Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192494 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Armin Darmawan
"Penelitian ini mengkaji sebuah model perancangan pengukuran risiko operasional yang menggunakan ANP sebagai alat dalam penentuan bobot kriteria risiko pada perusahaan pembiayaan konsumen. Identifikasi risiko operasional dengan menggunakan metode Risk Breakdown Structure (RBS) menunjukkan terdapat 21 kelompok risiko dengan 569 item risiko operasional dari 12 departemen yang ada pada operasional cabang PT ABC. Risiko-risiko tersebut kemudian ditransformasi dengan mengacu Basell II Committe dengan sevent event loss categorie dengan 21 kelompok risiko. Dengan responden expert, hasil ANP menunjukkan bahwa risiko kegagalan sistem dan gangguan bisnis merupakan kelompok risiko tertinggi dibanding kategori risiko lainnya. Model strategi penanganan mengadopsi model empat strategi penanganan risiko yaitu risk acceptance, risk avoidance, risk sharing/transfer, dan risk mitigation yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lapangan serta tingkat frekuensi dan dampak yang ditimbulkan. Pola controlling dan monitoring diterapkan dua model strategi yaitu On Going Monitoring (Pemantauan Berkelanjutan) yang penanggung jawabnya melekat pada PIC operasional. Dan yang lain yaitu : Separate Monitoring (Pemantauan oleh Pihak Ketiga : Internal Audit atau External Audit) dalam tiga kelompok yaitu : Self Compliance/Assesment, Internal Audit dan External Audit.

This study examined a model of operational risk measurement design using ANP as a tool in determining the risk criteria weight on consumer finance companies. Identification of operational risk using the Risk Breakdown Structure (RBS) showed there were 21 risk group and 569 items of operational risk from the existing 12 departments at the operational branch of PT ABC. Risks are then transformed by referring Basell II Committee with sevent loss event categories with 21 groups of risk. With expert respondents, ANP results showed that the risk of system failure and business disruption is the highest risk group compared to other risk categories. Model management handling strategies adopted four model risk management handling strategies that is risk acceptance, risk avoidance, risk sharing / transfer, and risk mitigation tailored to the needs and conditions in the field and the level of frequency and impact. The pattern of controlling and monitoring strategies applied two models namely On Going Monitoring (Monitoring Sustainability) that the insurer responsibilities inherent in the PIC operation. And another is: Separate Monitoring (Monitoring by Third Party: Internal Audit or External Audit) in the three groups, namely: Self Compliance / Assessment, Internal Audit and External Audit."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
T28738
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Albimandaka Muhammad Gani
"Manajemen risiko adalah aktivitias mengetahui, menganalisis, serta mengendalikan risiko  dalam seluruh kegiatan perusahaan dengan tujuan memperoleh efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi. Metode yang digunakan adalah House of Risk (HOR). HOR diadopsi dari metode perhitungan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) dan model korelasi Quality Function Deployment (QFD). Pada penelitian ini, manajemen risiko dilakukan pada kegiatan operasional after-sales service PT XYZ. Analisis risiko pada HOR 1 diawali dengan identifikasi risiko melalui diskusi dengan expert dan studi literatur, kemudian dilakukan penilaian terhadap nilai severity dari risk events dan nilai risk agents dari risk agents. Hasil dari HOR 1 menunjukkan 14 risk events dan 22 risk agents. Berdasarkan perhitungan Pareto, didapatkan 10 risk agents prioritas. Risk agent dengan nilai terbesar adalah sparepart inden lama dengan nilai ARP sebesar 1071. HOR 2 mengidentifikasi 13 langkah preventif untuk mitigasi risiko prioritas. Berdasarkan pengolahan data HOR 2, didapatkan bahwa langkah preventif yang paling efektif untuk dilakukan adalah diversifikasi vendor, yaitu mengembangkan hubungan dengan beberapa vendor untuk mengurangi ketergantungan pada satu vendor saja. dengan nilai ETDk sebesar 2493,8.

Risk management is the activity of knowing, analyzing and controlling risks in all company activities with the aim of achieving higher effectiveness and efficiency. The method used is House of Risk (HOR). HOR is adopted from the Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) calculation method and the Quality Function Deployment (QFD) correlation model. In this research, risk management was carried out in PT XYZ's after-sales service operational activities. Risk analysis in HOR 1 begins with risk identification through discussions with experts and literature studies, then an assessment of the severity value of risk events and the risk agents value of risk agents is carried out. The results of HOR 1 show 14 risk events and 22 risk agents. Based on Pareto calculations, 10 priority risk agents were obtained. The risk agent with the largest value is old pivot spare parts with an ARP value of 1071. HOR 2 identifies 13 preventive steps to mitigate priority risks. Based on HOR 2 data processing, it was found that the most effective preventive step to take is vendor diversification, namely developing relationships with several vendors to reduce dependence on just one vendor. with an ETDk value of 2493,8."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khansa Arifa
"Risiko pembiayaan sebagai salah satu risiko terbesar dalam industri pembiayaan dan memberikan eksposur yang semakin besar di tengah ketidakstabilan perekonomian. Pada studi kasus ini peneliti melihat risiko pembiayaan secara Enterprise Risk Management (ERM) dengan pendekatan model the Three Lines of Defence dan proses manajemen risiko berdasarkan ISO 31000. Berdasarkan peran dalam the Three Lines of Defence, penerapan proses manajemen risiko pembiayaan di unit bisnis PT XYZ saat ini sebenarnya sudah efektif namun belum sesuai karena dilakukan oleh divisi Risk dan menyebabkan risk owner menjadi kurang merasa bertanggung jawab atas risikonya. Kemudian, Audit Internal belum dapat menggunakan hasil manajemen risiko tersebut dalam meningkatkan sistem pengendalian intern perusahaan. Selain itu, penerapan manajemen risiko pembiayaan masih terpisah dari risiko lainnya dan tidak dilihat secara ERM.

Financing risk is one of the biggest risk in financial industry and give more exposure in the economic instability. In this case study researcher views financing risk in Entreprise Risk Management (ERM) way with the Three Lines of Defence model as approach and risk management process based on ISO 31000. Based on function in the Three Lines of Defence, implementation of financing risk management process in business unit PT XYZ for now is effective enough practically but not appropriate because it is implemented by Risk division and leads risk owner become irresponsible with their own risk. Afterwards, Internal Audit had not utilized risk management result for improving company?s internal control system. Furthermore, implementation of financing risk management is still detached from other risks and not observed with ERM."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
S60217
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuri Oktaviani
"Peer-to-peer P2P lending merupakan salah satu solusi alternatif pembiayaan bagi kelompok usaha yang tidak bankable, termasuk di antaranya usaha pertanian. Akan tetapi, usaha pertanian yang berisiko membuat P2P lending harus melakukan manajemen risiko untuk meminimalisasi atau bahkan menghilangkan risiko yang ada.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses manajemen risiko operasional pada AgriFin, perusahaan P2P lending yang membiayai usaha pertanian. Proses tersebut dimulai dari menganalisis persepsi mengenai definisi risiko operasional pada P2P lending, identifikasi risiko, analisis dan evaluasi risiko, hingga membahas cara memitigasi risiko tersebut. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis praktik pengendalian internal pada AgriFin dengan menggunakan pendekatan lima komponen pengendalian internal pada COSO integrated framework.
Penelitian ini menggunakan metode in-depth interview dengan narasumber dari berbagai stakeholder AgriFin, termasuk manajemen, operator, surveyor, dan Otoritas Jasa Keuangan OJK sebagai regulator P2P lending di Indonesia.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa risiko operasional pada perusahaan P2P lending yang bergerak di bidang pertanian tidak hanya berasal dari internal namun juga berasal dari pihak eksternal perusahaan termasuk dari operator petani atau perusahaan pertanian yang dibiayai serta masyarakat sekitar lahan pertanian. Selain itu, AgriFin telah menerapkan manajemen risiko berupa identifikasi dan mitigasi risiko. Sementara pengendalian internal pada AgriFin masih perlu penguatan dan perbaikan.

Peer to peer P2P lending is one of the alternative financing solutions for non bankable business groups, including agriculture sector. However, risks exposed to agricultural sector put P2P lending companies under requirements to perform risk management to minimize or even eliminate any of those inherent risks.
This study aims to analyze the operational risk management process in AgriFin, one of Indonesian well known P2P lending company that finances agricultural sector. The process begins with analyzing perceptions of the definition of operational risk on P2P lending, risk identification, analysis, and evaluation, to discuss how to mitigate those risks. Besides, this study also analyzed the internal control practices of AgriFin by using the five internal control components of the COSO integrated framework.
This study uses in depth interview method with interviewees from various AgriFin stakeholders, including management, operators, surveyors and Financial Service Authority OJK as the regulator for P2P lending companies in Indonesia.
The results of this study indicate that operational risks in P2P lending companies engaged in agriculture not only come from both internal and external parties, including from the operators financed farmers or agricultural companies as well as communities around the financed agricultural land. In addition, AgriFin has applied risk identification and mitigation. While the internal controls on AgriFin still need reinforcement and improvement.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azam Prakoso
"Manajemen risiko operasional penting dilakukan untuk memberikan peringatan terkait munculnya risiko. Manajemen risiko operasional yang dilakukan saat ini belum terintegrasi dengan baik antar divisi di perusahaan. Risiko operasional yang signifikan saat ini di lokasi tambang Kalimantan Selatan ialah risiko produktivitas yang berkaitan dengan minimnya ketersediaan bahan bakar dan risiko proses berkaitan dengan material jalanan yang buruk dan kondisi cuaca. Penanganan risiko yang dilakukan ialah mengupayakan pengadaan tangki bahan bakar yang lebih besar dan penyediaan alat. Peran manajemen risiko operasional saat ini belum maksimal yang disebabkan oleh minimnya kesadaran risk owner untuk melakukan manajemen risiko.
Terdapat pendekatan manajemen risiko yakni COSO Enterprise Risk Management yang menekankan bahwa risiko harus dikelola oleh seluruh pihak di perusahaan dan harus sesuai dengan tujuan perusahaan yang hendak ingin dicapai Dengan menggunakan pendekatan COSO Enterprise Risk Management, terdapat beberapa elemen yang belum terlaksana dengan baik yakni internal environment dimana masih rendahnya komitmen dari risk owner untuk mengelola risiko. Komponen control activities dan monitoring juga belum dilakukan dengan baik karena rendahnya proses dokumentasi dari penanganan risiko serta pengawasan yang kurang efektif.

Operational risk management is necessary to provide a warning related to the emergence of risk. Operational risk management these day do not well integrated among all divison in the company. Significabt operational risks that present at the mine site in South Kalimantan is productivity risk associated with the lack of availability of the fuel and material risks associated with the poor road and weather condition. Mitigation risks undertaken is seeking procurement of larger fuel tank and adding tools. The role of operational risk management is currently not maximized due to lack of awareness from risk owner to perform risk management.
There is a risk management approach, the COSO Enterprise Risk Managemet which emphasizes that the risks should be managed by the whole company and must be in accordance with the company?s goals are going to be achieved. Based on the COSO Enterprise Risk Management approach, there are some element that have not done well that is low commitment from the owner to manage the risk. Also control and monitoring activities have not done well because of poor documentation process related to risk mitigation and ineffective monitoring.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S44914
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam Fitriyah
"New Basel II Capital Accord menyadari bahwa dengan memperkenalkan persyaratan permodalan untuk risiko operasional akan menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap jumlah regulatory capital yang harus disisihkan oleh bank.
Penelitian ini menganalisa perbedaan metode dengan mengacu pada metode yang dipersiapkan oleh Basel Committe dalam memperkirakan capital charge untuk risiko operasional. Analisis diperoleh dengan membandingkan Advanced Measurement Approach (AMA) melalui Loss Distribution Approach (LDA) terhadap non-advanced atau Basic Indicator Approach (BIA). Perhitungan capital charge risiko operasional melalui Basic Indicator Approach merupakan persentase tertentu dari gross income. Sedangkan LDA model menekankan pada analisis kerugian operasional yang membutuhkan data historis (Loss Event Database) mengenai kejadian risiko operasional berdasarkan distribusi frekuensi dan severitas dengan menerapkan konsep Value at Risk (VaR).
Berdasarkan data yang tersedia pada Bank X, hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan advanced approach dengan LDA model menghasilkan capital charge yang lebih rendah dibandingkan dengan BIA model.

New Basel II Capital Accord realized that the introduction of capital requirements for operational risk will cause a significant impact on the amount of regulatory capital that must be set aside by the bank.
This research analyzes the differences of methods with in regards to the methods prepared by the Basel Committee in estimating the capital charge for operational risk. The analysis was done by comparing the Advanced Measurement Approach (AMA) of the Loss Distribution Approach (LDA) to the non-advanced or Basic Indicator Approach (BIA). Calculation of operational risk capital charge with the Basic Indicator Approach is specified by a percentage of the gross income. Meanwhile, the LDA model requires analysis of operating loss using historical data (Loss Event Database) on the operational risk incidents based on the frequency and severity distribution and applying the concept of Value at Risk (VaR).
Based on the data made available by the Bank X, the results showed that the advanced approach applied using the LDA model produces a lower capital charge compared to the BIA model.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dorri Andri Pamungkas Susanto
"Pada pelaksanaan proyek konstruksi bangunan gedung pasti akan terjadi keterlambatan baik itu signifikan ataupun tidak. Hal tersebut dikarenakan proyek konstruksi sangat rumit dan kompleks. Keterlambatan adalah penambahan waktu setelah tanggal penyelesaian yang disepakati para pihak. Keterlambatan konstruksi memiliki konsekuensi negatif yang signifikan terhadap kinerja proyek dalam hal hilangnya pendapatan dan reputasi pihak-pihak yang terlibat, dan keterlambatan untuk memberikan layanan yang diharapkan dari proyek. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghitung besar nilai faktor-faktor risiko yang mempengaruhi keterlambatan pada aktivitas pekerjaan struktur atas gedung, menganalisis dan mengukur faktor-faktor risiko yang paling mempengaruhi keterlambatan pada aktivitas pekerjaan struktur atas gedung serta menyusun dan menganalisis tindakan pengendalian faktor-faktor risiko yang paling mempengaruhi keterlambatan pada aktivitas pekerjaan struktur atas gedung. Variabel-variabel yang akan diteliti adalah aktivitas pekerjaan struktur atas, faktor keterlambatan kontraktor, sub kontraktor/vendor, konsultan pengawas, konsultan perencana, pemilik proyek. Hasil analisis menunjukkan bahwa peringkat pertama faktor yang menyebabkan keterlambatan yaitu Sub kontraktor / vendor dengan nilai RII 0.260 pada paket pekerjaan baja atap. Sedangkan peringkat kesembilan atau terakhir yaitu konsultan pengawas dengan nilai RII 0.241 pada paket pekerjaan baja atap. Penelitian ini berimplikasi positif sebagai acuan dalam pengelolaan pekerjaan struktur atas gedung berikutnya.

During the execution of construction projects for building structures, delays are inevitable, whether significant or minor. This is primarily due to the intricate and complex nature of construction projects. Delay is defined as an extension of time beyond the agreed-upon completion date by the involved parties. Construction delays bear significant negative consequences on project performance, encompassing loss of revenue and tarnished reputation for the involved stakeholders, along with a postponement in delivering the anticipated project services. This study aims to identify and assess the magnitude of risk factors influencing delays in the upper structural work activities of buildings, analyze and measure the most influential risk factors affecting delays in these activities, and formulate and evaluate control measures for the most impactful risk factors contributing to delays in the upper structural work activities of buildings. The variables under scrutiny encompass upper structural work activities, contractor delay factors, subcontractors/vendors, supervising consultants, planning consultants, and project owners. The analysis results indicate that the primary factor causing delays is subcontractors/vendors, obtaining an RII value of 0.260 in the steel roof work package. Meanwhile, the ninth or last-ranked factor is supervising consultants, with an RII value of 0.241 in the steel roof work package. This research holds positive implications as a reference point for managing subsequent upper structural work in future building projects."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Dea Indriasvary
"Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan perancangan Key Risk Indicators (KRI) atau indikator risiko utama atas risiko-risiko signifikan perusahaan. Penelitian ini mengambil studi kasus pada PT. A yang bergerak sebagai perusahaan penyedia energi gas. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara dan telaah dokumen perusahaan. Perancangan KRI yang dilakukan berupa penentuan risiko menengah kemudian penentuan akar risiko, indikator KRI, serta ambang batas (threshold) dari risiko-risiko signifikan yang berpengaruh pada kinerja perusahaan baik itu dari sisi operasional maupun finansial. Risiko-risiko signifikan tersebut teridentifikasi dari risk register perusahaan. Risiko-risiko signifikan yang teridentifikasi yaitu tidak tercapainya pendapatan PT. A dan meningkatnya piutang pelanggan. Hasil perancangan dari PT. A yaitu untuk tidak tercapainya pendapatan pada PT. diperoleh tiga penyebab menengah, tiga akar penyebab, dan empat indikator KRI. Untuk meningkatnya piutang pelanggan pada PT. A diperoleh satu penyebab menengah, dua akar penyebab, dan dua indikator KRI. Perancangan KRI ini diharapkan dapat memberikan mitigasi lebih dini terhadap potensi terjadinya risiko utama yang berdampak besar terhadap pencapaian kinerja.

The purpose of this research is to design key risk indicators (KRI) or the main risk indicators for the company’s significant risks. This research takes a case study at PT. A, which operates as a gas energy provider company. The method used in this research is qualitative and quantitative. The KRI design is carried out in the form of determining the medium risk and then determining the root causes, KRI indicators, and the threshold of significant risks that affect the company’s performance both in terms of operational and financial. These significant risks were identified from the company’s risk register. The identified significant risks are the not achieving revenue and the increase in customer receivables. The results of designing KRI from PT. A for not achieving revenue at PT. A obtained three intermediate causes, three root causes, and four KRI indicators. For increase in customer receivables at PT. A obtained one intermediate cause, two root causes, and two KRI indicators. The design of this KRI is expected to provide early mitigation of the potential for major risks that have a major impact on performance achievement."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricko Dwi Pambudi
"Digitalisasi telah merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pemerintahan di bidang pengawasan pengelolaan keuangan negara. SIMWAS adalah sistem informasi di Instansi XYZ yang digunakan untuk mengelola kegiatan pengawasan dan tindak lanjut hasil pengawasan. SIMWAS merupakan aset penting yang memuat seluruh proses bisnis pengendalian internal, namun pada praktiknya, risiko keamanan informasi SIMWAS belum dikelola dengan baik. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan manajemen risiko keamanan informasi pada SIMWAS. Penelitian ini bertujuan untuk merancang dan menganalisis manajemen risiko keamanan informasi SIMWAS menggunakan kerangka kerja berdasarkan integrasi standar ISO/IEC 27005:2018, ISO/IEC 27002:2013, dan NIST SP 800-30 Rev 1. Kerangka kerja ISO/IEC 27005:2018 digunakan sebagai kerangka kerja utama manajemen risiko, NIST SP 800-30 Rev. 1 sebagai panduan proses penilaian risiko, dan ISO/IEC 27002:2013 sebagai referensi rekomendasi penanganan risiko. Penilaian risiko keamanan informasi SIMWAS dilakukan dengan menganalisis data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan telaah dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keamanan informasi SIMWAS memiliki 8 risiko level rendah, 9 risiko level sedang, dan 5 risiko level tinggi. Penelitian ini menghasilkan 14 rekomendasi penanganan risiko untuk 5 risiko level tinggi dan 9 risiko level sedang, sedangkan 8 risiko level rendah dapat diterima sesuai dengan selera risiko organisasi. Instansi XYZ perlu melakukan analisis risiko residu dan analisis biaya-manfaat dari penerapan kontrol di setiap skenario risiko.

Digitalization has penetrated various aspects of life, including the government sector in the field of supervising state financial management. SIMWAS is an information system in the XYZ Agency that is used to manage surveillance activities and follow up on the results of supervision. SIMWAS is an important asset that includes all internal control business processes, but in practice, SIMWAS information security risks have not been managed properly. To overcome these problems, information security risk management is required at SIMWAS. This study aims to design and analyze SIMWAS information security risk management using a framework based on the integration of ISO/IEC 27005:2018, ISO/IEC 27002:2013, and NIST SP 800-30 Rev 1 standards. The ISO/IEC 27005:2018 framework is used as the main framework in risk management, NIST SP 800-30 Rev. 1 as a guideline for risk assessment process, and ISO/IEC 27002:2013 as a reference for risk treatment recommendations. SIMWAS information security risk assessment is carried out by analyzing data obtained from the results of interviews, observations, and document reviews. The results of this study indicate that SIMWAS information security has 8 low-level risks, 9 medium-level risks, and 5 high-level risks. This study result 14 risk treatment recommendation for 5 high-level risks and 9 medium-level risks, while 8 low-level risks are acceptable according to the organization's risk appetite The XYZ Agency needs to carry out a residual risk analysis and a cost-benefit analysis of implementing controls in each risk scenario."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhaina Farsya Urfarizqa
"Bahan berbahaya dan limbah B3 memiliki dampak negatif pada keselamatan, kesehatan manusia, dan lingkungan. PT. XYZ, salah satu perusahaan otomotif terbesar di Indonesia, menghadapi tantangan dalam manajemen risiko limbah B3. Saat ini, standar manajemen risiko mereka belum mencakup semua aspek dan prioritas agen risiko terkait penyimpanan limbah B3 belum merinci. Penelitian ini bertujuan merancang strategi mitigasi risiko dengan metode House of Risk (HOR), yang terdiri dari dua tahap. HOR tahap 1 mengidentifikasi 20 kejadian risiko dan 35 agen risiko, dengan 19 di antaranya diprioritaskan berdasarkan analisis Pareto. Dalam HOR tahap 1, kelalaian pekerja (A8) teridentifikasi memiliki potensi risiko tertinggi berdasarkan nilai Aggegate Risk Potential (ARP). HOR tahap 2 menghasilkan 10 langkah preventif untuk mitigasi risiko prioritas. Hasil analisis HOR tahap 2 menunjukkan bahwa langkah preventif paling efektif adalah pemantauan dan inspeksi rutin terhadap keandalan serta keamanan wadah penyimpanan, dengan nilai ETDk sebesar 12177.0.

Hazardous substances and wastes have negative impacts on human safety, health, and the environment. PT. XYZ, one of Indonesia's largest automotive company, faces challenges in managing hazardous waste risks. Currently, their risk management standards do not encompass all aspects, and priorities related to hazardous waste storage risk agents are not detailed. This research aims to design risk mitigation strategies using the House of Risk (HOR) method, which consists of two stages. HOR stage 1 identifies 20 risk events and 35 risk agents, with 19 prioritized based on Pareto analysis. In HOR stage 1, employee negligence (A8) is identified as having the highest risk potential based on Aggregate Risk Potential (ARP). HOR stage 2 generates 10 preventive measures for prioritized risk mitigation. The analysis from HOR stage 2 shows that the most effective preventive measure involves routine monitoring and inspection of the reliability and security of storage containers, with an ETDk value of 12177.0."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>