Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116947 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susie Rendra
"Kusta merupakan suatu penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh hasil tahan asam Mycobacterium leprae. Sampai kini, penyakit kusta tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia, walaupun sebenarnya eliminasi kusta di Indonesia sudah tercapai pada pertengahan tahan 2000.
Kusta adalah penyakit dengan stigma sosial yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kecacatan yang ditimbulkan, yaitu deformitas dan mutilasi, sehingga terjadi ketakutan, tidak hanya pada masyarakat umum, tetapi juga pada kalangan medis. Ketakutan ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman dan kurang tersedianya informasi tepat dan akurat mengenai penyakit kusta. Kuman M. leprae menyerang sel Schwann pada serabut saraf, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan saraf, yang bila tidak tertangani dengan baik akan berakhir dengan kecacatan. Cacat mengurangi kemampuan seseorang untuk bekerja dengan baik, sehingga pasien kusta menjadi bergantung pada orang lain dan tidak mampu hidup mandiri. Kecacatan seringkali terjadi akibat keterlambatan pengobatan dan tindakan pencegahan kecacatan yang kurang memadai. Untuk mencegah cacat diperlukan diagnosis tepat, penanganan secepatnya dan deteksi dini penyakit kusta.
Cacat akibat kusta dapat mengenai ekstremitas (tangan dan kaki) dan mata, yang merupakan organ penting agar seseorang dapat berfungsi baik dalam kehidupan sehari-hari. Pencegahan cacat merupakan hal yang penting dilakukan karena keterlambatan akan menyebabkan kecacatan menjadi permanen.
Komplikasi okular sering ditemukan pada kusta, yang dapat menyebabkan penurunan visus dan kebutaan. Prevalensi kebutaan pads pasien kusta 5 kali Iipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal. Kerusakan mata pada penyakit kusta biasanya terjadi perlahan, seringkali tidak disadari oleh pasien dan jarang dikeluhkan. Keluhan baru disampaikan bila terjadi penurunan tajam penglihatan (visus). Pada saat ini umumnya kelainan sudah lanjut, sehingga penanganan menjadi lebih sulit. Kemungkinan fungsi mata puiih kembali menjadi normal juga berkurang. Dengan deteksi dini diharapkan kelainan mata dapat diketahui lebih cepat dan fungsi mata dapat dipulihkan secara maksimal.
Salah satu kelainan mata yang dapat menyebabkan penurunan fungsi penglihatan adalah gangguan sensibilitas kornea. Sensasi yang berkurang (terutama terhadap nyeri) mengakibatkan pasien kurang menyadari bila terjadi sesuatu pada mata. Keadaan ini membuat pasien sangat berisiko mengalami kerusakan mata lebih lanjut. Hal ini menyebabkan pasien terlambat mencari pengobatan. Pada mata yang hipoestesia mudah terjadi infeksi, lukalulkus, perforasi, jaringan parut 9 dan dapat berakhir dengan kebutaan. Penelitian yang dilakukan oleh Daniel dkk. (1999) mendapatkan kecenderungan hipoestesia kornea 3-4 kali Iipat lebih besar pada pasien dengan Iasi hipopigmentasi pada wajah dibandingkan dengan pasien tanpa Iesi wajah. Kekurangan penelitian ini, seperti yang diakui oleh penelitinya, adalah menggunakan lidi kapas untuk pemeriksaan kornea. Cara ini kurang sensitif dan sangat tergantung pada keterampilan pemeriksa. Pemeriksaan sensibilitas kornea dengan lidi kapas sebenamya tidak dianjurkan oleh World Health Organization (WHO), karena berpotensi rmerusak epitel kornea bila dilakukan secara tidak benar. Peneliti mengemukakan mengenai perlunya dilakukan penelitian menggunakan alat estesiometer Cochet-Bonnet."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faraby Martha
"Tujuan : Membandingkan hasil biakan bakteri dari spesimen kornea yang diambil dengan metode kerokan dilanjutkan mikrohomogenisasi dan hasil biakan bakteri dari spesimen kornea yang diambil dengan apusan kornea. Desain: Penelitian ini adalah perbandingan potong lintang comparative cross sectional , Metode: Delapan belas subjek yang dibagi menjadi 2 kelompok terandomisasi, Kelompok A kerokan dilakukan pertama, apusan kedua , dan kelompok B apusan dilakukan pertama, kerokan kedua . Pada analisis data kedua metode kerokan dan apusan dipisahkan kemudian dibandingkan. Hasil: Proporsi Gram sesuai biakan pada teknik Kerokan-Mikrohomogenisasi sebesar 6/13 46.2 , proporsi Gram sesuai biakan pada teknik Apusan sebesar 5/13 38.5 . Nilai p uji McNemar adalah 1.000 p> 0.05 . Proporsi biakan positif pada teknik Kerokan-Mikrohomogenisasi sebesar 13/18 72.2 , proporsi biakan positif pada teknik apusan sebesar 9/18 50 . Nilai p uji McNemar adalah 0.219 p> 0.05 . Nilai uji kesesuaian Kappa dari teknik kerokan mikrohomogenisasi terhadap apusan kornea adalah 0.333. Kesimpulan: Hasil biakan bakteri dari spesimen kornea yang diambil dengan metode Kerokan dilanjutkan Mikrohomogenisasi memiliki angka biakan positif yang lebih besar dibandingkan biakan bakteri dari spesimen kornea yang diambil dengan apusan kornea namun tidak bermakna secara statistik. Kata kunci : apusan kornea; biakan bakteri; kerokan mikrohomogenisasi

Purpose To compare the results of bacterial culture that specimens was taken by the corneal scrapings followed by microhomogenization method and bacterial culture that specimens was taken by corneal swabs. Methods This study was cross sectional comparisons, which 18 subjects were divided into two randomized groups Group A scrapings performed first, smear performed second , and group B smear performed first, scrapings performed second . In data analysis both methods scrapings and swabs are separated then compared. Results The proportion of Gram corresponding culture in scrapings Microhomogenization technique was 6 13 46.2 , the proportion of Gram corresponding cultures in smear technique was 5 13 38.5 . McNemar test p value is 1.000 p 0.05 . The proportion of positive cultures in scrapings Microhomogenization technique was 13 18 72.2 , the proportion of culture positive on smear technique was 9 18 50 . McNemar test p value is 0219 p 0.05 . Kappa suitability test value is 0.333. Conclusion The results of bacterial culture that specimens was taken by the corneal scrapings followed by microhomogenization have a culture positive larger than bacteria cultures that specimens was taken by a swab of the cornea but not statistically significant. Keywords bacterial cultures corneal swabs scrapings microhomogenization "
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Imam Pratana
"ABSTRACT
Latar Belakang. Kavitas merupakan salah satu penampakan lesi paru yang paling umum ditemukan pada pasien TB. Namun demikian, tidak banyak penelitian yang memelajari mengenai prevalensi dan risiko pembentukan kavitas pada pasien TB terkait dengan kebiasaan merokoknya. Metode Penelitian. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan dengan metode potong lintang. Populasi target adalah pasien yang terdiagnosis TB pada tahun 2016-2018 yang memeriksakan diri ke RSUP Persahabatan. Hasil. Didapatkan 148 subjek penelitian. Sebagian besar pasien adalah laki-laki dengan jumlah 96 orang dan perempuan sebanyak 52 orang. Dari segi usia, didapatkan mayoritas responden adalah berusaia 17 hingga 45 tahun. Sebanyak 65 pasien teramati memiliki kavitas pada paru dan 83 pasien tidak memiliki kavitas pada paru. Berdasarkan indeks brinkmannya, didapati bahwa 65 (43,9%) orang bukan perokok, 19(12,8%) orang perokok berat, 25 (16,9%) perokok sedang, dan 39(26,4%) orang perokok ringan. Dari hasil analisis, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik p<0,05 antara kebiasaan merokok dengan keberadaan lesi paru pada pasien TB. Pasien yang termasuk kedalam indeks brinkman sedang-berat memiliki PR=2,41 IK95% 1,578-3,683 sedangkan pasien dengan indeks brinkman ringan memiliki PR=1,316 IK95% 0,760-2,277 (tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan : ada hubungan antara kelas merokok brinkman sedang-berat dengan lesi kavitas pada paru pasien dengan TB.

ABSTRACT
Background. Cavity is one of pulmonary lesion that is most common in tuberculosis patients. But, studies about prevalence and cavity-forming risk in TB patients related to their smoking habit is not much known. Methods. Data are collected at Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan with cross-sectional method. Target population are patients at Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan that are diagnosed with TB in 2016-2018. Result. As much as 148 research subject are recorded. Most patient are men (96 persons), while 52 are women. Respondents age are between 17 and 45 years old. As much as 65 patients have lung cavity while the other 83 patients do not have lung cavity. Based on Brinkmans Index, 65 persons (43.9%) are not smoker, 19 persons (12.8%) are heavy smoker, 25 persons (16.9%) are moderate smoker, and 39 persons (26.4%) are light smoker. Data analysis showed that there is a statistically significant assosication ( p<0,005 ) between smoking habits and prevalence of cavitary lesion in patients with TB. Patients that are included into moderate-heavy smokers group have PR = 2,41 CI95% 1,578-3,683 while patients that are included into light smokers have PR=1,316 CI 95% 0,760-2,277 (statistically insignificant). Conclusion : There is an association between moderate-heavy smoking and the appearance of cavitary lesion in TB patients."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Febriandri
"Latar belakang: Pasien bekas TB yang telah diobati akan mengalami perubahan struktur anatomi paru permanen sehingga dapat meningkatkan risiko kejadian gejala sisa. Gejala sisa yang terjadi dapat meninggalkan lesi di paru dan ekstra paru. Pada lesi paru biasanya diawali dengan perubahan struktur bronkial dan parenkim paru seperti distorsi bronkovaskuler, bronkietaksis, emfisematus dan fibrosis. Fungsi paru pada pasien 6 bulan setelah menyelesaikan pengobatan TB kategori I ditemukan nilai tes fungsi paru cenderung lebih rendah walapun sudah menyelesaikan obat anti tuberculosis (OAT) selama 6 bulan.
Metode: penelitian menggunakan metode potong lintang pada 65 pasien yang mendapatkan OAT lini I di Poli Paru RSUP persahabatan. Subjek penelitian akan menjalani pemeriksaan spirometri, DLCO, darah rutin dan HRCT toraks.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median usia subjek 45 tahun dengan usia paling muda 18 tahun dan usia paling tua 60 tahun. Jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan laki-laki sebanyak 33 subjek (51%). Sebanyak 66% subjek terdapat kelainan spirometri. Hasil spirometri dengan kelainan terbanyak yaitu gangguan restriksi dan obstruksi (campuran) pada 29 (44%) subjek, gangguan restriksi sebanyak 13 (21%) subjek, satu (1%) subjek gangguan obstruksi dan 22 (33%) subjek tidak ditemukan kelainan. Derajat lesi pada HRCT toraks menggunakan modifikasi Goddard score didapatkan derajat lesi ringan sebanyak 33 (51%), sedang 20 (31%), berat 8 (12%) subjek. Karakteristik lesi terbanyak pada parenkim paru secara berurutan fibrosis, kalsifikasi, bullae, retikuler opasitas, ground glass opacity (GGO), nodul, konsolidasi dan jamur. Lesi saluran napas yang terbanyak secara berurutan yaitu bronkietaksis, ateletaksis, dilatasi trakea. Gangguan kapasitas difusi terbanyak yaitu derajat ringan 25 (38%), moderate 22 (33%) dan berat 3 (5%). Pada penelitian ini ditemukan perbedaan bermakna antara derajat kelainan kapasitas difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks dan terdapat risiko 8,68 kali (IK 95% 2,3-32,72)..
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara derajat gangguan difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks. Penurunan fungsi paru setelah menyelesaikan pengobatan TB dapat terjadi sehingga diperlukan pemeriksaan fungsi paru dan HRCT toraks secara berkala.

Background: Former TB infection patients will experienced changes in anatomical structure of the lung. Hence, it wil increased risk of sequelae. Sequelae can occur in extra pulmonary. Lung lesions changes in the structure of the bronchial and lung parenchyma such as bronchovascular distortion, bronchietacsis, emphysema and fibrosis. Lung functions in patients 6 months after completing TB treatment found that lung function test tend to be lower even after completing treatment for 6 months.
Methods: This studi used a cross-sectional method on 65 patients whom received anti tuberculosis drugs at Lung Polyclinic, Persahabatan Hospital. Research subjects will undergo spirometry, DLCO, blood test and HRCT thorax.
Results: In this study median age of subjects was 45 years. The youngest was 18 years and oldest was 60 years. Male population was 33 (51%) subjects. Total 66% subjects have lung function impairment. Resulst of spirometry showed mixed disorder in 29 (44%) subjects, restriction disorder in 12 (19%) subjects, one subjects with obstructive disorders and 22 (33%) subjects are normal. Based on Goddard modificaion score showed mild degree in 33 (51%) subects, moderate 20 (31%) dan severe 8 (12%) subjects. The most characteristic lesions in the lung parenchymal were fibrosis, calcification, bullae, reticular opacity, GGO, nodules, consolidation and fungi. The most common airway lesions were bronchietacsis, atelectasis and trachel dilatation. The most common lung diffusion impairment is mild 25 (38%), moderate 22 (33%) and severe 3 (5%). In this study found that there was a significant difference among lung diffusion impairment and degree of lesion based on HRCT thorax with OR 8.68 (CI 95% 2.3- 32.72).
Conclusion: There was significant relationship between lung diffusion impairment and degree of lesions based on HRCT thorax. Decrease lung function after completing TB treatment can occur so that routine lung function test and HRCT thorax imaging are recommended.
"
2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myra Puspitasari
"Latar Belakang. Artritis Reumatoid AR merupakan penyakit kronik, sistemik. Depresi sering menyertai pasien AR sebanyak 20-30 . Derajat aktivitas penyakit AR dapat mempengaruhi terjadinya depresi.
Tujuan. Mengetahui prevalensi depresi pada pasien AR dan mengetahui hubungan antara derajat aktivitas penyakit dengan depresi pada pasien AR.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan dengan memeriksa pasien AR di poliklinik rematologi RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dengan consecutive sampling selama periode Januari sampai Maret 2017. Pasien dinilai derajat aktivitas penyakitnya dengan menggunakan DAS 28 dan diminta untuk mengisi kuesioner BDI. Analasis statistik dilakukan dengan menggunakan metode chi-square.
Hasil Penelitian. Pada studi ini, didapatkan hasil bahwa prevalensi depresi pada pasien AR di RSCM adalah 35,9 dengan interval kepercayaan 95 sebesar 30 ndash; 42 . Derajat aktivitas penyakit memiliki hubungan yang bermakna dengan depresi pada pasien AR. p = 0,001.
Kesimpulan. Prevalensi kejadian depresi pada pasien AR di RSCM pada adalah sebesar 35,9 . Derajat aktivitas penyakit memiliki hubungan yang bermakna dengan depresi pada pasien AR.

Background. Rheumatoid Arthritis RA is a chronic, systemic disease that cause synovial inflammation and progressive destruction to cartilages and deformities. Prevalence of depression in RA patients is 20 to 30 . Disease activity is considered to have relation with depression.
Objective. To identify the prevalence of depression in RA patients and to identify association between disease activity index and depression in RA patients.
Method. A cross sectional study of 145 RA patients that fulfilled the inclusion and exclusion criteria was held in Rheumatology Outpatient Clinic at RSCM from January to March 2017. Evaluation of DAS 28 and BDI was done to the patients. Chi square method was used to analyse the statistic.
Results. The prevalence of depression in RA patients at RSCM is 35,9 with 95 confidence of interval 30 42 . There is significant relation between disease activity with depression in rheumatoid arthritis patient p 0,001.
Conclusion. The prevalence of depression in RA patients at RSCM is 35,9 . There is significant relation between disease activity with depression in RA patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Evyana
"Lesi psoriasis pada kulit kepala, wajah, lipatan, kelamin, telapak tangan/kaki, dan kuku sering terlambat terdiagnosis, sulit diterapi, dan menyebabkan disabilitas. Predileksi ini disebut sebagai area yang sulit diobati (hard-to-treat /HTT). Meski lesi pada area HTT umumnya kecil, namun berisiko komorbiditas. Sindrom metabolik (SM) merupakan komorbiditas utama psoriasis. Keparahan psoriasis dinilai dengan Psoriasis Area Severity Index(PASI). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara derajat keparahan psoriasis yang memiliki lesi HTT dengan kejadian SM. Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan disain potong lintang secara multicenter. Dari 84 SP, sebanyak 42 orang memiliki skor PASI<10 (derajat ringan-sedang) dan 42 orang dengan skor PASI >10 (derajat berat). Prevalensi SM ditemukan sebesar 64,3%. Pasien psoriasis HTT derajat berat berisiko 3,6 kali lebih besar untuk mengalami SM dibandingkan dengan derajat ringan-sedang (78,6% vs 50%, OR 3,667; IK 95% 1,413-9,514; p=0,006). Terdapat perbedaan kejadian hipertensi (p=0,028), penurunan kadar high density lipoprotein/HDL (p=0,01), rerata kadar gula darah puasa (p=0,018), dan trigliserida (p=0,044) antara kedua kelompok. Prevalensi SM pada psoriasis HTT derajat berat lebih besar dan secara statistik bermakna dibandingkan dengan derajat ringan-sedang. Proporsi kriteria SM dari yang terbesar secara berturutan adalah obesitas sentral, penurunan kadar HDL, hipertensi, hiperglikemia, dan hipertrigliseridemia. 

Psoriatic lesions on the scalp, face, intertriginous, genitals, palms, soles, and nails (hard-to-treat/HTT areas) are often delay diagnosed, hard to treat, and cause disability. Despite the small surface of HTT areas, it has risks of comorbidities. Metabolic syndrome (MS) is one of the main comorbidities of psoriasis. The severity of psoriasis was measured by Psoriasis Area Severity Index (PASI). This study aims to assess the association of psoriasis severity that has HTT lesions with the prevalence of SM. It is an analytic observational, multicenter study with a cross-sectional design. From 84 patients, 42 had a PASI score <10 (mild-moderate) and 42 had a PASI score >10 (severe). The prevalence of SM is 64.3%. Patients with severe HTT psoriasis were 3,6 times more likely to have SM compare to mild-moderate group (78.6% vs 50%, OR 3.667; 95% CI 1.413-9.514; p=0.006). The incidence of hypertension (p=0.028), decreased in high density lipoprotein/HDL (p=0.01), mean fasting blood sugar (p=0.018), and triglycerides levels (p=0.044) between two groups were significantly different. Severe HTT psoriasis has higher prevalence of MS and statistically significant compared to mild-moderate group. The highest proportion of SM criteria respectively are central obesity, low levels of HDL, hypertension, hyperglycemia, and hypertriglyceridemia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz Aini
"Latar Belakang: Derajat kompleksitas lesi koroner yang berat merupakan prediktor mortalitas dan Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) serta penentuan revaskularisasi pada penyakit jantung koroner (PJK). Fragmented QRS (fQRS) dinilai sebagai penanda iskemia atau cedera miokardium PJK. Hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner perlu diteliti lebih lanjut pada pasien PJK di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.
Metode: Penelitian potong lintang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengambil data sekunder pada 172 pasien jantung koroner yang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI) di Cath Lab pada bulan Januari-Juni 2018 secara total sampling. Pasien dibagi berdasarkan adanya tidaknya fQRS. Data demografi, klinis, dan deajat kompleksitas (skor Gensini) diteliti. Hubungan antara adanya fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner dianalisis dengan uji kesesuaian.
Hasil: Sembilan puluh empat (54,6%) subjek terdapat gambaran fQRS. Pada analisis didapatkan hubungan antara fQRS dengan kategori skor Gensini ringan-sedang dan ringan-berat dengan kesesuaian baik (kappa 0,721 dan 0,820; p <0,001). Hubungan dengan kesesuaian yang baik juga didapatkan antara fQRS dan PJK signifikan (kappa 0,670; p <0,001) serta fQRS dan PJK multivessel (kappa 0,787; p <0,001).
Simpulan: Terdapat hubungan fragmented QRS complexes dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.

Background. The severity of coronary artery lesion is used as a predictor of mortality, major adverse cardiovascular event, and revascularization in coronary artery disease (CAD). Fragmented QRS complex (fQRS) as a novel marker of myocardial ischemia/scar in patients with coronary artery disease. The relationship between the two in Indonesia should be studied further.
Purpose. To determine the relationship between fQRS and the severity of coronary lesion in coronary artery disease.
Methods. A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Secondary data were taken from 172 patients with CAD who underwent percutaneous coronary intervention (PCI) from January-June 2018 with total sampling. Patients were divided based on the existence of fQRS. Demographic, clinical, and severity of coronary artery lesion (Gensini score) characteristics were studied. Data were analysed using Cohens kappa agreement test.
Results. fQRS was present in 94 subjects (54.6%). Bivariate analysis showed a significant difference between fQRS with mild-moderate Gensini score as well as mild-severe Gensini score (kappa 0,721 and 0,820; p<0,001), fQRS with significant CAD (kappa 0.670; p<0,001), and fQRS with multivessel CAD (kappa 0.787; p<0,001).
Conclusion. There is a significant relationship between fQRS and the degree of severity of coronary lesion in coronary artery disease patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sammy Yahya
"Latar belakang dan tujuan: Akne vulgaris AV merupakan inflamasi kronik pada unit pilosebasea. Beberapa penelitian telah meneliti kadar 25-hydroxyvitamin D [25 OH D] serum pada pasien AV dengan hasil bervariasi, namun umumnya rendah. Kadar vitamin D diduga terpengaruh oleh pajanan sinar matahari, letak geografis, ras/tipe kulit, dan asupan makanan, sehingga mungkin temuan di Indonesia akan berbeda daripada penelitian terdahulu di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25 OH D serum dan hubungan dengan derajat keparahan, lesi inflamasi, noninflamasi, dan total lesi AV.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 30 subjek penelitian SP, direkrut secara consecutive sampling, terbagi rata ke dalam kelompok AV ringan AVR, AV sedang AVS, dan AV berat AVB berdasarkan klasifikasi Lehmann. Faktor risiko AV yang berkaitan dengan vitamin D pajanan sinar matahari, penggunaan tabir surya, suplementasi, jumlah lesi, dan kadar 25 OH D serum dinilai pada seluruh SP.
Hasil : Median kadar 25 OH D serum pada kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 16,3 9,1- 17,8 ng/mL, 12,7 9,6-15,6 ng/mL, dan 9,35 4,9-10,9 ng/mL Median pada kelompok AVR dan AVS lebih tinggi dibandingkan AVB.

Background and objective: Acne vulgaris AV is chronic inflammation of pilosebaceous units. Several studies have investigated the levels of serum 25 hydroxyvitamin D 25 OH D in AV patients with varying outcomes, but mostly decreased. Vitamin D levels are thought to be affected by sun exposure, geographical location, race skin type, and food intake, that research in Indonesia may yield different results. This study aimed to determine the level of serum 25 OH D and its association with the severity and the number of inflammatory, noninflammatory, and total AV lesions.
Methods: This cross sectional study included 30 patients. Subjects were recruited by consecutive sampling, grouped equally into mild, moderate, and severe AV based on Lehmann's classification. The risk factors for inadequate vitamin D such as sun exposures, sunscreen, and suplements, the number of lesions, and serum 25 OH D levels were assessed on all subjects.
Results: The median concentrations of serum 25 OH D in the three groups were respectively 16.3 9.1 17.8 ng mL, 12.7 9.6 15.6 ng mL, and 9.35 4.9 10.9 ng mL p.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Clarisa Rumora Abigail
"Latar Belakang: Kebocoran plasma merupakan salah satu penanda dari derajat keparahan penyakit infeksi virus dengue (DENV). Kadar fibrinogen mengalami perubahan seiring dengan terjadinya kebocoran plasma. Tujuan: Mengetahui hubungan kadar fibrinogen pada pasien infeksi DENV dengan derajat keparahan penyakit.
Metode: Peneliti menggunakan desain studi kohort dari data sekunder komunitas di Jakarta pada tahun 2010. Jumlah sampel penelitian adalah 43 orang dengan total 38 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Kadar fibrinogen yang digunakan yaitu data pada demam hari ketiga dan keempat dari total tujuh hari ke tiga pemeriksaan, karena merupakan perkiraan hari terjadinya kebocoran plasma. Derajat keparahan penyakit infeksi DENV ditentukan berdasarkan klasifikasi WHO 1997 dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Hasil pemeriksaan kadar fibrinogen pada demam hari ketiga dan keempat dianalisis menggunakan Uji T Independen.
Hasil: Hasil pemeriksaan demam hari ketiga menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok DD dan DBD (p=0,993), namun rata-rata kadar fibrinogen kelompok DBD (253,8 mg/dL) lebih rendah dibandingkan kelompok DD (253,9 mg/dL). Hasil pemeriksaan kadar fibrinogen demam hari keempat juga menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok DD dan DBD (p=0,437), namun rata-rata kadar fibrinogen DBD (218,7 mg/dL) lebih rendah dibandingkan DD (235,4 mg/dL).
Kesimpulan: Kadar fibrinogen DBD lebih rendah dibandingkan DD namun tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna sehingga tidak terdapat hubungan antara kadar fibrinogen dengan derajat keparahan penyakit pada pasien infeksi DENV.

Background: Plasma leakage is one of the degree of severity disease determinants in patients with dengue virus (DENV) infection. Fibrinogen levels changes due to plasma leakage in DENV infection. Objective: Investigate the association of fibrinogen level and the degree of severity disease in patients with DENV infection in Jakarta, Indonesia. Methods: Author used a cohort study from secondary data on community in Jakarta at the year of 2010. The total sample is 43 persons, of whom 38 persons met the inclusion criteria. Next, author chose the third and fourth days of a total of seven days fever examination of fibrinogen levels because these days are the estimated days of plasma leakage. The severity of DENV infection is determined based on the 1997 WHO Classification which is divided into two group namely Dengue Fever (DF) and Dengue Haemorrhagic Fever (DHF). The results of examination of fibrinogen levels on the third and fourth day of fever were analyzed using the Independent T Test Results: The results in the third day of fever were no significant difference in the DD and DHF groups (p = 0.993), but the fibrinogen levels in the DHF group (253.8 mg/dL) were lower than those in the DF group (253.9 mg/dL). The results of the examination of fibrinogen levels on the fourth day of fever were also analyzed using the Independent T Test, the results were no significant difference in the DF and DHF groups (p = 0.437), but DHF fibrinogen levels (218.7 mg / dL) were lower than DF (235.4 mg / dL). Conclusion: Fibrinogen levels in DHF were lower than DF but did not show a significant difference so there was no association between fibrinogen levels with the severity of the disease in patients with DENV infection.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nirmala
"Latar Belakang: Infeksi virus dengue (DENV) dapat menyebabkan manifestasi klinis seperti demam berdarah (DD) dan demam berdarah dengue (DBD). Kedua kelompok tersebut dapat dibedakan melalui terjadinya kebocoran plasma sehingga kebocoran plasma dapat menjadi salah satu penanda dari derajat keparahan penyakit infeksi DENV. Kebocoran plasma ini dapat mempengaruhi kadar elektrolit, seperti kalium, dalam darah.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar kalium pada pasien infeksi DENV dengan derajat keparahan penyakit.
Metode: Peneliti menggunakan desain studi kohort dari data sekunder komunitas di Jakarta pada tahun 2010. Sampel merupakan populasi usia ≥ 14 tahun dengan riwayat demam ≤ 48 jam, didiagnosis demam dengue berdasarkan klasifikasi WHO 1997, dan memiliki hasil uji NS1 postif. Besar sampel adalah 43 orang dengan total 38 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Data kadar kalium yang digunakan yaitu data pada demam hari ke-3 dan ke-4. Hasil pemeriksaan dianalisis menggunakan Uji T Independen.
Hasil: Hasil analisis hubungan antara kadar kalium serum hari ke-3 dan hari ke-4 pada kelompok DD dan DBD menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (hari ke-3, p = 0,487) (hari ke-4, p = 0,614).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kadar kalium serum dengan derajat keparahan penyakit pada pasien infeksi DENV.
Background: Dengue virus infection (DENV) can cause clinical manifestations such as dengue fever (DF) and dengue hemorrhagic fever (DHF). The two groups can be distinguished by the occurrence of plasma leakage so that plasma leakage can be a marker of the severity of DENV infection. Plasma leakage can affect electrolyte levels, such as potassium, in the blood.
Objective: Knowing the association of potassium levels in patients with DENV infection with the disease severity.
Methods: Author used a cohort study design from secondary community data in Jakarta in 2010. The sample was a population aged ≥ 14 years with a history of fever ≤ 48 hours, diagnosed with dengue based on WHO 1997 classification, and had positive NS1 test results. The sample size was 43 people with a total of 38 people who met the inclusion criteria. Potassium levels data used are data on the 3rd and 4th day fever. The examination results were analyzed using an Independent T Test.
Results: The results of the analysis of the association between serum potassium levels on day 3 and day 4 in the DD and DHF groups showed insignificant difference (day 3, p = 0.487) (day 4, p = 0.614).
Conclusion: There is no association between serum potassium levels with the disease severity in patients with DENV infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>