangan kebijakan liberalisasi tersebut ternyata berjalan tersendat karena seringkali Pemerintah Korea Selatan mengeluarkan kebijakan proteksi untuk mengimbangi kebijakan liberalisasi yang dikeluarkan. Dari latar belakang tersebut maka pertayaan penelitian tesis ini adalah bagaimana dinamika perkembangan kebijakan perdagangan komoditas daging sapi dan interaksi aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah Teori Pembuatan Kebijakan Perdagangan dari Dani Rodrik. Menurut Rodrik, terdapat dua indikator yang memengaruhi kebijakan perdagangan yaitu demand-side dan supply-side. Indikator dalam demand-side adalah preferensi individu dan kelompok kepentingan sebagai pihak yang membutuhkan kebijakan. Aktor individu yang dikaji adalah preferensi peternak sapi dan pedagang sapi. Peternak sapi adalah pihak yang membutuhkan kebijakan proteksi untuk menjaga kesinambungan industri peternakan sapi lokal mereka. Sementara pedagang daging sapi adalah pihak yang membutuhkan kebijakan liberalisasi perdagangan. Indikator supply-side adalah preferensi pembuat kebijakan dengan aktornya yaitu Presiden Korea Selatan sebagai pihak penentu dalam mengeluarkan kebijakan baik proteksi maupun liberalisasi dan institusi pembuat kebijakan dengan aktornya yaitu Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan Korea Selatan sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan tersebut atas perintah presiden. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil kajian penelitan menunjukkan bahwa terdapat dinamika pihak yang mendukung dan menentang kebijakan liberalisasi. Pihak yang menentang liberalisasi yaitu peternak sapi lokal. Pihak yang mendukung kebijakan liberalisasi adalah pedagang daging sapi impor. Selain itu terdapat pengaruh aktor internasional yaitu negara Amerika Serikat yang paling dominan, Australia serta Selandia Baru. Keanggotaan Korea Selatan ke dalam GATT kemudian WTO ikut pula memengaruhi dikeluarkannya kebijakan pro liberalisasi. Dinamika kebijakan liberalisasi perdagangan sejak Presiden Kim Young-sam sampai Presiden Park Geun-hye terlihat bahwa mayoritas kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan pro liberalisasi.

ABSTRACT
The focus of this study is dynamics of South Korea rsquo s beef trade policy liberalisation. South Korea 39 s local beef production is a high quality Hanwo. In the development, the production of Hanwoo cattle are not able to meet the demand for domestic beef consumption due to the very high maintenance costs and the decrease of pasture. Therefore, beef imports are considered to cover the shortfall of local beef production. Beef trade policy liberalization is considered as the right step. However, the development of liberalization policy is slow because South Korea government often issued a protection policy to compensate for the liberalization policy issued. From this background, the research question of this study is how is the dynamics of beed trade policy liberalization and the interaction of the actors involved in it. The theory used to answer the research question is Trade Policy Making Theory by Dani Rodrik. According to Rodrik, there are two indicators affect trade policy, demand side and supply side. Indicators in demand side are individual preferences and interest groups as those in need of policy. Individual actors studied are preference of cattle ranchers and beef traders. Cattle ranchers are the ones who need protection policies to maintain the sustainability of their local cattle industry. While beef traders are parties who need trade liberalization policies. The supply side indicator is the policy maker 39 s preference which actor is South Korean President as the decisive party in issuing policies of both protection and liberalization and policy making institutions which actors are the South Korea Ministry of Agriculture and the Ministry of Trade as the party issuing the policy on the president 39 s orders. The methodology used in this research is a qualitative methodology with descriptive design. The results of the study shows there are dynamics of parties that support and oppose liberalization policies. The opposition to liberalization is local cattle ranchers. Parties who support liberalization policies are imported beef traders. In addition there is influence of international actors namely the United States as the most dominant country, Australia and New Zealand. South Korean membership into GATT and then the WTO also influenced the issuance of pro liberalization policy. The dynamics of trade liberalization policy since President Kim Young sam to President Park Geun hye shows that the majority of policies issued are pro liberalization policies."
2018
T51420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftahur Rahman
"Penelitian ini membahas mengenai sebuah eradigital ditandai dengankemajuan pengetahuan dan inovasi dibidangTeknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) yang telah memberikan perubahan besar bagi seluruh aspek kehidupan terutama aspek ekonomi. Di kawasan Asia Tenggarakhususnya ASEAN, perkembangan ekonomi digital ditandai dengan kemunculan e-commerce khususnya di negara Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina dan Vietnam(ASEAN-6). Berdasarkan pada fenomena tersebut muncul sebuah pertanyaan, bagaimana upaya ASEAN-6 dalam menghadapi liberalisasi e-commerce pada era digital agar sejalan dengan agenda kerangka kerja sama ASEAN( AEC Blueprint 2015 & 2025, ASEAN ICT Masterplan dan ASEAN Digital Integration ). Metodologi yang digunakan oleh penulis yaitu kualitatif dengan teknik deskriptif analitik terhadap data dan fakta yang ada. Penulis menggunakan teori liberalisasi perdagangan, konsep integrasi ekonomi serta konsep ekonomi digital untuk dapat mengkaji fenomena liberalisasi e-commerce di ASEAN-6. Berbagai literatur yang telah dikaji oleh penulis menunjukkan bahwa pertumbuhan e-commerce dapatdipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu: 1) infrastruktur internet yang memadai; 2) kemudahan dalam melakukan sistem pembayaran elektronik; 3) keberadaan jasa pengiriman yang menjangkau seluruh kawasan; 4) kerangka kebijakan pemerintah di setiap negara ASEAN-6. Dari hasil temuan yang ada, dari keempat faktor tersebut masih terdapat beberapa hambatan diantaranya: 1) letak geografis dari masing-masing negara ASEAN-6 yang mempengaruhi terhadap peroses pengembangan infrastruktur internet; 2) isu perlindungan data diri dan keamanan siber yang berkaitan dengan sistem pembayaran elektronik; 3) efektifitas dan efisiensi dari keberadaan jasa pengiriman terutama pengiriman antar negara; dan 4) berkaitan dengan kebijakan antara negara yang masih terdapat ketidaksesuaian antar negara. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sebagai organisasi regional di Asia Tenggara,ASEAN terus berupaya mengharmonisasikanregulasiantar negara anggota, membentuk kerangka kerja sama serta agenda lain untuk dapat menyelaraskan perkembangan TIK, khususnya pertumbuhan e-commerce. Upaya ASEAN tersebutsejalan dengan tujuan untuk menumbuhkan kondisi ekonomi domestik semua negaraanggota ASEAN, mengintegrasikan ekonomi kawasan serta dapat bersaing di tingkat internasional.Perbedaan mendasar dari penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya bahwa belum ada penelitian yang mengkaji tentang liberalisasi e-commerce di kawasan ASEAN,maka penulis mencoba mengkolaborasaikan beberapa fakta terkait dengan pertumbuhan liberalisasi e-commerce di ASEAN-6.

This study discusses about digital era marked by the advancement of knowledge and innovation in the field of Technology, Information and Communication (ICT) which has provided major changes to all aspects of life, especially in economy. ASEAN as a regional cooperation in the Southeast Asia region, currently as an emerging market in e-commerce competition, especially for Singapore, Malaysia, Thailand, Indonesia, the Philippines and Vietnam (ASEAN-6). Based on this phenomenon, my research question is, how are ASEAN-6's efforts in facing of e-commerce liberalization in the digital era in line with the ASEAN framework (AEC Blueprint 2015 & 2025, ASEAN ICT Masterplan and ASEAN Digital Integration). This research use the theory of trade liberalization, the concept of economic integration and the concept of digital economics to be able to examine the phenomenon of e-commerce liberalization in ASEAN-6.
The various literature reviewed by the author shows that the growth of e-commerce is influenced by four factors, namely: 1) internet infrastructure; 2) electronic payment system; 3) shipping services that has a wide coverage; 4) government policy framework in each ASEAN-6 country. In addition, there are several obstacles found including: 1) the geographical location of each ASEAN-6 country that affects the process of developing the internet infrastructure; 2) issues of personal data protection and cyber security related to electronic payment systems; 3) effectiveness and efficiency of the existence of shipping services, especially shipping between countries; and 4) policy discrepancies between countries.
This study concludes that as a regional organization in Southeast Asia, ASEAN continues to strive to harmonize regulations among member countries, form a framework of cooperation and other agendas to be able to harmonize the development of ICT, especially the growth of e-commerce. The fundamental difference from this study with previous studies is that there have been no studies that examine e-commerce liberalization in the ASEAN region, so the author tries to collaborate on several facts related to the growth of e-commerce liberalization in ASEAN-6."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54518
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Mudhofarul Baqi
"Keputusan pemerintah Indonesia melakukan hilirisasi komoditas nikel menimbulkan resistensi domestik maupun internasional. Meskipun demikian, kebijakan hilirisasi telah menghasilkan peningkatan pada ekspor produk turunan nikel. Penelitian ini bertujuan menjelaskan dan mendeskripsikan peran pemerintah Indonesia dalam meningkatkan partisipasi rantai nilai global komoditas nikel serta memetakan resistensi domestik maupun internasional yang muncul. Memanfaatkan konsep upgrading dan governance dalam rantai nilai global. Studi ini menemukan empat bentuk peningkatan partisipasi dan empat jenis peran pemerintah. Bentuk peningkatan partisipasi secara produk, proses, fungsi, dan sektoral. Sementara, peranan pemerintah antara lain sebagai fasilitator, regulator, produsen, dan konsumen dalam mendukung kebijakan hilirisasi. Selain itu, kebijakan hilirisasi nikel memicu gugatan dari negara Uni Eropa, dan investasi dari Cina, Jepang, Korea Selatan, serta pengusaha domestik.

The decision of the Indonesian government to downstream nickel commodities has reacted to domestic and international resistance. However, the downstream policy has been increasing nickel derivative product exports. This study aims to explain and describe the role of the Indonesian government in upgrading nickel commodities in the global supply chain and mapping the rise of domestic and international resistance. Adopted the concept of upgrading and governance in global value chains. This study found four forms of upgrading and four types of government roles. The form of upgrading is in products, processes, functions, and sectors. Meanwhile, the role of government includes being a facilitator, regulator, producer, and consumer in supporting downstream policies. In addition, the nickel downstream policy has been disputed by the European Union in WTO and generated investment from Cina, Japan, South Korea, and domestic players."
2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadette Aderi Puspaningrum; Bernadette Aderi Puspaningrum
"ABSTRAK
Sistem finansial global memiliki ketergantungan pada kebutuhan informasi yang simetris sehingga dapat berjalan dengan efisien. Credit Rating Agency (CRA) hadir memenuhi kondisi asimetri informasi dalam sistem finansial sejak 1900an hingga kini. Peran CRA dalam system financial global mutlak diperlukan bagi investor untuk dapat menanamkan modalnya dalam pasar modal dan ke negara lain. Informasi kredit yang dikeluarkan oleh CRA dalam sistem finansial terangkum secara sederhana dalam bentuk alphabet rating setelah melalui proses penilaian dengan methodologi kuantitatif maupun kualitatif. Oleh sebab itu, rating CRA secara cepat diterima dan digunakan secara global. Rating CRA diharapkan dapat menjadi ?gatekeeper? yang diharapkan mampu menjaga stabilitas sistem finansial. Namun dalam perkembangannya, instabilitas finansial yang terjadi seringkali menyoroti CRA yang dipandang lalai dalam menjalankan aktifitasnya. Dalam kondisi tersebut, CRA masih tetap saja digunakan oleh pelaku pasar sehingga memunculkan pertanyaan mengenai pentingnya CRA sebagai non-state actor dalam sistem finansial global. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran CRA dalam sistem finansial. Hasil penelitian menunjukan bahwa CRA sebagai non-state actor internasional memiliki karakteristik yang khusus sehingga penggunaannya dalam sistem sulit untuk digantikan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa CRA dapat dikategorikan sebagai aktor internasional berdasarkan indikator Ryo Oshiba, karena: 1) CRA memiliki independensi sebagai lembaga privat, 2) CRA mampu memobilisasi sumber daya dalam hal ini modal dalam sistem internasional, 3) CRA mampu mempengaruhi aktor lain baik aktor negara maupun non-negara terkait keputusannya untuk menempatkan modal dalam pasar modal domestik maupun internasional.

ABSTRAK
The global financial system depends on symmetrical information so that it can run efficiently. Credit Rating Agency presence met the conditions of information asymmetry in the financial system since the 1900s until now. The role of CRA in the global financial system is absolutely necessary for investors to be able to invest in the capital market and to other countries. Credit information issued by CRA in the financial system are summarized simply in the form of rating after alphabet through assessment with quantitative and qualitative methodologies. Therefore, CRA rating can quickly be accepted and used globally. With that ability CRA is expected to be a "gate keeper" which can maintain the stability of the financial system. But in its development, financial instability that occurs often highlights the CRA deemed negligent in doing its activities. In these conditions, the CRA is still used by market participants so raises questions about the importance of CRA as non-state actors in the global financial system. This study aims to look at the role of CRA in the financial system. The results showed that the CRA as an international non-state actors have special characteristics, so its use in the system difficult to replace. The results show that the CRA can be categorized as an international actor based on Ryo Oshiba's international actor indicator, because: 1) CRA has independence as private institutions, 2) CRA able to mobilize resources (capital) in the system of international, 3) CRA is able to influence other factors both state actors and non-state-related decision to place the capital in domestic and international capital markets."
2016
S63660
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nibras Fadhlillah
"Penelitian ini mengkaji tentang gerakan advokasi yang dilakukan oleh organisasi non-pemerintah terhadap penyelesaian isu kerja paksa dan perdagangan manusia yang terjadi di sektor perikanan tangkap Thailand dan Indonesia. Adanya laporan investigasi oleh beberapa media internasional telah mengungkap sisi gelap dari sektor perikanan tangkap Thailand dan Indonesia terkait dengan isu praktek kerja paksa dan perdagangan manusia di atas kapal penangkapan ikan. Tidak terselesaikannya permasalahan kerja paksa dan perdagangan manusia tersebut membuat organisasi non-pemerintah (NGO) di Thailand dan Indonesia melaksanakan berbagai gerakan advokasi dalam mendorong penyelesaian permasalahan kerja paksa dan perdagangan manusia. Meskipun begitu belum banyak penelitian yang membahas gerakan advokasi organisasi non-pemerintahan yang ada di Thailand dan Indonesia terkait isu perbudakan modern. Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan tentang bagaimana gerakan advokasi yang dilakukan NGO di Thailand dan Indonesia dalam mendorong diselesaikannya permasalahan perbudakan modern di sektor perikanan tangkap. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini akan menggunakan teori jaringan advokasi transnasional oleh Keck dan Sikkink (1999), dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam analisis, peneliti menemukan adanya berbagai bentuk gerakan dalam advokasi transnasional yang dilakukan NGO untuk mendorong adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan isu perbudakan modern. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam gerakan advokasi transnasional untuk mendorong penyelesaian isu mengenai kerja paksa dan perdagangan manusia, NGO Thailand dan Indonesia telah melakukan pembingkaian tentang isu tersebut yang kemudian disebarluaskan kepada publik dan organisasi lainnya agar terbentuk sebuah gerakan advokasi yang masif. Bersamaan dengan itu, NGO di Thailand dan Indonesia juga melakukan pendekatan-pendekatan kepada para aktor-aktor yang memiliki kuasa lebih, seperti pemerintah negara-negara importir produk perikanan maupun agensi-agensi PBB, untuk dapat memberikan dorongan kepada kedua pemerintah agar mengadopsi berbagai aturan internasional sebagai upaya untuk menyelesaikan dan menghentikan praktek kerja paksa dan perdagangan manusia di sektor perikanan tangkap.

This study examines the advocacy movement of NGOs to enforced the settlement of forced labour and human trafficking issues in Thailand and Indonesia capture fisheries sector. The publications of investigation reported by some international medias revealed the dark side of Thailand and Indonesia fisheries sector regarding forced labour and human trafficking practices towards fishing workers on the fishing boats. The unresolved of forced labour and human trafficking issues has led NGOs in Thailand and Indonesia to carry out various advocacy movements in enforcing the settlement of forced labour and human trafficking issues. Nonetheless, there are still lack of studies exploring the advocacy movement of NGO in combating forced labour and human trafficking practices. Hence, the research question of this study is how the advocacy movement of NGOs in Thailand and Indonesia in enforcing the settlement of forced labour and human trafficking issues on the capture fisheries sectors. In this study, the author used transnational network advocacy theory by Keck dan Sikkink (1999), as well as qualitative research method. In the analysis, this study found various type of activities of NGOs transnational advocacy movement to enforce the improvement of governments policies to end forced labour and human trafficking practices in fisheries. This study concluded that in the transnational advocacy movement to enforce the settlement of forced labour and human trafficking issues, Thailand and Indonesian NGOs have framed the issues which was then shared to public and other organizations, in order to form a massive advocacy movement. At the same time, NGOs in Thailand and Indonesia also approached other actors who had more power, such as the government of the fisheries importing country and UN agencies, to enforce those two governments to adopt various international regulation as an effort to resolve and diminish the forced labour and human trafficking practices in catch fisheries sector."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadette Aderi Puspaningrum
"Sistem finansial global memiliki ketergantungan pada kebutuhan informasi yang simetris sehingga dapat berjalan dengan efisien. Credit Rating Agency (CRA) hadir memenuhi kondisi asimetri informasi dalam sistem finansial sejak 1900an hingga kini. Peran CRA dalam system financial global mutlak diperlukan bagi investor untuk dapat menanamkan modalnya dalam pasar modal dan ke negara lain. Informasi kredit yang dikeluarkan oleh CRA dalam sistem finansial terangkum secara sederhana dalam bentuk alphabet rating setelah melalui proses penilaian dengan methodologi kuantitatif maupun kualitatif. Oleh sebab itu, rating CRA secara cepat diterima dan digunakan secara global. Rating CRA diharapkan dapat menjadi gatekeeper yang diharapkan mampu menjaga stabilitas sistem finansial. Namun dalam perkembangannya, instabilitas finansial yang terjadi seringkali menyoroti CRA yang dipandang lalai dalam menjalankan aktifitasnya. Dalam kondisi tersebut, CRA masih tetap saja digunakan oleh pelaku pasar sehingga memunculkan pertanyaan mengenai pentingnya CRA sebagai non-state actor dalam sistem finansial global. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran CRA dalam sistem finansial. Hasil penelitian menunjukan bahwa CRA sebagai non-state actor internasional memiliki karakteristik yang khusus sehingga penggunaannya dalam sistem sulit untuk digantikan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa CRA dapat dikategorikan sebagai aktor internasional berdasarkan indikator Ryo Oshiba, karena: 1) CRA memiliki independensi sebagai lembaga privat, 2) CRA mampu memobilisasi sumber daya dalam hal ini modal dalam sistem internasional, 3) CRA mampu mempengaruhi aktor lain baik aktor negara maupun non-negara terkait keputusannya untuk menempatkan modal dalam pasar modal domestik maupun internasional.

The global financial system depends on symmetrical information so that it can run efficiently. Credit Rating Agency presence met the conditions of information asymmetry in the financial system since the 1900s until now. The role of CRA in the global financial system is absolutely necessary for investors to be able to invest in the capital market and to other countries. Credit information issued by CRA in the financial system are summarized simply in the form of rating after alphabet through assessment with quantitative and qualitative methodologies. Therefore, CRA rating can quickly be accepted and used globally. With that ability CRA is expected to be a "gate keeper" which can maintain the stability of the financial system. But in its development, financial instability that occurs often highlights the CRA deemed negligent in doing its activities. In these conditions, the CRA is still used by market participants so raises questions about the importance of CRA as non-state actors in the global financial system. This study aims to look at the role of CRA in the financial system. The results showed that the CRA as an international non-state actors have special characteristics, so its use in the system difficult to replace. The results show that the CRA can be categorized as an international actor based on Ryo Oshiba's international actor indicator, because: 1) CRA has independence as private institutions, 2) CRA able to mobilize resources (capital) in the system of international, 3) CRA is able to influence other factors both state actors and non-state-related decision to place the capital in domestic and international capital markets."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilfi Biyan Firza
"Penelitian ini membahas tentang analisis penggunaan Society For Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) sebagai financial statecraft Amerika Serikat terhadap Iran pada periode tahun 2012-2015 untuk menekan pengembangan teknologi nuklir Iran. Kajian-kajian terdahulu perihal sanksi yang diberikan terhadap suatu negara belum banyak yang membahas mengenai penggunaan SWIFT sebagai salah satu instrumen penekan suatu negara. Penelitian ini menggunakan teori sanction busting trade dari Bryan R. Early dan financial statecraft dari Benn Steil dan Robert E. Litan sebagai kerangka analisis dan metode penelitian process tracing, untuk menjawab pertanyaan penelitian “Mengapa Amerika Serikat menggunakan SWIFT sebagai instrumen untuk menekan pengembangan nuklir Iran pada tahun 2012-2015?”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sanksi-sanksi sebelumnya yang telah diberikan oleh Amerika Serikat ternyata kurang efektif untuk menekan Iran. Hal tersebut disebabkan karena adanya variabel-variabel sanction busting trade dari negara-negara mitra dagang utama Iran seperti Tiongkok, Italia, India, Jepang dan Korea Selatan. Analisis dalam tulisan ini juga menunjukkan adanya peran penting dari penggunaan financial statecraft dalam hal ini SWIFT sebagai alat dalam menekan Iran agar bersedia melakukan negosiasi dengan AS terkait dengan pengembangan teknologi nuklir.

This study discusses the analysis of the use of Society For Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) as a financial statecraft of the United States against Iran in 2012-2015 to suppress the development of Iran's nuclear technology. Previous studies regarding sanctions regarding sanction imposed on a country have not discussed the use of SWIFT as an instrument to pressure a country. This study uses the sanction busting trade theory from Bryan R. Early and financial statecraft from Benn Steil and Robert E. Litan as an analytical framework and process tracing research method, to answer the research question “why does the United State use SWIFT as an instrument to suppress Iran’s nuclear development in 2012-2015?”. The results of this study indicate that the previous sanctions that have been imposed by the United States have been less effective in suppressing Iran. This is due to the existence of sanctions busting trade variables from Iran's main trading partner countries such as China, Italy, India, Japan and South Korea. The analysis in this paper also shows the important role of the use of financial statecraft in this case, SWIFT as a tool in pressuring Iran to be willing to negotiate with the US related to the development of nuclear technology."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rassya Sastika Akbar
"Dalam dua dekade terakhir, penanaman modal Tiongkok telah berkembang dari fenomena yang relatif baru dalam perekonomian global hingga menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan oleh komunitas internasional. Tidak hanya dikenal akan pertumbuhan ekonominya yang sangat pesat, Tiongkok juga telah menjadi salah satu penyedia modal asing bagi banyak negara di dunia. Peningkatan signifikansi peran Tiongkok dalam hubungan internasional melalui praktik penanaman modal asing mendorong penulis mengangkat tinjauan pustaka tentang isu tersebut. Tulisan ini menggunakan 56 literatur yang terakreditasi secara internasional dan mengklasifikasikannya sesuai dengan kesamaan antarliteratur. Berdasarkan pada metode taksonomi, literatur-literatur tersebut dibagi ke dalam empat kategori, yang terdiri atas: 1) karakteristik penanaman modal Tiongkok; 2) determinan penanaman modal Tiongkok; dan 3) implikasi penanaman modal Tiongkok. Tulisan ini mencoba untuk menunjukkan konsensus, perdebatan, tren, serta kesenjangan dalam topik ini. Tinjauan literatur yang penulis lakukan menghasilkan beberapa temuan meliputi: (1) penanaman modal Tiongkok berjalan secara dinamis dan kompleks dengan aktor dan motivasi yang berbeda; (2) pertimbangan aspek-aspek ekonomi dan politik dalam melancarkan praktik penanaman modal Tiongkok; (3) penanaman modal Tiongkok membawa dampak yang berbeda di setiap negara resipien dan bagi Tiongkok sendiri sebagai negara investor.

In the last two decades, China’s Outward Foreign Direct Investment (COFDI) has grown from a relatively new phenomenon in the global economy to become one of the hot topics discussed by the international community. Not only is China known for its very rapid economic growth, China has also become one of the providers of foreign investments for many countries in the world. The increasing significance of China's role in international relations through the practice of foreign investment has prompted the author to carry out a literature review on this issue. This paper uses 56 internationally accredited literatures and classifies them according to the similarities between the literatures. Based on the taxonomic method, the literature is divided into four categories, which consist of: 1) the characteristics of COFDI; 2) the determinants of COFDI; and 3) the implications of COFDI. This paper attempts to highlight the consensus, debate, trends, and gaps in this topic. The literature review that the author conducted yielded several findings including: (1) COFDI is dynamic and complex with different actors and motivations; (2) consideration of economic and political aspects in facilitating COFDI; (3) COFDI has a different impact in each recipient country and for China itself as an investor country."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library