Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119752 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitri Octaviana
"Latar Belakang: Pada penderita epilepsi dapat terjadi gangguan memori dan dipengaruhi oleh etiologi, tipe kejang, usia saat awal bangkitan, frekuensi kejang, factor herediter, dan akibat pengobatan epilepsi. Cognitive Event Related Potentials (ERPs) atau pemeriksaan P300 merupakan salah satu metode pemeriksaan fungsi kognitif (seperti atensi, memori, fungsi eksekutif). Pemeriksaan ini cukup akurat untuk mendeteksi penurunan fungsi memori. Pada penelitian sebelumnya terdapat pemanjangan masa laten P300 auditorik penderita epilepsi dibandingkan individu normal.
Tujuan: Mengetahui rerata masa laten gelombang P300 auditorik pads penderita epilepsi umum sekunder dengan gangguan memori dibandingkan epilepsi umum sekunder tanpa gangguan memori.
Disain dan Metode: Studi potong lintang dengan perbandingan internal pada aspek pemanjangan masa laten gelombang P300 auditorik antara kelompok yang mengalami gangguan memori dan yang tidak mengalami gangguan memori,
Hasil: Dan 93 penderita didapatkan 21 (22,6%) penderita mengalami gangguan memori. Faktor yang berpengaruh terhadap gangguan memori adalah frekuensi kejang>4 kali per bulan (p=0,009). Rerata masa laten gelombang P300 auditorik pada penderita epilepsi 340,81±32,84 milidetik, pada pasien dengan gangguan memori 385,1±12,81 milidetik, dan pada pasien tanpa gangguan memori 327,89+24,53 milidetik. Terdapat perbedaan bermakna antara gangguan memori dengan rerata masa laten P300 auditorik (p=0,000), Faktor yang berpengaruh terhadap masa laten gelombang P300 secara independen adalah frekuensi bangkitan > 4 kali per bulan (p<0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara gangguan memori pada penderita epilepsi sekunder dengan pemanjangan masa laten gelombang P300 auditorik.

Background: Memory impairment could be present in epilepsy, which is affected by etiology, seizure type, age at first seizure, seizure frequency, hereditary factors, and anti-epilepsy drugs, Cognitive Event Related Potentials (ERPs) or P300 examination is one of the methods to examine cognitive function (i.e. attention, memory, and executive function). This method is accurate enough, especially to detect reduction in memory function. Previous studies showed prolonged auditory P300 latency in epilepsy patients compared to normal population.
Purpose: To perceive the mean latency of auditory P300 in secondary generalized epilepsy with memory impairment compare to secondary general epilepsy without memory impairment.
Design and method: Cross sectional study with internal comparison in latency of auditory P300 aspect between group with and without memory impairment.
Result: From 93 patients, we have 21 (22.6%) patients suffering from memory impairment. The influencing fact to these circumstances is frequency of seizure which is more than 4 times per month (p=0.009). Mean latency of auditory P300 in secondary generalized epilepsy is 340,81±32.84 ms, in patients with memory impairment it is 385.1±12.81ms, and in patients without memory impairment it is 327.89+24.53ms. There is a significant correlation between memory impairment and mean latency of auditory P300 (p-O.000). The independently influencing facts to auditory P300 latency is frequency of seizure which is more than 4 times per month (p
Conclusion: A significant difference between memory impairment in secondary generalized epilepsy and elongation of auditory P300 latency is proven."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58452
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekarsunan Setyahadi
"Latar Belakang. Gangguan memori merupakan konsekuensi epilepsi lobus temporal (ELT) dan salah satu acuan penentuan zona epileptogenik, disesuaikan semiologi kejang, EEG iktal serta neuroimaging. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan tatalaksana komprehensif termasuk terapi pembedahan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuan. Mengetahui gambaran gangguan memori penyandang ELT di RSCM. Metode. Desain penelitian berupa studi potong lintang. Subyek adalah penyandang ELT kiri atau kanan, diperoleh secara konsekutif, kemudian dilakukan pemeriksaan Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT) dan Rey Osterrieth Complex Figure Test (ROCFT) .Hasil. Diperoleh 85 subyek, 63.5% menderita gangguan memori. Dari 24 subyek gangguan memori visual, 29.6% dengan fokus kanan, dan 14.8% dari kiri. Dari 16 subyek gangguan memori auditorik, 25.9% dari fokus kiri dan 3.7% dari kanan. Gangguan memori visual dan auditorik pada 14 orang, dengan fokus kiri 11.1% dan kanan 14.8%. Fokus cetusan kanan berhubungan signifikan dengan gangguan memori visual dan kiri berhubungan signifikan dengan memori auditorik (p=0.001). Penggunaan OAE (p<0.10, OR 2.300,IK 95% 0.874,6.050) mempengaruhi gangguan memori secara umum. Lama menderita epilepsi (p<0.10;OR2.953;IK 95%0.863,10.110), penggunaan OAE (p<0.10;OR9.253;IK 95%1.355,63.168) dan fokus cetusan (p<0.10;OR 19.620; IK 95% 2.012,191,312) mempengaruhi gangguan memori auditorik. Onset bangkitan awal (p<0.10;OR 3.043,IK95%,0.110, 1.136) mempengaruhi gangguan memori visual. Lama menderita epilepsi (p<0.10;OR 2.383; IK95% 0.899,6.318) mempengaruhi gangguan memori visual dan auditorik.
Kesimpulan. Sebagian besar penyandang ELT menderita gangguan memori. Gangguan memori visual atau auditorik menunjukkan efek lateralisasi yang signifikan. Penggunaan OAE, lama menderita epilepsi, usia saat bangkitan awal dan fokus cetusan dapat mempengaruhi gangguan memori.

Background. Memory impairment was a consequence of temporal lobe epilepsy (TLE). Memory impairment with semiology, ictal EEG and neuroimaging were used in determining the epileptogenic zone of TLE, so we could improve the comprehensive management of TLE, and improve patient?s quality of life. Objectives.To determine the proportion of memory impairment in people with TLE in RSCM. Methods A cross-sectional study, subjects were those with left or right TLE. The memory function were assessed using Rey Osterrieth Complex Fugure Test (ROCFT) and Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT). Results. There were 85 eligible subjects. Memory impairment was found in 63.5% subjects. Visual memory impairment were found in 24 subjects, 29.6% with right focus and 14.8% left focus. Auditory memory impairment were found in 16 subjects, 25.9% with left focus and 3.7% right focus. Visual and auditory memory impairment were 14 people, 11.1% with left focus and 14.8% were right. The right sided focus was associated with visual memory impairment and auditory memory impairment was associated with leftfocus (p = 0.001). The use of Anti Epileptic Drugs (AED) (p <0,10; OR 2.300; 95% CI 0.874; 6.050) affected memory impairment in general. Duration of epilepsy (p <0.10; OR 2.953;95% CI 0.863;10.110) , the use of AED (p <0.10; OR 9.253; 95% CI 1.355;63.168) and focal discharges (p <0.10; OR 19,620; 95% CI 2.012;191,312) affected the auditory memory impairment. Early seizure onset (p <0.10; OR 3.043; 95% CI 0.110; 1136) affected visual memory impairment. Duration of epilepsy (p <0.10; OR 2,383; 95%CI 0.899;6.318) affected visual and auditory memory impairment. Conclusion. Most of subjects were suffering from memory impairment. Subjects with visual or auditory memory impairment showed significantly effects of lateralization. The use of AEDs, duration of epilepsy, early onset of seizure affected memory impairment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvana Evawani
"Gangguan fungsi kognitif pada gangguan afektif bipolar timbul bersamaan dengan gejala episode mood dan diharapkan dapat pulih seiring remisi gejala episode mood. Penelitian-penelitian menemukan fungsi kognitif yang menetap pada fase remisi gejala dan diduga dapat memengaruhi fungsi psikososial. Salah satu fungsi kognitif yang terganggu selama fase remisi adalah memori verbal. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan hubungan antara fungsi memori verbal dengan fungsi psikososial pada pasien dengan gangguan afektif bipolar fase remisi dan nonremisi. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Poli Psikiatri Dewasa RSCM. Subyek yag digunakan sebanyak 64 orang, terdiri atas 32 pasien fase remisi dan 32 pasien fase nonremisi. Memori verbal diukur dengan Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT), fungsi psikososial diukur dengan The World Health Organization Disability Assessment Schedule 2.0 (WHODAS 2.0). Kedua kelompok tidak memerlihatkan perbedaan performa fungsi memori verbal, kecuali pada performa fungsi pemanggilan kembali segera (p 0,046). Tidak didapatkan hubungan yang signifikan secara statistik antara memori verbal dengan fungsi psikososial pada pasien dengan gangguan afektif bipolar fase remisi dan nonremisi. Performa memori verbal yang sama antara kelompok pasien remisi dan nonremisi menunjukkan bahwa memori verbal pada gangguan afektif bipolar dapat terganggu meskipun gejala mood sudah remisi. Fungsi psikososial dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor selain fungsi memori verbal yang perlu diteliti lebih lanjut.

Cognitive impairment in bipolar affective disorders happens during mood epsisode symptoms and are expected to recover within remission of mood episode symptoms. Studies have found cognitive functions that settled during remission phase of symptoms and are thought to affect psychosocial function. One of the impaired cognitive functions during the remission phase is verbal memory. The purpose of this study was to prove the relationship between verbal memory and psychosocial function is patients with bipolar disorder currently in remission and nonremission ones. This study was a cross-sectional study conducted at Adult Psychiatry Policlinics at Ciptomangunkusumo Hospital. The subjects were 64 patients, consisting of 32 remitted patients, and 32 nonremitted patients. Verbal memory is measured using Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT). Psychosocial functions were measured by the World Health Organization Disability Assessment Schedule 2.0 (WHODAS 2.0). The two groups showed no differences in the performance of verbal memory, eccet for immediate recall function (p 0,046). There was no statistically significant relationship between verbal memory and psychosocial function in both groups. Verbal memory performnace may still impaired bipolar disorder during remission. Psychosocial functions can be influenced by various factors other than verbal memory fucntion and need to be investigated further."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salendu, Praevilia Margareth
"Latar belakang : Tidur berguna untuk kesehatan mental, emosi, fisik, dan sistem
imunitas tubuh. Gangguan tidur pada anak semakin menjadi masalah karena akan
berdampak pada mood, perilaku dan intelektual anak. Dilaporkan, insidensi
gangguan tidur pada anak lebih tinggi pada kasus epilepsi.
Tujuan : Mengetahui prevalensi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi, serta
menilai hubungan antara faktor-faktor risiko yang memengaruhinya kejadian
gangguan tidur pada anak dengan epilepsi.
Metode : Studi potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Anak Kiara RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta dengan populasi anak epilepsi usia 4-18 tahun. Penilain
variabel gangguan tidur menggunakan kuesioner sleep disturbance scale for
children (SDSC) terdiri dari 26 pertanyaan yang telah tervalidasi sebelumnya.
Kuesioner akan diisi oleh orang tua mengenai pola tidur anak dalam 6 bulan
terakhir. Pasien yang sebelumnya memiliki gangguan tidur primer seperti
obstructive sleep apnea (OSA), sindrom epilepsi, disabilitas intelektual, attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD) akan dieksklusi.
Hasil : Didapatkan 99 subyek dengan karakteristik 22,2% menderita epilepsi
intraktabel, 28,2% serebral palsi dan 64,6% tipe kejang umum. Dari hasil
kuisioner SDSC didapatkan 71,7% anak dengan epilepsi mengalami gangguan
tidur, jenis terbanyak 62% gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Faktor
risiko yang terbukti memengaruhi secara independen kejadian gangguan tidur
pada pasien epilepsi adalah tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
elektroensefalografi (EEG) abnormal, dan obat antiepilepsi (OAE) jenis nonbenzodiazepin.
Kesimpulan : Tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
abnormalitas EEG, dan OAE jenis non-benzodiazepin bermakna secara statistik
independen memengaruhi kejadian gangguan tidur pada epilepsi.

Background : Sleep is affecting mental health, emotional, physical, and immune
system. Sleep disorder in children was increased and became a burden because it
will affect the mood, behaviour and intellectual. Reportedly, the incidence of
sleep disorder is higher in children with epilepsy.
Objective : Knowing the prevalence of sleep disorder in children with epilepsy,
and to assess the risk factors which affecting it.
Methods : A cross-sectional study was conducted at children polyclinic Cipto
Mangunkusumo Hospital in Jakarta with populations of epilepsy children aged 4-
18 years old. The assessment of sleep disorder using the sleep disturbance scale
for children (SDSC), which consist of 26 questions that had been previously
validated. The questionnaire will be filled out by parents regarding the childs
sleep pattern in the past 6 months. Patients who had primary sleep disorders such
as obstructive sleep apnea (OSA), epilepsy syndrome, intellectual disabilities,
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) will be excluded.
Results : There were 99 subjects, with characteristics are 22.2% had intractable
epilepsy, 28.2% had cerebral palsy and 64.6% generalized seizures. The
prevalence of sleep disorder in child with epilepsy in this study was 71.7%, the
most frequent type was disorder of starting and maintaining sleep. Risk factors
that have been shown to independently affecting the incidence of sleep disorder in
epilepsy patients are generalized seizures, cerebral palsy, intractable epilepsy,
electroencephalography (EEG) abnormality, and non-benzodiazepine type
antiepileptic drugs (AED).
Conclusion : Generalized seizure, cerebral palsy, intractable epilepsy, EEG
abnormality, and non-benzodiazepine type of AED are statistically significant
affecting the incidence of sleep disturbance in epilepsy independently."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Aryanti
"Latar belakang. Proses mendengar sangat mempengaruhi proses berbahasa dan berkomunikasi. Gangguan pendengaran memberikan efek negatif pada perkembangan kognitif anak. Perlunya penilaian fungsi kognitif pada anak dengan gangguan pendengaran adalah untuk mengevaluasi fungsi kognitif normal atau abnormal, dan memberikan informasi untuk menentukan intervensi dan target yang sesuai. Pemeriksaan P300 event-related potential (ERP) merupakan teknik pemeriksaan neurofisiologis yang dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif secara objektif. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh gangguan pendengaran sensorineural terhadap fungsi kognitif anak usia 7-15 tahun yang dinilai dengan gelombang P300. Metode. Studi potong lintang ini terdiri dari 15 subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural dan 15 subjek dengan pendengaran normal yang memenuhi kriteria inklusi. Masa laten dan amplitudo gelombang P300 yang timbul terhadap nada target direkam dan dianalisis. Hasil. Rerata masa laten gelombang P300 tidak didapatkan berbeda bermakna antara kelompok gangguan pendengaran sensorineural dengan kelompok normal (p=0,578). Selain itu, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada nilai amplitudo gelombang P300 antara kelompok gangguan pendengaran sensorineural dengan kelompok normal (p = 0,885). Selain itu tidak didapatkan hubungan bermakna antara amplitudo P300 dengan kejadian gangguan pendengaran sensorineural (p = 0,403). Kesimpulan. Gangguan pendengaran sensorineural tidak berhubungan dengan kelainan fungsi kognitif yang dinilai dengan gelombang P300. Penggunaan alat bantu dengar yang lebih awal pada subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural dapat mempengaruhi hasil pada studi ini.

Background. Hearing disorder negatively impacts cognitive development. Cognitive assessment in children with sensorineural hearing loss is necessary to administer appropriate intervention. P300 is one of the auditory event-related potentials commonly used in neurophysiological examination to objectively assess cognitive function. Aim. To identify the effect of sensorineural hearing loss on cognitive function in children aged 7 to 15 years old by evaluating P300 waveform. Methods. This cross-sectional study consisted of 15 subjects with sensorineural hearing loss and 15 subjects with normal hearing function who met the inclusion criteria. P300 latency and amplitudes were recorded and analyzed. Results. The mean P300 latency between the study group and the control group was not statistically significant (p = 0.578). There was no significant difference in the amplitude of the P300 wave between the study group and the control group (p = 0.885). In addition, there were no significant association between P300 amplitude and sensorineural hearing loss (p = 0.403). Conclusion. In this study, sensorineural hearing loss is not associated with cognitive disorders as measured by P300. Early diagnosis and early hearing aid use were thought to mediate the association between sensorineural hearing loss and cognitive disorder in this study."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prinnisa A. Jonardi
"Kejang demam, riwayat keluarga dan pencitraan merupakan faktor-faktor yang dapat memengaruhi klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 1989. Penentuan jenis klasifikasi berguna untuk penatalaksanaan pasien. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rekam medis tahun 1995-2010 Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectional. Data diolah dengan multivariat regresi logistik. Dari hasil penelitian ini, didapat sampel sebanyak 99 orang dengan rincian laki-laki 53,4%, perempuan 46,5%. Pasien terbanyak pada kelompok umur 0-2 tahun 12 bulan (37,4%). Terdapat kebermaknaan yang signifikan pada hubungan antara pencitraan dengan klasifikasi epilepsi (p < 0,001). Tidak terdapat kebermaknaan yang signifikan terhadap hubungan antara riwayat epilepsi keluarga (p = 0,393) dan riwayat kejang demam ( p = 0,161) dengan klasifikasi epilepsi. Pencitraan merupakan faktor yang berpengaruh paling besar (OR = 16,725) terhadap penentuan jenis klasifikasi epilepsi bila dibandingkan dengan riwayat epilepsi keluarga dan riwayat kejang demam.

Febrile seizure, family history, and imaging are factors that determine the classification of epilepsy based on ILAE 1989. The classification is important to patient's treatment.This study used medical record from Pediatric Department of RSCM in 1995-2010. This study is a cross-sectional analytic. The data was proceed with multivariate logistic regression. There are 99 sample, 53.4% are male and 46.5% female. The most distribution of patient's age is in 0-3 years (37.4%). There is significant results in correlation between imaging with epilepsy classification (p<0.001) and there are less significant results between family history (p=0.393) and febrile seizure (p=0.161) with epilepsy classification. Imaging is the most powerful factor (OR = 16.725) that contribute to determine classification of epilepsy compared to family history and febrile seizure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdiana Lukitasari
"Gambaran kualitas hidup pasien dengan epilepsi di berbagai belahan dunia menunjukkan rerata skor yang beragam dan secara umum berada pada rentang yang cukup baik. Namun demikian, tinggi rendahnya skor kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dan diduga self-efficacy menjadi salah satu aspek yang mempengaruhinya. Self-efficacy ialah komponen yang penting dan dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas hidup klien dewasa dengan epilepsi.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara self-efficacy dengan kualitas hidup pada klien dewasa dengan epilepsi menggunakan desain cross-sectional. Penelitian ini menggunakan 50 orang klien dewasa dengan epilepsi sebagai sampel.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan rerata yang bermakna pada kualitas hidup berdasarkan stigma (p < 0,05) dan self-efficacy dengan kualitas hidup memiliki derajat kemaknaan kuat (p < 0,05;r = 0,511). Selain itu, analisis berikutnya menemukan tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan pada kualitas hidup berdasarkan penggunaan OAE, tipe serangan, frekuensi serangan, dukungan sosial (p>0,05).
Penelitian ini bermanfaat dalam pelayanan keperawatan agar dapat memenuhi kebutuhan klien yang berprinsip mengendalikan serangan beserta dampak negatif akibat serangan maupun medikasi. Sehingga, kualitas hidup klien dewasa dengan epilepsi diharapkan semakin baik.

An overview of the quality of life of patients with epilepsy in various parts of the world shows that scores vary widely and generally in a fairly good range, with values above 60 from a range of 100. However, high and low quality of life scores can be influenced by several factors and suspected self -efficacy is one aspect that influences it. Self-efficacy is an important and necessary component to improve the quality of life for adults with epilepsy.
The aim of this study is to identify relationship between self-efficacy and quality of life adult clients with epilepsy using cross-sectional analytical methods. This study used 50 adults with epilepsy.
The results showed that there were significant mean differences in quality of life based on stigma (p <0.05) and self-efficacy to quality of life has a strong degree of significance (p<0.05;r=0.511). Further analysis found that there was no significant difference in quality of life based on AED usage, type of seizure, frequency of seizure, social support (p>0.05).
This research is useful for nursing care in meeting needs that are principled to control seizure and side effects of medication. So, the quality of life of adult clients with epilepsy expected to be better.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Cahyo Baskoro
"Psikosis adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat memperburuk memori kerja. Teori mengatakan bahwa lama pencarian pengobatan psikosis duration of untreated psychosis, DUP yang panjang menyebabkan memori kerja yang lebih buruk. Namun, hasil penelitian pada pasien dewasa tidak konsisten sementara penelitian pada pasien anak belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara lama waktu pencarian pengobatan psikosis dengan memori kerja pada anak. Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional dengan 45 subjek yang dibagi ke dalam dua kelompok pasien dengan DUP pendek.

Psychosis is a morbid mental disorder which impairs working memory. Theory suggests that longer duration of untreated psychosis DUP results in worse working memory. However, results of previous studies remain inconsistent whereas no study has been conducted in children. This study aims to find out the association between duration of untreated psychosis and working memory in children. This is a cross sectional study with 45 subjects who were divided to two groups of patients with short DUP "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Suryo Aji
"Latar Belakang: Pengaruh sering kontak dengan white spirit di lingkungan kerja menjadi salah satu hal yang dicurigai sebagai pencetus penurunan atensi/konsentrasi/ingatan para mekanik sehingga terjadinya kecelakaan. Dari toxicological profilenya zat tersebut memiliki efek terhadap susunan saraf pusat yang kronis salah satunya adalah gangguan memori jangka pendek.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Subjek penelitian para mekanik kontraktor pertambangan batubara PT.A di Kalimantan Selatan, berjumlah 80 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pemberian kuesioner serta pemeriksaan fungsi memori dengan RAVL dan ROCF test.
Hasil: Dari 80 sampel 57 (71,3%) mengalami gangguan memori jangka pendek. Tingkat pajanan ≥2,64 memiliki risiko 3,1 kali terjadi gangguan memori jangka pendek dibanding tingkat pajanan <2,64 (nilai p=0,048; OR=3,109; CI=1,012-9,551). Secara statistik faktor risiko yang bermakna adalah status gizi (nilai p=0,026; OR=0,276; CI=0,089-0,858) dan usia (nilai p=0,045; OR=0,310; CI=0,099-0,972)
Kesimpulan: Prevalensi gangguan memori jangka pendek para mekanik kontaktor PT.A sebesar 71,3%. Tingkat pajanan ≥2,64 memiliki risiko gangguan memori jangka pendek 3,1 kali lebih besar dari tingkat pajanan <2,64. Secara statisitik status gizi dan usia bermakna dalam risiko gangguan memori jangka pendek.
Kata kunci: gangguan memori jangka pendek, white spirit, tingkat pajanan.

Background: The effect of white spirit chemicals suspected as the cause of
attention/concentration/memories decreasses of mechanics. It can occurs the accidents. Having known of the toxicological profile that these chemicals have chronical effects on the central nervous system. Then one of the disorders examined is something related to the function of the central nervous system is impaired of short-term memory. Methods: This study used a cross-sectional design. The subjects are PT.A coal contractor mechanics in South Borneo, totaling 80 people. Data collected through interviews, physical examinations, questionnaires and examination administration with memory function RAVL and ROCF test.
Results: There are 80 samples of 57 (71.3%) experiencing short-term memory impairment. The white spirit exposure level ≥2,64 has risk 3,1 times bigger than white spirit exposure level <2,64 become a short term memory loss (p value=0,048; OR=3,109; CI=1,012-9,551). Statistically the factors that has a significant association are nutritional status (p value=0,026; OR=0,276;
CI=0,089-0,858) and age (p value=0,045; OR=0,310; CI=0,099-0,972)
Conclusion: 57 (71.3%) from 80 people experiencing short-term memory impairment. White spirit exposure level ≥2,64 has risk 3,1 times bigger than white exposure level <2,64 become a short term memory loss There are statistics relations between age dan nutritional status with short term memory loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinda Hikmanurina
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai
hubungan antara keberfungsian keluarga dan optimisme pada ibu yang memiliki anak
dengan gangguan spektrum autistik. Penelitian ini dilakukan dengan metode
kuantitatif kepada 37 orang ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum
autistik. Keberfungsian keluarga diukur dengan menggunakan alat ukur Family
Assessment Device (FAD) yang dibuat berdasarkan teori The McMaster Model of
Family Functioning. Terdapat enam dimensi yang mengukur keberfungsian keluarga,
yaitu dimensi penyelesaian masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif,
keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku (Epstein, dkk., 2003). Sedangkan variabel
Optimisme diukur dengan menggunakan alat ukur Life Orientation Test-Revised
(LOT-R) yang dikembangkan oleh Scheier, Carver, dan Bridges (1994). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa keberfungsian keluarga tidak memiliki hubungan
yang signifikan dengan optimisme pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan
spektum autistik. Artinya, keberfungsian keluarga yang efektif tidak selalu diikuti
oleh tingginga optimisme pada Ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum
autistik.

Abstract
This research was conducted to find the correlation between family functioning and
optimism among mothers with autistic spectrum disorder?s child. This research was
conducted by quantitative methods to 37 mothers with autistic spectrum disorder?s
child. Family functioning measured using modification instrument named family
assessment device (FAD) which is made based on The McMaster Model of Family
Functioning. There are 6 dimensions that measure family functioning, the
dimensions are: problem solving, communication, roles, affective responsiveness,
affective involvement, and behavior control (Epstein, dkk., 2003). Optimism was
measured using modification instrument named life orientation test revised (LOT)
which has been developed by Scheier, Carver, and Bridges (1994). The result of this
research show that there is no significant correlation between family functioning and
optimism among mothers with autism spectrum disorder?s child. The result means
that the higher effectiveness of family functioning not always followed by higher
optimism among mothers with autistic spectrum disorder?s child."
2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>