Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63020 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anwari
Jakarta: LP3ES, 1999
899.221 7 ANW i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tito Juliansyah
"ABSTRAK<>br>
Studi ini membahas mengenai psikedelik di Indonesia yang dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi sebuah scene tersendiri. Fenomena hippies yang terjadi di Amerika dan menular ke Indonesia setengah abad silam kini mulai bangkit kembali. Seiring dengan perkembangan zaman, Flower Generation pun membaur mengikuti tren yang ada saat ini. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan penelitian yang bersifat deskriptif. Studi ini berusaha menggambarkan bagaimana peran anak muda dalam membangkitkan kembali scene psikedelik dan kaitannya dengan musik mainstream serta representasi psikedelik sebagai sebuah karya seni bagi penggiat maupun penikmat.

ABSTRACT<>br>
This study discusses about psychedelic in Indonesia which in recent years has become a specific scene. The phenomenon of hippies that occurred in USA and spread to Indonesia half a century ago is now starting to rise again. As the times goes by, Flower Generation has blended with the current trend. Qualitative method used in this research relates to descriptive research. This study attempts to illustrate how the role of young people in reviving psychedelic scene and its relation to mainstream music and psychedelic representation as a work of art for the enthusiasts and connoisseurs."
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Gumelar Baskoro
"Penelitian ini mendiskusikan tentang fenomena Vespa Ekstrim yang menjadi subkultur di Jakarta Selatan. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini menunjukkan Vespa Ekstrim sebagai katalisator kaum bawah dalam menyalurkan rasa kebersamaan dan seperjuangan kaum bawah. Keterbatasan finansial ang dialami anggota komunitas Vespa Ekstrim mendorong mereka untuk memproduksi gaya baru. Mereka menciptakan gaya baru dengan melawan pakem yang berlaku seperti membuat kendaraan mereka menjadi lebih panjang, lebih lebar dan memiliki daya muat yang lebih.

This paper discussing about Vespa Extreme phenomenon which has become subculture in South Jakarta. Trough a qualitative approach, this paper showing that Vespa Extreme as catalisator for lower class to express togetherness. Financial problem that experienced by members create a new meaning of style. They created new style that against order like making their vehicle longer, wider and higher load capacity."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Nurul Maliki
"Sebenarnya musik telah menjadi bagian dari hidup manusia selama berabad-abad lamanya. Musik lahir dari kecintaan manusia pada kehidupan dan dilandasi oleh ingatan manusia akan pengalaman-pengalaman hidupnya (Campbell, 1997: 142). Jika ditelaah kapan musik itu mulai tumbuh, mungkin jawabannya adalah ketika manusia terlahir di Bumi. Sebagai titik tolak, untuk pertama kali musik Progressive itu lahir dari ketidakpuasan, atau ingin mencari suatu bentuk baru yang di luar kebiasaan atau minat orang kebanyakan. Terjadinya akuiturasi dan asimilasi yang begitu kuat menyerang pada individu dan masyarakat, maka tercetuslah musik Progressive. Perkembangan musik aliran ini memang berasal dari Barat (Eropa). Berawal dari eksperimentasi musisi rock saat itu, diinspirasi oleh The Beatles dan The Beach Boys, band musik rock asal inggris, di mana mulai menggabungkan musik tradisional, musik kiasik, dan jazz ke dalam komposisi mereka, hal ini dikenal sebagai aliran musik rock Progressive (Progressive Rock).
Timbulnya musik-musik underground ini, khususnya yang beraliran Progressive merupakan suatu bentuk apresiasi seni musik yang jauh dari unsur kapitalisme. Hal ini terjadi karena saat ini seni tidak lagi dihargai menjadi sebuah nilai kesenian. Seni diukur hanya lewat uang belaka. Ringkasnya seni musik khususnya telah menjadi industri. Padahal suatu karya seni apapun jenisnya merupakan hasil suatu pemikiran yang otentik dan orisinil terhadap realita sosial yang tertuang melalui media baik lukisan, lagu, puisi dan sebagainya. Namun saat ini, hal itu mulai bergeser jauh, dimana orang hanya meniiai seni dengan 'uang semata' dan seperti pemyataan Walter Benjamin: 'Seni akan kehilangan auranya.' (dalam Connerton, 1980: 281).
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki apakah wujud komunitas musik underground progressive melalui rekaman independent-nya merupakan wadah penolakan terhadap kapitalisme yang mengarah pada fetisisme (dari konsep Adomo dan Thornton), di mana dalam masyarakat modem saat ini tercipta masyarakat yang pasif dan terdoktrin pada keinginan ?pasar? sehingga membentuk suatu kesadaran palsu atas rasionalitas masyarakat. Paradigma kritis dipakai sebagai landasan penelitian dengan mengaplikasikan metode etnografi. Pengetahuan dan realitas dalam kerangka pemikiran kritis bersifat emansipatoris dan menggali fenomena yang mendalam. Proses pemahamannya tidak dapat mengabaikan faktor historis dan kultural. Oleh sebab itu, etnografi dipilih sebagai metode untuk menggali data alamiah dengan Iebih dalam, berkaitan dengan kebutuhan informasi historis dan kuttural. Aplikasi metode penggalian data menggunakan tehnik observasi langsung, observasi terlibat, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Semua elemen yang terkandung dalam seluruh sistem produksi karya seni berada dalam lingkupan sosial-historis. Karya seni lahir dari sejarah seni dan sejarah masyarakat yang masing-masing punya sejarah sosial sendiri yang melibatkan relasi-relasi antar kelompok, kekuasaan institusi, konvensi-konvensi yang berlaku, serta perubahan setera masyarakat. Dengan demikian terbangun dua konsep pembentukan pasar dalam hal ini. Mereka adalah musik pada jalur mainstream dan musik pada jalur underground. Masing-masing memiliki misi yang berujung pada kapitalisme yang idealis. Konsep pertama menganggap bahwa sesuatu yang popular dapat menjadi sumber keuntungan karena mewakili homogenitas selera masyarakat dan selera masyarakat tersebut akan terbentuk dengan intensitas strategi penjuatan yang tinggi. Di lain pihak pada konsep yang kedua menganggap bahwa setera masyarakat seharusnya terbentuk atas dasar latar belakang individu atau kelompok secara natural tanpa intervensi kekuatan sebuah institusi sehingga karya yang tercipta akan semakin beragam, karena hakikat manusia yang unik dengan beragam pengalaman hidup yang berlainan merupakan anugerah yang tidak dapat dipungkiri. Kesadaran akan hat ini membentuk aliran musik yang segmental dalam sebuah komunitas yang berpegang pada rasionalitas akan kehendak bebas manusia dalam berkarya dengan mengesampingkan unsur komoditas dan pemasungan hak berkarya yang autentik.
Makna teoritis hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua subkultur mengarah pada sesuatu yang menyimpang, namun memang tidak dapat dielakkan bahwa suatu komunitas ada karena adanya ketidakpuasan terhadap budaya dominan masyarakat. Melalui identitasnya yang menjunjung tinggi nilai kehendak bebas atas karya cipta dengan orisinalitas dan autentisitasnya menunjukkan bahwa dengan jelas mereka menentang adanya intervensi yang bertujuan komersial yang dimanipulasi. Dalam misinya komunitas ini lebih menunjukkan perlawanan dengan budaya dalam praktek kompromistis. Hal ini dilakukan karena komunitas ini sangat menjunjung kehendak bebas dan rasionalitas manusia. Sehingga perbedaan didasarinya dapat terjadi. Namun penolakannya terhadap kebijakan mainstream yang cenderung kolonialis tetap merupakan usaha yang harus dilakukan lewat rasionalisasi identitas komunitas melalui kesadaran masyarakat dalam rekaman karya-karyanya.

Apparently music has been a part of human life for centuries. Music is born from human love for life and is inspired by human thoughts of experiences (Campbell, 1997: 142). If we analyzed when music starts to develop, the answer might be when human starts to exist. As the background, progressive music is born from dissatisfaction or desire to find something that out of mainstream interest. The development of this music genre originated from the West (Europe). Born from Rock Musicians' experimentation, inspired by The Beatles and The Beach Boys, English Rock Bands; they start elaborating traditional music, classical music, and jazz to their composition. This thing is to be known as progressive rock music genre.
The existence of underground music, especially the one that have progressive genre is a form of musical art appreciation which far from capitalism factor. It is happened because nowadays art is no longer appreciated for its value but art is measured by mere money. For short, musical art has transformed into an industry. Instead of appreciation in art as a form of authentic and original thought, which is addressed to criticize the social realism such as paintings, songs, and poems; nowadays, art is appreciated as commodity.
The aim of the study is to investigate whether the underground progressive community with its independent recordings is a medium of rejection for capitalism, which swayed toward fetishism (Adomo and Thornton). Thus this modem society becomes passive and doctrines by the market, which has big influence to the false consciousness of the society; to elaborate the con-elation between these symptoms to its background. Therefore, critical paradigm and ethnographical method is applied to this study.
The findings show that all of the elements contained in the art production system are related to its social-historical background. Art is produced with in the society by its elements, such as histories, institutions, conventions, and also the governance. Therefore, it elicits two concepts of art. They are mainstream music (popular music) and underground music (progressive music), which are aimed to their idealistic capitalism. The first concept is to think that something popular can be the profit source because it represents the homogeneity of taste and that taste will be formed with high intensity marketing strategy. On the other side, in the second concept thinks that the society's taste should be formed based on the background of individual or groups in a natural way without any interventions so that, the resulting composition will have more varieties. The consciousness of this mater forms segmental music genre in a community, which deeply rooted in rationality of human freewill in making arts by disbanding co modification factors and inhibiting of authentic art creating rights.
The theoretical meaning of this study shows that not all subcultures geared toward deviation, but it is an undeniable fact that a community exists because dissatisfaction of society's dominate culture. Through their identity that upheld freewill value of arts with originality and authenticity shows clearly that they oppose any manipulated commercial interventions. In their mission, this community shows their opposition to compromised practice. These acts are done because the community upheld the freewill value and human rationality. Therefore, the rationalization of subculture identity has to be through their underground recordings."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S10606
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rian Aufar Razan
"Hard bass merupakan sub-genre dari musik elektronik yang lahir di Rusia dengan ciri khas ketukan tempo yang cepat. Seiring dengan perkembangan internet yang pesat di era globa1isasi, musik hard bass mulai dikenal luas di seluruh dunia melalui situs berbagi video Youtube. Semenjak dikenal secara luas, musik hard bass sering dikaitkan dengan kelompok subkultur gopnik yaitu kelompok subkultur masyarakat kelas bawah yang tinggal di kota-kota Rusia, salah satunya di Saint-Petersburg. Artikel ini akan membahas bagaimana musik hard bass berperan sebagai identitas dan bagian dari subkultur gopnik yang ada di kota Saint-Petersburg. Artikel ini menggunakan teori subkultur dengan metode deskriptif analitis untuk menganalisa beberapa video hard bass yang terdapat di YouTube. Di akhir artikel ini dapat disimpulkan bahwa musik hard bass merupakan bagian dari subkultur gopnik di kota Saint-Petersburg, sehingga dapat dikategorikan sebagai salah satu identitas subkultur mereka.

Hard bass is a sub-genre from electronic music which was born in Russia and has a fast tempo as it`s characteristic. As the internet grows in this globalization era, hard bass starts to raise it`s popularity in the world through Youtube video sharing site. Since the hard bass popularity raised, hard bass is often linked with gopnik subculture which is identic with a low class society in Russia who lives in the cities, one of the city is Saint-Petersburg. This article will discuss how hard bass music acts as a part of the gopnik subculture in the city of Saint-Petersburg. This article uses subculture theories and descriptive analytical methods as a tools to analyze a few hard bass videos on YouTube. At the end of this article it can be concluded that hard bass music is a part of the gopnik subculture in the city of Saint-Petersburg, so it can be categorized as one of their subculture identity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ully Puriandari
"Otaku mengacu pada orang-orang yang tenggelam pada sekelompok subkultur yang saling sangat berkaitan satu sama lain, seperti komik, anime, game, PC, science fiction (tema perang luar angkasa dalam anime, komik, dll), tokusatsu (tema kepahlawanan dalam film yang diperankan oleh manusia), figure (patung kecil dari tokoh suatu anime), dan lain sebagainya (Azuma Hiroki). Subkultur sendiri memiliki makna sebagai sebuah cabang kebudayaan atau kebudayaan cabang yang memiliki nilai dan norma yang khas, yang berbeda dengan masyarakat dominan. Parameter sebuah kebudayaan untuk dapat digolongkan sebagai subkultur adalah memiliki otonomi namun tetap memiliki ketergantungan, serta memiliki karya yang merupakan hasil dari pengekspresian diri (Ina Masato). Seseorang akan dapat dikatakan sebagai seorang otaku apabila orang tersebut menggemari subkultur-subkultur Jepang seperti anime, komik, dsb secara mendalam dalam kehidupan mereka. Bahkan kegemaran mereka yang berlebihan terhadap hal-hal tersebut dapat mempengaruhi hubungan mereka dengan masyarakat sekitarnya. Tingginya intensitas seorang otaku melakukan berbagai kegiatan mereka menyebabkan semakin minimnya komunikasi mereka dengan masyarakat sekitar, bahkan keluarga mereka. Seperti masyarakat pada umumnya, otaku bekerja dan mencari nafkah, tetapi sebagian besar panghasilannya dihabiskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan otakunya. Kegiatan otaku antara lain, berburu barang koleksi yang berkaitan dengan kegemaran mereka, chatting di Internet dengan teman-teman dunia mayanya, mengunjungi maid cafe (kafe dengan pelayanan yang unik), menghadiri komike (comic market), dan lain sebagainya. Otaku sering melakukan kegiatan-kegiatan otakunya di Akihabara, di Tokyo. Dalam kaitannya dengan subkultur Jepang seperti anima, komik, dsb, otaku berperan sebagai penggemar subkultur-subukltur tersebut. Akan tetapi, dengan melihat parameter sebuah kebudayaan yang digolongkan ke dalam subkultur, pada perkembangannya, otaku dapat juga disebut sebagai subkultur Jepang itu sendiri. Karena otaku terbebas dari sistem masyarakat yang berlaku dominan dengan memisahkan diri mereka dari masyarakat. Tetapi otaku masih tetap tergantung pada sistem ekonomi, karena mereka membutuhkan uang untuk melakukan kegiatan mereka. Selain itu otaku juga menghasilkan karya yang berupa pengekspresian diri mereka, karena tidak sedikit otaku yang membuat anima atau komik yang terkenal di Jepang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13953
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desideria Lumongga Dwihadiah
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan Imperialisme Budaya Korea yang dilakukan melalui Media pada Sub Kultur Penggemar K-Pop di Indonesia serta mengungkapkan adanya Dominasi Budaya Korea di Indonesia serta bentuk-bentuk dominasinya, mengetahui Sub Kultur Fandom K-Pop di Indonesia serta menjabarkan media sosial sebagai saluran hegemoni Imperialisme Budaya Korea di Indonesia. Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir yang berangkat dari Teori Imperialisme Budaya dan dihubungkan dengan konsep Fandom sebagai sebuah sub kultur. Paradigma dalam penelitian adalah critical constructivist dan merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui in depth interview, observasi serta studi literatur untuk sumber-sumber sekunder. Informan penelitian berjumlah lima orang yang semuanya merupakan penggemar K-Pop.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Hegemoni Budaya Korea di Indonesia dilakukan dengan menggunakan media sosial dan web site sebagai alat utama. Media sosial dan web site-web site khusus penggemar sudah akrab di kalangan anak muda di Indonesia. Bentuk-bentuk imperialisme budaya Korea pada sub kultur penggemar terbentuk melalui sebuah proses yang disebut Proses Fandomisasi. Proses Fandomisasi dimulai dari level individu, kelompok lalu masyarakat, diawali dengan Idol Recognition, Emotion Building, Text Collection, Sub Culture Engagement lalu terakhir Sub Culture Emergence. Bentuk-bentuk Imperialisme Budaya Korea pada penggemar menyentuh tiga aspek : artefak, shared meaning dan social behavior, di mana di dalamnya terjadi adaptasi terhadap imperialisme budaya (adjusted cultural imperialism).

ABSTRACT
This research aims to reveal the Korean Cultural Imperialism conducted through media on Sub Culture K-Pop Fans in Indonesia as well as revealing the dominance of Korean Culture in Indonesia as well as other forms of domination, knowing Sub K-Pop fandom culture in Indonesia as well as social media describe as Korean Cultural Imperialism hegemony channel in Indonesia. This study uses a framework that departs from Cultural Imperialism Theory and linked with the concept of fandom as a sub-culture. Paradigm used in this research is critical constructivist and a descriptive qualitative research. Data collection techniques used were through in-depth interviews, observation and study of literature for secondary sources. Informants for this research are five people who are fans of K-Pop.
The result shows that the Korean Cultural Hegemony in Indonesia is done by spreading through the media especially social media and web sites. The greatest role of social media spread is already familiar among young people. And the forms of Korean Cultural Imperialism can be seen through a process called Fandomization. The process of Fandomization start from the level of individual, group and society. Fandomization process start with Idol Recognition, Emotion Building, Text Collection, Sub Culture Engagement and Sub Culture Emergence. The forms of Cultural Imperialism can be seen in three aspects: artefacts, shared meaning and social behavior. Social media plays an important role in each stage of the process.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2050
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Andika
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas fenomena media alternatif yang menjadi subkultur anak muda
Jakarta dengan studi kasus Rurushop Radio. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian
ini menunjukkan Rurushop Radio muncul atas kesadaran untuk menangkap dan
menyebarkan informasi sesuai dengan ketertarikan dan gaya mereka sendiri.
Walaupun tidak secara kaku, Rurushop Radio dapat dikatakan sebagai media
alternatif. Aspek media alternatif tersebut kemudian juga terbukti menjadi sebuah
subkultur. Hal itu terwujud dari aktivitas mereka yang menunjukkan simbol atau
atribut subkultur seperti musik, gaya bahasa dan promosi. Resistensi, jaringan dan
sumber daya manusia merupakan sumber kekuatan Rurushop Radio sebagai media
alternatif dan subkultur untuk dapat bertahan

ABSTRACT
This paper is discussing alternative media which has become youth subculture in
Jakarta with a case study of Rurushop Radio. Through a qualitative approach, this
paper is showing that the initiation of Rurushop Radio was based on their
consciousness to grab and publish information on their own way. Although still in a
flexible basis, Rurushop Radio could be specified as alternative media. The values of
the radio as an alternative media were also been proven to become a subculture.
These finding were being represented by radio’s activity which exposes the
subculture symbol such as songs, style of language, and promotions. Resistance,
network and human resources are the dominant strength of this radio to keep being
exist"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S57579
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Tri Hantoro
"Komunitas Speedfrog sebagai penggiat balap motor memiliki kebutuhan dalam upaya merealisasikan minatnya di bidang balap motor. Namun dalam upaya pemenuhannya, komunitas Speedfrog mengalami keterbatasan-keterbatasan sehingga mereka menggunakan cara pemenuhan alternatif yakni dengan melakukan kegiatan balap motor di jalan raya. Bermula dari memilih upaya alternatif ini, komunitas Speedfrog kemudian membentuk delinquent subculture, di mana dalam subkultur terdapat nilai-nilai dan upaya pemenuhannya yang tidakbisa disediakan olehmasyarakat. Namun kegiatan mereka dianggap tidak konformis oleh masyarakat, dan menghasilkan reaksi-reaksi tertentu. Sebagaikerangka analisa, peneliti menggunakan social construction of reality di manapencarian upaya alternatif menjadi bentuk eksternalisasi yang dilakukan, hingga akhirnya delinquent subculture bisa terbentuk dan terinternalisasi. Salah satu unsur dalam delinquent subculture adalah identitas, yang juga merupakan hasil dari proses pembentukan yang terjadi melalui social construction of reality.
Speedfrog is a community, based on mutual interest on motorcycle racing. To fulfill their goals, Speedfrog have list of needs, but the society have failed to provide the legitimate means to achieve those needs. As result, Speedfrog use the alternative means to achieve it, by doing motorcycle racing on the street. By doing this illegitimate means to achieve their goals, Speedfrog construct a form of delinquent subculture, which offer value and norms that society had failed to provide. But then this subculture and activities inside it defined as non-conformity by the larger society. Using the social construction of reality as the main analysis frame, this research explain how this delinquent subculture is created. Started from externalization phase where Speedfrog use the illegitimate means to achieve their goals, then this delinquent subculture is created on the next two phases until every values inside this delinquent subculture is internalized. One of these values is identity, which also socially constructed by the same process as the delinquent subculture itself."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S57748
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>