Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180989 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lely Pelitasari Soebekty
"Beberapa tahun terakhir industri gula yang pernah menjadi primadona di Indonesia menunjukkan adanya ketimpangan antara produksi dan konsumsi. Implikasinya adalah terjadi peningkatan jumlah impor gula dalam jumlah yang cukup signifikan. Pada sisi lain, seiring dengan perkembangan ekonomi negara-negara di dunia, konsumsi gula untuk industri mengalami peningkatan relatif yang lebih tinggi daripada konsumsi rumah tangga. Dalam konteks kebijakan perdagangan Indonesia, kecenderungan ini direspon antara lain dengan diaturnya tarif impor bagi gula kristal mentah (raw sugar) dan gula rafinasi (refined sugar) sebagai bahan pemanis bagi industri. Pada perkembangannya beberapa kebijakan terhadap gula rafinasi dinilai telah melahirkan realitas yang berbeda dari yang diharapkan dan diduga akan mengakibatkan distorsi pada industri ini. Dengan dasar pemikiran tersebut tesis ini disusun untuk menganalisis pasar dan strategi persaingan antar industri terkait, serta merumuskan alternatif kebijakan yang harus diprioritaskan pemerintah untuk mengembangkan industri gula rafinasi sehingga bisa melindungi kepentingan petani, konsumen tingkat rumah tangga dan sekaligus mendorong persaingan usaha yang sehat antar industri.
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa industri gula rafinasi pasar termasuk dalam struktur pasar oligopoli dengan perilaku (conduct) yang mengarah pada praktek kolutif. Kinerja (performance) dan profitabilitas menunjukkan adanya margin yang cukup besar namun dari persepsi konsumen mengharuskan industri ini melakukan perbaikan, terutama pada aspek kualitas, harga dan kontinuitas suplai. Untuk itu kebijakan yang dianggap perlu menjadi prioritas pemerintah dalam mewujudkan industri gula rafinasi yang efisien dan menguntungkan semua stakeholders berturut-turut adalah : 1) Optimalisasi pabrik gula rafinasi, 2) Penerapan kuota impor, 3) Memperketat perijinan & pengawasan Industri gula rafinasi, 4) Menurunkan bea masuk refined sugar, dan 5) Menurunkan bea masuk raw sugar. Adapun prioritas strategi yang akan ditempuh oleh industri gula raflnasi menghadapi industri pesaing, dalam hal ini industri gula petani (berbasis tebu rakyat) adalah meningkatkan kapasitas & produksi, sedangkan prioritas strategi petani dalam menghadapi strategi industri gula rafinasi adalah menuntut penyesuaian harga pembelian gula.
Melihat potensi konflik yang terjadi antar stakeholders gula rafinasi, Pemerintah harus melakukan pendekatan yang lebih fair kepada semua pihak sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Pemerintah perlu secara konsisten untuk mulai mengurangi proteksi terhadap industri gula rafinasi sehingga mendorong bekerjanya pasar yang akan meningkatkan efisiensi.
Berdasarkan analisis strategi yang dipilih oleh masing-masing industri gula menghadapi strategi pesaingnya maka ada tiga kebijakan yang direkomendasikan, yaitu : penghapusan segmentasi pasar, jaminan pembelian gula petani dengan pola dan mekanisme baru, serta pengembangan industri gula berbasis tebu rakyat."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15316
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lely Pelitasari Soebekty
"Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis struktur dan kinerja industri gula rafinasi di Indonesia serta merumuskan alternatif dan prioritas kebijakan dalam pengembangan industri gula reformasi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan S-C-P (Structure - Conduct - Performance), sedangkan perumusan prioritas dilakukan dengan menggunakan Analystical Hierarchy Process (AHP).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri gula rafinasi memiliki struktur pasar oligopoli dengan perilaku yang mengarah pada praktek kolutif. Kinerja berdasarkan ukuran profitabilitas menunjukkan adanya marjin yang cukup besar. Namun begitu persepsi konsumen mengharuskan industri ini untuk melakukan perbaikan terutama pada aspek kualitas harga dan kontinuitas suplai. Pilihan dan prioritas kebijakan yang dapat diambil pemerintah untuk mewujudkan industri rafinasi yang efisien dan menunguntungkan semua stakeholder adalah : 1) optimalisasi pabrik gula rafinasi dan 5) menuruhnkan bea masuk gula kasar. Mempertimbangkan potensi konflik yang ada di antara stakeholders, pemerintah harus melakukan pendekatan yang lebih adail kepada semua pihak sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Pemerintah perlu secara konsisten mulai mengurani proteksi terhadap industri gula rafinasi sehingga diharapkan akan mampu mendorong pasar untuk bekerja lebih efisien."
2005
JUKE-1-2-Des2005-181
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lucia Wenny Widjajanti
"Sebagai salah satu komoditas penting yang dibutuhkan masyarakat, kestabilan harga merupakan salah satu hal yang periu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pada periode 1980-1997 (kebijakan monopoli BULOG/Badan Urusan Logistik), harga gula meningkat stabil. Sedangkan pada periode sesudahnya (1998-2004), harga guia berfiuktuasi. Meskipun pemerintah melakukan intervensi melaiui kebijakan, namun harga yang terjadi tetap melalui mekanisme pasar yaitu interaksi permintaan dan penawaran. Secara umum, permintaan gula tidak dapat dipenuhi seluruhnya dari :produksi gula dalam negeri, sehingga Indonesia harus mengimpor gula. Permintaan gula secara nasional diperkirakan akan terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk, dan konsumsi gula. Sedangkan penawaran gula terdiri dari produksi gula dalam negeri dan impor guia. Peningkatan produksi gula dalam negeri perk] dilakukan untuk mendukung swasembada gula di tahun 2007 untuk gula konsumsi rumah tangga, dan tahun 2009 untuk total konsumsi gula. Secara teoritis harga gula akan ditentukan oleh berbagai faktor yang menentukan perubahan-perubahan terhadap penawaran dan permintaan gula dalam negeri. Faktor-faktor yang mempengaruhi masing-masing sisi tersebut menjadi menarik untuk dipelajari, karena selain karakteristik struktur pasar gula di Indonesia bersifat oligolpoii, pemerintah juga melakukan kebijakan di bidang pergbaaan yang mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
Permintaan gula dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan harga gula dalam negeri. Impor gula dipengaruhi oleh produksi guia dalam negeri, dan kebijakan bea masuk impor gula. Harga gula dalam negeri dipengaruhi oleh permintaan gula, dan kebijakan harga provenue/dana talangan pembelian gula petani. Penawaran gula terdiri dari produksi gula dan impor gula. Produksi tebu merupakan perkalian antara luas lahan dengan produktivitas tebu, dan produksi gula diperoleh dari perkalian antara produksi tebu dan rendemen.
Melalui pengujian ekonometrika, maka dapat disimpulkan bahwa selama periode kebijakan monopoli BULOG (1980-1997) permintaan gula, impor gula, maupun harga gula dalam negeri mengalami peningkatan yang cukup stabil, dibandingkan periode setelah monopoli BULOG (1998-2004). Kebijakan yang dijalankan pemerintah selama tahun 1980-2004 antara lain kebijakan harga provenue/dana talangan pembelian gula petani, yang merupakan kebijakan penting dalam upaya mengendalikan harga gula dalam negeri, dimana pemerintah menetapkan "harga dasar" gula di tingkat produsen. Namun pemerintah perlu menyesuaikan besaran nilai rupiah yang tepat sesuai dengan keadaan Indonesia.
Berdasarkan faktor produksi gula, Program Akselerasi Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula Nasional yang berdampak positif pada peningkatan hasil tebu dan produktivitas hablur di tahun 2004, tetap dilanjutkan dengan meningkatkan kerjasama dengan lembaga penelitian terutama untuk mengembangkan teknologi varietas tebu unggul dan teknologi mesin pabrik.
Sedangkan faktor kebijakan bea masuk impor gula dilakukan utnuk membatasi jumlah impor gula yang masuk ke Indonesia. Namun, tarif bea masuk impor gula Indonesia masih Iebih rendah dibanding negara-negara lain. Untuk itu pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menaikkan tarif bea masuk impor tersebut, namun hares secara hati-hati dan didahului dengan kajiab Iebih mendalam dan komprehensif."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T20322
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Embang Supiati
"Intervensi pemerintah pada komoditas gula dimulai sejak diterbitkannya Inpres No. 9 Tahun 1975 yang meliputi tiga hal yaitu, pertama kebijakan produksi gula yang meliputi kebijakan Tebu Rakyat Intensifikasi, kebijakan mendorong perkembangan industri gula ke luar Jawa dan menetapkan harga provenue gula. Kedua, kebijakan pemasaran (tataniaga) gula pasir dan ketiga, kebijakan harga gula.
Tingginya intervensi pemerintah pada waktu itu telah menyebabkan berbagai masalah inefisiensi dalam struktur pasar gula Indonesia, yang pada akhirnya mendorong rendahnya poduktivitas dan tingginya harga gula di tingkat konsumen serta meningkatnya impor gula. Kemudian adanya kesepakatan Pemerintah RI-IMF, yang tidak lagi memperbolehkan adanya subsidi pada industri gula, dan tuntutan dari WTO sebagai perwujudan dari perjanjian pelaksanaan liberalisasi perdagangan dunia, intervensi pemerintah pada industri pergulaan dicabut dengan dikeluarkannya Inpres No. 19 Tahun 1998 tanggal 21 januari 1998. Sejak itu industri pergulaan Indonesia yang seharusnya berjalan sesuai dengan mekanisme pasar, namun karena tidak adanya persiapan bagi industri antuk menghadapi liberalisasi perdagangan dunia, menimbulkan berbagai masalah baru di dalam struktur pasar gula Indonesia. Tidak adanya hambatan tarif pada saat itu menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh tarif bea masuk impor gula dan menganalisa faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pasar gula Indonesia.Melalui model persamaan simultan, dibangun model dasar pasar gula Indonesia dengan menggunakan data sekunder rangkai masa tahunan dari tahun 1984-2000 yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Model terdiri dari 9 persamaan yang terdiri dari 6 persamaan struktural/perilaku dan 3 persamaan identitas. Data diolah dengan menggunakan analisa regresi linear berganda dengan metode two steps least square (2 SLS) dan dengan bantuan program TSP versi 4.3A.
Hasil pendugaan model dengan tingkat signifikansi α = 5% , dimana nilai koefisien determinasi ( R2 ) masing-masing perilaku yang berkisar antara 0,6487 - 0,9970, menunjukkan bahwa secara umum variabel penentu yang dimasukkan dalam persamaan perilaku dalam penelitian ini menjelaskan dengan baik keragaman setiap variabel endogennya. Sementara itu nilai F yang berkisar antara 10,2347 - 998,23, dapat di interpretasikan bahwa secara bersama-sama variabel-variabel penentu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen di setiap persamaan perilakunya.
Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa dari beberapa variabel yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan keragaan pasar gula Indonesia, hanya variabel impor dan harga eceran yang dipengaruhi oleh bea masuk. Rendahnya tarif bea masuk yang dikenakan terhadap impor gula menyebabkan gula impor masuk ke Indonesia secara tak terkendali hingga menyebabkan menumpuknya stok gula di pasar dalam negeri. Menumpuknya stok gula akan merusak pasar gula dalam negeri karena harga gula menjadi rendah dan gula produksi dalam negeri terdesak oleh gula impor yang harganya lebih murah. Kondisi industri pergulaan yang demikian jika tidak segera teratasi akan menurunkan produksi gula nasional dan pada akhirnya ketergantungan Indonesia terhadap produsen gula luar negeri semakin tinggi.
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa kenaikan harga provenue gula yang ditetapkan oleh pemerintah yang selama ini dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani tebu dan pabrik gula, ternyata telah meningkatkan marjin bagi pedagang perantara. Hal ini disebabkan kenaikan harga provenue lebih kecil dari kenaikan harga eceran akibatnya persentase harga provenue terhadap harga eceran juga semakin kecil, sedangkan selisih harga eceran terhadap harga provenue yang merupakan marjin pedagang semakin besar."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T8057
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Busono
"Gula sebagai Salah Satu komoditi pokok strategis saat ini menjadi pembicaraan berbagai pihak menyangkut berbagai isu-isu politik atau pun tentang penimbunan gula, baik gula produk dalam negeri maupun gula impor. lmpor saat ini jumlahnya cukup besar dengan harga yang lebih rendah dibandingkan gula dalam negeri. Permasalahan tersebut menimbulkan pertanyaan dibenak penulis sehingga tertarik untuk meneliti masalah gula dalam negeri.
Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk membuktikan apakah gula dalam negeri dapat bersaing dengnan gula impor. Hasil penelitian terhadap industri gula dalam negeri akan menjadi masukan yang berguna bagi pihak yang berkaitan dengan industri gula.
Metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif dengan melakukan analisa kualitatif. Peranan teori yang dikembangkan oleh Porter akan merupakan alat analisis hasil penelitian. Sampel dalam perolehan data penelitian diperoleh melalui hasil tanya jawab, data statistik dan pengisian kuesioner.
Hasil penelitian menunjukan keunggulan daya saing dengan perhitungan RCA, hasilnya sangat rendah sehingga disimpulkan industri gula tak memiliki keunggulan daya saing. PHA digunakan untuk menentukan alternatif strategi peningkatan daya saing dari pandangan responden guna mempertahankan keberadaan industri gula di Indonesia, dan jika mungkin sekaligus mengembangkannya.
Teori Porter tentang competitive advantage suatu negara/bangsa, dalam hal ini Indonesia yang memiliki Iuas Iahan untuk tanaman tebu dan sumber daya manusia tak dapat dipungkiri. Namun, kenyataannya sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Penelitian yang dilakukan dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut di atas, terhadap beberapa masalah menyangkut peningkatan daya saing industri gula di Indonesia dilakukan dengan menggunakan analisis Diamond Porter dan beberapa teori lainnya. Oleh karena hasil analisis Porter menunjukan rendahnya daya saing industri gula, maka digunakan alat analisis RCA dan PHA untuk mencari jalan keluar keberadaan industri gula. Hasil penelitian menunjukkan suatu jalan keluar yang dapat ditempuh untuk mempertahankan industri gula Indonesia dan sisi kebijakan. Namun, kondisi gula pada umumnya tidak memiliki daya saing.
Namun, akhirnya dapat dianalisis juga masalah-masalah yang ada serta saran yang mungkin dapat menjadi jalan keluar terbaik guna mengatasi masalah industri gula Indonesia agar tetap menjamin keberadaannya. Adapun jalan tengah yang diperoleh dari perhitungan hasil penelitian merupakan suatu kebijakan pemerintah. Kebijakan B merupakan pilihan responden, sehingga pemerintah diharapkan akan memperhatikan pemberlakuan tarif rendah, pengembangan industri gula, sistem tanam, pembebasan impor gula, dan tata niaga industri gula jika akan mengeluarkan kebijakan tata niaga gula. Akhirnya Penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pembuat kebljakan dimasa datang pada komoditi gula sebagai sembilan bahan pokok strategis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12461
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beddu Amang
Jakarta: Dharma Karsa Utama , 1993
380.1 BED k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sabaruddin Amrullah
"Lewat catatan sejarah kita dapat mengetahui bahwa industri gula di Indonesia pernah mengalami masa keemasan (Sugar boom) pada masa pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1920-1930 dimana produksi mencapai sekitar 3 juta ton gula dan diekspor sekitar 2,6 juta ton. Pada tahun 1929 jumlah Pabrik Gula (PG) mencapai 179. Industri gula mulai runtuh tahun 1930-an akibat resesi ekonomi dunia (world recession). Pada tahun 1937 jumlah PG menyusut menjadi 92 buah, kemudian Zaman Jepang tinggal 20 buah. Setelah Indonesia merdeka, PG meningkat menjadi 30 buah pada tahun 1950, kemudian menjadi 51 pada tahun 1956, meningkat menjadi 67 pada tahun 1989, dan 68 buah tahun 1995. Kemudian meningkat menjadi 70 buah pada tahun 1997, di Jawa 57 unit dan di luar Jawa 13 unit.
Beberapa permasalahan yang mengemuka seperti: (i) sisi produsen meliputi; luas areal tebu di Jawa cenderung menurun, areal tebu di Jawa telah mencapai kondisi closing cultivation frontier, yaitu mencapai batas maksimal lahan subur yang layak untuk areal tebu akibat meningkatnya kompetisi penggunaan lahan, produktivitas leveling-off (kontribusi kenaikan produktivitas terhadap peningkatan produksi semakin kecil), subsidi pupuk telah dihapus, investasi berkurang, dana penelitian terbatas, faktor alam (kemarau, hama), (ii) sisi konsumen meliputi: kebijakan harga provenue terus meningkat yang mendorong harga naik ditingkat eceran, jumlah penduduk meningkat, pendapatan masyarakat meningkat, rupiah overvalued selama periode periode 1987-1996, hadirnya pesaing gula berupa: (a) pemanis alami, gula merah, gula kelapa, gula lontar, (b) pemanis sintetis, sakarin, sildamat, dll.
PeneIitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan: produksi, konsumsi, harga gula domestik, harga impor gula Indonesia, impor gula Indonesia, serta ekspor gula dunia, impor gula dunia, dan harga gula dunia. Kemudian mengevaluasi, meramalkan posisi industri gala domestik dalam kaitannya dengan perdagangan gula dunia melalui simulasi historis dan simulasi peramalan (historical and ex-ante simulation).
Dalam penelitian ini memakai data periode tahun 1969-1997 dengan model pendekatan ekonometrika, metode Two Stage Least Squares (2SLS) dipakai untuk mengestimasi model simultan yang dinamik. Model terdiri dari 11 persamaan (m), yaitu 8 persamaan strukturallperilaku dan 3 persamaan identitas; dan 52 variabel predetermined, yang terdiri dari 45 variabel eksogen dan 7 variabel lag endogen, sehingga total seluruhnya 63 variabel (K). Berdasarkan kriteria identifikasi model, maka semua persamaan overidentified, sehingga metode 2SLS dapat digunakan.
Hasil pendugaan model dimana nilai koefisien detenninasi (R2) masing-masing perilaku berkisar antara 0.791 - 0.989, dengan demildan secara umum variabel penentu yang dimasukkan dalam persamaan perilaku dalam penelitian ini menjelaskan dengan baik keragaan setiap variabel endogennya. Sementara nilai F yang berkisar antara 19.876 - 675.056, yang pada umumnya tinggi , maka dapat dinterpretasikan bahwa secara bersama-sama variabel-variabel penentu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen disetiap persamaan perilakunya. Kemudian Durbin-Watson (DW) berkisar 1.571 - 2.887, mengingat masalah korelasi serial (DW) hanya mengurangi efisiensi pendugaan dan tidak menimbulkan bias parameter regresi, maka hasil pendugaan model dalam penelitian ini dapat dinyatakan cukup representatif menggambarkan fenomena ekonomi gula di Indonesia, kaitannya dengan perdagangan gula dunia.
Kemudian untuk validasi nilai aktual variabel endogen menggunakan kniteria statistika yaitu Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), proporsi dekomposisi Mean Square Error (MSE) Bari bias peramalan Theil's Inequality Coefficient, (U-Theil's) Proporsi bias (UM), bias regresi (UR), dan bias distribusi (UD), R2. Selanjutnya jika didekomposisikan kedalam proporsi bias (UM), bias regresi (UR), dan proporsi distribusi kesalahan non sistematik atau bias distribusi (UD), maka tampak bahwa sebagian besar nilai-nilai UM dan UR mendekati nol (0), serta nilai UD mendekati satu (1). Hal ini berarti bahwa sebagian penyimpangan simulasi lebih bersifat non sistematik dibanding penyimpangan regresi dan sistematik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model ekonometrika komoditas gula yang telah diestimasi dalam penelitian ini cukup valid untuk simulasi altematif kebijakan dan non kebijakan melalui analisis simulasi historis maupun peramalan (historical and ex-ante simulation).
Keterbatasan utama penelitian ini adalah luasnya lingkup permasalahan (aggregate) dan sifat ekonometrika yang termasuk ekonomi positif (arbitrary), sehingga tidak dapat menetapkan kebijakan terbaik secara spesifik. Keinginan untuk kembali menggapai swasembada gula di capai pada tahun 1984 dihadapkan pada situasi ekonomi gula domestik saat ini dimana laju pertumbuhan produksi sangat lambat (4,44%) dibanding laju pertumbuhan konsumsi (41,36%) dari periode tahun 1969-1997, atau terjadi defisit (produksi < konsumsi), sehingga mendorong peningkatan impor gula Indonesia. Pada tahun 1998 impor gula mencapai 1.8 juta ton atau sekitar 55% dari kebutuhan konsumsi gula domestik.
Impor gula Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh Stok Gula Domestik, Harga Gula Dunia, Kekuatan Intervensi Harga oleh Pemerintah Indonesia, Produksi Gula Indonesia, Produk Domestik Bruto Indonesia, Konsumsi Gula Indonesia, dan Bedakala Impor Gula Indonesia. Kuantitas Perdagangan Gula Dunia (ekspor dan impor) dalam jangka pendek memberikan respon inelastis (variabel endogen atau Harga Gula Dunia terhadap vaniabel eksogen atau Ekspor, Impor Gula Dunia) ini berarti bahwa dalam jangka pendek Harga Gula Dunia stabil. Sementara dalam jangka panjang Perdagangan Gula Dunia memberikan respon elastis yang berarti bahwa dalam jangka panjang sulit mencapai posisi harga stabil (harga bergejolak), sebab perubahan dalam jumlah Ekspor dan Impor, Gula Dunia masing-masing atau bersama-sama akan mempengaruhi Harga Gula Dunia.
Melalui Simulasi Historis, Dengan mempertahankan Swasembada Gula Absolut (tanpa impor), maka luas areal baik di Jawa maupun di luar Jawa meningkat. Kebijakan ini tepat ketika dimaksudkan untuk meningkatkan luas areal tebu. Melalui Simulasi Peramalan, dengan skenario menghapus intervensi harga oleh pemerintah Indonesia, maka luas areal tebu di Jawa dan di Luar Jawa akan menurun sebagai akibat dari ketidak mampuan berkompetisi dengan harga gula dunia, yang masuk ke Indonesia tanpa hambatan tarif (Bea Masuk=O), sehingga harga gula domestik anjlok. Berbagai kebijakan pemerintah untuk pengembangan industri gula domestik telah dilakukan antara, antara lain: subsidi pupuk, kredit usahatani tabu, price support (harga provenue), tataniaga dalam hal ini pengadaan, penyaluran, dan stok oleh Bulog.
Era liberalisasi menghendaki dihapuskannya berbagai bentuk proteksi, tanpa retriksi perdagangan. Perlindungan (protection) pemerintah terhadap industri gula domestik selama ini kurang mampu mendorong peningkatan produksi, implikasinya kemudian adalah meningkatnya jumlah impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat (income) meningkat, serta berkembangnya inndustri makanan dan minuman yang menggunakan gula sebagai salah sate inputnya. Eksistensi industri gula domestik dapat "diselamatkan" melalui intervensi pemerintah dalam hal ini menggunakan instrumen pengenaan tarif bea masuk impor gula, yang pada saat ini gula masih dalam exception list, harga provenue, kemudian pada sisi industri gula domestik diharapkan untuk mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam proses produksinya.
Tantangan bagi industri gula domestik adalah "serbuan" gula impor yang sangat murah sebagai akibat dari efisiensi, serta adanya dumping negara produsen utama gula dunia. Kendatipun demikian industri gula domestik juga memiliki peluang dan pangsa pasar yang demikian luas dalam negeri sehingga hal tersebut dapat merupakan kekuatan pendorong (driving force) untuk terus bertahan (survive) sekaligus meningkatkan produksi gula domestik. Kemudian yang sangat mendesak (urgent) adalah seberapa besar perhatian (concern) yang sungguh-sungguh dari pihak-pihak yang terkait dalam industri gula domestik, dalam haI ini para pelaku disisi produsen, serta penentu kebijakan (pemerintah) memberikan atensi terhadap upaya memacu peningkatan produksi gula domestik. Singkatnya diperlukan "political will" dan 'political action" para penentu kebijakan (decision makers) serta semangat dan kesadaran kolektif (consciousness collective) serta kemauan berbuat lebih banyak (willingness to do more) dari pihak-pihak produsen (petani dan industri gula) untuk meningkatkan efisensi dan produktivitasnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daddi Heryono Gunawan
"Sejak awal pertumbuhannya, industri gula di Indonesia tidak pernah Iepas dan campur tangan kepentingan negara. Ini karena peran khusus yang dimiliki oleh industri gula, yaitu sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Disamping komoditi gula kemudian menjadi salah satu komoditi pertanian yang strategis yang tingkat ketersediaan dan harganya mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi dan politik negara. Di sisi lain keberadaan industri gula di Jawa sangat tergantung pada keberadaan petani, khususnya dalam hal penyediaan tanah untuk penanaman tebu dan tenaga kerja untuk pengelolaan perkebunan tebu dan pabrik gula.
Namun ketergantungan itu tidak menyebabkan kedudukan petani dalam hubungannya dengan produksi gula menjadl kuat. Sebaliknya petani Iebih sering menjadi obyek eksploitasi pabrik gula yang praktiknya ditopang oleh kebijakan negara. Tesis ini berusaha mendeskripsikan proses dan bentuk eksploitasi petani tebu serta peranan kebijakan negara, sejak periode tanam paksa hingga masa sekarang.
Untuk itu dilakukan suatu penelitian yang bersifat deskriptif; Iewal suatu pendekatan atau metoda analisa komparatif sejarah (historical comparative analysis). Metoda analisa komparatif sejarah digunakan untuk mengungkapkan realitas sejarah eksploitasi petani tebu sejak awal pertumbuhan perkebunan tebu di Indonesia. Seiain itu, untuk mengungkapkan keadaan kontemporer perkembangan industri gula di Jawa, digunakan matoda pengamatan lapangan (field research).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pergulaan di Indonesia sejak awal pertumbuhannya pada masa kolonial, ditandai oleh adanya kontinyuitas kebijakan yang praktiknya Iebih banyak memihak kepentingan pabrik gula ketimbang petani. Kontinyuitas itu terjadi karena dalam sejarahnya, negara memiliki kepemingan ekonomi-politik terhadap produksi gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula. Ini berlangsung kelika pabrik gula dikuasai oleh negara (jaman tanam paksa) atau ketika dikuasai oleh pihak swasta (masa liberal dan politik etis). Keadaan yang sama juga terjadi ketika negara nasional, lewat program nasionalisasi tahun 1957, mengambil alih kepemilikan dari tanah para pengusaha swasta asing (Belanda). Yang hal itu terus berlanjut sampai sekarang.
Sifat eksploitatif dari kebijakan negara terwujud melalui eksploitasi tanah dan tenaga kerja pada petani oleh pabrik gula dan kekuatan "atas petani" lainnya. Semuanya itu dilakukan atas nama produksi gula. Di pihak lain, karakter pola hubungan produksi antara petani dengan pabrik gula menepis kemungkinan timbulnya suatu bentuk perlawanan yang bersifat radikal. Ini pada gilirannya mendorong kelangsungan keadaan dan nasib para petani yang selalu terpinggirkan dari jaman ke jaman.
Oleh karena itu hanya melalui suatu kebijakan sosial-ekonomi dan politik yang berskala Iuas, Iangsung menyentuh serta berpihak pada kepentingan para petani maka nasib petani tebu di Jawa yang Iebih dari satu setengah abad terpinggirkan, bisa dirobah. Salah satu bentuk kebijakan itu adalah menjalankan privatisasi pabrik gula yang mengarah pada transformasi kepemilikan pabrik gula secara bertahap kepada para petani dan penduduk desa Iainnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12458
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmania Eridaputri
"Gula merupakan salah satu komoditas strategis selain beras yang masih belum bisa dipenuhi kebutuhannya oleh produksi dalam negeri. Kebutuhan yang terus meningkat mendorong pemerintah untuk mencapai target swasembada di tahun 2017. Swasembada dikatakan tercapai ketika produksi dalam negeri mampu menutupi 90 persen kebutuhan. Dengan menggunakan metode ordinary least square dan data pada tahun 1975-2014, didapatkan hasil bahwa variabel luas lahan tebu, produktivitas, rendemen tebu dan dummy kebijakan proteksi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kuantitas produksi gula nasional. Sedangkan variabel bebas lainnya tidak signifikan.

Sugar is one of the strategic commodity other than hulled rice which the domestic production can not fulfill the demand The increasing of demand for sugar in every year encourages the governSugar is one of the strategic commodity other than hulled rice which the domestic production can not fulfill the demand. The increasing of demand for sugar in every year encourage the government to reach self-sufficiency in 2017. Self-sufficiency is a success when the domestic production can fulfill at least 90 percent of the quantity demanded. This paper is using ordinary least square method with data set from 1975-2014, the result shows that land, productivity of land, sucrose content of sugar cane and import tariff are significantly affecting the production of white sugar while the other variables are not significantly affecting it."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
S61864
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>