Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159792 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuni Permatasari Istanti
"ABSTRAK
Latar belakang: Interdialytic Weight Gains (IDWG) merupakan peningkatan volume cairan
yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai indikator untuk mengetahui
jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik dan kepatuhan pasien terhadap pengaturan
cairan pada pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis. Peningkatan IDWG melebihi 5% dari
berat badan kering dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi seperti hipertensi, hipotensi
intradialisis, gagal jantung kiri, asites, pleural effusion, gagal jantung kongestif, dan dapat
mengakibatkan kematian. IDWG dapat disebabkan oleh berbagai macam factor baik faktor
internal yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, Stres, Self efficacy,
maupun faktor eksternal yaitu dukungan keluarga dan social serta jumlah intake cairan. Tujuan:
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui factor-faktor yang berkontribusi terhadap IDWG pada
pasien CKD yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisis RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif analitik dengan
pendekatan crossectional, dengan menggunakan 48 pasien sebagai responden penelitian yang
diambil dari 79 pasien yang menjalani HD. Hasil: Hasil analisis menunjukkan ada hubungan
yang signifikan antara masukan cairan dengan IDWG (r=0,541, p-value = 0,000), dan tidak ada
hubungan yang signifikan antara umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, dukungan
keluarga dan sosial, self efficacy serta stress dengan IDWG. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah masukan cairan merupakan factor yang berkontribusi secara signifikan terhadap IDWG.
Rekomendasi dari penelitian ini adalah dilakukannya pendidikan kesehatan secara terstruktur
tentang pengaturan masukan cairan secara mandiri oleh pasien.

ABSTRACT
Background: Interdialytic Weight Gains (IDWG) is fluid volume excess that manifest by increasing body weight as an indicator of patient fluid intake and patient compliance on fluid restriction during interdialytic period of hemodialysis treatment. Increasing IDWG more than 5% from dry weight can affect more complications like hypertension, intradialysis hypotension, left heart failure, ascites, pleural effusion, Congestive heart failure, and death. Many factors that contribute IDWG are internal factors like age, gender, education, thirst, stress, self efficacy; external factors like family and social support, and fluid intake. The purposes of this research is
to know the factors that contribute IDWG on Chronic Kidney Deseases (CKD) patient with haemodialysis at PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hospital. Methods: Forty eight patients were collected from seventy nine HD patients. Bivariate analysis revealed that the demographic factors (age, gender, education), fluid intake, sensation of thirst, family and social support, self efficacy, and stress was independent determinant of IDWG. The result of this research showed
significant relationship between fluid intake and IDWG (r=0,541, p-value = 0,000), and no significant relationship between age, gender, education, thirst, family and social support, self efficacy and stress with IDWG. The research concluded fluid intake is a significant factor
contribute of IDWG. It is recommended to develop health education about fluid management to increase the self care of haemodialysis patient in health care."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Permatasari Istanti
"Latar belakang: Interdialytic Weight Gains (IDWG) merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai indikator untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik dan kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan pada pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis. Peningkatan IDWG melebihi 5% dari berat badan kering dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi seperti hipertensi, hipotensi intradialisis, gagal jantung kiri, asites, pleural effusion, gagal jantung kongestif, dan dapat mengakibatkan kematian. IDWG dapat disebabkan oleh berbagai macam factor baik faktor internal yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, Stres, Self efficacy, maupun faktor eksternal yaitu dukungan keluarga dan social serta jumlah intake cairan. Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk mengetahui factor-faktor yang berkontribusi terhadap IDWG pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisis RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan crossectional, dengan menggunakan 48 pasien sebagai responden penelitian yang diambil dari 79 pasien yang menjalani HD. Hasil; Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara masukan cairan dengan IDWG (r=0,541, p-value = 0,000), dan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, dukungan keluarga dan sosial, self efficacy serta stress dengan IDWG. Kesimpulan dari penelitian ini adalah masukan cairan merupakan factor yang berkontribusi secara signifikan terhadap IDWG. Rekomendasi dari penelitian ini adalah dilakukannya pendidikan kesehatan secara terstruktur tentang pengaturan masukan cairan secara mandiri oleh pasien.

Background: Interdialytic Weight Gains (IDWG) is fluid volume excess that manifest by increasing body weight as an indicator of patient fluid intake and patient compliance on fluid restriction during interdialytic period of hemodialysis treatment. Increasing IDWG more than 5% from dry weight can affect more complications like hypertension, intradialysis hypotension, left heart failure, ascites, pleural effusion, Congestive heart failure, and death. Many factors that contribute IDWG are internal factors like age, gender, education, thirst, stress, self efficacy; extemal factors like family and social support, and fluid intake. The purposes of this research is to know the factors that contribute IDWG on Chronic Kidney Deseases (CKD) patient with haemodialysis at PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hospital. Methods: Forty eight patients were collected from seventy nine HD patients. Bivariate analysis reveaied that the demographic factors (age, gender, education), fluid intake, sensation of thirst, family and social support, self efficacy, and stress was independent determinant of IDWG. The result of this research showed significant relationship between fluid intake and IDWG (r=0,54I, p-value = 0,000), and no significant relationship between age, gender, education, thirst, family and social support, self efficacy and stress with IDWG. The research concluded fluid intake is a significant factor contribute of IDWG. It is recommended to develop health education about fluid management to increase the self care of haemodialysis patient in health care."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T26578
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yunie Armiyati
"Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal yang banyak dipilih pasien CKD (Chronic Kidney Disease) dengan ERSD (End Stage Renal Disease). Komplikasi intradialisis dapat dialami pasien selama menjalani hemodialisis. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan komplikasi intradialisis yang dialami pasien CKD saat menjalani hemodialisis. Desain penelitian menggunakan desain deskriptif. Lima puluh pasien di unit hemodialisis RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dilibatkan dalam penelitian ini. Pasien diobservasi selama hemodialisis untuk mengetahui komplikasi intradialisis yang terjadi berupa hipotensi, kram otot, mual, mutah, sakit kepala, nyeri dada, demam dan menggigil, hipertensi, sindrom disequilibrium, aritmia, hemolisis dan emboli udara.
Hasil penelitian menunjukkan 96% pasien mengalami komplikasi intradialisis berupa hipertensi (70% pasien), sakit kepala (40%), hipotensi (26%), kram otot (18%), aritmia (12%), mual dan muntah (10%), sesak nafas (10%) serta demam dan menggigil (2%). Nyeri dada, sindrom disequilibrium, hemolisis dan emboli udara tidak dialami pasien. Frekwensi hipertensi intradialisis adalah 55% dari keseluruhan prosedur hemodialisis yang diamati dan paling banyak dialami pasien pada jam ke empat. Frekwensi hipotensi intadialisis adalah 12% dari keseluruhan prosedur hemodialisis yang diamati, dan paling banyak dialami pada jam pertama. Rata-rata tekanan darah mengalami penurunan pada jam pertama dan mengalami peningkatan pada jam ke empat. Sesak nafas saat hemodialisis dialami pasien dengan frekwensi 4% dari keseluruhan hemodialisis.
Rekomendasi penelitian ini adalah agar perawat selalu memantau kondisi pasien selama hemodialisis dan melakukan asuhan perawatan pada pasien hemodialisis secara individu untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi agar komplikasi intradialisis bisa diminimalkan.

Hemodialysis is the renal replacement therapy used for CKD patients with ERSD. During hemodialysis, the patient may develop intradialysis complications. The purposes of the study was to describe the intradialysis complications on CKD patients during hemodialysis. Descriptive design used in this study. Fifty four patient at PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hospital were collected from 79 hemodialysis patients. The patients were observed during hemodialysis specifically oriented for intradialysis complications such as hypotension, cramps, nausea, vomiting, headache, chest pain, fever, shivering, hypertension, dialysis disequilibrium, arrhythmia, hemolysis and air embolism.
The result of this study showed that intradialysis complications occurred in 96% of the patients like hypertension (70% of the patients), headache (40%), hypotension (26%), muscle cramps (12%), arrythmia (12%), nausea (10%), vomit (10%), dyspnea (10%), fever and shivering (2%). Chest pain, dysequilibrium syndrome, hemolysis and air embolism were not occured. The frequency of intradialysis hypertension was 55% of hemodialysis, most occurred at fourth. The frequency of intradialysis hypotension was 5% of hemodialysis, most occurred at first. Blood pressure decreased significally at first hour and increased significally at fourth. Dyspnea occurred in 4% of hemodialysis.
The study recommended for nurse always to monitor the patient condition during hemodialysis and give individual nursing care for hemodialysis patient to anticipate intradialysis complication, that can be minimize the intradialysis complications.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Ayu Ary Antari
"Kualitas hidup merupakan tujuan penting dari keseluruhan perawatan pasien dengan gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Studi terbaru menunjukkan bahwa parameter subyektif lebih penting dalam mengukur kualitas hidup dibandingkan parameter obyektif seperti biokimia darah. Instrumen pengukuran kualitas hidup memiliki varian yang cukup banyak, namun belum ada instrumen yang sederhana, mudah diisi dan nyaman untuk diterapkan. Modified ESAS merupakan salah satu instrumen pengkajian beban gejala yang menurut hasil penelusuran ilmiah mampu mempredikasi kualitas hidup.
Tujuan dari penerapan EBN ini adalah teridentifikasinya instrumen kualitas hidup yang valid, reliabel, sensitif dan spesifik serta mudah diterapkan di tatanan klinik. Proses pelaksanaan EBN ini terdiri dari penelusuran ilmiah menggunakan pertanyaan klinis dan dilanjutkan dengan implementasi EBN terhadap 54 pasien GGT yang menjalani hemodialisis.
Hasil penerapan menunjukkan modified ESAS merupakan instrumen yang valid, reliabel, memiliki sensitivitas dan spesifisitas dalam mengukur kualitas hidup. Selain iu, secara teknis instrumen ini mudah diterapkan baik ditinjau dari aspek perawat maupun pasien.

Quality of life is an important goals for patients undergoing hemodialysis. Recent studies showed that the subjective parameters are more important in measuring the quality of life than objective parameters such as blood biochemistry. The quality of life instrument is still many variants and there is no simple, easy to filled and comfortable instrument to apply. Based on scientific research, modified ESAS is one of the instruments that can predict the quality of life.
The implementation of evidence based nursing was aimed to identify the validity, reliability, sensitivity, specificity and applicability instrument of quality of life patients undergoing hemodialysis in clinical settings. The process EBN implementation consist of searching scientific clinical question and followed by 54 patients undergoing hemodialysis.
The EBN results showed that ESAS was a valid, reliable, sensitive and specific instrument to measure the quality of life. In addition, this instrument is easy applied both of nurses and patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rhodia
"Latar Belakang: Kerusakan ginjal dapat berkembang ke arah penyakit ginjal kronik PGK dan gagal ginjal terminal. Penyakit ginjal kronik berkaitan dengan tingginya angka mortalitas dan pembiayaan yang dibutuhkan. Data mengenai PGK pada anak di dunia masih terbatas terutama di negara berkembang. Belum adanya data secara nasional yang dapat menggambarkan karakteristik penyakit ginjal pada anak di Indonesia menjadi alasan dilakukannya studi ini dengan mengolah data yang didapatkan dari Riskesdas 2013, sebuah riset kesehatan berbasis komunitas yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balitbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes RI .
Tujuan: Mengetahui karakteristik penyakit ginjal pada anak usia 15-18 tahun di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013.
Metode: Studi potong lintang dengan mengolah data sekunder yang didapatkan dari Riskesdas 2013. Terdapat dua kelompok data berdasarkan pencatatan di lapangan. Kelompok data 1 meliputi subjek yang diikutkan pada pengumpulan data kuesioner berupa riwayat batu ginjal, gagal ginjal kronik, riwayat hipertensi, dan minum obat antihipertensi, serta pemeriksaan fisis berupa pengukuran tekanan darah TD . Kelompok data 2 juga diikutkan pada pencatatan data kuesioner dan pemeriksaan fisis, namun disertai data laboratorium kadar hemoglobin Hb dan kreatinin serum. Setelah itu dilakukan pengklasifikasian data sesuai status nutrisi, estimasi LFG, TD, dan kadar Hb.
Hasil: Sejumlah 52.454 subjek diikutkan pada kelompok data 1, didapatkan hasil 20.537 subjek dengan penyakit ginjal, dengan karakteristik sebagian besar perempuan dan status nutrisi gizi baik. Terdapat riwayat batu ginjal 0,2 , gagal ginjal kronik 0,1 , riwayat hipertensi 0,6 , minum obat antihipertensi 0,1 , serta pra-hipertensi dan hipertensi berdasarkan pemeriksaan fisis sejumlah 51,4 dan 48,3 . Pada kelompok data 2 didapatkan hasil subjek dengan penurunan fungsi ginjal sebesar 1,4 .
Simpulan: Angka hipertensi dan pra-hipertensi pada remaja 15-18 tahun di Indonesia cukup tinggi. Hal ini menyebabkan upaya pemeriksaan TD secara teratur perlu digiatkan kembali sebagai upaya deteksi dini, mencari etiologi dan tata laksana mencegah berkembangnya penyakit. Kata kunci: penyakit ginjal, hipertensi, gagal ginjal, batu ginjal, remaja, Riskesdas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristina Joy Herlambang
"ABSTRAK
Penyakit ginjal kronik PGK merupakan penyakit kronik progresif yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dan bersifat irreversible. Pasien PGK stadium akhir membutuhkan terapi pengganti ginjal untuk memertahankan tubuh dari toksisitas uremia. Prosedur dialisis bersifat katabolik, sehingga pasien yang menjalani hemodialisis HD mengalami peningkatan kebutuhan energi dan protein yang penting untuk mencegah terjadinya protein-energy wasting PEW . Empat orang pasien dalam serial kasus ini mengalami PGK stadium akhir dan telah menjalani hemodialisis dengan rentang waktu yang berbeda, 2 orang dalam rawat inap dan dua orang lainnya rawat jalan. Pasien didiagnosis dengan PGK stadium 5 dengan HD, hipertensi, diabetes melitus, dan ensefalopati uremikum. Walaupun saat pemeriksaan status gizi pasien normoweight dan satu orang mengalami malnutrisi ringan, seluruh pasien memiliki riwayat asupan protein 10 dalam 6 bulan, sehingga dibutuhkan terapi medik gizi yang mencakup penentuan kebutuhan makro dan mikronutrien, nutrien spesifik, sesuai dengan toleransi dan kondisi klinis pasien. Hasil pemantauan menunjukkan pasien mengalami perbaikan klinis, toleransi asupan dan kapasitas fungsional serta kualitas hidup pasien dapat dipertahankan. Terapi medik gizi berperan penting pada semua pasien PGK yang menjalani HD dengan mencegah PEW, memperbaiki kondisi klinis, serta meningkatkan kapasitas fungsional pasien.Kata kunci: terapi medik gizi, penyakit ginjal kronik, hemodialisis, hipertensi.

ABSTRACT
Chronic kidney disease is a irreversible progressive chronic process that causes worsening renal function. Patients with end stage renal disease needs renal replacement therapy to protect themselves from uremia toxicity. Patients who have to undergo dialysis are in high catabolism state and has an increased energy and protein expenditure. Adequate energy and protein for these patients are needed to prevent protein energy wasting PEW . Four cases from this serial case has ESRD and has been on hemodialysis with different time frames. Two outpatient and two inward patients who have CKD stage V with hypertension, diabetes mellitus, and uremic encephalopathy. Although only one patient I categorized as mildly malnourished, 3 of four patients experienced weigth loss 10 in 6 months. Thus, medical nutritional therapy is needed to determine energy and protein requirements in these patients. Evaluation and monitoring form these cases shows that all patients have better clinical outcome, better nutrition intake, and functional capacity were preserved. Medical nutrition therapy has an important role in all CKD patients with dialysis to prevent PEW, to improve their clinical outcome and to increasetheir functional capacity. Key words medical nutrition therapy, chronic kidney disease, hemodialysis, hipertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nusmirna Ulfa
"Latar Belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) stadium akhir di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya dan biasanya mempunyai banyak komorbid seperti hipertensi, diabetes mellitus (DM) dan penyakit kardiovaskular. Selain itu pasien PGK juga berisiko mengalami komplikasi jangka panjang seperti anemia, gangguan mineral dan tulang, sehingga memerlukan pengobatan dengan beberapa jenis obat (polifarmasi). Obat-obatan pada pasien PGK digunakan dalam waktu jangka panjang sehingga berpotensi terjadi interaksi antar obat. Semakin banyaknya interaksi obat maka akan meningkatkan risiko efek samping obat (ESO). Pasien PGK juga sangat rentan mengalami peningkatan risiko akumulasi obat dan efek samping karena adanya perubahan parameter farmakokinetik dan farmakodinamik. Selain itu pada pasien PGK stadium 5 dengan hemodialisis (HD) terdapat beberapa obat yang terdialisis dalam proses HD sehingga dapat mengurangi efektivitas pengobatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola peresepan pada pasien PGK stadium 5 yang menjalani HD rutin serta kaitannya dengan potensi interaksi obat (PIO) dan kemungkinan ESO yang dapat diakibatkan oleh interaksi antar obat tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang pada pasien PGK stadium 5 dengan HD rutin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari 2020 sampai dengan Juli 2021. Data diambil dari rekam medis unit HD, rekam medis pusat, electronic health record (EHR) dan hospital information system (HIS). Untuk mengetahui PIO dilakukan penilaian berdasarkan perangkat lunak Lexicomp dan penilaian kausalitas ESO dengan menggunakan algoritma Naranjo.
Hasil: Didapatkan 147 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan terdapat 101 jenis obat dengan 2767 kali peresepan dalam waktu 3 bulan. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi antar obat sebanyak 89% pasien. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi kategori mayor sebanyak 14% pasien, kategori moderat sebanyak 88% pasien, dan kategori minor sebanyak 37% pasien. Proporsi pasien yang dicurigai mengalami ESO akibat interaksi obat sebanyak 50% (66 pasien) dari 131 pasien yang mengalami PIO. Pada hasil multivariat, hanya komorbid DM yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ESO yang dicurigai akibat interaksi obat.
Kesimpulan: Sebanyak 89% pasien PGK stadium 5 dengan HD mengalami potensi interaksi obat dan hipertensi merupakan efek samping terbanyak yang dicurigai akibat interaksi obat. Komorbid DM mempunyai peran yang cukup penting untuk terjadinya efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat pada pasien PGK stadium 5 dengan HD

Background: The prevalence of end-stage renal disease in Indonesia has increased every year and usually has many comorbidities such as hypertension, diabetes mellitus (DM) and cardiovascular disease. In addition, there is also a risk of long-term complications, thus requiring treatment with several types of drugs (polypharmacy). The higher the frequency of drug interactions, the higher the risk of adverse drug reaction (ADR). Chronic kidney disease (CKD) patients are also very susceptible to an increased risk of drug accumulation and ADR due to changes in pharmacokinetic and pharmacodynamic parameters. In addition, CKD stage 5 patients with hemodialysis (HD) have several drugs that are dialyzed in the HD process so that it can reduce the effectiveness of treatment. The purpose of this study was to determine the prescribing pattern in stage 5 CKD patients on routine HD and its relationship to DDI and the possibility of ADR that could be caused by interactions between these drugs.
Methods: This was an observational study with a cross-sectional design in CKD stage 5 patients on routine HD at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period January 2020 to July 2021. Data were taken from HD unit medical records. To determine the DDI, an assessment was carried out based on the Lexicomp software and ADR causality assessment using the Naranjo algorithm.
Results: A total of 147 patients met the inclusion criteria and there were 101 types of drugs with 2767 prescriptions within 3 months. The proportion of patients who received treatment with potential DDI is 89% of patients. The proportion of patients who received DDI in the major category was 14%, the moderate category was 88%, and the minor category was 37%. From 131 patients with DDI, the proportion of patients suspected having ADR cause by DDI is 50% (66 patients). Multivariate analysis found that only DM had statistically significant relationship with ADR that are suspected due to DDI.
Conclusion: In this study, 89% of patients received treatment with potential DDI and hypertension is the most suspected ADR due to drug interactions. Comorbid DM has an important role in the occurrence of ADR due to DDI in stage 5 CKD patients on HD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utri Triana
"Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang terus meningkat, tercatat berdasarkan Riskesdas tahun 2013 prevalensi PGK adalah 0,2% dan pada Riskesdas tahun 2018 meningkat menjadi 0,38%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi PGK dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian PGK di Indonesia. Data yang dianalisis adalah data Indonesian Family Life Survey (IFLS) 5 dan dianalisis untuk menghitung prevalence ratio (PR) dengan batas kepercayaan 95%. PGK didefinisikan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan. Dari hasil analisis didapatkan prevalensi PGK di Indonesia sebesar 1,7%. Faktor risiko yang berhububungan secara signifikan dengan kejadian PGK diantaranya adalah kelompok umur 52-60 tahun (PR=2,159; 95% CI=1,368–3,406), kelompok umur 43-51 tahun (PR=2,186; 95% CI=1,454–3,287), kelompok umur 31-42 tahun (PR=2,150; 95% CI=1,463–3,160), laki-laki (PR=0,653; 95% CI=0,504–0,845), merokok PR=1,356 (95% CI=1,048–1,755), aktivitas fisik sedang (PR=1,399; 95% CI=1,015–1,929), hipertensi (PR=1,420; 95% CI=1,051–1,918), diabetes melitus (PR=2,631; 95% CI=1,666–4,156), kolesterol tinggi (PR=3,357; 95% CI=2,388–4,721), dan obesitas (PR=1,467; 95% CI=1,134–1,897). Kolesterol tinggi dan diabetes melitus merupakan variabel yang memiliki kemungkinan terbesar terhadap kejadian PGK.

Chronic kidney disease (CKD) is a health problem with increasing prevalence, recorded based on Riskesdas 2013 the prevalence of CKD was 0,2% and it increased to 0,38% in Riskesdas 2018. This study aims to determine the prevalence of CKD and factors associated with the occurrence of CKD in Indonesia. This analysis used The Indonesian Family Life Survey (IFLS) 5 and analyzed to calculate the prevalence ratio (PR) with a 95% confidence interval. CKD was defined based on the diagnosis of health workers. The analysis shows that the prevalence of CKD in Indonesia is 1,7%. Risk factors that significantly associated with CKD are the age group 52-60 years (PR=2,159; 95% CI=1,368–3,406), age group 43-51 years (PR=2,186; 95% CI=1,454–3,287), age group 31-42 years (PR=2,150; 95% CI=1,463–3,160), males (PR=0,653; 95% CI=0,504–0,845), smoking PR=1,356 (95% CI=1,048–1,755), moderate physical activity (PR=1,399; 95% CI=1,015–1,929), hypertension (PR=1,420; 95% CI=1,051–1,918), diabetes (PR=2,631; 95% CI=1,666–4,156), high cholesterol (PR=3,357; 95% CI=2,388–4,721), and obesity (PR=1,467; 95% CI=1,134–1,897). High cholesterol and diabetes are the variables that have the biggest possibility of CKD.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Relly Sofiar
"Latar belakang : Steal Syndrome, adalah salah satu komplikasi pembuatan akses vena untuk hemodialisis, Insidensi steal syndrome yang berat diperkirakan 0,5-5%.11Belum ada pemeriksaan secara baku emas, terdapat berbagai prediktor noninvasif yang dapat menilai derajat steal salah satunya dengan nilai Digital Brachial Indices (DBI). Pada penelitian ini, subjek dengan AVF brachiocephalic dinilai Hand Ischemic Questioner (HIQ) untuk melihat manifestasi yang dikeluhkan berupa rasa dingin nyeri. Berkurangnya sensasi dan kekuatan, serta keram yang dinilai derajat keparahan dan frekuensinya dikorelasikan dengan nilai DBI yang dianggap bermakna sebagai steal syndrome adalah nilai DBI <0,6. Korelasi dari kedua parameter tersebut diharapkan dapat menunjukkan hal yang bermakna dalam praktek dan dalam penanganan pasien-pasien steal syndrome. Subyek dan Metode: Subyek penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani hemodialisis dengan akses AVF lengan atas di RSUPN Cipto Mangunkusumo dalam periode bulan Mei-Juni 2019. Pasien akan ditanyakan mengenai berbagai gejala mengenai steal syndrome sesuai dengan HIQ, dan dihitung skor nya, dilanjutkan dengan pengukuran Systolic Digital Pressure menggunakan alat phletysmograph, disisi lengan dengan AVF/AVG dan Systolic Brachial Pressure untuk menentukan DBI pada pasien tersebut. Hasil: Dari data demografik, profil pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis berdasarkan jenis kelamin laki-laki 37(46,2%) pasien dan perempuan 43(53,8%) dengan rata-rata usia pasien 53 tahun. Skor HIQ nilai minimum adalah 0 dan nilai maksimum adalah 70 dengan nilai median 3. Uji korelasi antara nilai total skor kuesioner HIQ dan nilai DBI didapatkan adanya korelasi dengan nilai p<0.001. uji diagnostik antara Skor HIQ menggunakan nilai cut-off ≥50 dengan nilai DBI <0.6. Dari hasil uji diagnostik antara skor HIQ dan DBI didapatkan nilai sensitivitas 15.3% dan nilai spesifisitas 100%, dengan akurasi diagnostik 58.75%. Kesimpulan: terdapat korelasi yang baik antara skor HIQ dengan DBI pada subyek penelitian ini, menunjukkan HIQ dan DBI ini dapat digunakan sebagai alat diagnostik yang cukup akurat sebagai salah satu metode awal untuk mendeteksi gejala-gejala awal dari Steal Syndrome sebelum dilakukan pemeriksaan tambahan lainnya untuk mengurangi pemeriksaan lanjutan yang tidak perlu.

Background: Steal Syndrome is a complication after a native Arteriovenous Fistule(AVF), there were symtomps of cold sensations, pain, cramps, loss of strength and diminishes of sensibility. A severe steal syndrome incidences was 0.5 - 5%. And there are no gold standard non inavasive examination to predict a steal syndrome, there is Digital Brachial Indices (DBI). In this study all patients on Hemodialysis with brahiocepalic (BC) AVF were questioned and valued for Hand Ischemic Questionaire (HIQ) related symptomps. All those symptomps were valued for its severity and frequencies to correlate with DBI values, DBI <0.6 as a cut-off to consider a steal syndrome. Correlation between those parameter were expected to be significant in evaluate patients suspected steal syndrome in our daily practice. Methods: subjects in this study were all patients on hemodialysis with BC AVF at Cipto Mangunkusumo Hospital within May-June 2019 periods. They were questioned and valued for HIQ (no symptoms of ischemia, 0 points; maximal ischemia, 500 points), and then systolic digital pressure were measured with a phletysmograph, ipsilateral of AVF, continued to measure systolic brachial pressure, and we found DBI values. Results: a demographic profile data, male patients 37(46.2%), female patients 43(53.8%) with mean age 53y.o. Minimum HIQ score was 0 and maximum 70, mean score 3. Correlation between HIQ and DBI was good with p<0.001. Diagnostic test between HIQ and DBI were sensitivity 15.3% and specivity 100% with diagnostic accuracy 58.7%. Conclusions: there were a good correlation between HIQ score and DBI on hemodialysis patients with BC AVF to early detection of steal syndrome symptomps, as diagnostic tools HIQ and DBI shows a good accuracy, to avoid more invasive and expensive examinations."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58698
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triasti Khusfiani
"Pendahuluan: PGK merupakan penyakit yang sering memiliki beberapa komorbid sehingga perlu menggunakan berbagai terapi kombinasi obat. Oleh sebab itu, polifarmasi sering dilakukan dan salah satu konsekuensinya adalah terjadinya potensi interaksi obat (PIO). PIO dianggap sebagai masalah pengobatan yang dapat dicegah, namun dalam praktik klinis dapat mengakibatkan efek samping obat (ESO) atau reaksi obat yang merugikan. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi klinis dan keberhasilan pengobatan serta keamanan penggunaan obat pada pasien PGK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola peresepan pasien PGK dan pengaruhnya terhadap potensi interaksi dan efek samping obat yang dicurigai akibat interaksi obat.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dan pengambilan data dilakukan secara potong lintang pada pasien PGK rawat jalan stadium 3-5 pre-dialisis di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam periode Januari 2019 sampai dengan Desember 2020. Data diambil dari electronic health record dan pusat rekam medis RSCM. Rujukan potensi interaksi obat menggunakan software Micromedex.
Hasil: Terdapat 106 pasien yang memenuhi persyaratan dan diambil menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien PGK rawat jalan stadium 3- 5 pre-dialisis di RSCM tahun 2019-2020, terdapat 111 jenis obat yang diresepkan dan obat yang paling sering diresepkan adalah bisoprolol (36,5%). Proporsi pasien yang mendapatkan pengobatan dengan potensi interaksi obat adalah 76% (81 pasien), sedangkan proporsi pasien yang mengalami ESO yang dicurigai akibat interaksi obat adalah 28% (23 pasien) dari 81 pasien dengan PIO. ESO tersebut berupa hiperglikemi (17 pasien), hipertensi (1 pasien), hiperkalemi (1 pasien) dan hipotensi (1 pasien). Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel perancu yaitu, jumlah obat > 10, komorbid jantung dan DM dengan ESO yang dicurigai akibat interaksi obat (p<0.05). Hasil multivariat mendapatkan hanya komorbid jantung (gagal jantung dan penyakit jantung koroner) yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ESO yang dicurigai akibat interaksi obat (p = 0,03).
Kesimpulan: Pada penelitian ini, sebanyak 76% pasien mendapatkan pengobatan dengan PIO. Sedangkan 28% pasien dari 81 pasien dengan PIO mengalami ESO yang dicurigai akibat interaksi obat. ESO yang paling banyak dialami adalah hiperglikemi. Komorbid jantung merupakan faktor risiko terjadinya ESO yang dicurigai akibat interaksi obat.

Introduction: CKD often has several comorbidities so it is necessary to use various drug combination therapies. Therefore, it can lead to polypharmacy and one of its consequences is the occurrence of potential drug-drug interactions (DDI). DDI is considered a problem that can be prevented, but in clinical practice it can result in adverse drug reactions (ADR). This will certainly affect the clinical and treatment success as well as the safety of the drug use in CKD patients. This study was aimed to determine the prescribing pattern and its effect on potential DDI and ADR that are suspected due to DDI.
Methods: This was a non-experimental cross-sectional study, conducted on CKD outpatients stage 3-5 pre-dialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period January 2019 to December 2020. Data were taken from electronic health records and the hospital’s medical record. The Micromedex software was used as a reference for potential drug interactions.
Results: There were 106 patients who met the requirements and were taken as research subjects. The results showed that in CKD out-patients stage 3-5 pre-dialysis at RSCM in 2019-2020, there were 111 types of drugs prescribed and the most frequently prescribed drug was bisoprolol (36.5%). The proportion of patients who received treatment with a potential DDI was 76% (81 patients), while the proportion of patients who experienced ADR suspected due to DDI was 28% (23 patients) from 81 patients with suspected DDI. The ADRs were hyperglycemia (17 patients), hypertension (1 patient), hyperkalemia (1 patient) and hypotension (1 patient). There was a statistically significant association between the confounding variables, namely, number of drugs, cardiovascular disease and DM with ADR suspected due to DDI (p<0.05). Multivariate analysis found that only cardiovascular disease (congestive heart failure and coronary artery disease) had a statistically significant relationship with ADR suspected due to DDI (p = 0.03).
Conclusion: In this study, 76% of patients received treatment with potential DDI. Meanwhile, 23% from 81 patients patients with DDI experienced ADR suspected due to drug interactions. The most often occuring ADR is hyperglycemia. It was found that cardivascular comorbidity is a risk factor for having an ADR suspected cause by DDI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>