Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124415 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Febriansyah
"Indonesia since 1984 carried out taxation reform which one of
them was the enacting of the value added taxation law. As for the concept of the value added taxation law that is applied, Indonesia follows the Subtractive Indirect Method/Invoice Method/Credit Method. It is called as a subtractive indirect method because its counting is no longer based on bookkeeping or the note but is based on the invoice, so as to be mentioned also the invoice method.
So each transaction of the handing over the taxable goods and
services by a taxable entrepreneur, according to the article number 13 point (1) in the Law of Republic of Indonesia Number 8 concerning value added tax on goods and services and sales tax on luxury goods as lastly amended by Law Number 18 of 2000, is obliged to make a tax Invoice for that each of handing over the taxable goods and services. The tax invoice here as adopted proof the tax, this also functioned as one of the supporting implements of the transaction.
The tax dispute emerged because of the testing physically on the
condition for the tax invoice, has been in accordance with that was
required in the article number 13 point (5) of the value added taxation law. So as for the buyer who accepted the tax Invoice, where its condition is not in accordance with he article number 13 point (5) of the value added taxation law will suffer as a result. This tax dispute that more was known or was often acknowledged with the tax invoice term as incomplete or defect. The subject of the problem in this thesis was first: In condition of incomplete or defect tax invoice being found when the taxpayers being audited by the tax office which one is the responsible the buyer or the seller , second: What is analysis from the Indonesia Tax Tribunal decision in the dispute of the incomplete or defect tax invoice and the effect of its desicion to the state.
The aim of this writing is to analyze the incomplete or defect tax
invoice which is not in accordance with the provisions that were arranged in the value added taxation law, and the method utilized in this writing is the descriptive analysis method.
Starting from the inspection to the tax tribunal decision, the
dispute of the incomplete or defect tax invoice has result in the differences of opinion toward the implementation of the value added taxation law. So, what has been done by the inspector, it has not reflected the working efficiency. Because in responding to the problem of the incomplete or defect tax invoice respectively, each has difference view in the settlement and decisions, whereas the value added taxation law remain unchanged. Thus, a scientific investigation must be done to solve this matter. By considering the decision of the Indonesia Tax Tribunal, the problem of the incomplete or defect tax invoice must be carried out by analyzing the assessment or the definition itself, that is in the application of sanctions for the buyer which is not only from the aspect of formal justice, but also from its material aspect. The suggestion in this thesis are in the application of the rule linked with the condition for the tax Invoice could be maintained, as to anticipate or to face the incomplete or defect tax invoice, but in sanctions for the buyer must be conceded by the investigation, because sanctions that are accepted by the buyer are bigger compared with the seller/the publisher of the tax Invoice."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T 24571
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Solahuddin
"Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Tidak Langsung memiliki konsekuensi adanya dua pihak yang terlibat dalam pemungutan pajak, yaitu penjual sekaligus menjadi pemungut pajak, sedangkan pembeli adalah pembayar pajak. Jika pembeli tadi masih dalam mata rantai maka suatu saat akan bertindak sebagai penjual (pemungut pajak) demikian terus mekanisme berlaku sampai penaggung pajak yang sesungguhnya adalah konsumen akhir. Ada pengecualian yang dilakukan dengan penunjukkan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN. Dalam mekanisme yang lazim, maka penjual adalah pihak pemungut PPN, namun jika yang menjadi pembeli atau pengguna jasa adalah pemerintah, maka bendaharawan pemerintah yang memungut PPN. Pengecualian ini dimaksudkan untuk menjamin masuknya Pajak ke kas negara dengan lebih lancar.
Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan PPN menghendaki adanya bukti yang akurat tentang pemungutan pajak. Alat bukti adanya transaksi yang harus dipungut PPN adalah Faktur Pajak. Pada transaksi kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN, faktur pajak harus dibuat paling lambat pada saat dibuatnya tagihan/invoice. Dalam praktiknya Wajib Pajak yang melakukan pekerjaan/proyek dengan pemerintah, baik yang pembiayaannya dari pinjaman atau hibah luar negeri maupun dari APBN murni, pada saat melakukan penagihan kepada bendaharawan selalu membuat commercial invoice dan membuat faktur pajak dengan mengosongkan atau tidak mencantumkan tanggal faktur pajak, karena nanti akan diberikan tanggal pada saat tagihan tersebut dicairkan. Sementara tenggang waktu antara penagihan dengan pencairan tagihan biasanya memakan waktu yang cukup lama.
Masalah dalam penelitian ini yaitu apa latar belakang dikeluarkannya tata cara pembuatan faktur pajak? Bagaimanakah Implikasi dikeluarkannya ketentuan mengenai faktur pajak? Bagaimanakah cara mengantisipasi permasalahan pelaksanaan kewajiban PPN berkaitan dengan transaksi yang melibatkan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Alternatif-alternatif kebijakan yang bagaimanakah yang dapat menjadi solusi terbaik dari masalah saat pembuatan faktur pajak bagi pengusaha kena pajak rekanan yang menyampaikan tagihan kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Metode penelitian yang digunakan adalah metode diskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan studi kepustakaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya ketentuan tersebut adalah sebagai peraturan pelaksana dari UU PPN, memberikan kepastian hukum, mengoptimalkan sistem faktur pajak, dan menjadi sarana pengawasan faktur pajak. Implikasi berlakunya ketentuan atas pembuatan faktur pajak justru menyulitkan bagi PKP rekanan. Di lain pihak bagi DJP memerlukan tambahan pengawasan dalam pelaksanaan kewajiban PKP. Saran yang diberikan adalah penunjukkanbendaharawan dan KPPN sebagai pemungut PPN sebaiknya dihilangkan saja karena tidak sesuai dengan konsep dan karakter PPN.

Value Added Tax as an Indirect tax gives an impact on the involvement of two parties in levying tax, namely the seller as the tax levier, and the buyer as the tax payer. If the buyer is part of the chain, it will be the seller (tax levier) later on and it continues until it comes to the last consumer as the tax payer. There is an exception done concerning the appointment of The Government Treasurer as the levier of VAT. In regular mechanism, the seller is the one who levies the tax, but if the buyer or the service user is government, then the tax will be levied by the Government Treasurer. Such exception is aimed to guarantee that the tax goes to the Government Treasury more smoothly.
Mechanism of crediting VAT input tax requires accurate evidence concerning tax levies. The evidence of the existence of a transaction in which tax must be levied is tax invoice. At transaction to Government Treasurer as VAT levier, tax invoice is made at the latest on the same date as the date of the invoice. In practice, tax payers who carry out projects with government and financed by loan, donation from other countries or merely by The National Budget always make commercial invoice and tax invoice by not putting the date of the tax invoice or by leaving it blank when they hand over the claim to the treasurer.
The problems in this research are: What is the background of the issue of tax invoice regulation? What is the implication of tax invoice regulation towards the implementation of VAT which involves the Treasurer as tax levier for tax payers as well as tax officers? How to anticipate the problems in implementing VAT which involves the Treasurer as VAT levier? What policy can be used as the best solution of the problem caused by the Treasurer as VAT levier? The research method used is descriptive method with both qualitative and quantitative approaches. Data collection is done by interview and library research.
The result of the analysis shows that the background of the issue of tax invoice regulation includes some aspects, namely: to play the role as the rules of implementation of VAT Law, to assure law certainty, to optimize tax invoice system, and to be an instrument to monitor tax invoice. The implication of tax invoice regulation making is difficult for taxable entrepreneur. The other hand, Directorate General of Tax must do extra monitoring in doing the obligation of taxable entrepreneur.It is suggested that the appointment of the Treasurer and KPPN as VAT levier be eliminated since it does not go with the concept and the characteristics of VAT."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24608
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ammy Irene
"ABSTRAK
Penelitian ini tentang analisis dari perbedaan compliance cost sebelum dan sesudah penerapan faktur pajak elektronik di KPP Besar Tiga. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini mencakup pendekatan penelitian kuantitatif. Jenis penelitian ini berdasarkan tujuannya adalah penelitian deskriptif, berdasarkan manfaat adalah penelitian murni, berdasarkan dimensi waktu adalah penelitian cross sectional, dan dengan teknik pengumpulan data dari kuesioner dan wawancara mendalam juga kajian teoritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan compliance cost dalam penerapan faktur pajak elektronik bagi PKP di KPP Besar Tiga. Perbedaan yang signifikan terdapat pada dimensi time cost dan psychological cost. Namun ada satu indikator yaitu direct money cost yang belum terlalu signifikan perbedaanya karena masih banyak persamaan biaya yang dikeluarkan baik sebelum dan sesudah diterapkannya faktur pajak elektronik.

ABSTRACT
This study is an analysis of the compliance cost differences before and after electronic tax invoice application for taxable employers at KPP Besar Tiga. The method used in this study includes quantative research approach. This type of research is based on the goal is a descriptive study, based on the merits is pure research, based on the time dimension is a cross sectional study, and with the technique of collecting data from questionnaire, in depth interviews and theoretical study. The results showed that the influence of electronic tax invoice application to the compliance cost for taxable employers at KPP Besar Tiga is already influenced, because two of the three categories of compliance cost has been completed. Only one category which is direct money cost that has not complete. "
2016
S66719
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herianto
"Indonesia sejak tahun 1984 melakukan reformasi perpajakan, salah satunya adalah berlakunya Undang-undang PPN. Sedangkan konsep PPN yang dianut adalah The Substractive Indirect Method/ Invoice Method/Credit Method. Dikatakan substractive indirect method karena penghitungannya tidak lagi berdasarkan pembukuan atau catatan melainkan berdasarkan Faktur, sehingga disebut juga invoice method.
Jadi setiap transaksi ekonomis baik atas barang kena pajak maupun jasa kena pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, berdasarkan pasal 13 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah diwajibkan membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan tersebut. Faktur Pajak disini sebagai bukti pungut pajak, hal ini juga berfungsi sebagai salah satu alat pendukung transaksi.
Sengketa pajak disebabkan ada pengujian secara fisik atas kondisi Faktur Pajak, apakah sudah sesuai dengan yang dipersyaratkan pada pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Sehingga bagi pembeli yang menerima Faktur Pajak, dimana kondisinya tidak sesuai dengan pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN akan menerima akibatnya. Persengketaan pajak tersebut yang lebih dikenal atau sering disebut dengan istilah Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat.
Pokok permasalahan dalam tesis ini antara lain pertama : mencari pengertian apa yang dimaksud dengan Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat, kedua : Wewenang dan tindakan yuridis apa yang dapat dilakukan oleh pihak fiskus dalam menghadapi Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat yang diterbitkan oleh penjual, ketiga: Wewenang dan tindakan yuridis apa yang dapat dilakukan oleh pihak fiskus dalam menghadapi Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat yang dikreditkan oleh pembeli, keempat: apa yang bisa dilakukan wajib pajak atau pengusaha kena pajak untuk mencegah terjadinya koreksi balk oleh penjual maupun oleh pembeli, kelima: Upaya hukum apa yang bisa dilakukan wajib pajak, apabila dilakukan koreksi terhadap Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat tersebut diatas.
Tujuan penulisan ini adalah kajian terhadap Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undangundang PPN, dan metode yang dipergunakan analisis diskriptif.
Persengketaan akibat dari Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat mulai dari pemeriksaan sampai dengan putusan banding mengalami beberapa perbedaan pendapat dalam melaksanakan perundang-undangan perpajakan. Sehingga apa yang telah dilakukan pemeriksa tidak menunjukkan efisiensi kerja. Karena dalam menanggapi permasalahan Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat masing-masing beda dalam menetapkan atau memutuskan, sedangkan undang-undang perpajakan dan peraturan pendukung sama. Sehingga hal tersebut perlu dilakukan suatu pengkajian ilmiah.
Dengan meninjau putusan Badan Peradilan Pajak, maka permasalahan Faktur Pajak tidak lengkap atau cacat perlu dilakukan peninjauan terhadap peniaian atau pengartiannya. Yaitu dalam penerapan sanksi bagi pembeli tidak hanya dilihat dari segi formal saja, tetapi juga dilihat dari segi materi.
Sedangkan sarannya adalah dalam penerapan aturan berkaitan dengan persyaratan Faktur Pajak dapat dipertahankan, tetapi dalam sanksi bagi pembeli perlu dilakukan peninjauan. Karena sanksi yang diterima pembeli lebih besar dibanding dengan penjual/penerbit Faktur Pajak. Atau dengan kata lain perlakuan administrasi dan sanksi terhadap penerbit tetap dipertahankan. Dan perlu juga dilakukan tindakan atau aturan untuk mengantisipasi atau menghadapi Faktur Pajak bermasalah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ge Luiyanto Yamin
"ABSTRAK
Dari total penerimaan negara dari sektor pajak, yang memberikan kontribusi terbesar setelah pajak penghasilan, adalah pajak pertambahan nilai (PPN). Kontribusi penerimaan PPN adalah sebesar 30% dari total penerimaan pajak non-migas. Dalam Undang-Undang PPN 1983 yang berlaku pada 1 Januari 1985 sampai sekarang yaitu dengan pemberlakuan Undang-Undang nomor 18 Tahun 2000, pemungutan PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPn BM) di Indonesia menggunakan sistem faktur. Dengan sistem ini, maka pada setiap transaksi yang menjadi objek PPN dan PPn BM, keabsahan pemungutan PPN dan PPn BM-nya ditandai dengan penerbitan faktur pajak. Tanpa adanya faktur pajak, maka penjual dapat dianggap belum melaksanakan tugasnya untuk memungut PPN dan di sisi lain pembeli dapat dianggap belum membayar PPN. Jadi sangat jelas betapa pentingnya arti selembar faktur pajak baik bagi penjual maupun pembeli. Untuk mendorong ekspor yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak, pemerintah memberikan banyak insentif, diantaranya kebijakan restitusi pajak yaitu bahwa atas ekspor barang tersebut dikenakan PPN (pajak keluaran) dengan tarif pajak sebesar 0% (nol persen). Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengatur jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) paling lambat 12 bulan. Namun dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor dan memberikan pelayanan prima kepada wajib pajak, maka terhadap wajib pajak yang melakukan ekspor diberikan insentif berupa kemudahan dan percepatan penyelesaian restitusi PPN menjadi paling lambat 2 bulan sejak saat diterimanya permohonan. Namun kemudahan dan percepatan penyelesaian restitusi PPN disalah gunakan oleh beberapa pengusaha dan fiskus. Bertitik tolak dari masalah ini, dilakukan penelitian untuk mengetahui penyebab terjadinya faktur bermasalah. Penelitian berdasarkan analisis hasil wawancara dengan informan kunci dan beberapa informan lainnya yang terdiri dari pakar perpajakan dan pejabat dan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, terungkap 22 model modus operandi faktur pajak bermasalah. Dari model-model ini dapat diperlihatkan bahwa faktur pajak bermasalah bukan saja terjadi pada transaksi ekspor, namun juga terjadi pada penyerahan BKP dalam negeri, terutama pada transaksi-transaksi yang melibatkan pengusaha-pengusaha bukan pengusaha kena pajak. Ada 4 penyebab utama terjadinya faktur pajak bermasalah. Pertama, sistem PPN dimana dengan mekanisme pengkreditan pajak masukan dengan pajak keluaran yang kompleks dan kemudahan untuk melakukan restitusi PPN terutama bagi pengusaha eksportir. Ke dua, administrasi pajak yang lemah sehingga pengukuhan sebagai pengusaha kena pajak dilakukan tanpa seleksi yang memadai. Ke tiga, pemeriksaan adalah untuk meyakinkan bahwa wajib pajak patuh terhadap undang-undang dan peraturan perpajakan dalam suatu sistem self-assessment, namun pemeriksaan ini tidak diawasi dengan ketat oleh atasan, karena Direktorat Jenderal pajak hanya menekankan pada target penerimaan. Terakhir, budaya masyarakat mendorong untuk melakukan penyimpangan. Bila seseorang tidak dapat melakukan kebohongan terhadap orang lain, orang tersebut merasa tidak puas. Ini yang merupakan penyebab terjadinya kolusi antara wajib pajak dengan fiskus yang digambarkan dengan peta corruption. Untuk mengantisipasi kasus-kasus faktur pajak bermasalah, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan dan surat edaran. Salah satunya adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-124/PJ/2006 tanggal 22 Agustus 2006 yang berisi tentang pelaksanaan analisis risiko dalam rangka pemeriksaan atas pengajuan restitusi PPN. Dengan analisis risiko, wajib pajak yang mengajukan restitusi PPN akan memperoleh kepastian hukum dan pengembalian restitusinya menjadi lebih cepat, yang berarti membantu cashflow wajib pajak. Sebagai perbandingan, di negara People?s Republic of China (PRC) sudah diterapkan PPN sejak awal tahun 1994. Dalam menghadapi faktur pajak bermasalah, pemerintah PRC telah menjalankan beberapa cara, antara lain dengan memperbaiki perangkat administrasi perpajakannya dalam bentuk pembangunan sistem monitoring perpajakan yang terkomputerisasi dan pengenaan hukuman yang lebih berat berupa hukuman mati.

ABSTRACT
VAT is the second major source of fiscal revenue for the government, after revenue from income tax. The VAT revenue contribution accounts for 30% from the total non-oil and gas fiscal revenue. In 1983 VAT Law that put into effect on 1st January, 1985 which has been changed with VAT Law number 18 2000, VAT collection and sales tax on luxury goods in Indonesia use invoice tax system. By using the system, on every transaction which is object of VAT and sales tax on luxury goods, the collection validity is indicated by the issue of tax invoice. Without tax invoice, the seller can be assumed not doing his job to collect VAT and on the other side the buyer can be assumed not paying VAT. Then it is very clear how important the meaning of a piece of tax invoice for a seller and a buyer. To drive export which is carried out by taxable person, the government gives a lot of insentives, among others, tax refund policy i.e. on export of the goods is imposed output VAT with tax rate of 0%. The Law of General Stipulations and Administration of Taxation regulate the period of time for VAT refund application settlement at the latest of 12 months. However in related with the government policy to drive export and to give excellent services to the tax payers, then for the tax payers who carry out export will receive insentives in the forms of ease and simple and speeding up for VAT refund settlement at the latest of 2 months after receiving the VAT refund application. The ease and simple and speeding up of VAT refund has been abused by some business men and tax officers. From the above starting point, carried out the research to understand the causal factor of the case of tax invoices fraud.The research which is based on the analysis of interview results with the key informants and the other informants who are consisted of tax experts and tax officers and former tax officers of Directorate General of Tax, is uncovered of 22 models of modus of operation of tax invoice fraud. From the models, are shown that the fake tax invoices are not only happened in export transactions, but also in the transfer of the domestic taxable goods, especially in the transactions which involve non taxable persons. There are 4 main causes for the tax invoice fraud case. First, VAT system with complexity in credit mechanism between input tax and output tax and ease and simple to conduct VAT refund, especially for exportir business men. Second, tax administration is relatively poor, so that affirmation as a taxable person is conducted without proper procedural selection.. Third, auditing is a type of control to ascertain that the tax payer obeys to the tax law and regulations in a self-assessment system. However the auditing is not controlled tightly by the supervisor in tax office, because Directorate General of Tax emphasizes only on the revenue target. Fourth, the culture of society stimulates to do deviation from normal things. If a person can not do a falsehood to other persons, the person feels unsatisfied. It causes the collusion between tax payer and tax officer that is described in corruption map. To anticipate the cases of tax invoice fraud, the government has issued several regulations and circulation letters. Among others is Regulation of Director General of Tax number PER-124/PJ/2006 dated 22nd August 2006 which contains about carrying out risk analysis in related with auditing on VAT refund application. Using the risk analysis, tax payer who apply for the VAT refund will get a legal certainty and faster tax refund settlement. It means that it will help the cash flow of tax payer. As a comparative study, in People?s Republic of China (PRC) has been implemented VAT since the beginning of 1994. To enhance control against the tax invoice fraud, the Government of PRC has made concrete efforts to upgrade the tools of tax administration. Along with increasing tax audits and expanding penalty on tax frauds and evasion, great resources have been spent to build up a computerized taxation monitoring system. As a result, the calculation, deduction and refunds for VAT will be conducted on a more accurate and timely basis, while VAT frauds and tax evasions can be detected and penalized in a more effective manner."
2007
T22763
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Santoso Suryadi
"ABSTRAK
Notaris adalah Pejabat Umum yang mempunyai kewenangan kekuasaan negara dalam bidang hukum privat/ dengan demikian ia menjalankan sebagian dari tugas publik demi untuk memenuhi kepentingan umum. Pelayanan kepentingan umum merupakan hakekat tugas bidang pemerintahan, memberikan dan menjamin adanya rasa .kepastian hukum bagi-' para warga anggota masyarakat. Dalam rangka memberikan pelayanan kepentingan umum ini. Notaris diwajibkan dan untuk itu berwenang untuk membuat akta-akta otentik untuk suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum tertentu. Akta Notaris dapat menjamin kebebasan berkontrak dan mengikat, berintikan kebenaran dan kepastian hukum, yang merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak yang berkepentingan dengan akta notaris. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai tidak mengenal istilah lain dari pada sebutan "Pengusaha Kena Pajak" untuk Subjek Pajaknya, sehingga dengan demikian Notaris sebagai Pejabat Umum yang juga dimasukkan sebagai Subjek Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai/ merasa keberatan dengan sebutan "Pengusaha" tersebut. Selain itu pelayanan yang diberikan oleh Notaris sebagai Pejabat Umum/ tidak sama dengan jasa hukum yang diberikan oleh praktisi dalam bidang hukum yang lainnya, sehingga dengan demikian berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dengan memakai data sekunder berupa peraturan-peraturan, buku-buku, jurnaljurnal ilmiah dan lain-lain serta dibantu dengan data primer berupa wawancara dengan beberapa nara sumber yang terkait, maka dapat diambil kesimpulan dan saran bahwa pelayanan Notaris dalam memberikan pelayanan guna tercapainya suatu kebenaran dan kepastian hukum dalam masyarakat adalah sangat penting artinya, untuk itu seharusnya pelayanan Notaris dimasukkan ke dalam jasa yang tidak, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana yang juga diberikan terhadap beberapa jenis jasa lainnya."
2003
T36525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fahimah
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai kebijakan penegasan penerbitan faktur pajak yang
diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-26/PJ/2015. Kebijakan tersebut
mengatur mengenai tanggal penerbitan faktur pajak yang seharusnya yaitu pada saat
diberikannya nomor seri faktur pajak oleh DJP. Penerbitan faktur pajak yang tidak
sesuai dengan kebijakan dalam SE-26 yang telah diatur sebelumnya dalam PER-
24/PJ/2012 merupakan faktur pajak tidak lengkap atau disebut sebagai faktur pajak
backdate, sehingga bagi PKP Penjual dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% dari
DPP berdasarkan UU KUP Pasal 14 Ayat (4) dan bagi PKP Pembeli pajak
masukannya tidak dapat dikreditkan. Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan
kebijakan penegasan penerbitan faktur pajak ditinjau dari asas kepastian (certainty)
dan untuk menjelaskan kebijakan penegasan penerbitan faktur pajak terhadap biaya
kepatuhan (compliance cost) PKP. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan penegasan penerbitan
faktur pajak tidak memenuhi asas kepastian hukum (certainty) dalam hal tidak
terpenuhinya faktor-faktor kepastian hukum yaitu materi/obyek kebijakan, subyek,
pendefinisian aturan, perluasan materi kebijakan karena keberlakuan efektif
kebijakan yaitu 2 April 2015, tetapi DJP memberikan surat klarifikasi penggantian
faktur pajak tidak lengkap untuk faktur pajak tahun 2013, 2014 dan 2015. Selain itu,
dikarenakan kebijakan ini tidak memberikan kepastian hukum bagi PKP, maka
menimbulkan biaya kepatuhan PKP berupa direct money cost, time cost dan
pyschological cost

ABSTRACT
This study discusses the issuance of tax invoices affirmation policy as regulated in
the Directorate General of Taxation No. SE-26 / PJ / 2015. The policy stipulate the
issuance date of the tax invoice is supposed at the time when the tax invoice serial
number given by the Directorate General of Taxation. The issuance of tax invoices
which are not in accordance with the policy as regulated in SE-26 that had been
arranged earlier in PER-24 / PJ / 2012 is considered as an incomplete tax invoice or
is referred to as backdated tax invoice, therefore the taxable person shall be subject to
administrative sanction amounting to 2% of the tax base as regulated in Article 14
Paragraph (4) of General Provision Tax Law Number 36 Year 2008 and VAT IN
unable to be credited by the related of taxable person. The purpose of this research is
to explain the policy affirmation on issuance of tax invoices policy as viewed from
the principle of certainty and to explain the policy affirmation issuance of tax
invoices to the cost of compliance taxable person. This research applies quantitative
descriptive. The results of this study concluded that the policy affirmation issuance
of tax invoices did not met the principle of legal certainty in the case of nonfulfillment
of the factors of legal certainty that the material/object of the policy,
subject, defining rules, expansion of policies in terms of the effective enforceability
of the policy is April 2, 2015, but the Directorate General of Taxation issues the tax
clarification letter for the replacement of incomplete tax invoices issued on 2013,
2014 and 2015. In addition because of this policy does not provide legal certainty for
taxable person, then generate compliance cost in the form of direct money cost, time
cost and pyschological cost."
2016
S64052
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Febe Kinawa Panggua
"ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui konsep perlindungan data pribadi berdasarkan beberapa aturan luar Indonesia dan aturan Indonesia, terutama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Setelah itu akan diketahui konsep perlindungan data pribadi dalam data pribadi Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-faktur pajak, selanjutnya diikuti dengan pembahasan permasalahan pelanggaran perlindungan terhadap data pribadi dalam pembukaan akses perbankan untuk kepentingan perpajakan. Penelitian merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan data sekunder berupa ketentuan regional, internasional, peraturan perundangan-undangan Indonesia, buku, dan wawancara dengan narasumber. Hasil dari penelitian, perlindungan data pribadi adalah bagian dari hak asasi seorang manusia dan oleh karenanya negara wajib menjamin terpenuhinya hak ini.;This research aims to determine the concept of the protection of personal data based on a certain national, regional, and international directives and regulations, especially Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik and Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. ABSTRACT
This research aims to determine the concept of the protection of personal data based on a certain national, regional, and international directives and regulations, especially Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik and Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Moreover, the concept of protection of personal data of Taxable Entrepenur who make e-tax invocie, followed by the analysis of protection of personal data?s potential violation in context of banking data access opening for tax purposes. This legal research uses normative juridicial approach with secondary data from national, regional, and international directives and regulations, books, and interview with sources. The result of this research is that the protection of personal data is part of a human rights, and therefore, the state must guarantee the fulfillment of this right."
Universitas Indonesia, 2016
S62131
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>